• Tidak ada hasil yang ditemukan

Trangresi selanjutnya adalah transgresi diskursif. Dalam ekstrem metal transgresi diskurisf ini adalah transgresi yang dapat dilihat dari bagaimana metal membicarakan hal-hal yang tak dibicarakan dalam musik mainstream, terutama dalam lirik-lirik yang ditulis. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa lirik-lirik dalam lagu-lagu ekstrem metal mengambil tema-tema “aneh” bagi orang-orang di luar skena metal. Misalnya, lirik-lirik band death metal Cannibal Corpse mengambil tema mutilasi, kematian, dan seks, termasuk yang memarjinalkan perempuan. Diskursus semacam ini juga semakin

116 Matthew P. Unger. Sound, Symbol, Sociality: The Aesthetic Expereience of Extreme Metal Music. (London: Palgrave Macmillan, 2016), hal. 18.

menguatkan mitos maskulinitas dan skena metal yang androsentris. Meski begitu, amat menarik untuk melihat cara Ayu, Lilin, Hera, dan Popo sebagai seorang penulis lirik dalam band mereka. Di tengah tema-tema lirik yang memarjinalkan perempuan, keempat vokalis perempuan tersebut justru menyisipkan lirik-lirik yang bertemakan resistensi mereka akibat dimarjinalkan sebagai seorang perempuan. Peran besar keempat vokalis tersebut dalam band bukan hanya sebagai vokalis dengan gaya vokal scream/growl, tetapi juga sebagai penulis lirik utama dalam lagu-lagu mereka. Hal ini menjadi peluang besar mereka untuk menumpahkan amunisi berupa kata-kata berdasarkan pengalaman, pemikiran, serta refleksi mereka terhadap kehidupan sehari-hari, baik itu ketika berdinamika di dalam skena maupun ketika berdada di luar skena. Ayu yang juga berperan besar sebagai penulis lirik di dua band-nya menulis lirik-lirik demikian:

Commitment to Unwarranted117

There is always a reason

The reason can always in search The reason can always appear Even as much of the millions Of stars in the sky

The Process of sacrificing

A success does not need a reason

Just enough willing or not or can not to be something

That is needed is a commitment to unwarranted Or can not to be something

That is needed

Commitment to unwarranted

You, Fish!118

It referred to the fish Often found in the river Or the sea,

Take a look at him, As small as it is capable Of crashing on

Flow profusely Struggling mightly

Not to get carried away with the flow

Strong, strong, strong Keep focus stays on purpose Then why don’t you?

Ayu memilih menggunakan bahasa inggris dalam menulis lirik untuk kedua bandnya, KoJ dan Leftyfish. Pilihan itu didasarkannya pada kesepakatan antara dia dan anggota

117 Lirik diambil dari album Killed on Juarez bertajuk Gemini yang dirilis pada 8 Januari 2017.

band yang lain. Diihat dari kedua lirik itu, Ayu menceritakan tentang sebuah perjuangan berat yang harus ditempuh untuk mencapai sesuatu. Dalam Commitment to Unwarranted, ia bercerita tentang sebuah komitmen dalam menjalani sesuatu, dalam hal ini komitmen dirinya menjadi vokalis untuk band metalcore. Komitmen yang tak tergaransi, tapi diperlukan untuk segala perjuangan dan pengorbanannya.119 Di KoJ tema tentang perjuangan hidup, kemarahan, dan inner self adalah yang dikedepankan. Topik-topik yang tergolong serius ini menjadi pilihan Ayu bersama sebagai sarana bagi Ayu untuk “curhat” dan berdiskursus di dalam skena.

