• Tidak ada hasil yang ditemukan

Solidaritas dalam Kitab Suci Perjanjian Lama

BAB II SOLIDARITAS GEREJA DENGAN KAUM MISKIN

2.1 Solidaritas

2.1.2 Solidaritas dalam Kitab Suci

2.1.2.1 Solidaritas dalam Kitab Suci Perjanjian Lama

Menurut G.W Grogon, konsep solidaritas dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, tampak pada fenomena sosial dan religius. Fenomena sosial itu antara lain hubungan keluarga/kekerabatan, perkawinan, kesamaan tempat tinggal, kesamaan pekerjaan/

jabatan, ikatan perjanjian dan hal-hal yang bersifat subjektif yakni afeksi. Secara religius, solidaritas tampak dalam relasi Yahwe dengan Israel6.

Solidaritas yang muncul dari ikatan perkawinan tampak jelas misalnya dalam perkawinan Lewirat7. Ikatan perkawinan ini membawa serta konsekuensi dalam bentuk solidaritas saudara laki-laki sang suami untuk melanjutkan keturunannya dengan cara menikahi si istri bila sang suami meninggal dunia tanpa mempunyai

6 G. W. Grogon, “The Old Testament Concept of Solidarity”, dalam Tyndale Bulletin 49 (1998) 159-173.

7 Lewirat dari kata bahasa latin levir = ipar laki-laki. Peraturan yang bertujuan mengabadikan nama dan menjamin tertahannya harta dalam keluarga; saudara tua dari orang yang meninggal tanpa adanya keturunan, wajib menikah dengan istri almarhum itu yakni dengan jandanya. Bila antara kedua belah pihak terdapat hubungan darah yang dilarang untuk menikah, maka peraturan ini dapat tidak berlaku.

Kebiasaan peraturan ini tergambar dalam kisah Tamar, Rut dan dalam pertanyaan yang diajukan kaum Saduki untuk menertawakan Yesus. (Xavier Leon-Dufour, ”Lewirat”, dalam Ensiklopedi Perjanjian Baru, Kanisius, 1990, 370).

19

keturunan. Di sini ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita memunculkan konsekuensi yuridis bagi saudara si suami. Konsekuensi ini dapat dilihat sebagai sebuah solidaritas demi kelangsungan keturunan dan alasan sosial lainnya seperti menghindarkan berpindahnya kekayaan keluarga tersebut ke keluarga lain karena menikahnya si istri (janda) setelah suaminya meninggal.

Pada pihak lain, walaupun seseorang bukan warga Yahudi dan tidak mempunyai ikatan perkawinan (keluarga/kekerabatan) dengan sebuah keluarga Yahudi tetapi karena disunat maka ia dapat ikut bersantap dalam Paskah Yahudi (Kel 12:43-49; Ul 10:18-19). Pengambilan bagian dalam perjamuan ini dilihat sebagai suatu bentuk solidaritas yang muncul karena adanya persamaan dalam hal sunat.

Hal lain yang menunjukkan solidaritas dalam Perjanjian Lama yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan adalah penggunaan term ‘ayah’ dan ‘anak’. Kosa kata ini tidak terbatas pada hubungan garis lurus ayah dan anak tetapi lebih luas maknanya yakni keturunan atau suku (Bil 11-10; Yos 21:4,5,10). Penggunaan istilah ini memunculkan ikatan solidaritas antar mereka yang berada dalam kelompok tersebut;

mereka ditempatkan sebagai satu keluarga besar. Demikian halnya dengan term

‘keturunan’. Term ini tidak hanya mengacu pada mereka yang lahir dari orang tua yang sama (rahim yang sama) tetapi juga mereka yang ada dalam ikatan kekerabatan secara lebih luas (Est 10:3). Penggunaan term ‘saudara’ pun mengacu pada hal yang sama. Term ini mengacu pada anggota kerabat laki-laki (Kej 16:12; Bil 25:6),

20

anggota suku yang sama (Bil 8:23-26; Hak 18:2,8), atau sebangsa (2Sam 2:27; Yer 34:9 dst).

Keterkaitan satu sama lain juga ditonjolkan dalam solidaritas karena kesamaan tempat. Dalam Ul 23:7 kita mendengar: “Janganlah engkau menganggap keji orang Edom, sebab dia saudaramu. Janganlah engkau menganggap keji orang Mesir, sebab engkau pun dahulu adalah orang asing di negerinya”. Dari kutipan ini nampak bahwa bangsa Israel bersolider dengan orang Edom dan bahkan orang Mesir karena mereka tinggal pada daerah/tanah yang sama (bdk Hak 5: 13-18, 23; 1Raj 12;

2Taw 35:18).

