REPRESENTASI NASIONALISME DALAM LIRIK LAGU
(Studi Semiologi Terhadap Lirik Lagu “Dari Mata Sang Garuda”karya Pee Wee Gaskins)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN : “Veteran” Jawa Timur
Oleh :
ANGGRESTIA WAHYU ANDALUS NPM. 0543010235
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis tujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena karuniaNya, penulis bisa menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Representasi Nasionalisme Dalam Lirik Lagu (Studi Semiologi Terhadap Lirik Lagu “Dari Mata Sang Garuda” karya Pee Wee Gaskins).
Tak lupa penulis menyampaikan rasa terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu selama menyusun penulisan skripsi ini.
Adapun penulis sampaikan rasa terima kasih, kepada:
1. Allah SWT. Karena telah melimpahkan segala karuniaNYA, sehingga penulis mendapatkan kemudahan selama proses penulisan skripsi ini.
2. Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN ”Veteran” Jawa Timur.
3. Bapak Juwito, S.Sos, MSi, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi.
4. Bapak Drs. Saifuddin Zuhri, MSi, Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi. 5. Bapak IR. Didiek Trenggono, MSi, dosen pembimbing penulis.
6. Dosen-dosen Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan ilmu dan dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Ayah dan Ibu , the best parents yang telah memberikan dorongan, semangat, dan pengertiannya bagi penulis baik secara moril dan materiil.
8. Adik-adik penulis, Lita ”ndudh” dan Bimbi ”si upin ipin” yang senantiasa memberikan suasana keceriaan di rumah.
Fahraniar ”uun”, Arieza ”buletd”, yang tak henti memberikan semangat, masukan untuk kelancaran penyusunan proposal skripsi.
10.Kakek, Nenek, Pakde, Bude, Om, Tante, Nova, Tyas, Mas Tri, Mbak Titis yang ikut memberikan dorongan semangat dan doanya untuk penulis.
11.Teman-teman KKN seperjuangan kelompok 33, April ”cemplug”, Ruly ”bungsu”, Mas Mika, Dwi ”jenggot”, Fanny ”julb”, Christin, Aswin ”laler”, Resha, mari kita berkelana terus! Oky ”sinchan”, terima kasih atas kamus bahasa Indonesia-nya.
12.Special thanks to Pee Wee Gaskins, atas inspirasinya sehingga lagu ”Dari Mata Sang Garuda” peneliti jadikan sebagai objek penelitian.
13.Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-satu oleh penulis, yang telah membantu penyelesaian skripsi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah dibutuhkan guna memperbaiki kekurangan yang ada.
Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca, khususnya teman-teman di Program studi Ilmu Komunikasi.
Surabaya, 12 Maret 2010
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN... ix
ABSTRAKSI... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 9
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Kegunaan Penelitian ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11
2.1. Landasan Teori ... 11
2.1.1. Musik ... 11
2.1.2. Lirik Lagu ... 11
2.2. Representasi ... 13
2.3. Semiotika dan Semiologi Komunikasi ... 15
2.3.1. Model Semiotika Saussure... 19
2.3.2. Signifier dan Signified... 20
2.3.4. Associative dan Syntagmatic ... 24
2.3.5. Synchronic dan Diachronic... 25
2.3.6. Form dan Content... 26
2.4. Nasionalisme Kebangsaan Indonesia ... 26
2.4.1. Nasionalisme dan Pendidikan Nasional... 31
2.4.2. Fungsi Nasionalisme Indonesia ... 33
2.4.3. Ciri Nasionalisme Indonesia ... 35
2.4.4. Simbol Nasionalisme Indonesia ... 36
2.5. Nasionalisme Modern ... 38
2.6. Kerangka Berpikir ... 40
BAB III METODE PENELITIAN ... 42
3.1. Metode Penelitian ... 42
3.2. Kerangka Konseptual ... 44
3.2.1. Unit Analisis ... 44
3.2.2. Korpus Penelitian ... 44
3.2.3. Teknik Pengumpulan Data ... 46
3.3. Analisis Data ... 47
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 50
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 50
4.1.1. Pee Wee Gaskins ... 50
4.2. Penyajian Data ... 55
4.3. Pemaknaan Lirik Lagu “Dari Mata Sang Garuda” menurut dikotomi-dikotomi Saussure... 58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 119
5.1. Kesimpulan ... 119
5.2. Saran... 120
DAFTAR PUSTAKA ... 121
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
ABSTRAKSI
ANGGRESTIA WAHYU ANDALUS, REPRESENTASI NASIONALISME
DALAM LIRIK LAGU ( Studi Semiologi Terhadap Lirik Lagu “Dari Mata Sang Garuda” Karya Pee Wee Gaskins)
Penelitian ini didasarkan pada persoalan semakin surutnya semangat nasionalisme masyarakat Indonesia khususnya generasi muda. Masyarakat Indonesia yang telah banyak mengadopsi budaya barat tak dapat dipungkiri telah melupakan nilai-nilai sejarah yang ada. Semangat perjuangan bangsa telah mengalami penurunan pada titik kritis yang disebabkan oleh pengaruh globalisasi. Generasi muda mulai kehilangan kepekaan dan kesadaran terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh bangsanya, karena lebih subuk memikirkan kepentingan diri sendiri. Inilah yang mengakibatkan lunturnya rasa nasionalisme, khususnya nasionalisme kebangsaan.
Penelitian ini dilakukan untuk dapat memahami bagaimana representasi nasionalisme kebangsaan yang terdapat dalam lirik lagu “Dari Mata Sang Garuda”, dengan menggunakan kajian pustaka yaitu musik dan lirik lagu sebagai media komunikasi massa, representasi, pendekatan semiologi Saussure dan konsep nasionalisme kebangsaan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan semiologi yang dikemukakan oleh Saussure. Analisis dilakukan terhadap dikotomi-dikotomi dari Saussure tentang signifier (penanda) dan signified (petanda); langue (bahasa) dan parole (ujaran); syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradikmatik); synchronic dan diachronic; serta form (bentuk) dan content (isi) untuk mencari tahu makna yang terkandung dalam lirik lagu “Dari Mata Sang Garuda” berdasarkan konsep nasionalisme kebangsaan.
Penelitian ini dilakukan dengan cara memaknai setiap kata yang terdapat dalam baris kalimat yang terdapat dalam bait, serta setiap bait dalam keseluruhan lirik lagu “Dari Mata Sang Garuda”, sehingga menghasilkan pemaknaan terhadap representasi nasionalisme kebangsaan dalam lirik lagu tersebut berupa adanya sikap rela berkorban demi membela bangsa dan negara.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia yang telah banyak mengadopsi budaya barat tak dapat dipungkiri telah melupakan nilai-nilai sejarah yang ada. Perjuangan para pahlawan yang telah berusaha membela tanah air sehingga kita dapat merasakan kemerdekaan seperti sekarang ini mulai terkikis. Nilai nasionalisme semakin memudar dan semangat nasionalisme pun semakin surut. Padahal nasionalisme merupakan salah satu paham untuk mengingatkan kita akan hal kegigihan usaha para pejuang Indonesia dalam merebut kemerdekaan (http;// detiknews.com/index.php/detik.read/idnews)
Nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia dalam perjuangan fisik merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan telah mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semangat perjuangan bangsa telah mengalami penurunan pada titik kritis yang disebabkan oleh pengaruh globalisasi (Sumarsono, 2001: 02).
