• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Sekolah Autis

Istilah Autisme berasal dari kata "Autos" yang berarti diri sendiri. Sedangkan "Isme" yang berarti suatu aliran. Berarti suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Autisme juga suatu keadaan di mana seseorang anak berbuat semaunya sendiri baik cara berfikir maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih muda, biasanya sekitar usia 2-3 tahun (Ginanjar, 2008:23).

Anak autis sendiri memiliki 6 karakteristik gangguan sebagai berikut: 1. Komunikasi:

a. Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.

b. Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi kemudian sirna.

c. Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya.

d. Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang lain.

e. Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi. f. Senang meniru atau membeo (echolalia).

g. Bila senang meniru, dapat hafal betul kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinya.

h. Sebagian dari anak ini tidak berbicara ( non verbal) atau sedikit berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasa.

i. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.

2. Interaksi sosial:

a. Penyandang autistik lebih suka menyendiri.

b. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan. c. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.

d. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh 3. Gangguan sensoris:

a. Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk. b. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga. c. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.

d. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut. 4. Pola bermain:

31

b. Tidak suka bermain dengan anak sebayanya. c. Tidak kreatif, tidak imajinatif.

d. Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya di putar-putar.

e. Senang akan benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda.

f. Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana-mana.

5. Perilaku:

a. Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif). b. Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang,

mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/beijalan bolak balik, melakukan gerakan yang diulang-ulang.

c. Tidak suka pada perubahan.

d. Dapat pula duduk bengong dengan tatapan kosong. 6. Emosi

a. Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis tanpa alasan - temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya- kadang suka menyerang dan merusak.

c. Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain (http://talenta-salatiga.blogspot.com).

Seperti anak pada umumnya, anak autis juga memerlukan pendidikan. Akan tetapi, pendidikan mereka berbeda dengan pendidikan umum. Mereka harus mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi anak- anak berkebutuhan khusus seperti sekolah autis.

Sekolah khusus ini ditujukan bagi anak-anak autis yang tidak mampu mengikuti kegiatan di sekolah reguler. Biasanya mereka tergolong non verbal, memiliki kemampuan kognitif yang terbatas, dan belum mampu mengontrol tingkah laku. Pendidikan yang diberikan difokuskan pada ketrampilan bina diri, pendidikan akademik dasar, serta pengembangan minat dan bakat (Ginanjar, 2008:103).

Pengajaran bagi anak penyandang autis tidak sama dengan anak biasa. Kurikulum pendidikan yang disiapkan umumnya sangat individual. Kurikulum autis harus dibuat berbeda-beda untuk setiap individu. Mengingat setiap anak autis memiliki kebutuhan berbeda. Ini sesuai dengan sifat autis yang berspektrum. Misalnya ada anak yang butuh belajar komunikasi dengan intensif, ada yang perlu belajar bagaimana mengurus dirinya sendiri dan ada juga yang hanya perlu fokus pada masalah akademis.

Penentuan kurikulum yang tepat bagi tiap-tiap anak bergantung dari assessment (penilaian) awal yang dilakukan tiap sekolah. Penilaian ini perlu dilakukan sebelum sekolah menerima anak autis baru. Biasanya, penilaian

33

melalui wawancara terhadap kedua orang tuanya. Wawancara ini untuk mengetahui latar belakang, hambatan, dan kondisi lingkungan sosial anak.

Selain itu, penilaian awal ini juga melalui observasi langsung terhadap anak. Lamanya penilaian awal ini berbeda-beda. Hal ini diperlukan untuk menentukan jenis terapi dan juga kurikulum yang tepat buat sang anak. Biasanya, terapi ini akan digabungkan dengan bermain agar lebih menyenangkan bagi anak autis. Ada berbagai macam bentuk terapi bagi penyandang autis. Di antaranya, terapi terpadu, wicara, integritas, dan fisioterapi. Terapi yang diberikan tergantung dari kondisi anaknya.

Perlakuan terhadap penyandang autis di atas umur lima tahun berbeda dengan penyandang autis di bawah umur lima tahun. Terapi penyandang autis di atas umur lima tahun lebih kepada pengembangan bina diri agar bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Jika penyandang autis yang berumur di atas lima tahun belum bisa bersosialisasi sama sekali, maka akan diberikan pelatihan tambahan yang mengarah kepada peningkatan syaraf motorik kasar dan halus. Bagi penyandang yang sudah bisa bersosialisasi, maka akan langsung ditempatkan di sekolah reguler, dengan catatan mereka harus tetap mengikuti pelajaran tambahan di sekolah khusus penyandang autis.

Penyandang autis di bawah lima tahun diberikan terapi terpadu seperti terapi perilaku dan wicara. Terapi perilaku bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan, meniru, dan okupasi. Terapi wicara dimulai dengan melakukan hal-hal yang sederhana, seperti meniup lilin, tisu, melafalkan huruf A,dan melafalkan konsonan.

Hal lain yang patut dicermati adalah konsistensi antara apa yang dilakukan di sekolah dengan di rumah. Jika terdapat perbedaan yang mencolok, kemajuan anak autis akan sulit dicapai. Anak mengalami kebingungan atas apa yang ada pada lingkungannya. Untuk itu, diperlukan komunikasi intensif antara sekolah dan orang tua.

Sekolah autis masuk ke dalam satuan pendidikan luar biasa. Oleh karena itu, semua hal yang terkait dengan pembelajaran untuk anak-anak autis berpedoman kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Akan tetapi, masing-masing sekolah diberikan kebebasan untuk menentukan kurikulum bagi penyandang autis. Alasannya, karena setiap sekolah memiliki kebutuhan yang berbeda dalam mendidik penyandang autis.

Selain itu, materi yang diajarkan di sekolah autis juga ditentukan sendiri oleh sekolah sesuai dengan kurikulum yang telah dibuat. Materinya antara lain adalah ketrampilan bina diri, pendidikan akademik dasar, serta pengembangan minat dan bakat. Pendidikan akademik dasar materinya hampir sama dengan materi sekolah-sekolah umum, hanya dibatasi jumlah materinya. Termasuk di dalamnya adalah pendidikan agama Islam.

Materi agama Islam yang diberikan kepada anak-anak autis hanya dibatasi pada materi-materi yang sederhana. Antara lain, doa sehari-hari, surat-surat pendek, pengenalan huruf hijaiyyah, pengenalan rukun Iman, rukun Islam, wudhu, shalat berikut prakteknya, serta memberi contoh yang baik pada anak didik. Ini diberikan sesuai dengan pembiasaan kesehariaan di rumah maupun sekolah.

35

Jadi, berdasarkan teori di atas, anak-anak autis juga memiliki hak untuk mendapatkan pengetahuan akademik seperti anak-anak pada umumnya dimana kurikulum dan materinya disesuaikan dengan kondisi mereka dan yang berupa materi-materi sederhana. Sedangkan penyampain materinya menggunakan metode-metode khusus sesuai dengan gangguan yang dialami siswa

Dokumen terkait