• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

4.1 Sejarah Singkat, Luas, dan Letak

Kayan Mentarang awalnya ditunjuk sebagai cagar alam seluas 1,6 juta hektar berdasarkan SK No. 84 Kpts/Um/II/25 November 1980, mengingat tingginya keanekaragaman hayati di lokasi tersebut. Pada tahun 1989, PHPA, LIPI serta WWF Indonesia Programme menandatangani MoU untuk memulai proyek kerjasama penelitian dan pengembangan untuk Kayan Mentarang yang bertujuan untuk mengembangkan sistem pengelolaan yang mengintegrasikan konservasi dengan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar cagar alam. Dengan statusnya sebagai cagar alam maka terdapat hambatan secara hukum bagi mayarakat adat untuk melanjutkan cara hidup tradisional mereka yang telah berlangsung selama berabad-abad (Dephut 2002a).

Pada tahun 1992, WWF mengusulkan perubahan status Kayan Mentarang menjadi taman nasional mengingat status taman nasional memungkinkan pemanfaatan sumberdaya alam secara tradisional di zona yang telah ditentukan. Departemen Kehutanan membentuk tim untuk mengevaluasi rekomendasi WWF tersebut. Pada tanggal 7 Oktober 1996, Menteri Kehutanan menyetujui dan menunjuk Kayan Mentarang sebagai taman nasional melalui SK Menteri Kehutanan No. 631/Kpts-II/1996. Surat keputusan tersebut merupakan SK pertama di Indonesia yang menyatakan bahwa masyarakat asli diperbolehkan mencari nafkah secara tradisional di dalam areal tertentu dari taman nasional (Dephut 2002a).

Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) memiliki luas wilayah sekitar 1,35 juta hektar dan terletak di wilayah Kecamatan Kayan Hilir, Pujungan, Kayan, Mentarang dan Lumbis di Kabupaten Malinau. Taman nasional ini berbentuk panjang dan menyempit, dan mengikuti batas internasional dengan negara bagian Sabah dan Serawak, Malaysia. Posisinya terletak diantara 2O LU dan 4O LU dari khatulistiwa (Dephut 2002a, 2002b).

4.2Aksesibilitas

Taman Nasional Kayan Mentarang terletak jauh dari pusat-pusat pemukiman penduduk dan jalan. Saat ini akses yang ada hanya terbatas melalui perjalanan sungai dengan perahu tempel dan perjalanan udara dengan pesawat kecil atau helikopter. Beberapa desa yang terdapat di dalam wilayah taman nasional dilayani dengan penerbangan reguler dari Dirgantara Air Service (DAS) dan Mission Aviation Fellowship (MAF). Rute utama jalur sungai menuju taman nasional dan daerah-daerah sekitarnya adalah (Dephut 2002b) :

a. Dari Tanjung Selor dan Long Bia melalui Sungai Kayan dan Sungai Bahau ke Long Pujungan dan desa-desa bagian hulu (perjalanan selama 1,5 jam). Untuk desa-desa yang letaknya lebih jauh di bagian hulu dapat dicapai dengan cara menyewa perahu-perahu yang lebih kecil selama 1 hari.

b. Dari Malinau di bagian hulu Sungai Tubu menuju ke daerah perbatasan dekat dengan Rian Tubu dapat ditempuh dalam waktu 1 hari perjalanan menyewa perahu tempel.

c. Dari Long Ampung dan Long Nawang menuju ke Data Dian dicapai melalui Sungai Kayan. Pada jalur ini terdapat Jeram Ambun dan jeram-jeram lain di Sungi Kayan yang dapat menghambat perjalanan perahu. Perjalanan ke arah hilir sampai di jeram-jeram tersebut dapat dilakukan dengan mencarter perahu yang ada di Data Dian. Dari lokasi tersebut dapat diteruskan melalui jalan setapak sepanjang 30 km mengitari daerah sekitar jeram. Dari tempat tersebut juga tersedia perahu sewa menuju Long Peso dan ke Long Bia juga Tanjung Selor.