Hal lain yang menjadi pengikat solidaritas antarumat Israel adalah kesamaan panggilan dan suku. Kaum Levi, misalnya, memiliki ikatan solidaritas sekaligus dalam hal panggilan maupun dalam hal suku. Demikian juga dengan persatuan para nabi seperti yang dikisahkan dalam 1Sam 19:20 dan 2Raj 6:1. Kesamaan tersebut menjadi pengikat solidaritas antara mereka. Para nabi, seperti yang dikisahkan dalam 1Sam 19:20, bersolider untuk membangun tempat tinggal mereka sebagai satu kelompok yang sama.

Kadangkala solidaritas lebih bersifat subjektif dengan afeksi yang sangat mendalam. Solidaritas seperti ini ditunjukkan Daud atas meninggalnya Saul dan Yonatan (2Sam 1:26; Mz 55:12 dst) serta juga ditunjukkan Rut pada Naomi. Karena cintanya pada Yonatan dan Saul, Daud berkabung saat Saul dan Yonatan gugur di medan perang (1Sam 20:30-34; 2Sam 1:26) walaupun dalam pertempuran itu Saul

21

berkeinginan untuk membunuh Daud. Keprihatinan yang sama tampak juga pada kesetiaan Rut kepada Naomi. Demi kasih dan kesetiaannya pada Naomi, mertuanya, Rut tidak mau meninggalkan Naomi pergi sendirian kembali kepada bangsanya di Betlehem, walaupun Rut sendiri adalah orang asing, perempuan Moab. Rut berkata kepada Naomi, “Ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (Rut 1:16).

Solidaritas dalam Perjanjian Lama dapat juga dilihat dalam kerangka perjanjian antara Yahweh dan Israel. Pada dasarnya Allah membuat perjanjian dengan semua umat manusia (Kej 9:8-17) tetapi Perjanjian Lama lebih menekankannya pada relasi antara Allah dan Israel. Gelar-gelar Ilahi yang muncul dari relasi ini sering melukiskan aspek solidaritas itu. Misalnya: “Tuhan Allah orang Ibrani (Kel 7:16; 13:3), “Yang Mahakuat pelindung Israel” (Yes 1:24), “Allah Israel”

(Yes 21:10), dan “Gunung Batu Israel” (Yes 30:9). Gelar-gelar Yahweh tersebut menunjukkan sedemikian dalamnya relasi Yahweh dan Israel.

Relasi Israel dengan Yahweh tidak berdasar pada hubungan alamiah seperti yang ada pada mitologi bangsa-bangsa kuno8 tetapi berdasar pada perjanjian.

Perjanjian ini mengikat kedua belah pihak sehingga Israel menjadi umat milik Yahweh dan Yehweh menjadi Allah Israel. Relasi ini digambarkan secara analogis

8 Pada mitologi bangsa-bangsa kuno, Yang Ilahi digambarkan mempunyai hubungan khusus dengan manusia. Hubungan ini muncul dari relasi lahir-melahirkan. Yang Ilahi melahirkan makhluk-makhluk yang ada termasuk manusia (G. W. Grogon, “The Old Testament Concept of Solidarity”, dalam Tyndale Bulletin 49 (1988) 159-173).

22

dengan relasi suami-istri (Yes 50:1 dst; Yer 2:2; Yeh 16:8 dst; Hos). Salah satu contoh penggambaran kedalaman relasi tersebut adalah Kitab Nabi Hosea. Di sana relasi Hosea dengan istrinya, Gomer, menggambarkan relasi Yahweh dengan Israel.

Relasi Yahweh dengan Israel tidak hanya digambarkan dengan relasi suami-istri tetapi juga sebagai anak dengan Bapa. Israel secara kolektif diposisikan sebagai anak Allah (Yes 61:7; Hos 11:1-2; Mal 1:8).

Relasi yang muncul dari perjanjian ini mengikat Yahweh dan Israel. Yahweh tidak pernah meninggalkan Israel walaupun Israel sering tidak setia pada perjanjian itu. Ia peduli pada situasi Israel. Relasi ini melahirkan hak penebusan bagi Israel (Kel 6:1-8, Mz 78:35). Dari relasi semacam inilah lahir solidaritas Yahweh dengan Israel.

Secara sosio-religius, solidaritas dikaitkan juga dengan perhatian pada kaum miskin. Para nabi bersolider dengan kaum miskin lewat pembelaannya bagi mereka.

Para nabi tampil sebagai orang yang berpihak pada kaum miskin. Hal ini tampak pada seruan profetisnya membela kaum miskin dan tertindas. Di balik itu tampak pula solidaritas Yahweh, yang diwakili oleh para nabi, dengan kaum miskin. Salah satu contohnya adalah seruan nabi Amos. Ia dengan berani menentang ketidakadilan yang menindas kaum miskin dengan berkata:

1 "Dengarlah firman ini, hai lembu-lembu Basan, yang ada di gunung Samaria, yang memeras orang lemah, yang menginjak orang miskin, yang mengatakan kepada tuan-tuanmu: bawalah ke mari, supaya kita minum-minum!

