• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.3. Semiotika dan Semiologi Komunikasi

Kata ’semiotika’ itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti

’tanda’ atau ’seme’ yang berarti ’penafsir tanda’. Semiotika sendiri berakar dari studi

klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji suatu tanda.

Tanda adalah perangkat-perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di

dunia ini, di tengah-tengah masyarakat dan hidup bersama manusia. Semiotika, atau

dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana

kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa

objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal nama objek-objek itu hendak

berkomunikasi , tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan

dalam Sobur, 2004: 15)

Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna adalah

hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Littlejohn, 1996: 64). Jika

diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf,kata dan kalimat,tidak memiliki arti

pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti dalam kaitannya dengan

pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang

ditandakan sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Sebuah

menjadi ”tanda” yang dapat dilihat dalam aktivitas penanda: yakni proses signifikasi

ang menghubungkan objek dan interpretasi.

Semiotika modern mempunyai dua bapak, yaitu Charles Sanders Pierce

(1839-1914) dan Ferdinand De Saussure (1857-1913). Terdapat perbedaan antara Pierce dan

Saussure, antara lain: Pierce adalah ahli filsafat dan logika, sedangkan Saussure

adalah tokoh cikal bakal linguistik umum (Sobur, 2004:110).

Sehingga perlu digaris bawahi dari berbagai definisi di atas adalah para ahli

melihat semiotika itu sebagi ilmu atau proses yang berhubungan dengan tanda.

Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama yaitu yang pertama adalah tanda itu

sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara

tanda-tanda yang berbeda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah

konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang

menggunakannya. Kedua, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini

mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu

masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunkasi yang tersedia

untuk mentransmisikannya. Ketiga, kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini

pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk

keberadaan dan bentuknya sendiri (Fiske, 2006: 61)

Kajian semiotika dibedakan menjadi dua jenis, yaitu semiotika komunikasi

dan semiotika signifikasi, yang pertama menitik beratkan pada teori tentang produksi

tanda, yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam

komunikasi yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda pesan), sluran komunikasi

dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan yang kedua menitik beratkan pada teori

Pada jenis yang kedua (semiotika signifikasi) tidak dipersoalkan adanya tujuan

komunikasi, sebaliknya yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda

sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses

komunikansinya (Sobur, 2004: 15)

Pada dasarnya semiosis dapat dipandang sebagai proses tanda yang dalam

istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah:

S ( s, i, e, r, c )

S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i adalah

interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh; r untuk reference (rujukan); c

untuk conteks (konteks) atau conditions (kondisi).

Batasan semiotika komunikasi menurut Ferdinand De Saussure adalah

linguistik hendaknya menjadi bagian suatu ilmu pengetahuan umum tentang tanda,

yang disebutnya sebagai semiologi.

Pada perkembangannya, kedua ilmu yaiu semiotika dan semioloi yang

mengacu pada tanda , secar prinsip tidak ada perbedaan. Kecuali dalam hal orientasi

semiologi pada Saussure dan orientai pada Pierce. Satu perbedaan antara keduanya,

menurut Hawkes adalah bahwa semiologi dipilih orang-orang Eropa di luar perbedaan

yang dimaksud Saussure, sedang semiotika dipilih oleh penutur berbahasa Inggris di

luar perbedaan yang dimaksud Pierce Amerika. Dengan kata lain sebenarnya dua ilmu

itu sama-sama dipakai. Semiotika menurut Umberto Eco dalam Sobur, pada

prinsipnya adalah ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunaka untuk

mendustai, mengelabui atau mengecoh.

” Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda.

Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai

perlu ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu.

Semiotika pada prinsipnya adalah suatu kebohongan. Jika sesuatu tersebut tidak dapat

digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan, sebaliknya, tidak bisa digunakan

untuk mengatakan kebenaran”.(Berger dalam Sobur, 2004:18)

2.3.1. Model Semiotika Saussure

”Jika seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern dialah

sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de Saussure,” kata Jhon Lyons(1995:3

dalam Sobur, 2004:44). Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam

Course in General Linguistcs sebagai ”ilmu yang mengkaji tentang peran tanda

sebagai bagian dari kehidupan sosial”. Implisit dalam definisi tersebut adalah sebuah

relasi bahwa bila tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, maka tanda juga

merupakan bagian dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Ada sistem tanda (sign

system) dan ada sistem sosial (social system), yang keduanya saling berkaitan. Dalam

hal ini, Saussure berbicara mengenai konvensi sosial (social convention) yang

mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan, pengkombinasian dan

penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu sehingga ia mempunyai makna dan nilai

sosial (Sobur, 2003: vii)

Menurut pandangan Saussure, segala sesuatu yang berhubungan dengan isi

statik dari ilmu adalah semiotik. Linguistik, dengan perspektif sinkroniknya, secara

khusus memperhatikan relasi-relasi logis dan psikologis yang memadukan

terma-terma secara berbarengan dan membentuk suatu sistem dalam pikiran kolektif.