Tak seperti di KoJ, Leftyfish adalah band yang lebih memilih untuk menulis lirik dengan gaya yang santai dan lucu. Selain Ayu, pemain gitar Halim Budiono juga menjadi penulis lirik di Leftyfish. Fenomena keseharian yang dilihat, misalnya keliru makan jahe yang dikira daging, perang layangan, menangkap belut, kesenanangan memencet bubble wrap menjadi beberapa topik yang ditulis menjadi lirik oleh Halim. Hal yang sepele namun terjadi dalam kehidupan. Musik Leftyfish yang tergolong absurd menjadi selaras dengan pilihan tema untuk lirik-liriknya: lucu, absurd, tapi terjadi. Meski begitu, lagu-lagu yang liriknya ditulis oleh Ayu di Leftyfish cenderung memiliki makna yang tak berbeda dengan lirik-lirik yang dituliskannya di KoJ. Perbedaan yang terjadi adalah di Leftyfish, Ayu lebih santai dan menggunakan analogi sederhana, misalnya dalam lagu “You, Fish!” di atas. Ia menempatkan analogi ikan sebagai sebuah caranya bertutur tentang sebuah perjuangan. Layaknya ikan yang berenang di sungai dalam arus yang kencang, ia menunjukkan perjuangannya sebagai vokalis perempuan yang diterpa berbagai macam arus deras berupa lingkungan yang didominasi laki-laki dan sering

meremehkannya.120 Namun, layaknya ikan pula, ia tetap berenang dan menjadi tambah kuat. Struggling mightly!, demikian ia menyimpulkannya.

Sama dengan Ayu, peran penulis lirik juga disandang oleh Lilin di band grindcorenya, GOADS. Style grindcore milik GOADS yang cepat, intens, dan berisik bersanding dengan tema tentang protes sosial dan inner-self. Penulisan lirik yang

straightforward, to the point, dan tanpa tedeng aling-aling dipilih oleh Lilin sebagai cara

untuk menumpahkan segala kegelisahannya. Dalam lirik lagu “Lantang”, misalnya, ia menuliskan kegelisahan pada objektifikasi perempuan di skena ekstrem metal dan juga di masyarakat umum yang masih sangat patriarkis. Di lagu ini, ia ingin bersuara dan memberikan pesan untuk melawan segala bentuk objektifikasi terhadap perempuan, bahwa perempuan memiliki pilihan dan berhak untuk melakukan apapun yang menjadi pilihan mereka.121 Penulisan lirik “Lantang” diakui Lilin juga tak terlepas dari pengalamannya ikut aktif dalam sebuah kolektif bernama Kolektif Betina. Dalam sebuah acara, kata Lilin, ia melihat adanya semangat perlawanan dan juga kegigihan serta solidaritas tinggi aknatar perempuan untuk saling mendukung dalam berkarya. Oleh karena hal itu, ia pun menulis lirik lagu “Lantang” tersebut. Dengan durasi lagu yang tidak lebih dari dua menit, lirik “Lantang” terdengar penuh agresi ketika dimainkan. Persoalan to the point dan straightforward juga amat terasa dengan pilihan diksi yang dituangkan Lilin dalam lirik “Lantang” . Berikut ini adalah lirik “Lantang” yang ditulis oleh Lilin:

120Wawancara dengan Fransisca Ayu di Konkrite Café, Yogyakarta, 25 September 2019.

Lantang122

Lantang! Lantang!

Dan teriakkan Lawan! Lawan! Lawan! Maju ke depan

--

Rampas kebebasanku, jatuhkan martabatku Terhadap tubuhku, terhadap hidupku Lawan dan lawan stigma, lepas dari dogma Lawan! Lawan! Kau tercipta sempurna! Lawan! Lawan! Jangan hiraukan mereka! Otak dangkal, tak bermoral

Lawan!

Inilah tubuhku, inilah hidupku, inilah keputusanku Inilah tubuhku, inilah hidupku, inilah pilihanku Lawan! Lawan! Kau tercipta sempurna

Lawan! Lawan! Jangan hiraukan mereka!

“Lantang” juga dipilih menjadi single pertama yang dirilis untuk album Datang Melawan GOADS. Lilin menuturkan bahwa lagu ini menjadi sebuah bentuk perlawanan dan sebagai ajang pembuktian bahwa perempuan ada di dalam skena ekstrem metal dan bisa membuat sebuah karya dan menyuarakan apa yang ingin mereka suarakan. “Lantang” berdurasi tak sampai dua menit. Lilin mengaku bahwa grindcore yang umumnya memiliki durasi lagu yang pendek sangat cocok untuk penulisan lirik yang

straightforward dan to the point seperti gaya nya menulis lirik di lagu Lantang tersebut.

