• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dark play dalam Transgresi: Disrupsi pada Dominasi

Schecner mengatakan bahwa playing dapat menjadi sesuatu yang beresiko dan berbahaya secara fisik maupun emosional. Penggunaan gaya vokal itu justru menjadi sebuah strategi yang mensubversi dan mencoba merubah tatanan dominan yang berlaku dalam skena ekstrem metal. Sebagaimana ditunjukkan oleh Schechner, dark play yang dapat provokatif, menakutkan, dan juga nikmat, dapat dipahami sebagai sebuah keadaan bermain-main (playing) dalam rangka membentuk, mengekplorasi batas-batas kuasa hirarki dan resistensi terhadap dunia yang mendominasi mereka.148 Dengan adanya resistensi itu dalam dark play itu, asumsinya adalah bahwa mereka mendapatkan kepuasan yang melibatkan tindakan-tindakan dari yang beresiko tinggi bagi fisik maupun emosi mereka ke penemuan sesuatu yang baru dan pelibatan diri mereka kepada Liyan. Schechner menyebut dalam dark play terkandung sesuatu yang membebaskan dan memuaskan. Ini terlihat dari pengakuan Ayu, Lilin, Popo, dan Hera mengenai rasa puas setelah tampil karena bisa mengekspresikan diri dan keberhasilan karena mampu menguasai teknik vokal growl/scream secara otodidak.

Gaya vokal scream/growl yang diimplementasikan dalam ekstrem metal ini diasosiasikan sebagai gaya vokal yang bersifat maskulin. Sebab, mengutip Heesch, skena ekstrem metal yang didominasi laki-laki dan juga wacana maskulinisasi direproduksi terus menerus dalam skena ekstrem metal.149 Heesch juga menemukan bahwa agresivitas, timbre yang tebal dan keras, serta nuansa gelap yang ada dalam gaya tersebut menjadi faktor yang menyebabkan growl dan scream diasosiasikan dengan maskulinitas.150 Bagi

148 Schechner, Op. Cit., 2013, hal. 121.

149 Florian Heesch, Sound of Anarchy: Gender Aspects of Aggressive Metal Vocals. The Example of Angela Gossow (Arch Enemy). (Criminocorpus. journals.openedition.org, 2019).

telinga pendengar musik populer, orang sering mengasosiasikasn suara dengan identitas gender. Firth menulis bahwa kita belajar mendengar suara dan mengidentifikasi apakah suara tersebut suara perempuan atau laki-laki.151 Dari sini dapat dilihat bahwa ketika ada perempuan yang menguasai teknik scream/growl, akan ada kebingungan pada para pendengar atau penonton sehingga ketika mereka melihat sosok perempuan yang melakukannya, penilaian yang bias gender dan inferiorisasi terjadi.

Hal tersebut dapat dilihat dari pengalaman Ayu, Lilin, Popo, dan Hera tentang inferiorisasi yang terjadi kepada mereka meski mereka telah berhasil menguasai gaya vokal tersebut. Komentar-komentar dari para penonton kerap kali melihat karakter vokal mereka sebagai sesuatu yang maskulin. Ini menjadi problematik sebab keempat vokalis tadi memiliki agenda dan misi tersendiri. Dari penuturan mereka, ada sebuah kesamaan bahwa dengan menggunakan gaya vokal scream/growl, mereka ingin mengubah cara pandang orang-orang bahwa gaya vokal tersebut bukan milik laki-laki saja. Dari sini dapat diketahui adanya usaha mereka untuk mendisrupsi mitos maskulin gaya vokal

scream/growl. Disrupsi ini, lebih tepatnya menyasar pada stereotipe gender yang

terbentuk di dalam skena ekstrem metal. Dari penggunaan gaya vokal tersebut, mereka menantang hegemoni norma gender maskulin152 yang selama ini menjadi wacana dominan di dalam skena. Mereka menyiratkan bahwa gender bukanlah sesuatu yang terberi, tetapi merupakan konstruk sosial melalui bahasa, gestur, dan simbol.153 Inilah

151 Simon Frith. Performing Rites: On the Value of Popular Music. (Cambridge: Harvard University Press, 1996), hal. 193.

152 Raewyn Connel. Masculinities. (Sydney: Allen and Unwin, 1995).

153 Judith Butler. Performative acts and gender constitusion: An esssay in phenomology and feminist theory dalam Theatre Journal, 49 (1988), hal 519-531. Lihat juga konsep gender dalam Judith Butler. Gender Trouble: Feminism and the subversion of identity. (New York: Routlege, 1990).

dark play dari keempat vokalis perempuan tersebut yang terkandung dalam gaya vokal scream/growl yang mereka gunakan.

