• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan dan Hegemoni Maskulinitas dalam Skena Ekstrem Metal

Pada bulan Oktober 2009 di Cologne, Jerman, diadakan sebuah konferensi internasional dengan tema Heavy Metal and Gender. Konferensi ini menjadi konferensi pertama yang secara khusus membahas keterlibatan perempuan dalam skena musik metal.

Salah satu sesi dalam konferensi itu turut menghadirkan empat vokalis metal perempuan. Mereka adalah Angela Gossow dari band death metal Arch Enemy, Doro Pesch dari band Doro, Britta Gortz dari band Cripper, dan Sabina Classen dari Holy Moses. Mereka berempat diundang dalam sesi diskusi panel yang bertajuk Frauen im Metal atau perempuan dalam dunia musik metal. Yang paling menarik dari momen itu adalah ketika Angela Gossow memberi tanggapan terkait persepsi umum yang beredar bahwa dia, sebagai vokalis band death metal, dianggap sebagai ‘perempuan yang bisa nge-growl layaknya laki-laki’. Ini adalah tanggapan Gossow:

“Fakta bahwa saya terdengar seperti seorang laki-laki tentu saja terkait dengan peran gender dalam masyarakat. Laki-laki memiliki suara yang berat, gelap dan terlihat sangat marah. Mereka bahkan dibilang kadang-kadang berteriak (sambal mempraktikkan growl). Betul. Tetapi, perempuan, mereka harus terlihat kecil dan pendiam. Mereka tidak boleh bersuara terlalu banyak. Itu, menurut saya, adalah pemikiran bias gender yang sudah using, yang kini akan segera hilang.”

Ada dua hal menarik dari anggapan dan juga respon Gossow tersebut. Pertama, hal itu menunjukkan posisi perempuan yang dimarjinalkan dalam skena musik metal. Hecker menyebut bahwa tanggapan Gossow secara tersirat memberi tahu mengenai relasi gender dalam skena metal. Laki-laki mendominasi di skena metal, sehingga menyebut perempuan yang bisa nge-growl layaknya laki-laki mengindikasikan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki posisi yang tidak setara. Perempuan dianggap kurang, kalau bukan tidak, memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki dalam konteks sebagai vokalis band ekstrem metal.88 Hal kedua adalah bahwa tanggapan Gossow itu sekaligus menunjukkan skena metal yang selama ini dibangun berdasarkan kultur patriarki dan

88 Pierre Hecker. Turkish Metal: Music, Meaning, and Morality in a Muslim Society. (Surrey: Ashgate Publishing Limited, 2012), hal. 155.

hegemoni maskulinitas sehingga baik secara jumlah, representasi, dan praktik di dalamnya, terjadi ketidaksetaraan terhadap perempuan.

Seperti yang sudah ditulis di bagian pendahuluan, perempuan yang terjun di skena ekstrem metal baik itu sebagai penggemar maupun musisi memiliki tantangan yang berat terutama karena skena ekstrem metal yang didominasi oleh laki-laki, bersifat maskulin, dan adanya praktik seksis di dalamnya. Secara kuantitaif, Berkers dan Schaap menemukan adanya ketidak setaraan dalam hal jumlah personel perempuan dalam band metal. Dalam peneltian mereka pada jumlah musisi metal perempuan yang dibagi dalam Sembilan regional meliputi Afrika, Eropa, Amerika, Asia, dan Oseania, jumlah musisi perempuan sangat jauh lebih sedikit. Persentase paling banyak hanya mencapai empat persen musisi metal perempuan di regional Asia dan Eropa Timur, sedangkan jumlah paling sedikit ada di regional Oseania yang hanya dua persen. Ini menunjukkan bahwa tidak ada negara di dunia di mana perempuan menjadi mayoritas dalam produksi musik metal dan di 10 negara, jumlah perempuan mencapai 10 persen saja dari total keseluruhan musisi metal.89 Secara numerik, skena ekstrem metal dapat dikatakan didominasi oleh laki-laki dan secara simbolik dianggap bersifat maskulin, serta dibentuk berdasarkan hegemoni maskulinitas dan wacana patriarki. (Weinstein, 1991; Walser, 1993; Grant, 1996; Klypchak, 2007, Hill, Lucas & Riches, 2015).

Ketidaksetaraan gender dalam skena ekstrem metal itu lantas memicu sebuah kondisi di mana keterlibatan perempuan sebagai musisi ektrem metal dalam skena dilihat hanya dari kemampuan mereka dalam mengikuti aturan-aturan atau kode-kode maskulin dalam rangka doing gender. Dengan kata lain, perempuan diterima dalam skena ekstrem metal ketika mereka dapat menampilkan diri mereka sesuai aturan-aturan laki-laki.

89 Pauwke Berkers & Julian Schaap. Gender Inequality in Metal Music Production. (Bingley: Emerald Publishing Limited, 2018), hal. 41-42.

