• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PENELITIAN PENGARUH DOA DALAM KELUARGA

A. Gambaran Umum Paroki Maria Assumpta Gamping dan

1. Sejarah Singkat Paroki Maria Assumpta Gamping

(Uraian mengenai Paroki Maria Assumpta Gamping, penulis menggunakan sumber dari buku pedoman pelaksanaan Dewan Paroki 2008, dan informasi dari sekretariat Paroki Gamping).

a. Umat Pertama

Pertumbuhan umat paroki Gamping sangat erat hubungannya dengan Kramaredja, cucu dari Raden Panewu Djajaanggada, abdi dalaem Kasultanan Ngayojakarta Hadiningrat yang bekerja sebagai penjuang gamping. Kramaredja mempunyai kedekatan dengan Romo Frans van Lith SJ (seorang pastor Belanda berjiwa Jawa) karena sering ke Muntilan, pada saat itu juga di Muntilan sedang dibangun gedung Kolese Xaverius.

Bendot Djajautama, anak sulung Kramaredja, atas petunjuk ayahnya yang mempunyai kedekatan dengan Romo Frans van Lith SJ mengikuti pendidikan guru. Sewaktu menjadi guru di Indramayu, ia berkenalan dengan Den Mas Djajus, seorang guru yang beragama Katolik berasal dari Sala.

Dari situlah ia kemudian mendalami agama Katolik dan dibaptis sekitar tahun 1981.

Setelah dibaptis, Bendot Djajautama membimbing adik-adiknya yaitu Sarwana Brataanggada supaya belajar di Normaal school di Muntilan, dan dibaptis di Muntilan pada tahun 1919. Juga mengarahkan adik perempuannya untuk belajar baca tulis dan bekerja di pabrik cerutu Negresco (sekarang Tarumartani). Dengan cara itulah adik-adiknya dan orangtuanya menjadi Katolik. Kramaredja sendiri dibaptis dengan nama baptis Bartolomeus pada tanggal 10 Nopember 1920 oleh Rm. H.Van Driessche,SJ. beliaulah yang tercatat sebagai umat pertama di Gamping.

b. Tumbuhnya Biji Sesawi

Demikianlah umat pertama di Gamping, berkat biji sesawi yang tumbuh dalam keluarga Kramaredja, iman kristiani tumbuh pula pada keluarga lain dan menyebar ke desap-desa sekitar Gamping, seperti Banyuraden, Onggobayan, Mejing, Pasekan, dan Gancahan.

Pada tahun 1923, Rm. F. Straeter SJ membuka Volkschool di Mejing, bertempat di kediaman Partadikrama dengan guru al. Bendot Djajautama dibantu Reksaatmadja. Ketika umat berjumlah 50 orang, mereka mendapatkan misa sebulan sekali. Lambat laun ketika umat di Gamping berkembang menjadi 100 orang, mereka mendapatkan misa sebanyak dua kali dalam sebulan, bertempat di SD Kanisius Mejing. Akan tetapi pada minggu-minggu biasa sebagian dari mereka harus berjalan kaki ke kota,

antara lain ke gereja Kidulloji, Kumetiran dan Kotabaru, dan Pugeran untuk mengikuti misa.

c. Perkembangan Umat saat Zaman Jepang dan Revolusi Fisik

Tanggal 8 Maret 1942 Jepang menguasai seluruh pelosok Nusantara. Masa pendudukan Jepang ini merupakan masa-masa sulit bagi perkembangan umat. Hal itu disebabkan gereja Katolik dilarang untuk memberikan pendidikan dan pengajaran Katolik. Banyak imam, biarawan maupun awam ditangkap dan dipenjarakan.

Pada tahun 1943, umat paroki Gamping berjumlah sekitar 150 orang. Rama F. Straeter SJ mungkin telah menyadari adanya malapetaka yang akan terjadi, kemudian meminta Jacobus Mertadikrama dari Gamping Lor agar mengamankan altar dan peralatan misa dari sekolah ke rumah.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar Negara. Paroki Kotabaru dan gereja-gereja lainnya dibuka kembali dengan semangat baru. Di Kumetiran, meski peralatan misa tidak ada, akan tetapi jemaat yang telah terbentuk tidak bubar. Pada tanggal 31 Oktober 1945, umat di Kumetiran membentuk paroki sendiri dengan nama Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela, dan Gamping menjadi salah satu stasi dari Paroki Kumetiran. Sejak saat itu pula dibentuk pengurus persiapan Paroki Gamping dan pendirian Gereja, dengan tugas mengelola umatnya agar lebih

berkembang. Stasi Gamping dibagi menjadi wilayah Gamping, Gancahan, Nyamplung, dan Mejing.