Ayu, Lilin, Popo, dan Hera sadar betul bahwa dengan menggunakan teknik demikian, akan muncul inferiorisasi dari para anggota skena. Selain itu, mereka juga tahu betul bahwa teknik seperti itu membutuhkan kemampuan, daya tahan, dan stamina tubuh yang prima. Praktik mereka ini, senada dengan konsep deep/dark play, dapat dibaca sebagai sebuah proses negosiasi mereka untuk meruntuhkan (disrupsi) mitos bahwa teknik vokal growl/scream adalah milik laki-laki saja. Mereka tampil (playing) mempertaruhkan diri demi sebuah keinginan akan adanya perubahan. Cara mereka bermain-main dengan teknik vokal growl/scream jelas menjadi sesuatu yang beresiko baik secara fisik maupun emosional mereka. Mereka melakukan transgresi khas ekstrem metal, tetapi di sisi lain mereka sering menjumpai inferiorisasi sekaligus peliyanan dari skena ekstrem metal itu sendiri. Artinya, skena ekstrem metal dapat dipandang sebagai teritori yang sebenarnya tidak ramah (hostile) bagi mereka akibat dominasi laki-laki beserta wacana maskulinitas yang menyertainya.

Selain itu, menyisipkan tema perempuan juga menjadi strategi mereka dalam dark

play yang mereka lakukan. Perempuan yang dalam lirik-lirik lagu ekstrem metal sering

digambarkan sebagai objek dan praktik misoginis kini dijadikan sebagi subjek atau aktor utama oleh Ayu, Lilin, Popo, dan Hera dengan berbagai macam narasi dalam lirik-lirik yang mereka tulis. Dalam konteks ini, mereka justru melakukan transgresi pada pakem-pakem penulisan lirik ala band-band ekstrem metal. Sekali lagi, kali ini melalui lirik-lirik lagu, mereka mencoba untuk menerobos dan mendisrupsi batas-batas yang ada di skena itu sendiri. Peluang atau kemungkinan yang ditawarkan oleh ekstrem metal digunakan oleh keempat vokalis perempuan itu untuk benar-benar berdaya menyuarakan

kegelisahan mereka. Dengan kata lain, dark play yang ada dalam performance mereka bersifat subversif dalam rangka resistensi mreka terhadap wacana dominan yang ada di skena ekstrem metal.

Praktik moshing dapat dikatakan juga mengafirmasi sebuah dark play. Dari penuturan para vokalis perempuan ini, mereka cenderung melihat-lihat situasi dan kondisi terlebih dahulu sebelum ikut terjun dalam moshpit atau melakukan stage diving. Pernyataan Ayu menjadi sedikit kontradiktif karena ia juga mengaku bahwa moshing dan stage diving menjadi salah satu arena baginya untuk mengekspresikan diri dan mendapat kepuasan dari bermain musik metal. Mereka sadar dengan resiko yang akan mereka hadapi, tetapi dalam beberapa kesempatan mereka tetap melakukannya. Ini menjadi sebuah arena bermain bagi mereka, arena dark play bagi mereka karena mereka ingin bebas melakukan moshing. Disrupsi pada mitos bahwa moshing adalah praktik yang sangat maskulin dilakukan oleh mereka. Harganya pun mahal. Lilin, misalnya, ia bercerita bahwa ia pernah mengalami pelecehan seksual ketika terlihat moshing. Meski tak mengalami langsung, Hera menyaksikan dan mendengar cerita kawan perempuannya mengalami pelecehan serupa. Perasaan sedih dan marah menjadi hal yang pertama muncul. Namun, ia menggunakan kejadian itu untuk bersuara dan memberi dukungan bagi kawannya itu. Dari cerita-cerita para vokalis itu, performance mereka dapat dilihat sebagai disrupsi pada praktik moshing yang dianggap maskulin. Mereka tahu bahwa resiko itu akan terjadi pada mereka, tetapi tujuan untuk bisa bebas bereskpresi dan bersuara untuk kesetaraan manjadi satu hal yang menjadi bahan bakar mereka untuk tetap melakukan dan membicarakannya.

Dark play juga terkandung dari cara mereka ber-fashion di panggung. Ayu dan

pakaian yang tak sesuai dengan pakem-pakem fashion ekstrem metal. Sementara Hera dan Popo yang banyak menyesuaikan dengan pakem fashion ekstrem metal di panggung justru mengaku bahwa hal itu bukanlah sebuah masalah yang mereka pusingkan. Alasan nyaman dan menjadi diri sendiri muncul dari mereka. Selain itu, mereka juga mengutarakan bahwa dengan berpakaian seperti itu menunjukkan bahwa mereka bebas untuk berpakaian seperti yang mereka inginkan. Ini juga terjadi pada Ayu dan Lilin.

Dark play yang mereka lakukan dalam performance mereka menjadi sebuah

strategi untuk mempertanyakan, memkikirkan ulang, melawan, dan juga mendisrupsi hegemoni maskulinitas yang melekat erat pada skena ekstrem metal. Kebebasan sebagai seorang individu merdeka yang bebas berekspresi serta kesetaraan di dalam skena ekstrem metal menjadi hal yang mereka idamkan melalui dark play itu. Dapat dikatakan bahwa Ayu, Lilin, Hera, dan Popo bermain-main dalam wilayah berbahaya (hostile) yaitu skena ekstrem metal itu sendiri. Mereka bermain-main dengan aturan-aturan tak tertulis, mitos, dan juga wacana-wacana ekstrem metal yang androsentris dan maskulin. Permainan dark play mereka gunakan dalam rangka membentuk, mengekplorasi batas-batas kuasa hirarki dan resistensi terhadap dunia yang mendominasi mereka.