Transgresi ketiga adalah transgresi kebertubuhan (bodily transgression). Dalam skena ekstrem metal, transgresi ini terjadi pada dua hal, pertama adalah fashion di panggung dan yang kedua adalah moshing. Berbicara mengenai fashion, dalam skena
131 Wawancara dengan Hera Mary via Whatsapp video call pada 23 April 2020.
ekstrem metal ada juga semacam unwritten rules. Aturan semacam ini terlihat dari cara berpakaian para anggota skena yang lekat dengan kaos band berwarna hitam celana jeans/kargo, jaket kulit hitam, hingga vest yang dihiasi emblem-emblem logo band. Gaya
fashion seperti ini merupakan transgresi dari cara berpakaian orang di luar skena. Selain
itu, label maskulin dan androsentris juga melekat pada gaya fashion ini.133
Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan narasumber yaitu Ayu, Lilin, Hera, dan Popo, terlihat berbagai cara mereka dalam menampilkan fashion di panggung. Popo dalam acara Terror Attack di Sandi’s Café pada 2015134 lalu terlihat sangat nyaman dengan fashion khas death metal: celana kargo panjang dan t-shirt band berwarna hitam. Gaya fashion ini, menurut Popo, juga ia lakukan di setiap panggung yang ia sambangi. Ia beralasan bahwa gaya fashion itu memang nyaman buat dia ketika manggung. Selain itu, ia juga ingin terlihat sebagi sosok vokalis death metal dengan menyesuaikan gaya
fashionnya sehingga senada dengan ciri khas fashion death metal135. Alasan untuk memakai pakaian yang dirasa nyaman juga muncul dari Hera. Ia mengaku tak terlalu memusingkan tentang fashion di panggung meski ia memang merasa cocok dengan gaya berpakaian t-shirt yang dipadu dengan celana jeans. Dalam beberapa penampilannya, ia terlihat mengenakan pakaian itu. Ia tak mau terjebak dalam pandangan bahwa gaya berpakaian seperti itu identik dengan laki-laki. Baginya, setiap orang di skena berhak memakai apapun yang membuat mereka nyaman dan menjadi dirinya sendiri.136
Hal cukup berbeda dikemukakan oleh Ayu dan Lilin. Ayu, misalnya, dalam penampilannya bersama Leftyfish, ia mengenakan rok panjang yang dapat dikatakan
133 Lihat dalam Harris, Op. Cit., 2007, hal. 55; Purcell, Op. Cit., hal 21; dan Overell, Op. Cit., hal. 93.
134 Lihat dalam https://www.youtube.com/watch?v=5ScH8jHogn8, diunggah oleh akun whyouseeiswhyouhear pada 5 Januari 2016.
135 Wawancara dengan Popo Puji via Whatsapp video call pada 21 April 2020.
sebagai sesuatu yang “tidak metal” atau ketika ia tampil bersama KoJ, ia justru mengenakan kaos pink yang dalam tatanan masyarkat dikonstruk sebagai sesuatu yang bersifat feminin.
“Kalau di Leftyfish memang sengaja gitu, kan emang mau mencari image yang cewek banget dan agak centil. DI KoJ juga pernah kok pakai rok dan waktu itu dikatain sama personel lain kalau dandanan ku ga metal banget”137
Meski mengaku begitu, ia justru acuh pada omongan orang lain. Ia mengaku bahwa ia tak mau membuat image kalau dia adalah anak metal atau punk. Justru dengan berpakaian seperti itu, orang tak ada yang menduga. Ia sengaja berpakaian seperti itu agar orang lain ketika melihatnya justru malah meremehkan dia terlebih dahulu sehingga nantinya ia bisa membuat mereka kaget dengan kualitas penampilannya di panggung. Ayu lebih memilih cuek dengan tujuan ia ingin mencari identitasnya sendiri dalam skena. Ia berkata bahwa ia tak harus jadi metal banget dan mencoba untuk tampil beda dengan gaya berpakaian ala skena ekstrem metal.138
Hal senada juga diungkapkan oleh Lilin. Ia justru sangat ingin keluar dari aturan-aturan tak tertulis di skena ekstrem metal yang terkait soal fashion. Meski dalam pengamatan saya, ia kerap memakai pakaian yang identic dengan ekstrem metal, ia mengaku bahwa ia ingin membangun konsep dan menunjukkan dirinya sebagai seorang perempuan. Hal itu dimulainya degan menggunakan kaos polos yang tidak ada tulisan band-nya. Selain itu, ia berkata begini:
“Gue nyiapain kaos misalnya tulisannya “I’m a woman” dipakai kalau lagi manggung. Gue pengin ggasih tau kalau perempuan di scene ini juga eksis, bukan karena dominasi laki-laki trus perempuan ga ada. Bukan karena musik keras, trus perempuan ga bisa. Selama ini kan musik keras identiknya dengan laki-laki. Jadi, perlawananku ya di situ”139