Perkembangan umat di Gamping sangat subur, sehingga umat mendesak pastor Paroki Kumetiran untuk mempersiapkan beridirinya gereja di Gamping. Berhubung status Gamping belum tegas, apakah menjadi bagian dari paroki Kotabaru atau paroki Kumetiran, maka Rama Alexander Sandiwan Brata, Pr pada tahun 1954 menulis surat ke Vikariat Apostolik Semarang. Surat tadi berisi tentang penegasan status bahwa Gamping memilih menjadi bagian dari paroki Kumetiran dari pada paroki Kotabaru, melihat dari keeratan hubungan Gamping – Kumetiran dan kebiasaan umat Gamping beribadat ke gereja Kumentiran. Kepanitiaan persiapan Paroki Gamping tersebut terdiri atas: Bapak Petrus Honosudjatmo, Bonifacius Tjaraka, Hardjasuprapta, Subardi, Suhardi dengan pelindung Rm. Alexander Sandiwan Brata, Pr.

Seraya mengurus pendirian gereja - pastoran - sekolah, Panitia Persiapan Pendirian Gereja berupaya mencari tanah yang cocok untuk lokasi gereja - pastoran. Setelah beberapa waktu bekerja, Panitia memberi laporan berupa pilihan lokasi kepada Rm. Alexander Sandiwan Brata, Pr.

Kemudian para panitia dan Romo paroki merencanakan dan mencari alternatif pilihan untuk lokasi gereja yang diantaranya :

- Tanah di sebelah utara Kantor Pos Gamping; - Tanah bekas Kawedanan di Delingsari;

- Dan tanah dengan bangunan kosong milik Rd. Wedana Pradjanarmada, Wedana Wates Kulon Progo.

Setelah melewati berbagai pertimbangan, maka pilihan jatuh kepada tanah Rd. Wedana Pradjanarmada. Negosiasi tanah sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama, mulai dari tahun 1953 dan akhirya berkat kegigihan Panitia pada tahun 1957 tanah tersebut bisa dibeli dengan Rp. 725,-/ m2. Berhubung tanah yang dibeli Panitia kurang memadai luasnya untuk kompleks gereja dan pastoran, maka Petrus Honosudjatmo meminta Petrus Wakijahadisunardja untuk merelakan tanah miliknya. Dengan cara itu terjadilah lahan gereja seperti saat ini, yaitu tanah seluas 3.050 m2, berbentuk segitiga siku-siku, dengan jalan raya depan gereja pada sisi miringnya.

Mgr. Albertus Soegijapranata SJ yang dikenal memiliki wawasan jauh ke depan, dalam kesempatan menerimakan sakramen krisma di Gamping kepada 50 orang umat Gamping pada tanggal 14 September 1956 berkata,

“Para sedulur, aja padha cilik ing ati. Sapa ngerti yen ing tembe buri bakal

ana greja mundhuk-mundhuk teka ana ing Gamping kene” (Saudara

sekalian, jangan kecil hati, siapa tahu besok akan ada gereja tiba-tiba muncul di Gamping sini).

Pernyataan beliau tersebut merupakan kabar gembira yang membuat hati umat di Gamping berkorban untuk mendirikan sebuah gereja berkorban untuk mendirikan sebuah gereja.

Setelah tanah diperoleh, Panitia kemudian mengurus pengesahan hak kepemilikan atas tanah yang dilakukan dengan membuat Yayasan berbadan Hukum PENGURUS GEREJA DAN PAPA MISKIN ROOMS KATOLIK DI WILAYAH GEREJA SANTA MARIA DIANGKAT KE SURGA DENGAN MULIA DI GAMPING, SLEMAN, YOGYAKARTA”.