4.3Ekosistem

Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) sedikitnya memiliki 18 jenis habitat terestrial atau tipe vegetasi. Tipe-tipe tersebut antara lain hutan dataran rendah, sub Montana dan Montana bercampur dengan padang rumput dan lahan pertanian masyarakat setempat dan vegetasi pada substrat yang khusus seperti hutan kerangas dan hutan kapur. Banyak areal di TNKM memiliki curah hujan dua kali lipat dari daerah-daerah lain sehingga perbedaan curah hujan di kawasan tersebut membuat keadaan vegetasi menjadi lebih kompleks (Dephut 2002b).

Selain dari substrat terrestrial dan keterkaitannya dengan flora/fauna, TNKM juga memiliki berbagai komunitas perairan, mulai dari sungai besar dengan aliran deras sampai anak sungai kecil atau genangan air dari hujan dan rembesan. Sungai-sungai yang berada pada ketinggian dengan kondisinya yang beranekaragam menyebabkan tingginya keragamanan amfibi dan ikan (Dephut 2002b).

4.4Potensi Flora dan Fauna

Taman Nasional Kayan Mentarang memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa bernilai tinggi baik jenis langka maupun dilindungi, keanekaragaman tipe ekosistem dari hutan hujan dataran rendah sampai hutan berlumut di pegunungan tinggi.

Beberapa tumbuhan yang ada antara lain pulai (Alstonia scholaris), jelutung (Dyera costulata), ramin (Gonystylus bancanus), Agathis (Agathis borneensis), kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), rengas (Gluta wallichii), gaharu (Aquilaria malacensis), aren (Arenga pinnata), berbagai jenis anggrek, palem, dan kantong semar. Selain itu, ada beberapa jenis tumbuhan yang belum semuanya dapat diidentifikasi karena merupakan jenis tumbuhan baru di Indonesia (Dephut 2006).

Terdapat sekitar 100 jenis mamalia (15 jenis diantaranya endemik), 8 jenis primata dan lebih dari 310 jenis burung dengan 28 jenis diantaranya endemik Kalimantan serta telah didaftarkan oleh ICBP (International Committee for Bird Protection) sebagai jenis terancam punah. Beberapa jenis mamalia langka seperti macan dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), lutung dahi putih (Presbytis frontata frontata), dan banteng (Bos javanicus lowi) (Dephut 2006).

4.5Kondisi Masyarakat

Seluruh kawasan TN Kayan Mentarang dihuni sejak sekitar tiga abad yang lalu oleh kelompok masyarakat suku Dayak. Kira-kira 16.000 jiwa penduduk suku Dayak yang terdiri dari 12 kelompok bahasa yang berbeda, saat ini menghuni 50 desa di dalam dan di sekitar taman nasional. Kepadatan penduduk rata-rata 0,74 orang/km yang meliputi taman nasional dan daerah penyangga. Dalam

kesehariannya, masyarakat adat suku Dayak hidup dengan peraturan adat. Terdapat 10 wilayah adat yang masing-masing dipimpin oleh lembaga adat di bawah kepemimpinan kepala adat (Dephut 2002b).

Masyarakat Dayak sebagian besar memiliki mata pencaharian kombinasi antara pertanian skala kecil, berburu, dan memancing, serta mengumpulkan bahan makanan, bahan bangunan, kayu bakar, dan obat-obatan dari hutan. Penduduk biasa mendapatkan uang tunai melalui kegiatan mengumpulkan dan kemudian menjual hasil-hasil hutan non kayu (Dephut 2002a, 2002b).

Suku Dayak di sekitar TN Kayan Mentarang terdiri dari berbagai subsuku Dayak antara lain: Kayan, Kenyah, Lundayeh, Merap, Punan, Saben, Tagel, dan lain-lain. Mereka adalah pengelola hutan yang bijak. Sistem pengelolaan yang diterapkan secara turun temurun mewariskan hutan yang dapat dinikmati oleh anak-cucu mereka (Uluk et al. 2001).