Inilah yang membuat rasa nasionalisme mulai luntur, khususnya nasionalisme kebangsaan. (http;// detiknews.com/index.php/detik.read/idnews)
Nasionalisme adalah suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan (Kohn,1984:11). Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda. Nasionalisme dalam arti kata modern menjadi suatu perasaan yang diakui secara umum. Dan nasionalisme ini makin lama makin kuat peranannya dalam membentuk semua segi kehidupan, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat pribadi. Dan baru di masa yang akhir-akhir ini telah berlaku syarat bahwasanya setiap bangsa harus membentuk suatu negara, negaranya sendiri, dan bahwa negara itu harus meliputi seluruh bangsa. Dahulu kesetiaan orang tidak ditujukan kepada negara kebangsaan, melainkan kepada berbagai macam bentuk kekuasaan sosial, organisasi politik atau raja feodal, dan kesatuan ideologi seperti misalnya suku atau clan, negara kota, atau raja feodal, kerajaan dinasti, gereja atau golongan keagamaan. Berabad-abad lamanya cita dan tujuan politik bukanlah negara kebangsaan melainkan setidak-tidaknya dalam teori imperium yang meliputi seluruh dunia, melingkungi berbagai bangsa dan golongan-golongan etnis di atas dasar peradaban yang sama serta untuk menjamin perdamaian bersama.
sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat istiadat. Persekutuan hidup semacam ini dalam suatu negara dapat merupakan persekutuan hidup yang mayoritas dan dapat pula merupakan persekutuan hidup minoritas. Bahkan dalam satu negara bisa terdapat beberapa persekutuan hidup “bangsa” dalam pengertian antropologis dan dapat pula anggota satu bangsa itu tersebar di beberapa negara. Adapun yang dimaksud bangsa dalam pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Nation (bangsa) dalam pengertian politik inilah yang kemudian merupakan pokok pembahasan tentang nasionalisme. Tetapi bangsa dalam pengertian antropologis tidak dapat begitu saja ditinggalkan atau diabaikan, sebab ia memiliki faktor obyektif. Meskipun tidak merupakan hal pokok, namun sering menentukan bagi terbentuknya bangsa dalam pengertian politik. Jadi dalam dua pengertian itu, ada pengertian yang sangat erat dan penting.
Dengan demikian, nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebagian atau semua elemen tersebut (www.detiknews.com/index.php/detik.read/idnews)
Nasionalisme adalah rasa kebersamaan segolongan sebagai suatu bangsa. Dan menurut Hans Kohn, nasionalisme menyatakan bahwa negara kebangsaan adalah cita-cita dan satu-satunya bentuk sah dari organisasi politik, dan bahwa bangsa adalah sumber dari semua tenaga kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi (Yatim, 2001: 58) Beberapa definisi tersebut memberi simpulan bahwa nasionalisme adalah kecintaan alamiah terhadap tanah air, kesadaran yang mendorong untuk membentuk kedaulatan dan kesepakatan untuk membentuk negara berdasar kebangsaan yang disepakati dan dijadikan sebagai pijakan pertama dan tujuan dalam menjalani kegiatan kebudayaan dan ekonomi.
Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai paham negara atau gerakan yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan, dan ideologi. Sehingga dapat terbentuk beberapa bentuk nasionalisme:
1. Nasionalisme Kewarganegaraan
Adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran publik dari penyertaan aktif rakyatnya, kehendak rakyat, perwakilan politik.
2. Nasionalisme Etnis
Adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat.
3. Nasionalisme Romantik
Adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik.
4. Nasionalisme Budaya
5. Nasionalisme Kenegaraan/ Kebangsaan
Adalah variasi nasionalisme kewarganegaraan. Nasionalisme kenegaraan adalah kesetiaan masyarakat terhadap wilayah, yaitu terhadap bangsa dan negara. Nasionalisme ini yang kemudian mendorong seseorang untuk memiliki perasaan rela berkorban sebagai wujud rasa cinta terhadap tanah air. Nasionalisme kenegaraan kemudian lebih populer disebut nasionalisme kebangsaan.
6. Nasionalisme Agama
Adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi polotik dan persamaan agama.
Semangat nasionalisme juga dapat tercermin dalam dunia seni, salah satu diantaranya adalah melalui musik. Musik merupakan hasil budaya manusia yang menarik diantara banyak budaya lain, dikatakan menarik karena musik memegang peranan yang sangat banyak di berbagai bidang. Seperti jika dilihat dari sisi psikologinya, musik kerap menjadi sarana pemenuhan kebutuhan manusia dalam hasrat akan seni berkreasi. Dari sisi sosial, musik dapat disebut sebagai cermin tatanan sosial yang ada dalam masyarakat saat musik tersebut diciptakan. Dari segi ekonomi, musik telah berkembang pesat menjadi suatu komoditi yang menguntungkan.
Para pencipta seni musik telah membuat hasil karya musiknya dengan lirik lagu yang bisa diterima dan menarik perhatian oleh para penikmat musik agar mendapat hasil peningkatan produk penjualan seni musiknya sehingga dapat dikenal oleh khalayak, bahkan bisa mendapat penghargaan berupa platinum-nya dari angka penjualan sehingga bisa meningkatkan pamor atau popularitas dari sang pencipta karya seni. Lirik merupkan sebuah energi yang mampu mengungkapkan banyak hal. Lirik lagu adalah sebuah media komunikasi verbal yang memiliki makna pesan didalamnya, sebuah lirik lagu bila tepat memilihnya bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata atau peristiwa, juga secara individu mampu untuk memikat perhatian. Sebuah karya cipta dibidang musik juga harus memiliki jiwa menghibur bagi konsumen.
Isi tanda musik dalam hal ini adalah emosi yang dibangkitkan dalam diri pendengar. Musik merupakan ekspresi perasaan, bentuk simbolik yang signifikasinya dapat dirasakan, tetapi tidak dapat didefinisikan karena hanya bersifat implisit, tetapi secara konvesional tidak tetap. Para ahli musik yang telah berupaya menemukan berbagai korelasi antara bentuk dan isi musik adalah Mayer dan Cooke. Mayer mengembangkan teori kesesuaian antara pola-pola tegangan, penundaan dan pelepasan dalam irama atau harmoni dan dalam berbagai ‘kosakata’ musik yang berkaitan dengan ‘frase-frase’ musik dan rangkaian yang selaras dengan berbagai emosi seperti kegembiraan, kesenangan, ksedihan dan sebagainya (Noth, 2006: 440).
(field of experience) sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan sosial disekitarnya. (www.balipost.co.id/baliposcetak/g3.html)
Konsep pesan dalam sebuah lagu biasanya bermacam-macam. Karena di setiap penciptaan lagu, seseorang pencipta berusaha untuk menyampaikan suatu pesan terhadap khalayak dan hak tersebut adalah sebuah realitas atau fenomena yang dirasakan pencipta lagu, misalnya rasa cinta, kecewa, benci, kritik sosial yang ditujukan kepada pemerintah, isu-isu sosial di masyarakat, bahkan nasionalisme terhadap bangsa dan negara.
Salah satu musisi Indonesia yang mengungkapkan nasionalisme melalui lagu adalah group band Pee Wee Gaskins. Jiwa nasionalisme jugalah yang telah mendorong band ini menciptakan sebuah lagu berjudul “Dari Mata Sang Garuda”. Disaat semangat nasionalisme masyarakat Indonesia semakin surut, Pee Wee Gaskins muncul menunjukkan nasionalisme kebangsaannya melalui lagu. Band pendatang baru yang beraliran powerpop, yaitu gabungan antara musik pop dan punk ini beranggotakan Sansan (vokal/gitar), Dochi (vokal/gitar), Omo (synthetizer), Eye (bass), dan Aldy (drum). Nama Pee Wee Gaskins diambil dari nama seorang pembunuh berantai berpostur tubuh kecil yang sangat keji asal Amerika yaitu Donald Henry Gaskins.