Selain terinsirasi oleeh kegiatan yang dilakukan oleh Kolektif Betina, pengalaman pribadi Lilin sebagai seorang perempuan yang pernah dilecehkan dan dipandang remeh di dalam skena menjadi alasan lain bagi Lilin untuk menulis lirik itu.123 Semangat grindcore pada tema-tema perlawanan diejawantahkan oleh Lilin berdasarkan pengalaman yang ia miliki di tengah skena yang didominasi laki-laki. Ia bercerita demikian tentang semangat

122 Lirik diambil dari album GOADS bertajuk Datang Melawan yang dirilis pada 6 September 2018.

perlawanan dan usahanya untuk membelokkan pandangan tentang perempuan dalam sebuah band:

“Di manapun, band apapun, skill apapun, kalau itu yang nampilin perempuan pasti dianggap bagus aja. Itu pasti menarik aja. Kita dilihat secara display, bukan skill. Wajar aja, tapi kita mau belokin aja pandangan itu. Mau nunjukin aja kalau sebenarnya ini kita latihannya disiplin, bikin lagunya susah, latihannya berat, nyari liriknya susah loh, manggungnya juga ga sembarangan. Bukan sekadar tampil aja”.124

Dari perkataan Lilin di atas, dapat diketahui bahwa Lilin, sebagai vokalis, selama ini banyak dipandang dari sisi fisiknya sebagai perempuan saja. Ada sebuah hal tersirat bahwa dalam sebuah band yang ada personel perempuannya, terutama vokalis, band itu pasti akan langsung dianggap menarik, tetapi dengan sebuah cara pandang seksis. Hal ini sampai-sampai membuatnya kesal dan muak. Ia ingin dilihat secara skill, dilihat dari cara dia menulis lirik, dan dilihat dari cara dia mempersiapkan diri sebagai seorang vokalis band grindcore.

“Ketika gue tampil pasti ada yang berpandangan ‘wah dia seksi lo’. Cuma gue udah di titik muak aja, kok gini amat ya pandangannya. Padahal kan ada hal yang lebih menark daripada itu. Gue jadi sebel sendiri. Jadi vokalis di skena kan resikonya juga tinggi. Dilecehkan, di-cat calling. Gue jarang berpakaian seksi juga masih ada aja yang nge-DM (direct message-red) aneh-aneh gitu, mungkin mereka mikirnya ‘wah vokalis nih, wah pasti gampang nih’. Gitu. Gue perempuan, bisa aja menunjukan keseksian, tapi gue punya hal lain yang lebih menarik, misal effort gue, vokal gue, usaha bikin lirik. Sampai ga tidur juga bikinnya lho bikin lirik itu. Kan bikinnya susah, tergantung mood, vibe nya juga gimana. Eh, masih aja ga sering dilihat dari sisi ini”.125

Pengakuan Lilin ini menunjukkan adanya resiko tinggi yang dihadapi oleh perempuan di skena ekstrem metal menjadi hal yang digarisbawahi oleh Lilin untuk menggambarkan posisinya dalam skena. Ini menunjukkan bahwa skena ekstrem metal merupakan arena konflik dan arena yang berbahaya (hostile) di mana Lilin dan kawan-kawan perempuan

124 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Kopi Kalyan, Jakarta Selatan, 13 Oktober 2019.

lainnya terpinggirkan dan dianggap sebagai yang nomer dua. Konflik terjadi ketika represi menjadi sebuah hal yang berulang-ulang terjadi kepada dirinya. Meski begitu, ia justru tak berhenti. Dari situ, ia melawan (resist) dengan menunjukkan bahwa ia mampu menghasilkan sebuah karya dengan pengorbanan yang cukup besar lewat segala usahanya untuk sedikit demi sedikit mengubah cara pandang yang dominan di dalam skena.

Selaras dengan Lilin, Popo Puji juga mengejawantahkan perjuangannya sebagai seorang perempuan dalam skena ekstrem metal dalam lirik-lirik lagunya, tetapi dengan konsep berbeda yang menempatkan sisi brutalitas death metal ke dalam lirik. Sebagai salah satu contoh adalah dalam lagu “Gemulai Samar Perkasa” dalam album Retaliation.