2 Tuhan ALLAH telah bersumpah demi kekudusan-Nya: sesungguhnya, akan datang masanya bagimu, bahwa kamu diangkat dengan kait dan yang tertinggal di antara kamu dengan kail ikan.

3 Kamu akan keluar melalui belahan tembok, masing-masing lurus ke depan, dan kamu akan diseret ke arah Hermon," demikianlah firman TUHAN. (Am 4:1-3).

23

Kehidupan di kota-kota Israel pada zaman itu sungguh berlawanan dengan nilai-nilai solidaritas karena kehidupan yang mewah dari segelintir orang itu dibangun di atas penderitaan orang yang melarat. Inilah yang mau dibongkar oleh sang nabi. Nabi membongkar kedok peranan wanita Samaria yang kaya, yang disebutnya sebagai ”lembu-lembu Basan”, suatu gelar yang kedengarannya menyakitkan. Mereka menjadikan suami mereka alat pemuas keinginan mereka sendiri, sambil memerintah masyarakat dari belakang layar. Mereka mempunyai kekuasaan di balik pengadilan yang korup (bdk Am 5:10-11) dan melalui praktek-praktek bisnis yang tercela (bdk Am 8:4-7) 9.

Demikian pula dengan nabi Yesaya. Ia mengkritik praktek-praktek pemerintahan yang tidak adil, yang memihak pada para penguasa dan orang-orang kaya tetapi menindas kaum lemah. Hal itu tampak dalam Yes 1:23-3:12, 14b-15;

3:16-18,24; 5:8; 10:1-3. Salah satu kritikan itu adalah yang ditujukan kepada para hakim. Mereka disebutnya pangeran-pangeran yang hanya sibuk dengan mencari keuntungan-keuntungan mereka sendiri, ”Para pemimpinmu adalah pemberontak dan bersekongkol dengan pencuri. Semuanya suka menerima suap dan mengejar sogok.

Mereka tidak membela hak anak-anak yatim, dan perkara janda-janda tidak sampai kepada mereka” (Yes 1:23)

9 Herman Hendriks, Keadilan Sosial dalam Kitab Suci, Kanisius, Yogyakarta, 1990, 47.

24

Para janda dan yatim piatu tak dapat menemukan pembela yang bisa diandalkan. Ungkapan ”anak-anak yatim dan janda-janda” berarti orang-orang yang tidak berdaya10. Mereka inilah yang dibela oleh sang nabi.

Suara kenabian yang menunjukkaan keberpihakan pada kaum miskin tampak juga pada nabi Mikha. Mikha tanpa gentar memperjuangkan perkara orang-orang miskin dan orang-orang yang dirampas haknya. Ia mengikuti tradisi nabi Amos dalam melancarkan tuduhannya terutama terhadap orang kaya. Penduduk kotalah yang biasanya menjadi sasaran kemarahan Mikha. Ia berseru melawan mereka yang terjaga di waktu malam untuk merancang rencana-rencana baru untuk untuk merebut sisa milik orang miskin (Mi 2:1-3). Pengadilan-pengadilan penuh dengan penyuapan dan korupsi, sementara para imam maupun nabi berupaya untuk meraih segala yang dapat mereka peroleh, mereka tak memikirkan apa-apa lagi kecuali memperoleh uang (Mi 3:11)11.

Selain para nabi di atas, Hosea (Hos 12:8), Zefanya (Zef 1:7-9; 3:1-5; 3:11-13), Habakuk (Hab 1:1-4; 2:12), Yeremia dan Yehezkiel juga menekankan hal yang sama.

Berdasarkan uraian di atas, unsur-unsur solidaritas dalam Kitab Suci Perjanjian Lama tampak dalam beberapa hal seperti: kesediaan untuk mengambil alih tugas dan peran orang lain demi kelangsungan hidup dan keturunan (misalnya dalam perkawinan Lewirat); perasaan sebagai satu keluarga; kesamaan profesi yang

10 Herman Hendriks, Keadilan Sosial dalam Kitab Suci, 47.

11 Herman Hendriks, Keadilan Sosial dalam Kitab Suci, 47.

25

mengantar pada kerjasama untuk kesejahteraan bersama (misalnya solidaritas kaum Lewi dan solidaritas para nabi); ikut merasakan kesusahan orang yang dicintai (tampak dalam perkabungan Daud atas meninggalnya Yonatan dan Raja Saul);

perjanjian yang memunculkan ikatan di antara pihak-pihak yang berjanji untuk taat dan setia pada perjanjian (tampak pada perjanjianYahweh dengan Israel); dan keberpihakan pada kaum tertindas seperti yang disuarakan oleh para nabi.

Dokumen terkait