Dalam lirik lagu “Dari Mata Sang Garuda” ini, Pee Wee Gaskins ingin mengingatkan generasi saat ini untuk terus bersemangat, bangkit dan bersatu meraih mimpi, membela bangsa dan negara tanpa melupakan perjuangan pemuda pemudi terdahulu.
dalam lirik lagu “Dari Mata Sang Garuda” yang dipopulerkan oleh group band Pee Wee Gaskins.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang di uraikan diatas, maka yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah: bagaimana representasi nasionalisme kebangsaan dalam lirik lagu “Dari Mata Sang Garuda” yang dibawakan oleh group band Pee Wee Gaskins.
1.3 Tujuan penelitian
Dari perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi nasionalisme kebangsaan dalam lirik lagu “Dari Mata Sang Garuda” yang dibawakan oleh group band Pee Wee Gaskins.
1.4 Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Praktis
2. Kegunaan teoritis
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Musik
Sistem tanda musik adalah oditif, namun untuk mencapai pendengarnya,
penggubah musik dalam mempersembahkan kreasinya dengan perantara pemain
musik dalam bentuk sistem tanda perantara tertulis. Bagi semiotikus musik, adanya
tanda-tanda perantara, yakni musik yang dicatat dalam partitur orkestra. Hal ini sangat
memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itukah sebabnya
mengapa penelitian musik terarah pada sintaksis.
Meski demikian, tidak ada semiotika tanpa semantik. Jadi, juga tidak ada
semiotik musik tanpa semantik musik. Semantik musik, bisa dikatakan harus
senantiasa membuktikan hak kehadirannya ( Van Zoest, 1993: 120-121).
2.1.2. Lirik Lagu
Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat menjadi sarana atau
media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam
masyarakat. Lirik lagu, dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian
terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu di aransir dan
diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas
tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai , bahkan prasangka tertentu
(Setianingsih, 2003: 7-8). Suatu lirik lagu dapat menggambarkan realitas sosial yang
terjadi di masyarakat. Termasuk realitas sosial yang menggambarkan nasionalisme,
Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto dalam Rachmawati (2000: 1)
yang mengatakan :
”Musik berkait erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Musik
merupakan gejala khas yang dihasulkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam
interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah
kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi
suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun
kelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik
sebagai penunjangnya”.
Berdasarkan kutipan diatas, sebuah lirik lagu dapat berkaitan erat pula dengan
situasi sosial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung di dalam masyarakat.
Di dalam lirik lagu terdiri dari beberapa elemen, diantaranya judul lagu, song,
reff, dan bridge. Judul lagu merupkan representasi dari keseluruhan isi lagu yang
terdapat dalam lirik lagu atau tema dari lagu. Song adalah isi cerita dalam lirik lagu.
Reff yang merupakan inti cerita dalam lirik lagu atau dengan kata lain inti dari lagu.
Bridge merupakan jembatan antara reff yang kemudian menaikkan emosi dan lagi
untuk dikembalikan lagi dalam reff lagu.
Salah satu lirik lagu yang populer adalah lagu ”Dari Mata Sang Garuda” yang
diciptakan oleh Dochi, yaitu salah satu personel band Pee Wee Gaskins yang
kemudian dipopulerkan oleh Pee Wee Gaskins sendiri dalam album The Sophomore.
Dalam lirik lagu tersebut Pee Wee Gaskins seolah ingin mengigatkan generasi
Indonesia saat ini yang semakin terlelap oleh arus globalisasi untuk terus
bersemangat, bangkit dan bersatu, meraih mimpi, membela bangsa dan negara tanpa
melupakan perjuangan pemuda pemudi terdahulu.
2.2. Representasi
Representasi adalah praktek penting yang memproduksi kebudayaan.
Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut
pengalaman berbagi. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika
manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi
kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ”bahasa” yang sama, dan saling berbagi
konsep-konsep yang sama.
Representasi menunjuk pada proses maupun produksi dari pemaknaan suatu
tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang
abstrak dalam bentuk-bentuk yng kongkret. Representasi adalah konsep yang
digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia :
dialog, tulisan, video, film, lirik lagu, fotografi, dsb. Secara ringkas, representasi
adalah produksi makna melalui bahasa.
(http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)
Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting
yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas,
kebudayaan menyangkut ”pengalaman berbagi”. Seorang dikatakan berasal dari
kebudayaan yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam
”bahasa” yang sama dan saling berbagi konsep yang
sama.(http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm).
Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memahami sesuatu,
memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia
beroperasi sebagai sistem representasi lewat bahasa (simbol-simbol dalam tanda
tertulis, lisan atau gambar), kita mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang
Dengan mengamati kata-kata dan image yang kita gunakan dalam mempresentasikan
sesuatu atau bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu.
Ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konsep
tentang ”sesuatu” yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual).
Representasi mental ini masih berbentuk suatu yang abstrak. Kedua ”bahasa”, yang
berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam
kepala kita harus diterjemahkan dalam ”bahasa” yang lazim, supaya kita dapat
menghubungkan konsep dan ide tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol
tertentu. (http://www.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)
Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan
mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem ”peta
konseptual” kita . Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai
korespondensi antara ”peta konseptual” dengan bahasa atau simbol yang berfungsi
mempresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara ”sesuatu” , ”peta
konseptual”, dan bahasa/simbol adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa.
Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-bersama itulah yang
kita namakan representasi.
Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan
pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Intinya adalah
makna tidak inheren dalam sesuatu di dunia ini, ia selalu dikonstruksikan, diproduksi
melalui proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang
membuat sesuatu hal bermakna sesuatu
(http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm).
Dalam penelitian ini representasi menunjuk pada pemaknaan tanda-tanda yang
nasionalisme kenegaraan/ kebangsaan. Nasionalisme kenegaraan merupakan bentuk
kesetiaan masyarakat atau penduduk terhadap suatu wilayah. Nasionalisme inilah
yang mendorong seseorang atau sekelompok orang memiliki perasaan rela berkorban
demi bangsa dan negara sebagai wujud rasa cinta terhadap tanah airnya.
2.3. Semiotika dan Semiologi Komunikasi
Kata ’semiotika’ itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti
’tanda’ atau ’seme’ yang berarti ’penafsir tanda’. Semiotika sendiri berakar dari studi
klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji suatu tanda.
Tanda adalah perangkat-perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di
dunia ini, di tengah-tengah masyarakat dan hidup bersama manusia. Semiotika, atau
dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa
objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal nama objek-objek itu hendak
berkomunikasi , tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Kurniawan
dalam Sobur, 2004: 15)
Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna adalah
hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Littlejohn, 1996: 64). Jika
diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf,kata dan kalimat,tidak memiliki arti
pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti dalam kaitannya dengan
pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang
ditandakan sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Sebuah
menjadi ”tanda” yang dapat dilihat dalam aktivitas penanda: yakni proses signifikasi
ang menghubungkan objek dan interpretasi.
Semiotika modern mempunyai dua bapak, yaitu Charles Sanders Pierce
(1839-1914) dan Ferdinand De Saussure (1857-1913). Terdapat perbedaan antara Pierce dan
Saussure, antara lain: Pierce adalah ahli filsafat dan logika, sedangkan Saussure
adalah tokoh cikal bakal linguistik umum (Sobur, 2004:110).