Gemulai Samar Perkasa126

Ini diriku….ini takdirku Ku kan bertahan, Ku kan melawan

Aku bosan terus mengalah Aku lelah terus diam Cantik bukan senjata, baik hanya sementara

Gemulai samar perkasa, pintar siasati murka Ku akan terus melawan Ku lahir bukan tuk dilecehkan

Meski terancam ku bertahan Siasati strategi pembalasan (Perempuan) bangkit mengangkat dagu

Bersiap melepas belenggu Melawan rasa ragu

126 Lirik diambil dari album Demons Damn bertajuk Retaliation yang dirilis pada 6 September 2011. Cantik gemulai seorang perempuan

Slalu dipandang manusia tingkat dua

Dalam pandangan dalam ketidak percayaan

Meski sendiri tetap kuat menghadapi siksa

Senjata bukan air mata dan kata manja

Tangan halus lembut

memegang parang dan gada Mampu mengoyak, merobek, mencabut nyawa

Pada setiap nafas yang memandang hina Berdiri tegap rapatkan barisan

Kita berbeda, kita istimewa Diam bukan jawaban, rapikan barisan

Bersiap mengancam, membalas perihnya Senyum dan tawa menarik hati

Senyum dan tawa penenang diri

Senyum dan tawa seperti belati

Senyum dan tawa membawa mati

Ku dongakkan kepalaku Kuharap kalian begitu Kebiri harga diri penghina berotak dungu

Balaskan rasa sakit yang membelenggu

Cerita dalam lirik tersebut menggambarkan resiliensi seorang perempuan yang dijadikan sebagai gender kedua dalam dunia yang didominasi laki-laki dan bersifat patriarki. Dengan bernapaskan deth metal yang brutal, Popo memasukkan tema balas dendam dalam lagu tersebut. Ia bercerita bahwa “Gemulai Samar Perkasa” adalah permainan kata-kata yang menunjukkan sebuah cerita tentang perempuan menyamarkan keperkasaanya dalam gemulai. Ia membayangkan sebuah cerita tentang perempuan yang bengis dan kejam, tetapi tersamar dalam sikap lemah gemulainya. Ia menuturkan bahwa maksud dari lagu itu adalah metafora bahwa perempuan juga memiliki potensi untuk berkarya. Perempuan yang selalu dianggap lemah gemulai bisa membuat sesuatu yang luar biasa berdasarkan potensi yang mereka miliki masing-masing. Dalam hal ini, Popo menulis lirik lagu tersebut berdasarkan pengalaman dan perjuangannya terjun di skena ekstrem metal, terutama dalam sebuah band death metal.

Bila band-band death metal pada umumnya memiliki peratruran tak tertulis tentang penggunaan lirik yang bersifat misoginis, Popo justru menggunakan logika berbeda untuk pendekatannya menulis lirik-lirik death metal. Ia membalik peraturan tak tertulis itu dan mendistorsi sifat misoginis yang ada dalam death metal. Alih-alih menjadikan perempuan sebagai objek dalam lirik-liriknya, ia justru menempatkan perempuan sebagai aktor utama dalam lirik-liriknya. Popo mengatakan bahwa

keseluruhan lagu alam album Retaliation ia bentuk sebagai suatu kesatuan cerita tentang seorang perempuan, dalam hal ini adalah dirinya, yang dikhianati orang hingga akhirnya dia sadar. Konsep itu ia sebut seperti sebuah konsep penulisan cerita dalam sebuah novel. Popo berkata demikian:

“Ngebayangin dan ngerasain sakit hatinya atau gondoknya dikhianatin itu seperti apa, ditusuk dari belakang keselnya seperti apa. Sampe akhirnya berputar arah sampai mau membalaskan dendam sampe eksekusi. Itu aku tulis satu-satu lirik-liriknya. It utu kayak..eeee..aku dikhianatin sama orang aku akhirnya ngeh gitu kan. Kok bego banget kok gini lagi kok gini terus. Dah gitu ngumpulin kekuatan buat ngebalesin dendam kemarahan kesal. Sampe eksekusinya aku tulisin juga, sebagai perempuan.”127

