BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
F. Pembuatan Kurva Baku Nikotin
1. Selektifitas
Selektifitas atau spesifitas merupakan kemampuan dari metode untuk
mendeteksi dan menganalisa analit dalam sebuah matriks tanpa gangguan dari
komponen lain yang berada dalam matriks tersebut (Ahuja dan Rasmussen, 2007).
Untuk deteksi yang spesifik, dimanfaatkan karakteristik unik dari analit, misalnya
spektrum analit (panjang gelombang UV yang spesifik, fluoresens), massa
molekul, fragmentasi molekul. Spesifitas juga dapat diperoleh melalui preparasi
sampel, contohnya dengan derivatisasi, ekstraksi, presipitasi, adsorpsi, dan lain
sebagainya (Ermer dan Miller, 2005).
Spesifitas dapat ditentukan melalui perhitungan resolusi dengan rumus :
Rs = (6)
Dimana:
t2 = waktu retensi puncak kedua t1 = waktu retensi puncak pertama
W0,5(1) = lebar puncak pertama pada setengah tinggi puncak
Nilai Rs harus mendekati atau lebih dari 1,5 karena akan memberikan
pemisahan puncak yang baik (base line resolution) (Snyder dkk., 2010).
2. Linearitas
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan respon
yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik yang baik,
proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel (Harmita, 2004).
Linearitas dapat dilihat melalui kurva kalibrasi yang menunjukkan
hubungan antara respon dengan konsentrasi analit pada beberapa seri baku. Dari
kurva kalibrasi ini kemudian akan ditemukan regresi linearnya yang berupa
persamaan y=bx+a, dimana x=konsentrasi; y=respon, a=intersep y yang
sebenarnya dan b=slope yang sebenarnya. Tujuan dari dibuatnya regresi ini adalah
untuk menentukan estimasi terbaik untuk slope dan intersep y sehingga akan mengurangi residual error, yaitu perbedaan nilai hasil percobaan dengan nilai yang diprediksi melalui persamaan regresi linear (Harvey, 2000).
Sebagai parameter adanya hubungan linear digunakan koefisien korelasi
r pada analisis regresi linear. Hubungan linear yang ideal dicapai jika nilai b=0
dan r=+1 atau -1 tergantung arah garis (Harmita, 2004).
3. Akurasi
Akurasi sebuah metode analisis mencermikan kedekatan nilai atau harga
dari yang diperoleh saat penelitian dengan yang sebenarnya (true value). Akurasi ditentukan dengan % recovery. Biasanya dilakukan terhadap minimal tiga konsentrasi dan direplikasi tiga kali (Ahuja dan Rasmussen, 2007).
kimia) ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa sediaan farmasi
(plasebo) lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan
kadar analit yang ditambahkan (kadar yang sebenarnya). Dalam metode
panambahan baku, sampel dianalisis lalu sejumlah tertentu analit yang diperiksa
ditambahkan ke dalam sampel dicampur dan dianalisis lagi. Selisih kedua hasil
dibandingkan dengan kadar yang sebenarnya (hasil yang diharapkan). Dalam
kedua metode tersebut, persen peroleh kembali dinyatakan sebagai rasio antara
hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. Tabel IV menunjukkan
rentang kesalahan yang diperolehkan pada setiap konsentrasi analit pada matriks
(Harmita, 2004).
Tabel IV. Rentang kesalahan yang diperbolehkan pada tiap konsentrasi analit
Analit pada matrik sampel, % Rata-rata yang diperoleh, % 100 98-102 >10 98-102 >1 97-103 >0,1 95-105 0,01 90-107 0,001 90-107 0,0001 (1ppm) 80-110 0,000.01 (100ppb) 80-110 0,000.001 (10ppb) 60-115 0,000.0001 (1ppb) 40-120 4. Presisi
Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil
beberapa seri pengujian yang diperoleh dari sampel-sampel yang diambil dari
diterima berdasarkan kadar analit tertera dalam tabel di bawah ini (Huber, 2007): Tabel V. Kriteria penerimaan presisi berdasar kadar analit
Analit (%) %RSD 100 1,3 10 2,7 0,1 2,8 0,01 3,7 0,001 5,3 0,0001 7,3 0,00001 11 0,000001 15
Presisi diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif
(koefisien variasi). Simpangan baku dalam presisi merupakan parameter yang
penting dalam mendeskripsikan lebarnya distribusi normal, misalnya derajat
persebaran data (Ermer dan Miller, 2005).