137 Wawancara dengan Ayu di rumahnya di Yogyakarta pada 6 Juni 2018.
138 Wawancara dengan Ayu di rumahnya di Yogyakarta pada 6 Juni 2018.
Transgresi kebertubuhan kedua setalah fashion adalah praktik moshing. Praktik ini merupakan praktik yang lazim terjadi dalam konser-konser musik ekstrem metal.
Moshing diadopsi dari skena punk oleh skena thrash dan crossover metal. Praktik ini
melibatkan para penonton di area yang disebut pit atau area di depan panggung. Layaknya sebuah ritual, para penonton ini menabrakkan tubuh meraka satu sama lain. Tentu saja praktik ini berbahaya dan berseiko tinggi. Agresivitas tinggi dalam moshing dapat menyebabkan cedera fisik. Praktik ini juga dianggap bersifat sangat maskulin karena agresivitas yang terjadi antar mosher. Bagi fans, praktik ini juga menjadi ajang katarsis, sebagai jalan untuk meluapkan emosi dan agresi. 140Meski begitu, praktik moshing ini juga menunjukkan adanya solidaritas antar fans di mana setiap kali ada yang jatuh ketika ber-moshing ria, peserta moshing harus membantunya untuk berdiri lagi. Meski terlihat seperti ajang perkelahian, tetapi di dalam moshing justru tidak terjadi perkelahian yang serius. Sekali lagi, ini merupakan ajang katarsis untuk melepaskan emosi dalam bentuk agresi.
Philip dan Cogan juga menyebut aktivitas ini tak ramah bagi perempuan karena seringkali para perempuan yang terlibat dalam moshpit mengalami pelecehan seksual. 141
Meski begitu, Ayu sebagai vokalis perempuan KoJ tetap melakukan moshing. Dalam hal ini, ia mengaku kerap moshing dan stage-diving ketika tampil bersama KoJ. Namun, dalam praktiknya ada kehati-hatian dalam diri Ayu ketika ingin terlibat moshing atau stage-diving. Rasa hati-hati ini disebabkan oleh skena yang masih tak ramah bagi perempuan.
140 William Phillips & Brian Cogan. Ensyclopedia of Heavy Metal Music. (Wesport: Greenwood Press, 2009), hal 167.
“Pernah sih (ikut moshing dan stage diving), cuma ngelihat dulu sih siapa penontonnya, biasanya kalau teman-teman sendiri ya hajar aja, tapi kalau ngelihat kok banyak yang enggak familiar biasanya mikir lagi. Karena kalau orang lain kan nyatanya banyak yg pelecehan seksusal jadinya, kan banyak terjadi tuh di scene kita. Image di laki-laki masih gitu. Laki-laki di scene kita itu masih melihat perempuan main band tuh masih sebelah mata sebetulnya.”142
Ia merasa bahwa arena moshing (moshpit) merupakan arena yang berbahaya bagi perempuan, tetapi sebagai seorang vokalis ia merasa bahwa moshing, stage dive, dan juga headbanging menjadi caranya untuk membangun semangat para penonton. Sebab, musik KoJ yang intens memang cocok untuk moshing, stage-diving, maupun headbang. Ayu menuturkan bahwa hal itu menjadi jembatannya untuk menyalurkan aura dan semangatnya kepada penonton ketika ia tampil di panggung sehingga interaksi antara dirinya, band-nya, dan juga para penonton menjadi sesuatu yang menyenangkan. Di samping itu, bagi Ayu, moshing adalah sarana baginya untuk bisa bebas berekspresi selain tenttunya dalam hal penggunaan gaya vokal scream/growl dan juga dalam penulisan lirik.
142 Wawancara dengan Ayu di rumahnya di Yogyakarta pada 6 Juni 2018.
Gambar 3. 5 Fransisca Ayu melakukan stage diving. Foto oleh: Are You Ready Kids.