Suku Dayak di TN Kayan Mentarang sangat menggantungkan hidupnya pada hutan. Hidup dan hutan bagi mereka seperti ikan dan air yang menjadi satu kesatuan dan tak terpisahkan. Salah satu bentuk ketergantungan tersebut adalah pemanfaatan bahan pangan yang berasal dari hutan dan sekitarnya. Tumbuhan sebagai sumber karbohidrat yang berasal dari berbagai jenis palem dan umbi- umbian seperti nanga (Eugeissona utilis), talang (Arenga undulatifolia), lundai (Xanthosoma sp., Colocasia gigantea), dan lain-lain (Uluk et al. 2001).

Selain karbohidrat, Suku Dayak sekitar TNKM memanfaatkan tumbuhan hutan sebagai asupan vitamin dari sayur dan buah-buahan. Beberapa spesies tumbuhan yang digunakan sebagai sayur antara lain: paku bala (Stenoclaena palustris), paku bai (Diplazium esculentum), paku pa’it (Athyrium sozongonense), dan jenis lainnya. Sedangkan jenis buah yang dikonsumsi orang Dayak antara

lain: dian da’un (Durio oxleyanus), dian kalang (Durio zibethinus), mangga

(Mangifera indica), nakan (Artocarpus integer), dan lain sebagainya (Uluk et al. 2001).

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1Karakteristik Responden 5.1.1 Komposisi jenis kelamin

Dari keseluruhan jumlah responden yang diwawancarai (35 orang), dapat diketahui bahwa komposisi jenis kelamin sebanyak 25 orang laki-laki (71%) dan 10 orang perempuan (29%) (Gambar 5). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh besar terhadap pembagian kerja responden. Dari 35 responden yang telah diwawancarai, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berperan dalam mengerjakan kegiatan mereka sehari-hari. Sebagai contoh bertani, baik laki-laki maupun perempuan memiliki peran yang sama dalam kegiatan seperti mencangkul, merumput, menanam, mencari kayu api, dan kegiatan bertani lainnya, bahkan untuk kegiatan berburu pun sebenarnya perempuan boleh melakukannya, akan tetapi di Desa Long Alango tidak terdapat perempuan yang ikut berburu. Pemburu yang berjenis kelamin perempuan ini ada di Desa Long Kemuat (sebelah Desa Long Alango). Untuk kegiatan berkebun pun mereka memiliki peran yang sama mulai dari persiapan lahan hingga pemanenan. Seperti Simatauw et al. (2001) menyebutkan bahwa masyarakat Dayak di Kalimantan merupakan masyarakat yang egaliter. Di beberapa suku, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Gambar 5 Komposisi penduduk Desa Long Alango. 71%

29%

Laki-laki Perempuan

Dalam urusan desa seperti acara pertemuan/rapat desa, pemimpin seperti kepala desa, ketua adat, ketua BPTU (Badan Pengelola Tana’ Ulen), dan pemimpin lainnya tetap menjadi kewajiban laki-laki. Badan Pengelola Tana’ Ulen merupakan suatu badan yang mengelola semua hal yang berhubungan dengan

Tana’ Ulen. Tana’ Ulen merupakan suatu wilayah yang dikeramatkan. Tana’ Ulen ini berada di zona tradisional TNKM karena wilayah ini telah dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebelum dibentuknya taman nasional.

Perempuan-perempuan Desa Long Alango mengurus anak dan urusan rumah tangga, mereka juga memiliki perkumpulan ibu-ibu PKK untuk menjalin kekeluargaan. Ibu-ibu PKK ini selain mengadakan pertemuan rutin, mereka juga sering membuat kerajinan khas dayak seperti saung, belanyat, tikar, dan anyaman lainnya yang nantinya akan dijual ke pendatang/turis atau mereka gunakan sendiri. Sedangkan untuk acara kerja bakti membangun desa, antara laki-laki dan perempuan bekerja sama tanpa membedakan gender. Contohnya saja kerja bakti dalam perbaikan bandara pesawat lokal (Susi Air dan MAF) semua orang bekerja sama baik laki-laki maupun perempuan, mulai dari anak-anak hingga orang tua yang masih kuat.