Presisi dapat dinyakatan sebagai keterulangan (repeatability) atau keterulangan (reproducibility). Keterulangan adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam
interval waktu yang pendek. Sedangkan ketertiruan adalah keseksamaan metode
jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda. Kriteria seksama diberikan jika
metode memberikan simpangan baku relatif atau koefisien variasi 2% atau
kurang. Akan tetapi kriteria ini sangat fleksibel tergantung pada konsentrasi analit
yang diperiksa, jumlah sampel, dan kondisi laboratorium (Harmita, 2004).
5. Sensitivitas
Sensitivitas merupakan kemampuan suatu metode analisis untuk
membedakan dua konsentrasi yang berbeda dan ditentukan melalui slope dari kurva kalibrasi (Christian, 2004).
linearitas yang dapat diterima (Harmita, 2004).
7. Limit of detection (LOD) dan Limit of quantitation (LOQ)
LOD adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi
yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko.
(Harmita, 2004). LOQ merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan
sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi
criteria akurasi dan presisi (Harmita, 2004).
G. Landasan Teori
Nikotin merupakan suatu jenis alkaloid di dalam tumbuhan tembakau
(Nicotiana tabacum) yang memiliki cincin piridin dan pirolidin. Nikotin berpotensi dalam mengobati penyakit seperti depresi dan penyakit Parkinson,
sehingga ekstrak tembakau yang mengandung nikotin dapat dikembangkan
menjadi suatu sediaan farmasi, oleh karena itu diperlukan standarisasi aspek
spesifik dari ekstrak daun tembakau untuk menjamin keseragaman kadar nikotin
di dalamnya.
Dalam proses standarisasi aspek spesifik ekstrak daun tembakau,
dibutuhkan suatu metode analisis yang memiliki sensitivitas dan selektivitas yang
tinggi untuk menetapkan kadar nikotin. Salah satu metode yang dapat digunakan
detektor UV. Nikotin memiliki kromofor yang dapat menyerap radiasi
elektromagnetik sehingga dapat ditetapkan kadarnya dengan detektor UV. Hasil
kerja yang maksimum dapat diperoleh pada kondisi optimum metode. Kondisi
optimum dari metode ini ditemukan pada penggunaan fase diam kolom
oktadesilsilan (C18), fase gerak buffer asetat, metanol, dan asetonitril dengan
perbandingan 40:54:6 dan laju alir 1,2 mL/menit.
Metode KCKT yang telah optimum harus divalidasi agar hasil yang
diperoleh dapat dipertanggungjawabkan serta memberikan jaminan bahwa metode
telah memenuhi persyaratan analisis. Parameter validasi metode meliputi akurasi,
yang ditentukan dengan persen perolehan kembali; presisi, yang dinyatakan dalam
Coefficient of Variation (CV); linearitas, yang ditentukan dengan nilai koefisien korelasi (r) dan spesifitas, yang ditentukan dengan nilai resolusi.
H. Hipotesis
Metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) fase terbalik
menggunakan fase diam kolom oktadesilsilan (C18) dan fase gerak buffer
asetat:metanol:asetonitril (40:54:6) dengan kecepatan alir 1,2 mL/menit pada
penetapan kadar nikotin dalam ekstrak etanolik daun tembakau memenuhi
29
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini mengikuti jenis penelitian non eksperimental, karena tidak
dilakukan perlakuan atau manipulasi pada subjek uji yang digunakan dan
rancangan deskriptif karena hanya menggambarkan data yang diperoleh.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sistem kromatografi cair kinerja
tinggi (KCKT) dengan fase diam C18 dan fase gerak buffer
asetat:metanol:asetonitril (40:54:6) pada kecepatan alir 1,2 mL/menit.
2. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah parameter validitas yaitu
selektifitas, linearitas, akurasi, presisi dan rentang.
3. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah:
a. pH pelarut dan fase gerak yang dikendalikan dengan menggunakan buffer
pada pH 4.
b. Larutan baku yang bersifat mudah teroksidasi oleh udara dan cahaya
diatasi dengan menggunaan alumium foil untuk menutupi alat-alat gelas.
C. Definisi Operasional
1. Penelitian yang dilakukan termasuk dalam validasi metode kategori I, yaitu
metode yang digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif komponen
utama dalam suatu matriks. Validasi metode yang dilakukan meliputi
pengukuran terhadap parameter validasi yaitu selektifitas, linearitas, akurasi
dan presisi.
2. Sistem kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan kolom fase diam okta desilsilan (C18) serta
komposisi fase gerak buffer asetat:metanol:asetonitril (40:54:6) dengan
kecepatan alir 1,2 mL/menit.
3. Kadar nikotin dinyatakan dalam satuan ppm (parts per million).
D. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan adalah baku nikotin (E.Merck), acetronitrile (E.Merck), metanol (E.Merck), etanol (teknis), ammonium asetat (E.Merck), natrium asetat (E.Merck), asam asetat glasial (E.Merck), asam klorida (teknis), natrium hidroksida 5M (E.Merck), kloroform (E.Merck), aquades dan aquabides. Semua bahan kimia yang digunakan memiliki grade pro analysis (p.a) kecuali dinyatakan lain, sedangkan sampel yang diteliti berupa ekstrak etanolik daun
Shimadzu LC-10 AD No.C20293309457 J2) dengan sistem elusi gradien; detektor
UV-Vis (merek Shimadzu SPD 10 AV No.C20343502697 KG), kolom C-18
merek Bondapack C-18 dengan panjang kolom 25 cm No.P61271BO2,
sperangkat computer (merek Dell Vostro 220, printer merek HP D2566), alat degassing ultrasonic (Retsch tipe T640 No.935922013), membran filter Whatman ukuran pori 0,45 µm dan diameter 47 mm, neraca analitik merek Ohaus, Millipore, mikropipet, indikator pH, seperangkat alat gelas.
F. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan Fase Gerak
a. Pembuatan buffer asetat pH 4. Ditimbang kurang lebih seksama
0,1683 g ammonium asetat p.a, 0,5599 g natrium asetat dan diambil 0,406 mL
asam asetat glasial. Ketiga zat tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 250,0 mL
kemudian dilarutkan dengan aquabides hingga batas tanda. (Larutan buffer ini
harus selalu dibuat baru untuk mencegah tumbuhnya mikroorganisme).
b. Pembuatan fase gerak buffer asetat:metanol:asetonitril (40:54:6). Fase
gerak yang digunakan terdiri dari campuran buffer asetat, metanol, dan asetonitril
dengan perbandingan 40:54:6. Masing-masing larutan fase gerak disaring dengan
menggunakan kertas saring Whatman dengan bantuan pompa vakum. Selanjutnya fase gerak diawaudarakan selama 15 menit.
2. Pembuatan Larutan Baku Nikotin
a. Pembuatan larutan stok baku nikotin. Dibuat larutan stok baku nikotin
konsentrasi 2 ppm dengan cara mengambil sebanyak 10 µL baku nikotin,
dimasukkan ke dalam labu takar 5,0 mL, kemudian diencerkan dengan fase gerak
yang digunakan hingga tanda.
b. Pembuatan seri larutan baku nikotin. Dibuat seri larutan baku dengan
konsentrasi 0,01; 0,03; 0,05; 0,07 dan 0,09 ppm dengan cara mengambil sebanyak
25; 75; 125; 175 dan 225 µL dari larutan stok baku nikotin, dimasukkan labu takar
5,0 mL dan diencerkan dengan fase gerak yang digunakan hingga tanda.