Yayasan ini disahkan pada tanggal 9 September 1958, di depan Notaris Raden Mas Soeprapto di Semarang.

Dengan adanya Yayasan tersebut, maka paroki Gamping merupakan paroki pertama Kumetiran yang mampu mempunyai hak atas tanah yang dibeli. Kepemilikian hak atas tanah tersebut lebih kuat dengan adanya sertifikat dari Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman, yang terbit pada tahun 1994.

Nama pelindung paroki adalah “Maria Assumpta” yang diusulkan oleh Petrus Honosudjatmo, berangkat dari pengalaman yang tidak dapat ia lupakan, saat tertembak dalam peperangan melawan Belanda pada tanggal 19 Januari 1949. Dalam keadaan tak sadarkan diri karena kekurangan darah, ia seperti masuk ke dalam suasana serba gelap. Dalam suasana itu ia merasa ditemui oleh ibundanya Maria Pawirasukardja yang telah meninggal 13 November 1945. Ibu berkata, bahwa Tuhan akan mengabulkan permohonan bila dilaksanakan dengan perantaraan ”SANG KENYA KANG PINUNDHUT

MENYANG SWARGA, PENUH KAMULYAN”. P. Honosudjatmo kemudian

mengajukan permohonan agar selamat dari maut dan umur panjang. Setelah 5 bulan dirawat di Panti Rapih ia kemudian sembuh.

Usulan nama pelindung ”Sang Kenya Kang Pinundhut Menyang

Swarga Penuh Kamulyan” disambut oleh Rama G. Susanto Utojo, Pr dan

Rama Alexander Sandiwan Brata, Pr dengan gembira, bahkan menerangkan

bahwa Paus Pius XII melalui Konstitusi Apostolik ”Munificentissimus Deus” 1 November 1950 menegaskan bahwa keyakinan akan Maria

Diangkat Ke Surga Dengan Mulia (”SANTA MARIA ASSUMPTA”) masuk

dalam jajaran dogma, dengan tanggal 15 Agustus sebagai hari pestanya. Peletakan batu pertama Gereja, dilakukan oleh Rama Thomas Hardjawarsito Pr awal tahun 1960. Pelaksanaan pembangunan dikerjakan oleh Bagian Pembangunan Vikariat Semarang di bawah pimpinan Tjan Djie Tong. Adapun pelaksana di Gamping antara lain Petrus Sunarjo dari Semarang. Rama B. Schouten SJ berkunjung ke Gamping paling tidak dua minggu sekali. Luas bangunan 520 m2 dengan ukuran 13x40 m.

Pembangunan gereja dianggap selesai meski tidak dilengkapi dengan altar, mimbar, kursi imam, kursi misdinar dan dhingklik umat. Semua perlengkapan kemudian dilakukan dengan cara swadaya umat atau mencari bantuan dari paroki lain.

Setelah dianggap selesai, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ kemudian hadir memberkati gereja pada tanggal 24 Desember 1961 pukul 07.00 WOB. Selesai pembekatan, diadakan ramah tamah sederhana antara umat dengan Bapak Uskup dan dihadiri oleh Penewu Pradjaatmaka dan Raden Wedana Pradjanarmada, pemilik tanah gereja sebelumnya. Sejak saat itu

perayaan misa pindah dari rumah Raden Wedana Sastrawanadirja ke gereja hingga saat ini.

d. Zaman Persiapan Menuju Paroki

Romo yang bertugas : Rm. Bernardus Wonosunarjo SJ (1961-1970) Rm. P.Chrysologus S, Soeptapanitra SJ (1963-

1969)

Rm. Bernardus A,Sadji OF (1974-1976)

Rm. F. Sutujo OFM (1976-1978)

Setelah punya gereja, umat suka menyatakan diri sebagai umat Paroki Gamping, meski sebenarnya status masih tingkat stasi di bawah koordinasi Paroki Kumetiran. Reksa rohani terlebih misa dilayani para pastor Paroki Kumetiran sebulan 2 kali, Minggu II dan Minggu IV dengan bahasa Jawa. Pastor yang sering melayani di Gamping antara lain Rama Bernardus Wonosunarja SJ yang biasa dipanggil Rama Liem.