Kondisi itu membatasi pertisipasi perempuan dalam skena metal menjadi dua yaitu sebagai den mothers yang mengadopsi gaya maskulin serta menjadi salah satu dari laki-laki dan band whores yang secara berlebihan menunjukkan seksualitas mereka sehingga sering dilihat sebagai objek seksual semata.90 Hal ini, juga menjadikan perempuan sangat sedikit sekali direpresentasikan di antara para musisi metal. Terlebih, perempuan dilihat sebagai sebuah token semata di mana mereka memiliki visibilitas yang tinggi karena jumlah mereka yang sedikit di skena ekstrem metal. Penilaian terhadap prempuan akhirnya seringkali dilakukan dengan bias gender/male gaze dan atau dinilai secara negatif ketika mereka melawan stereotipe gender di sken ekstrem metal, misalnya dihat dari cara mereka berpakaian. Alih-alih dilihat sebagai individu, mereka sering dinilai dengan romantic/erotic gaze ketika tampil sebagai seorang musisi metal. Dengan kata lain, mereka dilihat dari sisi feminin daripada kemampuan bermusik.91

Penilaian semacam itu kentara terlihat dari cara penggemar metal mengklasifikasikan band metal yang di dalamnya terdapat vokalis perempuan sebagai ‘female-fronted metal band’. Istilah ini, singkatnya, menrujuk pada sebuah band di mana vokalisnya adalah seorang perempuan. Istilah ini menyiratkan seolah band adalah lingkungan laki-laki dan latar belakangnya juga maskulin sehingga ketika ada perempuan yang menjadi vokalis lalu terjadi sebuah proses gendering dan klasifikasi sebagai sebuah

female-fronted band. Seolah ada sebuah kejutan ketika seorang perempuan mengambil

alih panggung sehingga dibutuhkan sebuah pengklasifikasian khusus.92 Pengklasifikasian

90 Susanna Nordstrom & Marcus Herz. 'It's a matter of eating or being eaten' Gender Positioning and Diffrence Making in The Heavy Metal Subculture. European Journal of Cultural Studies, 2013. hal. 453-467. Juga lihat dalam Chaterine Hoad (2017). Slashing through the Boundaries: Heavy Metal Ficition, Fandom, and Girl Culture. Metal Music Studies 3: 1, 2017, hal. 5-21.

91 Berkers & Schaap, 2018, Op. Cit, hal. 18.

92 Sam Lambert, S. (2018, January 10). Why We Need to Stop Using 'Female-Fronted' As a Genre. Diakses dari from louderthanwar.com: https://louderthanwar.com/stop-female-fronted-as-a-genre.

ini dianggap sebagai sebuah tindakan seksis terhadap perempuan yang menjadi vokalis dalam sebuah band terutama dalam band ekstrem metal. Hal ini kerap terjaid dalam perbincangan dalam skena maupun juga dalam berbagai media antara lain dalam artikel media maupun dalam Youtube. Beberapa vokalis band ekstrem metal perempuan yang terkenal pun melontarkan ketidaksetujuan mereka dengan istilah ini. Allisa White-Gluz, vokalis band death metal Arch Enemy, adalah salah satunya. Menurutnya, istilah tersebut tidak merujuk pada satu genre musik, tetapi hanya membuat rujukan pada satu gender dari seorang anggota band saja.93 Istilah itu pada akhirnya menjadi kontroversial dalam skena ekstrem metal dan menunjukkan adanya tindakan diskriminasi terhadap vokalis perempuan dalam sebuah band ekstrem metal.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, ekstrem metal yang merupakan turunan atas genre heavy metal dianggap sebagai sebuah kultur yang dikonstruksi sesuai dengan sistem patriarki. Walser menyebut bahwa ini terlihat pada praktik-praktik di dalam heavy metal yang melingkupi teks, suara, dan gambar yang banyak memperlihatkan tindakan misoginis dan seksis.94 Hal ini diamini oleh Harris yang memfokuskan penelitiannya pada skena ekstrem metal. Contohnya adalah praktik penulisan lirik dan artwork dari band death metal Cannibal Corpse. Salah satu lirik lagu Cannibal Corpse yang berjudul “Fuck

with a Knife” beserta cover album yang memperlihatkan ilustrasi perempuan telanjang

dan dimutilasi menjadi contoh nyata adanya hal ini. Hoad bahkan menyebut istilah “perempuan” menjadi penanda peliyanan yang terjadi dalam kultur ekstrem metal.95

93 REVOLVER. (18 Maret 2018). Arch Enemy's Alissa White-Gluz on Challenges Facing Women in Metal. Diakses dari Youtube.com: https://www.youtube.com/watch?v=HVjNCPXDomM

94 Walser, 1993, Op. Cit, hal 109.

Baginya, hal-hal seperti itu menjadi afirmasi adanya hegemoni maskulinitas yang dibentuk dan ada dalam skena ekstrem metal.