3. Penentuan Panjang Gelombang Pengamatan
Dibuat seri larutan baku nikotin dengan konsentrasi 0,005; 0,007 dan
0,009 ppm. Masing-masing konsentrasi dibaca absorbansinya pada rentang
panjang gelombang 225-325 nm. Panjang gelombang pengamatan yang
digunakan adalah panjang gelombang yang memberikan serapan terbesar yang
sama pada 3 seri konsentrasi larutan baku nikotin.
4. Preparasi Sampel
Sebanyak 1,0 g ekstrak kental daun tembakau dilarutkan dalam 10 mL
asam klorida encer dengan bantuan ultrasonikator selama 30 menit hingga
semuanya larut. Selanjutnya larutan ditambah dengan 10 mL kloroform dan
diekstraksi selama 5 menit hingga terbentuk dua lapisan, lapisan kloroform
kemudian dibuang. Lapisan berair kemudian ditetesi dengan natrium hidroksida
4M hingga pH larutan mencapai 11-12, setelah itu ditambahkan 10 mL kloroform.
a. Penentuan resolusi sampel. Sebanyak 20 µL larutan fraksi kloroform
ekstrak tembakau yang telah disaring dengan millipore dan diawaudarakan selama 15 menit diinjeksikan pada sistem KCKT fase terbalik dengan fase diam C18 dan
fase gerak buffer asetat:metanol:asetonitril (40:54:6) pada kecepatan alir 1,2
mL/menit. Dilakukan repetisi tiga kali. Resolusi dihitung dengan memasukkan
selisih waktu retensi dan lebar setengah tinggi peak ke dalam rumus perhitungan resolusi.
b. Pembuatan kurva baku dan penentuan linearitas. Dibuat seri larutan
baku dengan konsentrasi 0,01; 0,03; 0,05; 0,07 dan 0,09 ppm, masing-masing
larutan disaring dengan menggunakan millipore kemudian diawaudarakan 15 menit dan 20 µL dari masing-masing larutan diinjeksikan pada sistem KCKT fase
terbalik dengan fase diam C18 dan fase gerak buffer asetat:metanol:asetonitril
(40:54:6) pada kecepatan alir 1,2 mL/menit. Dari kromatogram akan diperoleh
luas area nikotin untuk masing-masing konsentrasi. Luas area ini kemudian
diplotkan terhadap konsentrasi nikotin untuk memperoleh regresi linear dengan
persamaan y = bx + a dan nilai koefisien korelasi (r) yang akan digunakan untuk
menentukan parameter validasi linearitas.
c. Penentuan persen perolehan kembali (recovery) dan penentuan koefisien variasi baku nikotin. Sebanyak 20 µL larutan baku nikotin konsentrasi
selama 15 menit diinjeksikan pada sistem KCKT fase terbalik dengan fase diam
C18 dan fase gerak buffer asetat:metanol:asetonitril (40:54:6) pada kecepatan alir
1,2 mL/menit. Dilakukan replikasi sebanyak lima kali. Konsentrasi nikotin
diperoleh dengan cara memasukkan AUC yang diperoleh ke dalam persamaan
kurva baku. Kemudian dihitung persen recovery, Standard Deviation (SD) dan Koefisien Variasi (KV).
d. Penentuan persen kembali (recovery) dan penentuan koefisien variasi adisi baku nikotin dalam sampel. Dibuat dua macam larutan yaitu larutan sampel
dan larutan sampel adisi. Larutan sampel dibuat dengan cara mengambil 500 µL
ekstrak sampel ke dalam labu takar 5,0 mL dan diencerkan hingga tanda dengan
fase gerak yang digunakan. Larutan sampel adisi dibuat dengan cara mengambil
500 µL ekstrak tembakau dan 150 µL larutan stok baku nikotin ke dalam labu
takar 5,0 mL dan diencerkan dengan fase gerak yang digunakan hingga tanda.