Dari pernyataan Popo dan juga dari lirik yang ia tulis, ada agensi untuk mengubah persepsi tentang penulisan lirik dalam balutan musik death metal. Pembalikan logika tentang death metal yang misoginis oleh Popo menjadi sebuah hal yang tak terduga. Ia melihat adanya potensi akan sebuah transgresi di mana alih-alih mengafirmasi lirik misoginis, ia justru melanggar peraturan tak tertulis untuk membuat lirik dengan tema yang berada di luar pakem lirik-lirik death metal. Selain itu, dalam proses penulisan lirik, Popo mengutarakan bahwa ada keinginan untuk tidak terlalu memasukkan kata-kata dan cerita yang terkesan “brutal” meski band-nya adalah band death metal. Ia harus mengubah hampir 80 persen lirik karena setelah ia baca ulang, ia merasa lirik-lirik itu terlalu “brutal” untuk dimasukkan. Ia mengatakan berada dalam dilemma karena di satu sisi band nya menganut genre death metal yang brutal, tetapi di sisi lain ia tak mau kata-kata yang ada di dalam lagu terlalu sadis dan brutal. Bukan menghindari sisi “brutal”nya, tapi ia tak mau kata-kata itu menggambarkan hal yang terlalu sadis.128

127 Wawancara dengan Popo Puji via Whatsapp video call pada 21 April 2020.

Sementara itu, Hera Mary sebagai penulis lirik band sludge metalnya, OATH, mendasarkan penulisan liriknya sesuai dengan musik OATH yang depresif, abrasive, dan lambat. Maka, tema-tema depresi, keputusaan, kemurungan, dan kemuraman menjadi senjata utama baginya dalam menulis lirik. Memosisikan diri sebagai seorang korban yang seolah tak punya harapan untuk hari esok, Hera lebih ingin menyuarakan dan menggambarkan posisi marjinal dari kaum-kaum tertindas dan terpinggirkan, terutama perempuan dalam skena. Sebagai contoh adalah lirik dari lagu berjudul Saksi Bisu Kesakitan/Terbekam yang dirilis OATH pada tahun 2016 lalu berikut ini.

Hera menuturkan bahwa penulisan lirik ini ia dasarkan pada kegelisahannya pada penggusuran-penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah kepada warga. Meski begitu, ia membuat lirik ini dnegan melihat kepada konteks yang lebih luas yaitu

129 Lirik diambil dari single OATH yang dirilis online via bandcamp.com pada 20 Februari 2016. https://sludgeoath.bandcamp.com/

130 Ibid.

Saksi Bisu Kesakitan129

Bongkahan kayu using terdiam Terbuka tertutup sepnajang hari Saksi bisu kesakitan

Teriakan benci menggema Kesakitan

Akibat ketidakadilan

Patah, retak, dan tetap tinggal Ku kunci rapat dan tertutup Rasa itu masih tersimpan rapi Keterpurukan asa terbelenggu Cahaya berubah gelap

Terbekam130

Hitam menebar Rasa tertanam

tersingkirkannya kaum marjinal. Saksi Bisu Kesakitan/Terbekam menjadi manifestasi dari kegelisahnnya itu.

Secara khusus, kaum marjinal yang ia maksud adalah eksistensi perempuan di skena ekstrem metal. Menurutnya, laki-laki pegang kendali adalah sebuah konsep yang usang. Kesetaraan yang kerap digemborkan juga kadang terasa inskonsisten denga napa yang kemudian terjadi. Dengan nada kesal, Hera mempertanyakan dan mencontohkan ini dengan berkata demikian:

“Kenapa ada laki-laki terancam gitu dengan perempuan-perempuan yang bersuara lantang gitu. Dan itu banyak banget sampai sekarang terjadi. Mereka ngomong kesetaraan tapi Ketika perempuan bersuara malah dianggap lebay, lah gimana coba?”131

Bukan ingin menguasai balik, tetapi suara lantang yang dimaksudkan Hera adalah demi sebuah ekosistem skena yang setara dan adil. Baginya, apapun gendernya, ekosistem sebuah skena akan lebih terasa menyenangkan kalau saling bekerjasama dan tak menjatuhkan berdasarkan ketidakadilan gender. “Kan kalau bareng-bareng bakal lebih enak dan asyik. Toh, kan kita di sini membangun skena juga bareng-bareng.”132 Begitu kata Hera. Singkatnya, bukan tatanan yang ingin diganti, tetapi, bagi Hera, ia lebih ingin menggulirkan narasi baru tentang perempuan di dalam skena ekstrem metal demi kesetaraan di dalamnya.