(a) (b)

Gambar 6 Kerja bakti pelebaran bandara: (a) perempuan; (b) laki-laki.

5.1.2 Komposisi kelas umur

Pengetahuan mengenai pemanfaatan tumbuhan terutama untuk kebutuhan pangan telah dikenal sejak zaman dahulu. Secara turun temurun pengetahuan ini diwariskan kepada keturunannya. Dari hasil wawancara diperoleh kelas umur

yang berkisar antara 23 tahun hingga 70 tahun (Gambar 7). Berdasarkan grafik tersebut, usia tertua adalah usia 70 tahun. Responden ini masih bekerja di sawah dan masih melakukan kegiatan lainnya sendiri, tanpa meyusahkan orang lain, bahkan responden ini sering berkunjung ke rumah tetangganya yang memiliki jarak agak jauh dari rumahnya dengan berjalan kaki. Kelompok usia terbanyak adalah antara 30 tahun hingga 40 tahun yaitu sebanyak 16 orang. Hal ini menunjukkan bahwa usia tersebut merupakan usia produktif dimana orang-orang bersemangat dalam bekerja di sawah, ladang, dan kebun, bahkan untuk pergi ke hutan dengan tujuan berburu dan kegiatan lainnya.

Gambar 7 Jumlah responden berdasarkan kelompok umur.

Masyarakat Dayak Kenyah Desa Long Alango telah memanfaatkan hutan selam berabad-abad. Akan tetapi intensitas mereka pergi ke hutan bukan untuk setiap saat, melainkan hanya pada saat membutuhkan saja seperti saat ingin berburu, berladang, kerja gaharu, mengambil bahan bangunan dan kerajinan, serta hanya untuk refreshing. Mereka pergi ke hutan biasanya dua hingga empat kali dalam seminggu karena kegiatan harian mereka dihabiskan di sawah dan kebun mereka. 4 16 4 7 5 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 <30 th 30-40 th 41-51 th 52-62 th >62 th jum la h (o ra ng )

5.1.3 Tingkat pendidikan formal

Komposisi tingkat pendidikan responden adalah tidak sekolah sebanyak 1 orang (3%), lulusan taman kanak-kanak (TK) sebanyak 1 orang (3%), lulusan sekolah dasar (SD) sebanyak 19 orang (54%), lulusan SMP sederajat sebanyak 5 orang (14%), lulusan SMA sederajat sebanyak 3 orang (9%), lulusan Diploma sebanyak 2 orang (6%), dan lulusan Sarjana sebanyak 4 orang (11%). Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa mayoritas masyarakat memiliki tingkat pendidikan lulusan SD (54%). Persentase tertinggi kedua adalah lulusan SMP sederajat yaitu 14% (Gambar 8). Hal ini karena sekolahan yang terdapat pada desa tersebut hanyalah SD dan SMP, itu pun jumlahnya masing-masing adalah satu sekolah. Biasanya orang yang ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi belajar di luar daerah, misalnya di Tanjung Selor atau Malinau. Akan tetapi, mereka juga dapat melanjutkan sekolahnya lebih jauh lagi misalnya di luar Pulau Kalimantan. Mereka yang sekolah di luar daerah bahkan hingga Sarjana, ada yang kembali lagi ke kampung halamannya untuk menjadi guru ataupun pegawai kecamatan. Dengan kata lain mereka pulang untuk membangun desa mereka. Kebanyakan dari mereka yang sarjana berjenis kelamin laki-laki karena biasanya perempuan setelah lulus SMP langsung menikah dengan alasan tidak ingin sekolah jauh meninggalkan desanya.