Kedua larutan disaring dengan millipore dan diawaudarakan selama 15 menit, kemudian diinjeksikan sebanyak 20 µL pada sistem KCKT fase terbalik dengan
fase diam C18 dan fase gerak buffer asetat:metanol:asetonitril (40:54:6) pada
kecepatan alir 1,2 mL/menit. Dilakukan replikasi sebanyak lima kali. Kadar baku
nikotin yang ditambahkan dalam sampel merupakan selisih nilai kadar sampel
yang dihasilkan oleh sampel isolat kloroform ekstrak daun tembakau. Menurut
Snyder dkk. (2010), syarat resolusi yang baik yaitu dimana senyawa analit
terpisah dari senyawa-senyawa yang lain adalah ≥ 1,5. Resolusi dihitung dengan rumus :
Rs = (7)
Dimana : Rs = resolusi
t2= waktu retensi puncak kedua t1 = waktu retensi puncak pertama
W0,5(1) = lebar setengah tinggi puncak pertama W0,5(2) = lebar setengah tinggi puncak kedua.
2. Linearitas dan Rentang
Linearitas ditentukan dengan nilai koefisien korelasi (r), yang diperoleh
dari AUC baku nikotin yang diplotkan terhadap konsentrasi baku. Nilai r yang
dipersyaratkan adalah ≥ 0,999. Sedangkan rentang diperoleh dari konsentrasi terendah hingga tertinggi baku nikotin yang memberikan akurasi, presisi dan
linearitas yang baik.
3. Akurasi
Akurasi ditentukan dengan persen perolehan kembali (recovery), yang dapat dihitung dengan rumus:
4. Presisi
Presisi dinyatakan dalam Koefisien Variasi (KV), yang dapat dihitung
dengan rumus :
KV =
(9)
37
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan apakah penetapan kadar
nikotin dalam ekstrak daun tembakau dengan menggunakan metode kromatografi
cair kinerja tinggi fase terbalik dapat memenuhi persyaratan validasi yang berlaku.
Dasar pemilihan metode KCKT pada penelitian ini adalah karena analisis nikotin
dalam ekstrak daun tembakau termasuk analisis senyawa multikomponen.
Dikatakan demikian karena pada ekstrak daun tembakau tidak hanya terdapat
nikotin, melainkan senyawa-senyawa lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
metode yang dapat memisahkan nikotin dari senyawa-senyawa lain dalam ekstrak
daun tembakau dan pada saat yang bersamaan dapat mengkuantifikasinya. KCKT
merupakan metode yang sesuai untuk kepentingan analisis ini karena KCKT dapat
memisahkan senyawa multikomponen sekaligus mengkuantifikasinya.
A. Pembuatan Fase Gerak
Pada penelitian ini, fase gerak yang digunakan berupa campuran buffer
asetat, metanol dan asetonitril dengan perbandingan 40:54:6. Berdasarkan
polaritas fase gerak dan fase diamnya, sistem kromatografi yang digunakan
merupakan sistem kromatografi fase terbalik, dimana fase gerak lebih polar
dibandingkan dengan fase diamnya, yaitu kolom oktadesilsilan (C18).
Metanol digunakan dalam fase gerak karena nikotin memiliki kelarutan
untuk menambah eluent strength dari fase gerak, dimana asetonitril memiliki eluent strength yang lebih kuat dibandingkan metanol yaitu 3,1, sedangkan eluent strength dari metanol adalah 1,0 (Sadek, 2002). Dengan bertambahnya eluent strength dari fase gerak waktu retensi dari nikotin akan menjadi semakin singkat.
Fase gerak yang digunakan juga mengandung buffer. Buffer digunakan
dalam suatu sistem KCKT apabila analit merupakan senyawa yang mudah
terionisasi oleh pengaruh pH. Fungsi dari buffer adalah untuk mempertahankan
pH sistem, sehingga analit akan berada pada satu bentuk ionisasi.