Sehingga perlu digaris bawahi dari berbagai definisi di atas adalah para ahli
melihat semiotika itu sebagi ilmu atau proses yang berhubungan dengan tanda.
Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama yaitu yang pertama adalah tanda itu
sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara
tanda-tanda yang berbeda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah
konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang
menggunakannya. Kedua, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini
mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu
masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi saluran komunkasi yang tersedia
untuk mentransmisikannya. Ketiga, kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini
pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk
keberadaan dan bentuknya sendiri (Fiske, 2006: 61)
Kajian semiotika dibedakan menjadi dua jenis, yaitu semiotika komunikasi
dan semiotika signifikasi, yang pertama menitik beratkan pada teori tentang produksi
tanda, yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam
komunikasi yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda pesan), sluran komunikasi
dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan yang kedua menitik beratkan pada teori
Pada jenis yang kedua (semiotika signifikasi) tidak dipersoalkan adanya tujuan
komunikasi, sebaliknya yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda
sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses
komunikansinya (Sobur, 2004: 15)
Pada dasarnya semiosis dapat dipandang sebagai proses tanda yang dalam
istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah:
S ( s, i, e, r, c )
S adalah untuk semiotic relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i adalah
interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh; r untuk reference (rujukan); c
untuk conteks (konteks) atau conditions (kondisi).
Batasan semiotika komunikasi menurut Ferdinand De Saussure adalah
linguistik hendaknya menjadi bagian suatu ilmu pengetahuan umum tentang tanda,
yang disebutnya sebagai semiologi.
Pada perkembangannya, kedua ilmu yaiu semiotika dan semioloi yang
mengacu pada tanda , secar prinsip tidak ada perbedaan. Kecuali dalam hal orientasi
semiologi pada Saussure dan orientai pada Pierce. Satu perbedaan antara keduanya,
menurut Hawkes adalah bahwa semiologi dipilih orang-orang Eropa di luar perbedaan
yang dimaksud Saussure, sedang semiotika dipilih oleh penutur berbahasa Inggris di
luar perbedaan yang dimaksud Pierce Amerika. Dengan kata lain sebenarnya dua ilmu
itu sama-sama dipakai. Semiotika menurut Umberto Eco dalam Sobur, pada
prinsipnya adalah ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunaka untuk
mendustai, mengelabui atau mengecoh.
” Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda.
Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai
perlu ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu.
Semiotika pada prinsipnya adalah suatu kebohongan. Jika sesuatu tersebut tidak dapat
digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan, sebaliknya, tidak bisa digunakan
untuk mengatakan kebenaran”.(Berger dalam Sobur, 2004:18)
2.3.1. Model Semiotika Saussure
”Jika seseorang yang layak disebut sebagai pendiri linguistik modern dialah
sarjana dan tokoh besar asal Swiss: Ferdinand de Saussure,” kata Jhon Lyons(1995:3
dalam Sobur, 2004:44). Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam
Course in General Linguistcs sebagai ”ilmu yang mengkaji tentang peran tanda
sebagai bagian dari kehidupan sosial”. Implisit dalam definisi tersebut adalah sebuah
relasi bahwa bila tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, maka tanda juga
merupakan bagian dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Ada sistem tanda (sign
system) dan ada sistem sosial (social system), yang keduanya saling berkaitan. Dalam
hal ini, Saussure berbicara mengenai konvensi sosial (social convention) yang
mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan, pengkombinasian dan
penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu sehingga ia mempunyai makna dan nilai
sosial (Sobur, 2003: vii)
Menurut pandangan Saussure, segala sesuatu yang berhubungan dengan isi
statik dari ilmu adalah semiotik. Linguistik, dengan perspektif sinkroniknya, secara
khusus memperhatikan relasi-relasi logis dan psikologis yang memadukan
terma-terma secara berbarengan dan membentuk suatu sistem dalam pikiran kolektif.
Analisis bahasa secara sinkronik adalah analisis bahasa sebagai sistem yang
eksis pada suatu titik tertentu (yang seringkali berarti ”saat ini” atau konterporer)
sekarang. Sebaliknya, segala sesuatu yang bersangkutan dengan evolusi adalah
diakronik. Linguistik yang diakronik dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang,
yaitu prospektif dan retrospektif. Sudut pandang yang pertama mengikuti majunya
arus waktu, sedangkan yang kedua berjalan mundur.
Linguistik diakronik mengkaji relasi-relasi yang secara suksesif mengikat
terma-terma secara bersamaan, yang masing-masing dapat saling bersubtitusi tanpa
membentuk suatu sistem, namun tetap tidak disadari oleh pikiran kolektif. Meskipun
Saussure sendiri dididik dalam disadari linguistik diakronik yang sangat kental,
preferensinya secara khusus tertuju kepada linguistik sinkronik. Segala konsep yang
dikembangkan didalam linguistik sinkronik Saussurean ini berkisar pada
dikotomi-dikotomi tertentu, yakni penanda dan petanda, langue dan parole, serta sintagmatik
dan paradigmatik (Budiman, 2004: 38).
2.3.2. Signifier dan Signified
Pemikiran Saussure yang paling penting adalah pandangannya tentang tanda.
Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide atau petanda
(Sobur, 2004:44) Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia
dengan pemilahan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier adalah
bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang
dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni
pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa. (Bartens, 1985: 382 dalam Kurniawan
2001: 14). Kedua unsur ini seperti dua sisi keping mata uang atau selembar kertas.
Tanda bahasa dengan demikian dapat menyatukan, bukan hal dengan nama,
Saussure menggambarkan tanda yang terdiri dari signifier dan signified itu
sebagai berikut :
Gambar 2.1. Diagram Semiotik Saussure
Sumber : Sobur, 2003, Semiotika Komunikasi, Penerbit Remaja Rosdakarya,
Bandung, Halaman 125.
Saussure menyebut signifier (penanda) sebagai bunyi atau coretan bermakna,
sedangkan signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signifier.
Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan
signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya dalam memberi makna
terhadap dunia (Fiske, 1990 dalam Sobur, 2001: 125)
Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah produk
kultural. Hubungan di antara keduanya bersifat arbitter (manasuka) dan hanya
berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau peraturan dari kultur pemakai tersebut.
Hubungan signifier dan signified tidak bisa dijelaskan dengan nalar apapun, baik
pilihan bunyi-bunyinya maupun plihan untuk mengaitkan rangkaian bunyi tersebut
dengan benda atau konsep yang dimaksud. Karena hubungan yang terjadi antara
signifier dan signified bersifat arbitter, maka signifier harus dipelajari, yang berarti
Sifat arbitter antara signifier dan signified serta kaitan antara kedua komponen
ini menarik bila dikaitkan dengan kekuasan . Maksudnya, bagaimana kekuasaan dapat
menentukan signified mana yang boleh dikaitkan dengan signifier. Hal ini bisa terjadi
dalam sebuah kekuasaan yang bersifat otoriter dimana signified tertentu hanya bisa
diberi makna oleh pihak penguasa dan signified alternatif atau ”tandingan” tidak
diberi tempat.
Ketika bahasa berupaya mendefinisikan realitas, ada bahaya bahwa bahasa
sendiri tereduksi menjadi suatu rangkaian signifier belaka tanpa referensi langsung
terhadap yang ditandakan (signified). Suatu pengertian atau definisi tentang sesuatu
tinggal sebagai definisi belaka. Akibatnya, bahasa menjadi ”kosong”, sebab bahasa
atau memori saja. Hubungan antara signifier dan signified ini dibagi menjadi tiga,
yaitu:
1. Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandai,
misalnya foto atau peta
2. Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan
yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api.