Gambar 8 Komposisi tingkat pendidikan responden. 3% 3% 54% 14% 9% 6% 11% Tidak sekolah TK SD SLTP Sederajat SLTA Sederajat Diploma Sarjana 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% Ting k a t pe ndid ik a n Persentase

5.1.4 Jenis pekerjaan

Dari 35 responden, keseluruhannya memiliki pekerjaan utama sebagai petani karena bagi mereka bertani merupakan kebutuhan hidup. Mereka memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri dengan menyediakan bahan pangan yang berasal dari sawah/ladang kadang juga mengambil langsung dari hutan tanpa mengandalkan proses jual-beli dari orang lain ataupun bantuan langsung dari pemerintah. Pemerintah Kabupaten Malinau juga membantu melalui program

“Gerbangdema” (Gerakan Pembangunan Desa Mandiri). Program ini diharapkan

mampu menjadikan desa-desa di Kabupaten Malinau menjadi desa yang lebih

mandiri. Oleh sebab itu, “Gerbangdema” memiliki produk unggulan yang

dihasilkan dari desa-desa tersebut yang nantinya dapat dijual ke luar ataupun dalam daerah sehingga mampu menjadi sumber pendapatan bagi warga desa. Salah satu produk unggulan adalah padi lokal. Bibit padi lokal yang awalnya berasal dari Pemerintah Kabupaten Malinau, ada juga yang berasal dari turun- temurun suku Dayak. Salah satu bibit padi yang berasal dari program

“Gerbangdema” adalah padi adan. Tidak hanya padi, “Gerbangdema” memiliki

produk unggulan lainnya seperti nanas (Ananas comosus), bekkai (Pycnarrhena cauliflora), bawang kenyah (Allium tuberosum), kopi (Coffea robusta), kakao (Theobroma cacao), dan produk unggulan lainnya.

Di samping menjadi petani, mereka juga memiliki mata pencaharian lain seperti PNS (guru SD, guru SMP, pegawai kecamatan), pedagang, pemilik penginapan, dan sebagai agen penjualan tiket pesawat lokal (MAF dan Susi Air). Agar sawah atau ladang mereka tetap terurus di saat mereka bekerja di luar selain sebagai petani, maka mereka melakukan pembagian kerja dengan anggota keluarga lainnya. Sebagai contoh, apabila suami bekerja sebagai PNS, pada pagi hingga sore suami kerja di sekolah/kantor, sedangkan sawah atau ladang diurus istri atau anak (jika kedua orang tua bekerja di luar). Setelah suami/orang tua pulang, mereka bergantian dalam mengurus sawah/ladang. Biasanya mereka setelah bekerja langsung menuju sawah/ladang mereka sebelum pulang ke rumah. Begitu pula untuk pekerjaan/mata pencaharian yang lain. Adapun yang menjadi ibu rumah tangga dan pemandu (guide) lokal serta bekerja mencari gaharu, menjual hasil pertanian dan perkebunan sendiri ke tetangga atau desa lain,

menjual hasil buruan ke tetangga atau desa lain, menjual hasil kerajinan, menyewakan perahu untuk menambah pendapatan keluarganya. Pekerjaan ini dilakukan karena pendapatan yang diperoleh digunakan untuk kebutuhan lain di luar kebutuhan pangan seperti keperluan sandang, kebutuhan rumah tangga, dan kebutuhan lain yang memerlukan uang. Untuk kebutuhan papan, mereka dapat memanfaatkan hasil hutan kayu untuk membangun rumah mereka.

Budaya bertani telah ada sejak zaman dahulu. Orang tua terdahulu mengajarkan kepada anak cucunya untuk dapat bertahan hidup dengan kemandirian. Bibit yang diperoleh untuk tanaman pertanian berasal dari turun temurun, ada juga yang berasal dari luar daerah. Karena dirasa hasil pertanian masih kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, mereka mengambil bibit tumbuhan hutan untuk dibudidayakan di kebun. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan vitamin, mineral, air, dan kandungan nutrisi lainnya, penduduk desa menanam spesies sayuran yang bibitnya berasal dari luar daerah. Sayur yang biasanya dijadikan pelengkap bahan makanan mereka juga ada yang berasal dari hutan.