Nikotin merupakan senyawa basa dengan pKa 8,5 yang mudah
terprotonasi dalam suasana asam dimana atom nitrogen pada cincin pirolidin
nikotin akan mengalami protonasi (Gambar 14), oleh sebab itu diperlukan buffer
untuk mengkontrol pH pada saat analisis. Pemilihan buffer dilakukan berdasarkan
pKa dari senyawa yang akan dianalisis (analitnya). pH dari buffer yang digunakan
± 2 unit dari pKa nikotin karena pada pH ± 2 pKa, nikotin akan berada dalam
bentuk terion (99% ionik) atau pada bentuk tidak terion (99% netral). Apabila pH
buffer sama dengan pKa nikotin, maka nikotin akan berada dalam bentuk 50%
terion dan 50% molekul, bila hal ini terjadi dapat menimbulkan masalah dimana
bentuk yang terion akan terelusi lebih dahulu sedangkan bentuk molekul akan
terelusi lebih lambat (Kazakevich dan LoBrutto, 2007).
Gambar 14. Protonasi cincin pirolidin pada nikotin dalam suasana asam
dalam bentuk tak terion dengan pH buffer 2 unit di atas pKa nikotin, karena pada
pH > 7 dapat terjadi disolusi partikel-partikel silika pada kolom C18 yang
digunakan, terutama jika digunakan fase gerak yang kandungan airnya tinggi
(Kazakevich dan LoBrutto, 2007).
Berdasarkan perhitungan pergeseran pH oleh Kazakevich dan LoBrutto
(2007), pKa nikotin akan mengalami pergeseran menjadi 7,3 saat terlarut dalam
fase gerak yang mengandung 60% senyawa organik (54% metanol dan 6%
asetonitril), sedangkan pH dari buffer asam akan mengalami pergeseran sebanyak 1,2 unit ke atas, sehingga pH dari buffer harus ≤ 4,1 agar nikotin tetap berada dalam bentuk terion, oleh sebab itu digunakan buffer asetat yang memiliki pKa
4,8 dengan rentang pH 3,8–4,8. Buffer asetat yang digunakan terdiri dari ammonium asetat (0,349 mmol), natrium asetat (1,092 mmol) dan asam asetat
1,625 mL/L dengan pH 4.
Sebelum digunakan, masing-masing komponen fase gerak harus disaring
dengan menggunakan kertas Whatman. Tujuan dari penyaringan ini adalah untuk
menghilangkan adanya partikel-partikel asing dalam masing-masing larutan fase
gerak yang dapat menyumbat kolom dan akhirnya akan mengganggu analisis.
Terdapat dua macam kertas Whatman yang digunakan, yaitu kertas Whatman
organik yang digunakan untuk menyaring larutan organik (metanol, asetonitril)
Setelah semua larutan disaring, maka larutan diawaudarakan dengan
menggunakan ultrasonikator. Tujuannya adalah untuk menghilangkan
gelembung-gelembung udara yang terdapat pada larutan, adanya gelembung-gelembung udara dapat
mengganggu proses pemisahan sampel. Pencampuran masing-masing komponen
fase gerak dilakukan secara gradient dalam instrumen KCKT.
B. Pembuatan Larutan Baku Nikotin
Larutan baku nikotin dibuat dengan cara melarutkan sejumlah tertentu
baku nikotin dalam pelarut. Pelarut yang digunakan adalah sama dengan fase
gerak yaitu buffer asetat:metanol:asetonitril (40:54:6). Berdasarkan Snyder dkk.
(2010), untuk mencegah terjadinya perbedaan solvent strength antara pelarut dari analit dan fase gerak maka lebih baik apabila pelarut yang digunakan sama
dengan fase gerak. Solvent strength ini merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi retensi, sehingga dengan membuat pelarut sama dengan fase gerak
maka tidak akan terjadi perbedaan retensi antara pelarut analit dan fase gerak.
Dalam pembuatan larutan baku nikotin, dibuat larutan stok baku nikotin
dengan konsentrasi 2 ppm. Dari larutan stok ini kemudian dibuat 5 seri
Pada penelitian ini tidak terdapat senyawa lain selain nikotin yang dianalisis,
sehingga panjang gelombang pengamatan yang digunakan adalah panjang gelombang dimana nikotin memberikan serapan maksimum (λ maksimum). Penetapan panjang gelombang pengamatan nikotin ini dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer UV, secara teoritis nikotin memiliki serapan
maksimum pada panjang gelombang 262nm. Nikotin memiliki gugus kromofor
pada cincin piridinnya (Gambar 15) sehingga dapat memberikan serapan pada
daerah sinar ultraviolet.