Analisis bahasa secara sinkronik adalah analisis bahasa sebagai sistem yang

eksis pada suatu titik tertentu (yang seringkali berarti ”saat ini” atau konterporer)

sekarang. Sebaliknya, segala sesuatu yang bersangkutan dengan evolusi adalah

diakronik. Linguistik yang diakronik dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang,

yaitu prospektif dan retrospektif. Sudut pandang yang pertama mengikuti majunya

arus waktu, sedangkan yang kedua berjalan mundur.

Linguistik diakronik mengkaji relasi-relasi yang secara suksesif mengikat

terma-terma secara bersamaan, yang masing-masing dapat saling bersubtitusi tanpa

membentuk suatu sistem, namun tetap tidak disadari oleh pikiran kolektif. Meskipun

Saussure sendiri dididik dalam disadari linguistik diakronik yang sangat kental,

preferensinya secara khusus tertuju kepada linguistik sinkronik. Segala konsep yang

dikembangkan didalam linguistik sinkronik Saussurean ini berkisar pada

dikotomi-dikotomi tertentu, yakni penanda dan petanda, langue dan parole, serta sintagmatik

dan paradigmatik (Budiman, 2004: 38).

2.3.2. Signifier dan Signified

Pemikiran Saussure yang paling penting adalah pandangannya tentang tanda.

Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide atau petanda

(Sobur, 2004:44) Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia

dengan pemilahan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah

bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang

dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni

pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa. (Bartens, 1985: 382 dalam Kurniawan

2001: 14). Kedua unsur ini seperti dua sisi keping mata uang atau selembar kertas.

Tanda bahasa dengan demikian dapat menyatukan, bukan hal dengan nama,

Saussure menggambarkan tanda yang terdiri dari signifier dan signified itu

sebagai berikut :

Gambar 2.1. Diagram Semiotik Saussure

Sumber : Sobur, 2003, Semiotika Komunikasi, Penerbit Remaja Rosdakarya,

Bandung, Halaman 125.

Saussure menyebut signifier (penanda) sebagai bunyi atau coretan bermakna,

sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier.

Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan

signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna

terhadap dunia (Fiske, 1990 dalam Sobur, 2001: 125)

Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah produk

kultural. Hubungan di antara keduanya bersifat arbitter (manasuka) dan hanya

berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau peraturan dari kultur pemakai tersebut.

Hubungan signifier dan signified tidak bisa dijelaskan dengan nalar apapun, baik

pilihan bunyi-bunyinya maupun plihan untuk mengaitkan rangkaian bunyi tersebut

dengan benda atau konsep yang dimaksud. Karena hubungan yang terjadi antara

signifier dan signified bersifat arbitter, maka signifier harus dipelajari, yang berarti

ada struktur yang pasti atau kode yang membantu menafsirkan makna. Sign Composed of Signifier (Physical existence of the sign) Plus Signified (Mental concept) External reality of meaning Signification

Sifat arbitter antara signifier dan signified serta kaitan antara kedua komponen

ini menarik bila dikaitkan dengan kekuasan . Maksudnya, bagaimana kekuasaan dapat

menentukan signified mana yang boleh dikaitkan dengan signifier. Hal ini bisa terjadi

dalam sebuah kekuasaan yang bersifat otoriter dimana signified tertentu hanya bisa

diberi makna oleh pihak penguasa dan signified alternatif atau ”tandingan” tidak

diberi tempat.

Ketika bahasa berupaya mendefinisikan realitas, ada bahaya bahwa bahasa

sendiri tereduksi menjadi suatu rangkaian signifier belaka tanpa referensi langsung

terhadap yang ditandakan (signified). Suatu pengertian atau definisi tentang sesuatu

tinggal sebagai definisi belaka. Akibatnya, bahasa menjadi ”kosong”, sebab bahasa

atau memori saja. Hubungan antara signifier dan signified ini dibagi menjadi tiga,

yaitu:

1. Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandai,

misalnya foto atau peta

2. Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan

yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api.

3. Simbol adalah tanda dimana hubungan antara signifier dan signified

semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan (Van Zoest, 1996

dalam Sobur, 2001: 126).

2.3.3. Langue dan Parole

Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Perancis: langange, langue

(sistem bahasa) dan parole (kegiatan juaran). Langange adalah suatu kemampuan

berbahasa yang ada pada setiap manusia yang sifatnya pembawaan, namun

menunjang. Singkatnya, langange adalah bahasa pada umumnya. Orang bisupun sama

memiliki langange ini, namun disebabkan, umpamanya gangguan fisiologis pada

bagian tertentu maka dia tidak bisa bicara secara normal. Dalam pengertian umum,

langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial budaya, sedangkan

parole merupakan bahasa pada tingkat individu. Dalam konsep Saussure, langue

dimaksudkan bahasa sejauh merupakan milik bersama dari suatu golongan bahasa

tertentu.