5.2Keanekaragaman Tumbuhan Pangan 5.2.1 Keanekaragaman spesies

Berdasarkan hasil wawancara dan eksplorasi tumbuhan, diperoleh 139 spesies tumbuhan berguna sebagai pangan dengan rincian 32 spesies tumbuhan pangan hutan/liar, 46 spesies tumbuhan pangan berasal dari hutan yang telah dibudidaya, dan 61 spesies tumbuhan pangan budidaya yang bukan berasal dari hutan (Gambar 9).

Berdasarkan 32 spesies tumbuhan pangan yang berasal dari hutan dapat dikelompokkan dalam 13 famili (Gambar10). Berdasarkan hasil tersebut, famili yang memiliki jumlah spesies terbanyak adalah Famili Arecaceae (11 spesies). Beberapa spesies pada Famili Arecaceae seperti eman (Caryota mitis), nanga

(Eugeissona utilis), uwai tebungen (Calamus ornatus), uwai tana’ (Calamus sp.) merupakan bahan pangan yang berguna sebagai bahan pangan pokok pengganti nasi (sumber energi) dan ada yang dimanfaatkan sebagai sayuran dengan bagian dimanfaatkan yaitu umbut. Umbut merupakan bagian rotan atau palem-paleman

yang masih muda, letaknya di dalam antara pangkal daun dan ujung batang. Umbut ini merupakan sayuran yang sangat disenangi masyarakat Dayak.

Gambar 9 Jumlah spesies tumbuhan pangan hutan, tumbuhan pangan budidaya dari hutan, dan tumbuhan pangan budidaya.

Selain itu terdapat satu spesies buah khas Borneo dari Famili Arecaceae yaitu birai (Salacca affinis var. borneensis). Birai atau dikenal dengan salak hutan ini banyak terdapat di Stasiun Penelitian Hutan Tropis (SPHT) Lalut Birai yang sekaligus merupakan Tana’ Ulen atau hutan adat bagi Suku Dayak Kenyah TNKM.

Gambar 10 Jumlah spesies tumbuhan pangan hutan/liar berdasarkan famili. 3 2 2 2 3 1 1 1 1 1 11 3 1 0 5 10 15 (tidak teridentifikasi) Zingiberaceae Russulaceae Polypodiaceae Poaceae Pleurotaceae Piperaceae Nephrolepidacea Auriculariaceae Athyriaceae Arecaceae Araceae Amanitaceae Jumlah (spesies) F a m ili Tumbuhan pangan hutan Tumbuhan pangan

budidaya dari hutan Tumbuhan pangan

budidaya

46

Tumbuhan pangan hutan/liar yang sering dimanfaatkan Suku Dayak Kenyah selain sebagai bahan pangan pokok juga ada yang sering dimanfaatkan sebagai sayuran seperti spesies jamur (kulat) dengan contoh : kulat long (Amanita sp.), kulat tlengadok (Auricularia auricula-judae), kulat jap (Pleurotus sp.) dan paku- pakuan seperti paku pait (Athyrium sozongonense), paku julut (Nephrolepis bisserata) (Tabel 3). Selain jamur dan paku-pakuan, terdapat pula tumbuhan berhabitus herba yang dimanfaatkan sebagai sayur yaitu balang (Heckeria umbellata).