Gambar 15. Gugus kromofor dan auksokrom pada nikotin
Pada penentuan panjang gelombang pengamatan digunakan tiga seri
konsentrasi nikotin dalam pelarut, dan terhadap masing-masing seri konsentrasi
dilakukan scanning panjang gelombang mulai dari 225 nm hingga 325 nm. Hasil yang diperoleh berupa spektra panjang gelombang nikotin seperti yang terlihat
pada gambar dibawah ini:
Kromofor auksokrom
Gambar 16. Spektra panjang gelombang maksimum nikotin pada tiga tingkat konsentrasi, 0,005ppm; 0,007ppm; dan 0,009ppm. Keterangan : A = konsentrasi 0,005ppm, absorbansi
0,205, λmaksimum 260nm; B = konsentrasi 0,007ppm, absorbansi 0,333, λmaksimum 260nm; C = konsentrasi 0,009ppm; absorbansi 0,374; λmaksimum 260nm
Gambar 16 di atas menunjukkan bentuk spektra nikotin, spektra ini
digunakan untuk analisis sekunder kualitatif, dimana spektra dari suatu senyawa
akan memiliki bentuk yang berbeda dengan senyawa yang lain sehingga dapat
digunakan untuk uji kualitatif. Dari Gambar 16 di atas terlihat bahwa pada tiga
konsentrasi yang berbeda bentuk spektra yang dihasilkan adalah sama, sehingga
disimpulkan bahwa spektra tersebut merupakan bentuk spektra dari nikotin. Dari
D. Preparasi Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak etanolik
kental daun tembakau. Ekstrak daun tembakau ini mengandung bermacam-macam
senyawa lain selain nikotin, yaitu senyawa alkaloidal lainnya seperti anabasin,
anatabin dan nornikotin serta senyawa-senyawa non alkaloidal. Preparasi sampel
yang dilakukan bertujuan untuk mengekstraksi nikotin dari dalam sampel
sekaligus menghilangkan senyawa-senyawa non alkaloidal, khususnya yang
memiliki bobot molekul besar (contohnya tannin) yang dapat menyumbat kolom
C18 yang digunakan. Senyawa-senyawa alkaloidal akan ikut terekstraksi bersama
dengan nikotin, namun karena perbedaan struktur dan polaritasnya maka akan
terpisah saat dianalisis menggunakan KCKT.
Ekstrak kental daun tembakau dilarutkan dengan asam klorida encer
dengan bantuan ultrasonikator selama 30 menit. Nikotin yang tak terion dalam
sampel akan bereaksi dengan asam klorida membentuk nikotin hidroklorida yang
terlarut dalam fase asam klorida encer (Gambar 17), kemudian larutan ini
ditambahkan dengan kloroform sebanyak 10mL. Saat penambahan kloroform
nikotin hidroklorida akan tetap terlarut dalam fase asam klorida encer, sedangkan
senyawa-senyawa non alkaloidal akan terbawa dalam fase kloroform, sehingga
Gambar 17. Rekasi penggaraman nikotin oleh asam klorida
Fase air yang mengandung nikotin hidroklorida kemudian ditambah
dengan natrium hidroksida 4M hingga mencapai pH 11-12, tujuannya adalah agar
nikotin hidroklorida akan kembali menjadi nikotin yang tak terion (Gambar 18).
Oleh karena itu, dengan penambahan kloroform untuk kedua kalinya nikotin
hidroklorida yang telah kembali menjadi nikotin akan terlarut dalam fase
kloroform.
Gambar 18. Reaksi garam nikotin HCl dengan natrium hidroksida
Fase kloroform yang diperoleh kemudian diuapkan hingga tersisa residu
nikotin. Nikotin memiliki titik didih yang jauh lebih tinggi daripada kloroform,
yaitu 246oC sedangkan titik didih kloroform adalah 61,2oC, sehingga nikotin tidak
akan ikut menguap. Residu yang diperoleh kemudian dilarutkan dalam pelarut