• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengikuti alur pemikiran Lacan soal pembentukan subjek, skena ekstrem metal dalam penelitian dini disejajarkan dengan fase simbolik. Ayu, Lilin, Popo, dan Hera sebagai subjek masuk ke dalam dunia simbolik berupa skena ekstrem metal. Skena ini, berdasarkan data yang diperoleh, memiliki aturan-aturan tak tertulis yang terpatri dalam sifat maskulin dan androsentris yang melekat pada ekstrem metal. Inilah yang kemudian dapat dilihat sebagai the Law (hukum) yang berlaku di dunia simbolik bernama ekstrem

metal ini. Hukum ini jugalah yang kemudian mengkastrasi keempat vokalis ini sehingga posisi mereka menjadi subjek terbelah ($). Masuknya keempat vokalis ke dalam bahasa (hukum) simbolik ekstrem metal dapat diketahui dari pengalaman mereka ketika tertarik untuk terlibat dalam skena ini melalui kegemaran mereka pada musik ekstrem metal. Ayu, Lilin, Popo, dan Hera memutuskan untuk terlibat berawal dari sekadar nongkrong, mendnegarkan musik ekstrem metal, lalu mulai secara aktif terlibat sebagai vokalis. Bebunyian dan suara ekstrem metal lewat suara scream/growl membuat mereka menjadi tahu bahwa gaya vokal ekstrem metal adalah growl/scream. Suara ini bangkit dari luar subjek. Suara yang memanggil mereka untuk menjadi ‘metal’. Dalam perspektif Lacanian, ini adalah suara yang memanggil keempat vokalis tersebut masuk ke dalam tatanan simbolik bernama ekstrem metal. Interpelasi berupa scream dan growl ini memanggil mereka masuk ke dalam tatanan itu sendiri.154

Hukum/aturan dalam tatanan ekstrem metal selanjutnya dapat dilihat dari dominasi jumlah laki-laki di dalam skena ekstrem metal dan secara simbolik, ekstrem metal dianggap bersifat maskulin, serta dibentuk berdasarkan hegemoni maskulinitas dan wacana patriarki. (Weinstein, 1991; Walser, 1993; Grant, 1996; Klypchak, 2007, Hill, Lucas & Riches, 2015). Selain itu, perempuan yang terlibat di dalam skena ekstrem metal banyak dimarjinalisasi dan dianggap sebagai pelengkap serta diobjektifikasi secara seksual semata.155 Selain itu, inferiorisasi juga terjadi pada Ayu, Lilin, Popo, dan Hera ketika mereka tampil di panggung. Inferiorisasi ini terlihat dari pengakuan mereka. Misalnya, pengalaman Lilin pernah dituding “menggambar” vokalnya ketika merekam album. Contoh lain adalah pengalaman Ayu, Popo, dan Hera yang kemampuan

nge-154 Lihat dalam Duncan, 2004. Duncan menyebut pula bahwa suara diasosiasikan dengan performative act yang terikat kepada suara ideologi atau hukum.

scream dan nge-growl diragukan hanya karena mereka adalah seorang perempuan. Lalu

adanya hal-hal berbau seksis dan misoginis yang ada dalam lirik lagu-lagu ekstrem metal serta pelecehan baik secara verbal maupun fisik membuat ekstrem metal dianggap memiliki kode-kode maskulin dan setiap orang yang ingin masuk ke dalamnya harus mematuhi aturan-aturan tak tertulis itu. Bahkan, mengutip Vasan, perempuan yang memiliki posisi tinggi, misalnya sebagai vokalis atau personel band ekstrem metal, di dalam skena harus berkompromi dengan kode-kode itu. Tak ada laki-laki maupun perempuan yang melanggar kode-kode itu.156 Dari hal-hal tersebut, dapat dilihat bahwa hukum dan aturan-aturan tak tertulis dalam skena ekstrem metal menjadi sebuah hegemoni Liyan. Ayu, Lilin, Popo, dan Hera masuk ke dalam sebuah tatanan di mana mereka terbentuk menjadi subjek bahasa dan mengenal hukum atau aturan yang berlaku di dalam skena ekstrem metal. Sebagai subjek yang terkastrasi oleh hukum dalam tatanan simbolik ekstrem metal, mereka mengalami keterasingan (otherness). Hasrat mereka tak terakomodasi sepenuhnya di skena ekstrem metal dan menimbulkan adanya lack. Mereka menyadari keterasingannya karena hukum dan aturan (bahasa) di skena ekstrem metal dan akhirnya mereka menjadi subjek hasrat karena bertemu dengan hasrat Liyan.

Situasi paradoksal terjadi dalam fase ini. Dalam konteks budaya populer, di satu sisi ekstrem metal menawarkan sebuah alternatif untuk bersikap bebas. Ekstrem metal juga menawarkan sebuah ruang untuk resisten dan subversif terhadap segala yang berbau mainstream dalam budaya musik populer lewat transgresi yang terkandung di dalamnya. Selain itu, ekstrem metal juga menawarkan empowerment bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Namun, di sisi lain, ketika perempuan terlibat di dalamnya, skena ekstrem metal justru memiliki kode-kode atau aturan tak tertulis yang memarjinalkan perempuan.

Femininitas dan pasivitas direpresi di dalam tatanan simbolik ini.157 Ada jurang keterpisahan yang membuat Ayu, Lilin, Popo, dan Hera terasing dengan skena ekstrem metal itu sendiri. Situasi seperti ini kemudian terkait dengan fase ketiga yang adalah Real. Fase ini adalah fase yang melampaui fase imajiner dan fase simbolik. Fase ini berkaitan ketidakmungkinan dan Real menolak untuk disimbolisasi. Maka, Real juga bersifat traumatik. Trauma ini yang terus menerus kembali kepada si Subjek, tetapi selalu dihindari.158

Lalu, bagaimana kemudian Ayu, Lilin, Popo, dan Hera bernegosiasi dengan situasi yang demikian? Fantasi menjadi penting dalam fase-fase yang saling terkait satu sama lain tersebut. Sebagai subjek terbelah ($), keempat vokalis ini kemudian berhadapan dengan objek a atau objek penyebab hasrat. Hubungan ini kemudian dirumuskan demikian $◊a. Dalam hal ini, fantasi menjadi cara bagi keempat vokalis perempuan tadi untuk belajar menghasrati sesuatu agar perjumpaan dengan objek a tidak terjadi sebab perjumpaan ini bersifat traumatis. Fantasi keempat vokalis perempuan tadi dapat dilihat dari performance mereka yang dalam penelitian ini dibaca sebagai sebuah dark play. Hal ini menjadi ssiasat atau strategi mereka dalam bernegosiasi dengan Liyan dalam dunia simbolik ekstrem metal. Lantas fantasi macam apa yang muncul dan mendasari dark play mereka akan diuraikan di bagian berikutnya.