3. Simbol adalah tanda dimana hubungan antara signifier dan signified
semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan (Van Zoest, 1996
dalam Sobur, 2001: 126).
2.3.3. Langue dan Parole
Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Perancis: langange, langue
(sistem bahasa) dan parole (kegiatan juaran). Langange adalah suatu kemampuan
berbahasa yang ada pada setiap manusia yang sifatnya pembawaan, namun
menunjang. Singkatnya, langange adalah bahasa pada umumnya. Orang bisupun sama
memiliki langange ini, namun disebabkan, umpamanya gangguan fisiologis pada
bagian tertentu maka dia tidak bisa bicara secara normal. Dalam pengertian umum,
langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial budaya, sedangkan
parole merupakan bahasa pada tingkat individu. Dalam konsep Saussure, langue
dimaksudkan bahasa sejauh merupakan milik bersama dari suatu golongan bahasa
tertentu.
Apa yang dinamakan langue itu menurut Saussure, harus dianggap sebagai
sistem. Jika langue mempnyai objek studi sistem atau tanda atau kode, maka parole
adalah ”living speech” yaitu bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimanaa terlihat
dalam penggunaannya. Kalau langue bersifat kolektif dan pemakaiannya ”tidak
disadari” oleh pengguna bahasa yang bersangkutan, maka parole lebih
memperhatikan faktor pribadi pengguna bahasa. Kalau unit dasar langue adalah kata,
maka unit dasar parole adalah kalimat (Sobur, 2003: 50-51)
Pada saat yang sama, Saussure menyatakan bahwa tinjauan terhadap langue
(bahasa sebagai sistem) harus didahulukan daripada parole (bahasa sebagai tanda
penuturan ujaran. Artinya, posisi sistem bahasa secara umum mendahului dan lebih
penting daripada seluruh ujaran nyata yang pernah benar-benar dituturkan. Ini
merupakan argumen paling mengejutkan yang lahir dari sudut pandang ilmu-ilmu
alam, ilmu diman bukti fisik positif menjadi satu-satunya bukti yang dapat diterima.
Namun demikian, menurut Saussure, bukti fiksi positif tidaklah cukup untuk
menjelaskan bahasa yang menandakan sebagai bahasa yang menandakan sekaligus
2.3.4. Associative dan Syntagmatic
Menurut Saussure terdapat dua bentuk didalam hubungan dan perbedaan
antara unsur-unsur bahasa berdasarkan kegiatan mental manusia, yaitu :
1. Hubungan Associative (paradigmatik)
Hubungan eksternal dalam suatu tanda dengan tanda lain. Tanda lain yang bisa
berhubungan secara paradigmatik adalah tanda-tanda satu kelas atau sistem.
Contoh : gambar ’ketupat’ mempunyai hubungan dengan peci, sarung dalam
iklan Ramadhan.
2. Hubungan Sytagmatic (Sintagmatik)
Menunjuk hubungan suatu tanda-tanda lainnya, baik yang mendahului atau
mengikutinya. Hubungan sintagmatik mengajak kita untuk memprediksi apa
yang akan terjadi kemudian. Kesadaran ini meliputi kesadaran logis, kausalitas
atau sebab akibat. Dalam kaitannya dengan produki makna (penciptaan
signified), kesadaran sintagmatik mengandaikan bahwa signified suatu tanda
tergantung juga pada hubungan logis atau kausalitas.
2.3.5. Synchronic dan Diachronic
Menurut Saussure, linguistik harus memperhatikan sinkronis sebelum
menghiraukan diakronis. Kedua istilah tersebut berasal dari kata Yunani ”khronos”
yang berarti waktu, awalan syn- berarti ”bersama” sedangkan dia- berarti ”melalui”.
Salah satu dari banyak perbedaan konsep dan tata istilah paling penting yang
diperkenalkan ke dalam linguistik oleh Saussure adalah perbedaan antara studi bahasa
sinkronis dan diakronis. Yang dimaksud dengan studi sinkronis sebuah bahasa adalah
deskripsi tentang ”keadaan tertentu bahasa tersebut (pada suatu masa)”(Bartens dalam
Dengan demikian, linguistik sinkronis mempelajari bahasa tanpa mempersoalkan
urutan waktu.
Yang dimaksud dengan diakronis adalah ”menelusuri waktu” (Bartens dalam
Sobur 2003: 53). Jadi studi diakronis atas bahasa tertentu adalah deskripsi tentang
perkembangan sejarah (”melalui waktu”). Linguistik diakronis ialah subdisiplin
linguistik yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa dari masa ke masa. Saussure
berpendapat bahwa penyelidikan sinkronis harus mendahului penyelidikan diakronis.
Linguistik komparatif-historis harus membandngkan bahasa sebagai sistem-sistem.
Oleh sebab itu, sistem telebih dahulu mesti dilukiskan tersendiri menurut prinsip
sinkronis. Tak ada manfaatnya mempelajari evolusi atau perkembangan salah satu
unsur bahasa, terlepas dari sistem-sistem di mana unsur itu berfungsi. (Sobur, 2003:
54)
2.3.6. Form dan Content
Istilah form (bentuk) dan content (materi isi) ini oleh Gleason diistilahkan
dengan expression dan conten, satu berwujud bunyi dan satunya berwujud idea.
Saussere membandingkan form dan content itu dengan permainan catur, papan dan
biji catur tidak terlalu penting. Yang penting adalah fungsinya yang dibatasi,
aturan-aturan permainannya. Jadi bahasa berisi sistem nilai, bukan koleksi unsur yang
ditentukan oleh materi, tetapi sistem itu ditentukan oleh perbedaannya. Begitu pula
halnya dengan kata-kata . Satu macam kata bisa diucapakan secara berlainan oleh
individu yang berbeda, walau kata tersebut tetaplah satu dan sama. Menurut Saussure,
yang bervariasi adalah ”the phonic and Pshycological ’matter’”, sedangkan
wadahnya- yaitu satu macam kata tadi- sebagai bagian dari sebuah sistem bahasa-
2.4. Nasionalisme Kebangsaan Indonesia
Konsep nasionalisme adalah paham yang menciptakan dan mempertahankan
kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama.
Nasionalis adalah pecinta nusa dan bangsa sendiri atau orang yang
memperjuangkan kepentingan bangsanya. Manusia nasionalis adalah seseorang
dengan kebanggaan terhadap bangsanya yang kadang diungkapkan dengan cara
berlebihan. Sedangkan nasionalisme adalah paham atau ajaran untuk mencintai
bangsa dan negara sendiri dan secara bersama mencapai, mempertahankan,
mengabdikan integritas kemakmuran dan kekuatan bangsa itu, yang disebut semangat
kebangsaan. Bangsa merupakan suatu komunitas ’terbayang’ yang para anggota
masyarakat terkecil sekalipun tidak mengenal sebagian besar anggota lainnya, bahkan
mungkin tidak pernah mendengar tentang mereka. Hal yang terpenting tetap
berdirinya suatu bangsa adalah adanya perasaan kebersamaan dan persaudaraan
sebagai anggota komunitas bangsa tersebut (Benedict Anderson dalam Madjid, 2004:
vii). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bangsa adalah kumpulan
manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan budaya dalam arti umum
dan biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Menurut Ernest Renan filsuf
asal Perancis, bangsa adalah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya
kesadaran bahwa orang telah berkorban banyak dan bersedia untuk memberi korban
itu lagi. Ia mengandung pengertian suatu waktu yang lampau, tapi terasa dalam waktu
yang sekarang sebagai suatu kenyataan yang dapat dipegang yakni persetujuan,
keinginan yang dinyatakan tegas untuk melanjutkan hidup
bersama.(http://www.mail-archive.com/politiktionghoa@yahoo.com/msg01286.html). Kebangsaan dan
1. Rasa Kebangsaan
Adalah kesadaran berbangsa untuk bersatu sebagai suatu bangsa yang lahir
secara alamiah, karena sejarah, karena rasa senasib dan sepenanggungan
dalam menghadapi masa lalu dan masa kini. Dengan kata lain rasa kebangsaan
itu adalah alat untuk mempersatukan dan memberikan dasar kepada jati diri
kita sebagai bangsa.