Rama Petrus Chrysologus Soeharso Soetapanitra SJ (berkarya di Gamping 1963-1969). Umat Gamping mengenang Rama Petrus Chrysologus Soeharso Soetopanitra SJ sebagai imam sandal jepit, suka mengendarai sepeda butut dan berjubah kusam. Rokoknya tembakau lintingan. Bila berkunjung ke rumah umat suka mempir ke dapur untuk minta intip ( kerak nasi). Rama Petrus Chrysologus Soeharso Soetapanitra juga dikenal sebagai pencinta budaya Jawa, terutama pertunjukan wayang. Melalui cara ini beliau dapat bergauldengan semua lapisan masyarakat.

Kemudian pada tahun 1967 beliau pernah nanggap wayang kulit yang dimainkan oleh Ki Dalang Suparman. Setelah punya pastoran, beliau memasang wayang kayon (gunungan) Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sebagai simbol pelayanan dan pengabdian.

Sejak adanya pastoran, Rama Petrus Chrysologus Soeharso Soetapanitra SJ, sering menginap di Gamping, untuk mulai mengadakan misa di lingkungan-lingkungan. Beliau menata Gamping dalam 7 kring (lingkungan) yaitu: Onggobayan, Gamping, Mejing, Gesikan, Nyamplung, Gancahan,d an Sumber Gamol – Gejawsan – Paseban. Agar keadaan wilayah mudah dibaca, beliau berintis adanya peta stasi.

Kemudian Rama yang bertugas selanjutnya adalah Rama Bernardinus A. Sadji OFM. Namun yang terlihat beberapa umat kurang begitu bisa menerima kehadiran beliau sebagai gembala paroki dengan alasan masih terlalu muda dan belum banyak pengalaman, sehinga dirasa kurang

berwibawa. Akibat dari sikap itu, ”caos dhahar” sering terlantara, maka

beliau sering ke umat yang menerima baik untuk minta makan malam. Dan pada tahun 1976 beliau pindah ke jakarta.

Kemudian yang mengganti Rama Bernardinus A. Sadji OFM adalah Rama F. Sutoyo OFM sampai tahun 1978. Umat mengenang Rama F. Sutoyo OFM sebagai rama yang menjunjung tinggi disiplin. Bila membuat janji, harus ditepati, meleset sediikit dari waktu yang ditetapkan, maka tidak akan dilayani.

e. Zaman Berdirinya Paroki

Romo Constantinus Harsasuwita SJ (1978-1988) adalah imam yang membuat Stasi Gamping berdiri menjadi paroki. Ketika mulai berkarya di Gamping, beliau sudah berusia senja serta sering sakit. Umat mengenang beliau sebagai imam yang keras pendirian, dogmatis dalam ajaran dan pengarahan, suka menyanyi dan merayakan misa bahasa Latin. Paroki dikelola dengan mengutamakan hidup doa, kesalehan dan pelayanan sakramen. Aspirasi umat yang berkaitan dengan perubahan dan tuntunan zaman boleh dikata kurang mendapat tempat.

Romo Constantinus Harsasuwita SJ dikenang juga sebagai imam yang hampir tidak pernah khotbah. Khotbah biasaya dilakukan oleh awam, baik dari luar atau dari dalam paroki. Cintanya pada Gamping, mendorong beliau menambah ruang pastoran, tidak mau pindah, dan ingin bila meninggal dimakamkan di Gamping.

Sejak Romo Constantinus Harsasuwita SJ istirahat ei Wisma Emmaus, Romo Clemens Budiarto SJ diangkat menadi Pastor Kepala Paroki Gamping mulai dari tahun 1988. Beliau dibantu oleh Br. Nicasius Haryono SJ. Dengan kehadiran beliau, Paroki Gamping mulai mengadakan pembenahan. Dengan dibantu oleh Rama Ignatius Madya Utama SJ selama satu semester

pada tahun 1991, Paroki Gamping mencoba menerapkan konsep “Gereja Partisipatoris” dengan tekanan hakikat Gereja sebagai umat Allah yang

merinci paroi dalam “stasi” sebagai satuan wilayah koordinasi dan kring

sebagai satuan kecil himpunan umat yang tertempat tinggal berdekatan. Selanjutnya Romo Clemens Budiarto SJ mengubah pembagian paroki yang tadinya 7 kring, menjadi 5 stasi (wilayah) dengan 15 kring (lingkungan). Dalam rangka membuat lingkungan menjadi basis kegiatan umat, beliau menghimpun mereka dengan pelayanan misa model selapanan (rotasi 35 hari) dan mendorong mereka berhimpun sendiri dengan mengadakan kegiatan seperti sembahyangan keluarga, rapat, arisan, dan koor. Berhubung Stasi Gancahan, Gesikan, dan Balecatur telah mempunyai kapel maka mereka mendapat pelayanan misa sebulan sekali.