Berikut contoh nama-nama spesies tumbuhan pangan hutan yang dimanfaatkan Suku Dayak Kenyah berdasarkan familinya yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Contoh spesies tumbuhan pangan hutan berdasarkan famili

No. Famili Spesies

1 Amanitaceae Kulat long (Amanita sp.)

2 Araceae Keladi upa' nyak (Colocasia esculenta), lundai 1 (Colocasia gigantea), lundai 2 (Xanthosoma sp.)

3 Arecaceae Talang (Arenga undulatifolia), uwai tebungen (Calamus ornatus), eman (Caryota mitis), birai (Salacca affinis)

4 Athyriaceae Paku pait (Athyrium sozongonense)

5 Auriculariaceae Kulat tlengadok (Auricularia auricula-judae) 6 Nephrolepidacea Paku julut (Nephrolepis bisserata)

7 Piperaceae Daun balang (Heckeria umbellata) 8 Pleurotaceae Kulat jap (Pleurotus sp.)

9 Poaceae Bambu betung (Dendrocalamus asper), bambu apus (Gigantolochloa apus), sengka (Setaria palmifolia)

10 Polypodiaceae Paku bai (Diplazium esculentum), paku bala (Stenoclaena palustris) 11 Russulaceae Kulat bulu (Lactarius deliciosus), kulat long balabau (Russula

cyanoxantha)

12 Zingiberaceae Nyanding (Etlingera elatior), iti' (Etlingera sp.) 13 (tidak

teridentifikasi) Kulat kedet, kulat puti', kulat temenggang

Berdasarkan 139 spesies tumbuhan pangan yang dimanfaatkan Suku Dayak Kenyah, terdapat 46 spesies tumbuhan pangan yang telah dibudidaya berasal dari hutan dengan 16 famili (Gambar 11). Suku Dayak Kenyah melestarikan tumbuhan pangan dengan menanamnya di kebun. Hal ini bertujuan agar mempermudah dalam perolehan tumbuhan pangan tanpa harus mengambilnya langsung dari hutan. Suku Dayak Kenyah membudidayakan tumbuhan pangan hutan di kebun

dengan cara trial and error. Mereka belajar dari kesalahan dan terus mencobanya hingga berhasil. Hal ini telah diajarkan turun temurun hingga saat ini.

Pada Gambar 11 dapat diketahui bahwa Famili Sapindaceae yang memiliki jumlah spesies terbanyak yaitu 12 spesies. Spesies yang ditemukan pada Famili Sapindaceae adalah buah-buahan yang berasal dari hutan (maritam, mata kucing, rambutan hutan, dan sebagainya). Hal ini membuktikan bahwa TNKM memiliki keanekaragaman buah, sehingga Suku Dayak Kenyah yang tinggal di sekitarnya senang membudidayakan/memanfaatkan bibitnya agar dapat dikonsumsi dengan lebih mudah. Hal ini menunjukkan bahwa Suku Dayak Kenyah TNKM menerapkan asas konservasi (perlindungan, pengawetan, pemanfaatan).

Gambar 11 Jumlah spesies tumbuhan pangan budidaya yang berasal dari hutan berdasarkan famili.

Beberapa responden menuturkan bahwa saat musim buah, pohon berbuah melimpah, ada yang tumbuh di kebun karena dibudidaya yang bibitnya berasal dari hutan, ada pula yang langsung mengambil dari hutan. Tapi sayangnya buah- buahan tersebut matang dan busuk begitu saja karena pohon terus menghasilkan

2 1 12 3 2 2 1 1 1 1 1 7 1 3 1 5 2 0 2 4 6 8 10 12 14 (tidak teridentifikasi) Urticaceae Sapindaceae Polygalaceae Moraceae Menispermaceae Meliaceae Melastomataceae Lauraceae Flacourtiaceae Fabaceae Euphorbiaceae Cucurbitaceae Clusiaceae Burseraceae Bombacaceae Anacardiaceae Jumlah (spesies) F a m ili

buah sedangkan tidak setiap hari dikonsumsi buahnya. Berdasarkan pendapat responden, Taman Nasional Kayan Mentarang yang memiliki akses susah dan perjalanan yang jauh, sehingga buah-buahan yang ada kurang dimanfaatkan dan dikelola dengan baik.