Apa yang dinamakan langue itu menurut Saussure, harus dianggap sebagai

sistem. Jika langue mempnyai objek studi sistem atau tanda atau kode, maka parole

adalah ”living speech” yaitu bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimanaa terlihat

dalam penggunaannya. Kalau langue bersifat kolektif dan pemakaiannya ”tidak

disadari” oleh pengguna bahasa yang bersangkutan, maka parole lebih

memperhatikan faktor pribadi pengguna bahasa. Kalau unit dasar langue adalah kata,

maka unit dasar parole adalah kalimat (Sobur, 2003: 50-51)

Pada saat yang sama, Saussure menyatakan bahwa tinjauan terhadap langue

(bahasa sebagai sistem) harus didahulukan daripada parole (bahasa sebagai tanda

penuturan ujaran. Artinya, posisi sistem bahasa secara umum mendahului dan lebih

penting daripada seluruh ujaran nyata yang pernah benar-benar dituturkan. Ini

merupakan argumen paling mengejutkan yang lahir dari sudut pandang ilmu-ilmu

alam, ilmu diman bukti fisik positif menjadi satu-satunya bukti yang dapat diterima.

Namun demikian, menurut Saussure, bukti fiksi positif tidaklah cukup untuk

menjelaskan bahasa yang menandakan sebagai bahasa yang menandakan sekaligus

2.3.4. Associative dan Syntagmatic

Menurut Saussure terdapat dua bentuk didalam hubungan dan perbedaan

antara unsur-unsur bahasa berdasarkan kegiatan mental manusia, yaitu :

1. Hubungan Associative (paradigmatik)

Hubungan eksternal dalam suatu tanda dengan tanda lain. Tanda lain yang bisa

berhubungan secara paradigmatik adalah tanda-tanda satu kelas atau sistem.

Contoh : gambar ’ketupat’ mempunyai hubungan dengan peci, sarung dalam

iklan Ramadhan.

2. Hubungan Sytagmatic (Sintagmatik)

Menunjuk hubungan suatu tanda-tanda lainnya, baik yang mendahului atau

mengikutinya. Hubungan sintagmatik mengajak kita untuk memprediksi apa

yang akan terjadi kemudian. Kesadaran ini meliputi kesadaran logis, kausalitas

atau sebab akibat. Dalam kaitannya dengan produki makna (penciptaan

signified), kesadaran sintagmatik mengandaikan bahwa signified suatu tanda

tergantung juga pada hubungan logis atau kausalitas.

2.3.5. Synchronic dan Diachronic

Menurut Saussure, linguistik harus memperhatikan sinkronis sebelum

menghiraukan diakronis. Kedua istilah tersebut berasal dari kata Yunani ”khronos

yang berarti waktu, awalan syn- berarti ”bersama” sedangkan dia- berarti ”melalui”.

Salah satu dari banyak perbedaan konsep dan tata istilah paling penting yang

diperkenalkan ke dalam linguistik oleh Saussure adalah perbedaan antara studi bahasa

sinkronis dan diakronis. Yang dimaksud dengan studi sinkronis sebuah bahasa adalah

deskripsi tentang ”keadaan tertentu bahasa tersebut (pada suatu masa)”(Bartens dalam

Dengan demikian, linguistik sinkronis mempelajari bahasa tanpa mempersoalkan

urutan waktu.

Yang dimaksud dengan diakronis adalah ”menelusuri waktu” (Bartens dalam

Sobur 2003: 53). Jadi studi diakronis atas bahasa tertentu adalah deskripsi tentang

perkembangan sejarah (”melalui waktu”). Linguistik diakronis ialah subdisiplin

linguistik yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa dari masa ke masa. Saussure

berpendapat bahwa penyelidikan sinkronis harus mendahului penyelidikan diakronis.

Linguistik komparatif-historis harus membandngkan bahasa sebagai sistem-sistem.

Oleh sebab itu, sistem telebih dahulu mesti dilukiskan tersendiri menurut prinsip

sinkronis. Tak ada manfaatnya mempelajari evolusi atau perkembangan salah satu

unsur bahasa, terlepas dari sistem-sistem di mana unsur itu berfungsi. (Sobur, 2003:

54)

2.3.6. Form dan Content

Istilah form (bentuk) dan content (materi isi) ini oleh Gleason diistilahkan

dengan expression dan conten, satu berwujud bunyi dan satunya berwujud idea.

Saussere membandingkan form dan content itu dengan permainan catur, papan dan

biji catur tidak terlalu penting. Yang penting adalah fungsinya yang dibatasi,

aturan-aturan permainannya. Jadi bahasa berisi sistem nilai, bukan koleksi unsur yang

ditentukan oleh materi, tetapi sistem itu ditentukan oleh perbedaannya. Begitu pula

halnya dengan kata-kata . Satu macam kata bisa diucapakan secara berlainan oleh

individu yang berbeda, walau kata tersebut tetaplah satu dan sama. Menurut Saussure,

yang bervariasi adalah ”the phonic and Pshycological matter’”, sedangkan

wadahnya- yaitu satu macam kata tadi- sebagai bagian dari sebuah sistem bahasa-

Dokumen terkait