2. Paham Kebangsaan
Adalah aktualisasi dari rasa kebangsaan, yang berupa gagasan-gagasan,
pikiran-pikiran yang bersifat rasional, dimana suatu bangsa secara
bersama-sama memiliki cita-cita kehidupan berbangsa dan tujuan nasional yang jelas
dan rasional.
3. Wawasan Kebangsaan
Adalah cara pandang yang dilingkupi oleh rasa kebangsaan, paham
kebangsaan dan semangat kebangsaan dalam upaya bangsa untuk mencapai
cita-cita nasionalnya.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia dimulai sejak era sebelum dan selama
penjajahan, kemudian dilanjutkan dengan era pengisian kemerdekaan. Itu semua
menimbulkan kondisi dan tuntutan yang berbeda sesuai jamannya. Semangat
perjuangan bangsa Indonesia telah terbukti pada perang kemerdekaan 17 Agustus
1945. Semangat perjuangan bangsa tersebut dilandasi oleh keimanan serta ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan keikhlasan untuk berkorban. (Sumarsono, 2001:
01)
Wawasan yang kita anut adalah wawasan kebangsaan yang berlandaskan
Pancasila. Dengan landasan Pancasila itu, wawasan kebangsaan yang kita anut
suatu golongan tehadap golongan lain, juga oleh manusia terhadap manusia lain.,
karena dilandasi oleh Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab yang mengajarkan kepada
kita untuk menghormati harkat dan martabat manusia dan menjamin hak-hak azasi
manusia. Sebagai bangsa yang majemuk, wawasan kebangsaan Indonesia menentang
praktek-praktek yang mengarah pada dominasi dan diskriminasi sosial, juga
menentang segala bentuk separatisme sebab sila Persatuan Indonesia memberikan
tempat kepada kemajemukan dan mengakomodir adanya perbedaan alamiah maupun
budaya dari anak-anak bangsa ini. (Yudhohusodo, 1996: 13-14)
Rasa kebangsaan dan wawasan kebangsaan dari generasi angkatan 45 dan
generasi yang berusia 50 tahun sangat diwarnai oleh semangat anti penjajah, anti
separatisme, dan bahkan tidak menyukai segala sesuatu yang datang dari luar.
Nasionalisme kebangsaan dari generasi itu sangat diwarnai oleh masa perjuangan fisik
dan jaman perbenturannya berbagai ideologi di waktu lalu, dan untuk generasi muda
yang tidak mengalami masa-masa perjuangan melawan penjajah, melawan
separatisme, adalah wajar mempunyai warna lain dalam rasa, semangat, paham dan
juga wawasan kebangsaan. Jumlah generasi muda semakin banyak, sementara
generasi tua semakui menyusut. Nasionalisme kebangsaan dan paham kebangsaan
memerlukan aktualisasi dan dinamisasi yang sesuai dengan yang dihadapinya.
Wawasan dan paham kebangsaan harus terus disegarkan, disesuaikan dengan
kenyataan yang ada saat ini agar wawasan dan paham kebangsaan dapat
ditumbuhkembangkan dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi.
Pengembangan rasa kebangsaan tidak bisa hanya didasari oleh hal-hal yang terbentuk
abstrak seperti motif-motif yang sifatnya seperti emosi (Yudhohusodo, 1996: 20-22).
Nasionalisme kebangsaan adalah kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah,
seseorang untuk memiliki perasaan rela berkorban sebagai wujud rasa cinta terhadap
tanah air. Nasionalisme ini kemudian lebih populer disebut nasionalisme kebangsaan.
Nasionalisme kebangsaan Indonesia adalah sifat yang tidak keras terhadap
fakta multi etnik, multi kultur, multi agama, multi lingual. Karena ada Bhineka
Tunggal Ika dan Pancasila yang mencegah nasionalisme Indonesia berubah menjadi
fasisme. Sehingga nasionalisme kebangsaan Indonesia telah membuka pintu bagi
siapa saja untuk berpartisipasi membangun negara Republik Inndonesia.
(http://osdir.com/ml/cultur.region.china.budaya-tionghoa/12/msg0041.html)
Nasionalisme adalah suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan
kedaulatan suatu negara, dengan mewujudkan suatu konsep identitas bersama untuk
sekelompok manusia. Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola
pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia hidup bersama dalam suatu
wilayah tertentu dan tidak beranjak disitu. Saat itu naluri untuk mempertahankan diri
sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya.
Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan
dalam sejarah manusia. Dalam seratus tahun terakhir tak ada satu ruang sosial di
muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah
menusia akan berbeda sama sekali.
(http://kompas.com/kompas-cetak/0411/bentara/1363295.htm). Berakhirnya perang dingin dan merebaknya
gagasan dan budaya globalisme (intrnasionalisme) pada dekade 1990-an hingga
sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang
berkembang membawa keterpurukan nasionalisme, terutama tentang nasionalisme
kebangsaan Indonesia. Akan tetapi, nasionalisme bukanlah sesuatu yang kaku, baku
dan statis. Setiap jaman memiliki kondisi dan tantangan yang berbeda sehingga
kebangsaan bisa diwujudkan dalam bentuk yang beragam. Masyarakat yang
memelihara hutan demi kelestarian lingkungan, berprestasi dalam bidang olahraga
dalam event-event internasional,cinta dan bangga menggunakan produk-produk dalam
negeri juga merupakan wujud nasionalisme kebangsaan. Nasionalisme dapat
dilakukan sesuai dengan kemampuan, kondisi, atau keahlian dari masing-masing
individu.
Nasionalisme kebangsaan Indonesia adalah kesadaran dan komitmen sebagai
anggota dari bangsa Indonesia yang secara potensial atau aktual, lewat pemikiran,
tindakan, perkataan, perbuatan, ataupun kelalaian berhubungan dengan integritas, dan
kemakmuran Indonesia.
(http://www.mail-archive.com/politiktionghoa@yahoogroups.com/msg01286.html)
2.4.1. Nasionalisme Dan Pendidikan Nasional
Pudarnya nasionalisme di tengah masyarakat, dikarenakan sistem pendidikan
nasional yang tidak memberi ruang kepada pendidikan yang membangun empati, atau
rasa, dan juga adanya pengaruh dari luar yang tidak dapat disaring oleh
masyarakat,sehingga tidak memberi peluang pada pelajaran sejarah. Ini yang
menyebabkan lunturnya semangat nasionalisme terutama di kalangan generasi muda,
karena saat ini nasionalisme hanya sebatas kegiatan upacara dan buah bibir.
Pendidikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia
diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa,
mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas mandiri, sehingga mampu membangun
dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan
Pendidikan nasional juga diharapkan dapat menumbuhkan jiwa patriotik dan
mempertebal rasa cinta kepada tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan
kesetiakawanan sosial serta kesadaran pada sejarah masa lalu bangsa dan sikap
menghargai jasa para pahlawan serta berorientasi ke masa depan dan mampu
mengaktualisasikan rasa dan semangat kebangsaannya bagi keberhasilan masa depan
negara dan bangsanya. Dalam GBHN 1993 telah digariskan, bahwa pendidikan
naional berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.(Yudhohusodo, 1996: 99-100)
Nilai-nilai perjuangan bangsa Indonesia dalam perjuangan fisik merebut,
mempertahankan, dan mengisi kemerekaan telah mengalami pasang surut sesuai
dengan dinamika kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Semangat
perjuangan bangsa telah mengalami penurunan pada titik kritis yang disebabkan oleh
pengaruh globalisasi.(Sumarsono, 2001: 2)
Semakin tinggi pengetahuan atau tingkat pendidikan yang dicapai seseorang,
akan terasa semakin luas pula lingkup kehidupan bersama yang menjadi tanggung
jawab pribadi dan semakin banyak pertanyaan yang muncul tentang peranan yang
perlu dilakukan.(Yudhohusodo, 1996: 97)
2.4.2. Fungsi Nasionalisme Indonesia
Nasionalisme Indonesia mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Untuk mempersatukan seluruh kekuatan politik, ekonomi, sosial dan budaya
sehingga mempunyai daya ketahanan dan kekuatan daripada bangsa Indonesia
untuk menangkal sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang
bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia sendiri, yaitu pancasila dan
2. Nasionalisme Indonesia mempunyai kewajiban untuk menghilangkan
dominasi asing atau bersifat asing dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan
budaya seperti ajaran marxisme, komunisme, liberalisme yang bertentangan
dengan doktrin pancasila yang telah dijabarkan dalam P4.
3. Nasionalisme Indonesia mempunyai fungsi untuk mempertahankan keaslian
nasionalisme itu sendiri baik nasionalisme politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Oleh karena itu, ajaran-ajaran yang kiranya dapat bertentangan
dengan pancasila merupakan ideologi terbuka, maka diperlukan
penyaringan-penyaringan terhadap pemikiran-pemikiran yang kiranya dapat menimbulkan
bencana terhadap kehidupan, kemasyarakatan, kenegaraan Indonesia.
4. Nasionalisme Indonesia mempunyai kewajiban baik secara idiil spiritual dan
konstitusional untuk memperoleh gengsi atau pengaruh di dunia internasional
dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
5. Fungsi nasionalisme Indonesia adalah harus mampu mendorong dan
membangkitkan rasa kebangsaan yang dalam agar bangsa Indonesia menjadi
suatu bangsa yang kuat dalam poleksosbud hankam ataupun angkatan
bersenjata.
6. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme pancasila yang mempunyai
fungsi untuk menjunjung tinggi dan memuliakan agama dan mengusahakan
hilangnya faham sekularisme, yaitu faham yang memisahkan antara agama
dengan negara yang merupakan perwujudan dari faham liberalisme dalam
bidang agama.
7. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang terbentuk karena adanya
perlawanan terhadap kolonialisme baik kolonialisme Belanda, Inggris maupun
ini mengandung adanya faktor yang harus ditumbangkan baik secara nasional
maupun internasional yaitu kolonialisme dan imperialisme. Itulah sebabnya,
nasionalisme Indonesia dalam rangka melawan kolonialisme dan imperialisme
secara nasional dan internasional mengadakan konferensi Asia Afrika di
Bandung yang terkenal dengan Dasa Sila Bandung.
8. Nasionalisme Indonesia terbentuk pula daripada sub-sub nasional Indonesia
atau suku-suku bangsa yang menyebar di seluruh wilayah nusantara. Oleh
karena itu, untuk tidak timbulnya rasa nasionalisme yang sempit yang
ditujukan untuk kehormatan dan keagungan bangsanya sendiri, maka
nasionalisme Indonesia mempunyai fungsi untuk memeratakan karakter
sehingga terwujud suatu kesatuan yang homogen agar tidak tercetus ke
permukaan tentang adanya rasialisme atau sukuisme di Indonesia.
9. Nasionalisme Indonesia mempunyai kewajiban untuk menanamkan kesadaran
nasional maupun internasional bahwa perang antar negara merupakan bencana
buruk bagi umat manusia. Oleh karena itu, nasionalisme pancasila mempunyai
fungsi nasional dan internasional untuk mewujudkan perdamaian dunia yang
berdasarkan persamaan dan kemerdekaan.
10.Agar nasionalisme Indonesia mampu mewujudkan fungsinya secara nasional
dan internasional, maka Negara Indonesia harus menjadi negara industri di
dalam segala bidang agar bangsa Indonesia mempunyai kekuatan, terutama
kekuatan ekonomi yang akan menunjang terhadap kekuatan politik, sosial, dan
budaya serta kekuatan angkatan bersenjata, baik darat, laut atau
2.4.3. Ciri Nasionalisme Indonesia
Ciri-ciri nasionalisme dapat berupa rela mati dalam memperjungkan tanah air,
mencintai produk-produk dalam negeri dan rela melakukan apa saja yang terbaik
untuk tanah air. Ciri nasionalisme Indonesia yaitu nasionalisme religius seperti yang
dicetuskan Bung Karno (Soekarno) adalah nasionalisme yang tumbuh dari budaya
Indonesia, Nasionalisme religius merupakan perpaduan antara semangat kebangsaan
dan keberagamaan. Nasionalisme Indonesia bersumber kepada Pancasila, sedangkan
semangat religius bersumber kepada ajaran Islam yang menjadi agama mayoritas
masyarakat. Antara nilai-nilai Pancasila dan Islam dapat saling dikompromikan dan
tidak berbenturan. Kedua unsur tersebut saling mengisi yang melahirkan semangat
nasionalisme yang beragama dan semangat beragama yang nasionalis. Namun,
pengaruh berbagai ideologi global membuat nasionalisme religius mulai dimaknai
secara berbeda oleh sebagian kelompok. Makna religius mulai dipengaruhi oleh
berbagai faham keagamaan global dan faham sekularisme. Nasionalisme religius pun
bergeser menjadi nasionalisme kosmopolitan.(www.mail-archive.com)
2.4.4. Simbol Nasionalisme Indonesia
Simbol atau tanda memiliki peranan yang tidak kalah penting dalam
kehidupan sehari-hari di sekeliling kita. Simbol atau tanda pasti mengisyaratkan
‘sesuatu’ akan suatu dibalik hal tertentu. Ambillah satu contoh, lampu merah
misalnya, tanpa diperintah atau diberi aba-aba, seseorang (ketika sedang melitas di
jalan raya dengan kendaraannya) yang kebetulan melihat didepannya menyala lampu
merah, pasti akan menghentikan laju kendaraannya dan mempersilahkan kendaraan
lain untuk melaju didepannya. Begitupun seterusnya, sadar atau tidak sadar, pola
simbol disekeliling kita. Indonesia memiliki dua simbol kebangsaan, yaitu simbol
burung garuda dan bendera merah putih. Dan dapat ditelaah satu persatu makna
simbol-simbol diatas :
1. Burung Garuda
Burung yang selalu kita agung-agungkan tersebut hanya mitos belaka yang berasal
dari mitologi Hindu-Budha. Dalam mitos tersebut garuda merupakan wahana
(kendaraan) Dewa Wisnu, salah satu trimurti atau manifestasi Tuhan dalam agama
Hindu. Garuda digambarkan bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah.