Famili yang memiliki jumlah spesies terbanyak kedua adalah Euphorbiaceae. Beberapa spesies yang berasal dari Famili Euphorbiaceae adalah payang kure (Aleuritas moluccana), seti' (Baccaurea bracteata), keleppeso (Baccaurea dulcis) (Tabel 4). Selain contoh tersebut, terdapat pula spesies tumbuhan yang dijadikan bumbu (terasi dayak) oleh Suku Dayak Kenyah seperti payang lengu (Ricinus communis) dan salap (Sumbaviopsis albicans) (Lampiran 2).

Tabel 4 Contoh spesies tumbuhan pangan budidaya yang berasal dari hutan berdasarkan famili

No. Famili Spesies

1 Anacardiaceae Berenyiu (Mangifera caesia), alim (Mangifera pajang)

2 Bombacaceae Durian merah (Durio graveolens), dian lai (Durio kutejensis), durian daun (Durio oxleyanus), durian besar, durian temenggang

3 Burseraceae Kelamu' (Dacryodes rostrata)

4 Clusiaceae Petong (Garcinia bancana), berana' (Garcinia cf. Lateriflora), adiu (Garcinia forbesii)

5 Cucurbitaceae Payang aka (Trichosanthes sp.)

6 Euphorbiaceae Payang kure (Aleuritas moluccana), seti' (Baccaurea bracteata), keleppeso (Baccaurea dulcis)

7 Fabaceae Petai hutan (Parkia speciosa) 8 Flacourtiaceae Payang kayu (Pangium edule) 9 Lauraceae Belengla (Litsea cubeba)

10 Melastomataceae Tenggok Buin (Pternandra cordata) 11 Meliaceae Langsat (Lancium domesticum)

12 Menispermaceae Bekkai lanya (Coscinium miosepalum), bekkai lema (Pycnarrhena cauliflora)

13 Moraceae Temai' (Artocarpus altilis), kean (Artocarpus odoratissimus) 14 Polygalaceae Bua tiup (Xanthophyllum amoenum), mejalin batu (Xanthophyllum

exelsa), mejalin( Xanthophyllum obscurum)

15 Sapindaceae Mata kucing (Dimocarpus longan), se'bau (Nephelium juglandifolium), maritam (Nephelium ramboutan-ake), unjing (Nephelium maingayi), rambutan hutan (Nephelium muntabile) 16 Urticaceae Keten (Poikilospermus suaveolens)

17 (tidak

teridentifikasi) Tekalang da'an, telo'dok

Famili yang memiliki jumlah spesies terbanyak ketiga setelah Euphorbiaceae adalah Bombacaceae (5 spesies). Keseluruhan tumbuhan pangan yang berasal dari Famili Bombacaceae ini adalah durian dengan berbagai spesies

seperti durian merah (Durio graveolens), dian lai (Durio kutejensis), durian daun (Durio oxleyanus), durian besar, yang durian temenggang (Tabel 5). Suku Dayak Kenyah senang dengan buah durian sehingga mereka berinisiatif untuk membudidayakannya. Dengan demikian pada saat musim buah tidak perlu lagi mengambil langsung dari hutan yang kaya akan durian tersebut.

Gambar 12 Jumlah spesies tumbuhan pangan budidaya bukan berasal dari hutan berdasarkan famili.

Pada Gambar 12 dapat diketahui bahwa jumlah spesies tumbuhan pangan budidaya yang bukan berasal dari hutan paling banyak terdapat pada Famili Cucurbitaceae dan Fabaceae yaitu masing-masing 6 spesies. Contoh spesies dari Famili Cucurbitaceae adalah kelompok labu-labuan seperti timun (Cucumis

4 1 5 1 2 1 5 1 1 4 1 2 1 2 2 6 3 6 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 0 1 2 3 4 5 6 7 Zingiberaceae Sterculiaceae Solanaceae Sapindaceae Rutaceae Rubiaceae Poaceae Piperaceae Pandanaceae Myrtaceae Musaceae Moraceae

Dokumen terkait