Selain memberi arah dan menata wilayah, Romo Clemens Budiarto SJ juga membuat struktur paroki yang dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Dewan paroki. Beliau juga memperhatikan kesenian Jawa antara lain

dengan membeli gamelan dan menghidupkan “macapat” yang kemudian

diintegrasikan dalam liturgi.

Romo Johanes Abdipranata SJ berkarya di Gamping cukup singkat, namun melekata di hati umat, terlebih karena khobah yang disampaikan bermutu dan sungguh dipersiapkan. Beliau dikenal amat disiplin, hati-hati dalam berkata maupun berbuat, akrab dan dekat dengan umat juga dengan generasi muda.

Karya peninggalan beliau seperti menggalakkan sarasehan, membuat ruang pertemuan dan sekretariat paroki. Masih banyak rencana yang akan

dikerjakan, namun beliau harus segera meninggalkan Paroki Gamping untuk bertugas sebagai Socius Magister Novis Serikat Yesus di Girisonta.

Romo Johanes Mardiwidayat SJ hadir dengan tugas mempersiapkan paroki yang dikelola oleh Serikat Yesus untuk diserahkan kepada pihak Keuskupan Agung Semarang. Beliau juga menyempurnakan dengan pilar-pilar yaitu Liturgia, Kerygma, Koinonia, Diakonia, dan Marturia (kesaksian). Pilar-pilar itu kemudian ditopang dengan Pembangunan dan dana usaha.Dalam bidang usaha dana beliau merintis pendirian Koperasi Cinta Kasih (KC K) dan Tabungan Cinta Kasih (TCK) dengan tujuan untuk rencana Renovasi Gereja ke depan. Juga membuat forum sarasehan rebo pinasan.

Romo Christophorus Sutrasno Purwanto Pr adalah rama diosesan yang pertama bertugas di Paroki Gamping setelah pengelolaannya diserahkan dari Ordo Yesuit. Dalam perkembangannya beliau mendorong blok-blok di lingkungan untuk iman umat. Juga mendorong sarasehan-sarasehan di tingkat paroki, wilayah, maupun lingkungan.Romo Christophorus Sutrasno Purwanto Pr juga merealisasikan pembelian tanah sebelah selatan gerja yagn saat ini digunakan untuk parkir. Pada tahun 2001 beliau mengadakan peringatan Pesta Nama ke – 40 tahun bersamaan dengan Krisma. Pada puncak perayaan Pesta Nama Gereja Gamping menghadirkan Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto.

Romo Jakobus Winarto Widyosumarto Pr dikenal dekat dengan umat, menerapkan pelayanan murah hati sehingga sering disebut “rama misa”.

Prinsip yang dijalankan adalah pembangunan umat paroki sebagai gereja kecil.

Semasa berkarya di Gamping telah memekarkan lingkungan di Wilayah Brayat Minulya Balecatur menjadi 6 (enam) lingkungan, yaitu dengan bertambahnya Lingkungan Santa Margaretha Gejawan Indah Puri. Di akhir masa karyanya di paroki Gamping memekarkan Wilayah Santo Aloysius Gonzaga dari 2 (dua) lingkungan menjadi 3 (tiga) lingkungan dengan bertambahnya Lingkungan Santa Veronika Gesikan III.

Setelah gempa bumi melanda Yogyakarta pada 27 Mei 2006, maka tugas yang paling berat adalah pembangunan kembali fisik gereja dan pastoran. Setelah perbaikan gereja 90 % terselesaikan, beliau digantikan oleh Rama Fransiskus Asisi Suntoro mulai 15 juli 2007.

Dokumen terkait