Paruh dan sayapnya mirip elang, tetapi tubuhnya seperti manusia. Ukurannya
besar sehingga dapat menghalangi matahari. Garuda adalah seekor burung
mitologis, separuh manusia, separo burung. Dan ternyata Garuda juga merupakan
lambang suci bagi orang-orang Hindu di Thailand. Indonesia sendiri mempunyai
alasan untuk menjadikan burung garuda sebagai lambang negara selain burung
garuda merupakan burung yang gagah berani juga dikarenakan jumlah bulu-bulu
burung garuda menggambarkan tanggal, bulan, dan tahun kemerdekaan RI.
2. Bendera
Sepanjang peradaban bangsa-bangsa, sejarah bendera pada umumnya bersifat
sakral. Diyakini bahwa bangsa Cina atau India yang pertama kali menggunakan
bendera sebagai simbol yang agung. Penggunaan bendera dan penghormatan
atasnya sebagai simbol nasionalisme, telah menjadi tradisi semua bangsa di dunia.
Tidak satupun negara di dunia ini yang tidak mempunyai bendera sendiri. Bendera
menjadi penting baik dalam suasana damai maupun perang. Ketika damai,
bendera menjadi simbol kebanggaan dan peringatan keberbangsaan. Ketika
perang, keberadaan simboliknya bahkan menjadi semakin terasa, karena eksistensi
Bendera adalah simbol sebuah pengakuan-an act of recognition-. Itu lah sebabnya,
ketika menarik, mengecam atau menolak pengakuan terhadap bangsa lain,
penistaan bendera seringkali menjadi ekspresi yang paling sempurna dari sikap
demikian. Dalam sejrah perjuangan kemerdekaan kita, ketika berjuang berperang
melawan penjajah Belanda, para pemuda pahlawan bangsa itu maju menembus
desingan peluru untuk menurunkan bendera merah-putih-biru sang kolonial,
merobek warna birunya, dan mengibarkannya kembali. Bendera Indonesia terdiri
dari dua warna. merah dan putih. Warna merah yang melambangkan keberanian
berada diatas, dan dibawahnya, putih yang berarti suci.
.(http://id.mailarchive.org/simbol-simbolnasionalisme).
2.5. Nasionalisme Modern
Nasionalisme modern akan melahirkan kestabilan dan akan berfungsi sebagai
kekuatan yang menyatukan suku-suku dan kelompok etnis yang terpisah-pisah, karena
nasionalisme merupakan unsur penting bagi pembangunan bangsa Indonesia.(Madjid,
2004:32-33). Batasan-batasan nasionalisme modern adalah:
1. Adanya Suverinitet, yang berarti adanya ketidak bergantungan pada pihak
asing dan adanya kebebasan untuk menentukan nasib sendiri.
2. Adanya negara dimana pemerintahannya disokong oleh segenap lapisan
masyarakat. Dan adanya hubungan timbal balik dan saling ketergantungan
antara pemerintah dan rakyatnya.
3. Adanya integral politik yang tidak mementingkan kepeningan dirinya dan
kelompok sendiri.
4. Adanya ikatan kebangsaan yang kokoh dan adanya saling hubungan timbal
Artinya nasionalisme suatu bangsa itu harus dipandang tidak terpisah dan
terisolasi dari nasionalisme bangsa-bangsa yang ada diluarnya, dengan demikian
maka terjadilah suatu nasional yang kuat dan tidak berpandangan sempit.
Nasionalisme jaman dulu berfungsi sebagai landasan pemersatu dan tonggak
kelahiran Republik Indonesia dalam konteks melawan kolonialisme klasik maka
nasionalisme saat ini dapat menjadi alat untuk mempertahankan persatuan serta
menjadi elemen spiritual dalam rangka mencari cara untuk memperbaiki atau
membangun Indonesia secara menyeluruhditengah-tengah era globalisasi. Karena
Indonesia adalah negeri yang multikultural, integrasi tiap budaya lokal ke dalam
budaya nasional bukan pemaksaan satu budaya dominan atau peleburan
budaya-budaya ke dalam suatu bentuk, yapi membiarkannya terintegrasi, sehingga
nasionalisme tetap
ada.(http://osdir.com/ml/culture.region.china.budaya-tionghoa/msg00411.html)
Dalam menghadapi globalisasi dan menatap masa depan untuk mengisi
kemerdekaan, kita memerlukan perjuangan non fisik sesuai dengan bidang profesi
masing-masing. Perjuangan non fisik dilandasi oleh nilai-nilai perjuangan bangsa
Indonesia, sehingga kita tetap memiliki wawasan dan kesadaran bernegara, sikap dan
prilaku yang cinta tanah air, dan mengutamakan persatuan serta kesatuan bangsa
dalam rangka bela negara demi tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Perjuangan non fisik memerlikan sarana kegiatan pendidikan bagi setiap
warga negara Indonesia pada umumnya dan mahasiswa sebagai contoh calon
cendekiawan pada khususnya, yaitu melalui Pendidikan
2.6. Kerangka Berpikir
Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam memaknai
suatu peristiwa atau objek. Hal ini dikarenakan latar belakang pengalaman (field of
experience) dan pengetahuan (frame of reference) yang berbeda-beda pada setiap
individu tersebut. Dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, dalam hal ini pesan
disampaikan dalam bentuk lagu, maka penciptaan lagu juga tidak terlepas dari dua hal
diatas.
Begitu juga peneliti dalam memaknai tanda dan lambang yang ada dalam
objek, juga berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki peneliti. Dalam
penelitian ini peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda dan lambang berbentuk
tulisan pada lirik lagu ”Dari Mata Sang Garuda” dalam hubungannya dengan
representasi nasionalisme kebangsaan dengan menggunakan metode semiotik
Saussure, sehingga akhirnya dapat diperoleh hasil dari interpretasi data mengenai
representasi nasionalisme tersebut.
Dari data-data berupa lirik lagu ”Dari Mata Sang Garuda”, kata-kata dan
rangkaian kata dalam kalimat lirik lagu tersebut kemudian dianalisis dengan
menggunakan metode semiotik Saussure yang menitikberatkan pada aspek material
(penanda) dan aspek mental (petanda) yang pada akhirnya diperoleh signifikasi
hingga menghasilkan suatu interpretasi mengenai bagaimana nasionalisme
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Dengan data yang digunakan
adalah data kualitatif (data yang tidak terdiri atas angka-angka) melainkan berupa
pesan-pesan verbal (tulisan) yang terdapat pada lirik lagu “Dari Mata Sang Garuda”
karya “Pee Wee Gaskins”. Data-data kualitatif tersebut berusaha diinterpretasikan
dengan rujukan, acuan atau referensi-referensi secara ilmiah.
Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif ini digunakan karena
beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatiaf lebih mudah
apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara
langsung hakikat peneliti dan yang diteliti; dan ketiga,metode ini lebih peka dan lebih
dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap
pola-pola yang dihadapi (Moleong, 2002: 5)
Metode penelitian yang digunakan didalam penelitian ini bersifat diskriptif
kualitatif, dengan memaknai lirik lagu “Dari Mata Sang Garuda: menggunakan teori
semiotika Ferdinand de Saussure, yaitu pandangan tentang signifier (penanda) dan
signified (petanda); langue (bahasa) dan parole (ujaran); form (bentuk) dan content
(isi); synchronic dan diakronik; serta syntagmatig (sintagmatik) dan associative
(paradigmatik).
Melalui pandangan dari Saussure itulah baru kemudian dijelaskan lewat
penafsiran dengan menggunakan definisi daripada nasionalisme kebangsaan yang
kemudian dapat ditarik suatu makna yang sebenarnya dari lirik lagu tersebut. Sesuai