Lalu, bagaimana dengan vokalis ekstrem metal perempuan di Indonesia? Apakah representasi yang sama juga terjadi pada mereka? Wallach mencatat dalam skena underground Indonesia, terutama dalam skena ekstrem metal, keterlibatan perempuan terbilang sedikit. Perempuan yang menjadi personel band (performer) juga jarang dan umumnya peran mereka cenderung dimarjinalisasi sebagai peran pendukung saja.96

Kartika Jahja, seorang aktivis sekaligus vokalis band Tika and The Dissidents, melihat fenomena perempuan sebagai performer dalam band metal dalam kacamata yang sama. Menurutnya, perempuan yang ada di scene metal mengalami perilaku dan kata-kata seksis.

“Kalau di skena metal, aku ngelihatnya perempuan-perempuan di-sexualized atau kalau enggak, dia diidolakan karena perempuan semata, atau kayak gini ‘boleh nih ada yang metal, tapi bening’.”97

Tika melanjutkan bahwa bagi orang-orang kemampuan bermain musik menjadi nomer dua. Ia melihat fenomena itu dari seorang Prisa Rianzi. Prisa adalah seorang gitaris perempuan yang pernah bermain dalam band death metal Deadsquad.98 Selain itu, Prisa juga pernah berkolaborasi dengan band rock J-Rocks dan Namanya menjadi populer saat itu. Bagi Tika, Prisa adalah sosok yang sangat jago bermain gitar, tetapi kemampuan dia justru jadi nomer dua buat orang-orang.99 Seksisme menjadi salah satu isu yang sangat kontroversial di skena underground di Indonesia. Anida Bajumi, pemain bas dari grup

96 Wallach, 2008. Op. Cit., hal. 226.

97 Wawancara dengan Kartika Jahja di Tanamera Coffee, Jakarta pada 23 Maret 2018.

98 Wawancara dengan Kartika Jahja di Tanamera Coffee, Jakarta pada 23 Maret 2018.

band beraliran hardcore punk, Dental Surf Combat, menuliskan kegelisahannya terhadap isu seksisme, yang tak hanya datang dari anggota skena, tetapi juga dari media.

“Pernah melihat judul artikel semacam “10 Musisi Indie Perempuan Yang Wajib Kalian Ketahui!”? Saya sempat beberapa kali masuk ke artikel macam begitu dan tidak merasa bangga. Tidak ada satupun artikel seperti itu yang membahas bagaimana perempuan bermain dengan instrumen secara teknis. Sebagian besar hanya menggembar-gemborkan perempuan yang bermain musik sebagai hal yang begitu luar biasa. Apa yang salah sih dengan perempuan yang bermain musik?”100

Demikian ia mempertanyakan media massa baik online maupun cetak yang menggunakan judul bombastis. Bagi Anida, hal seperti itu sering ia temui dengan berbagai komentar seksis yang mengikutinya. Ia melihat bahwa hal itu seperti menjadi stigma bagi perempuan yang menjadi musisi di skena yang didominasi oleh laki-laki. Perempuan di skena sering dianggap sebagai gimmick, objek, atau hanya pemanis dalam band.101

Fakta yang dikemukakan Anida ini juga sejalan dengan yang dikatakan oleh Kartika Jahja, Yacko, dan Hera Mary dalam acara Archipelago Fest 2017. Dalam acara ini, diadakan sebuah bincang-bincang tentang beragam topik yang erat hubungannya dengan skena musik di Indonesia, terutama skena musik independen. Tika dan Hera menjadi pembicara pada salah satu panel yang bertajuk “Women: Gender Equality within Local Scene”. Tika mengungkapkan soal kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dalam skena. Senada dengan Tika, Hera juga menyoroti hal yang sama dengan menambahkan adanya perundungan pada musisi perempuan. Sebagai dua orang yang aktif baik sebagai musisi maupun aktivis di skena underground, Tika dan Hera menunjukkan adanya ketimpangan sekaligus diskriminasi bagi para perempuan yang aktif sebagai musisi di skena underground. Yacko juga menggarisbawahi bahwa

100 Anida Bajumi. (2019) Menggugat Seksisme Skena Musik Kita. Diakses dari https://jurnalruang.com/read/1552558467-menggugat-seksisme-skena-musik-kita.

diskriminasi itu datang dari semua lini, baik itu dari produser, sesama musisi, hingga ke penonton. Dengan latar belakang dan konteks yang demikian, mengapa musisi perempuan di skena underground, dalam hal ini skena ekstrem metal, tetap berjuang dan teguh berkarya? Apakah skena yang demikian sudah ramah bagi vokalis ekstrem metal, dalam penelitian ini, antara lain Fransisca Ayu, Lilin Purnamasari, Popo Puji, dan Hera Mary? Lantas, mengenai cara mereka bernegosiasi dengan skena ekstrem metal yang maskulin dan bermain-main dengan kemampuan mereka di dalam skena akan diuraikan dalam bagian selanjutnya.