Ketiga hal ini menjadi kesempatannya untuk menjadi bebas dan merdeka melakukan hal yang dicintainya.143
Sementara itu, sebagai seorang vokalis, Lilin menggunakan arena moshing sebagai ajang untuk mengajak perempuan agar berani jika ingin ikut moshing. Ia menuturkan jika sedang tampil, ketika jeda antar lagu, ia sring menyisipkan ajakan untuk ber-moshing dengan aman. Ia memberi pengertian agar tetap saling menjaga dan menghormati orang lain ketika moshing. Selain itu, Lilin juga mengajak perempuan yang hadir untuk ikut moshing jika mereka memang ingin ikut.
“Yang gue sayangkan adalah ketika moshing kenapa ada yang memanfaatkan buat melakukan pelecehan seksual gitu. Ada yang beranggapan bahwa ya kalau lo ikut moshing ya lo harus siap digituin (digrepe), nah itu buat geu cuma pembenaran aja. Itu yang gue sayangkan. Ini kan musiknya enak-enak, kok ceweknya sedikit? Jadi, pas manggung gue sering encourage mereka buat ikut moshing kalau emang pengin ikut dan gue juga kasih pengertian di panggung kalau harus saling menghargai ketika moshing, jangan ada yang memanfaatkan. Kan di acara ini kita tujuannya bersenang-senang dalam musik bareng-bareng”.144
Sebagai vokalis, Lilin merasa perlu untuk memberi semacam edukasi ketika ia tampil di panggung. Ini, menurutnya, demi ekosistem skena agar lebih setara dan ramah bagi siapapun yang ingin terlibat. Tindakan yang dilakukan Lilin ini, kata dia, berakar dari pengalamannya sendiri yang pernah dilecehkan ketika ia ikut ber-moshing ria. Ia mengisahkan bahwa kejadian itu berlangsung ketika ia menonton konser band hardcore BANE. Karena ia mengidolakan band tersebut, ia lantas ikut moshing. Tak sampai lima menit, ia mengaku bahwa dia digrepe. Kejadian itu membuatnya kaget dan lantas mundur dari moshpit. Oleh karena itu, Lilin yang kini berada di posisi sebagai vokalis selalu memberi pengertian ketika ia sedang manggung. Ia paham betul bahwa kejadian yang dialaminya adalah kejadian yang sangat tak nyaman. Semua itu, kata dia, ia lakukan demi
143 Wawancara dengan Ayu di rumahnya di Yogyakarta pada 6 Juni 2018.
menciptakan skena yang ramah dan orang yang terlibat bisa bebas berekspresi tanpa adanya ketakutan-ketakutan akan pelecehan.145
Pengalaman berbeda disampaikan Hera berkait dengan praktik moshing ini. Ia tak mengalami pelecehan seperti yang terjadi pada Lilin, tetapi ia kerap kali mendengar baik dari penyintas maupun dari orang lain tentang adanya pelecehan baik secara verbal maupun fisik kepada sesama perempuan di moshpit. Salah satu yang diceritakannya adalah kasus di mana vokalis band SLOST, Janet, dilecehkan secara seksual ketika manggung dalam sebuah acara gigs kecil di Semarang pada November 2016 lalu146. Kejadian itu terekam dalam sebuah video berdurasi kira-kira satu menit. Mendengar cerita tersebut, ia mengaku merasa sangat sedih dan marah. Lantas, ia mengungunggah video itu dalam akun Facebook Ini Scene Kami Juga yang dikelola oleh Hera. Sebagai informasi, Ini Scene Kami Juga merupakan film documenter yang disutradarai oleh Hera. Film ini mendokumentasikan sepak terjang perempuan dalam skena hardcore punk di Indonesia. Unggahan di akun itu lalu menuai banyak komentar dan kebanyakan berbau seksis. Bagi Hera, ini merupakan sebuah hal yang harus terus dilawan sebab moshpit seharusnya menjadi tempat yang ramah dan menyenangkan bagi siapapun yang ingin terlibat tanpa memedulikan gender, ras, maupun agama.147
145 Wawancara dengan Lilin Purnamasari di Tanamera Coffee, Jakarta Selatan, 28 September 2018.
146 Lihat dalam Yudistira Agato. Pelecehan Seksual Jadi Bara dalam Sekam Kancah Musik Independen Indonesia. https://www.vice.com/id/article/gvqmg3/pelecehan-seksual-bara-dalam-sekam-kancah-musik-independen-indonesia diakses pada 21 September 2020.