• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Kebencian dalam lirik lagu “Syair Nurdin Ali” (Studi Semiologi Tentang Representasi Kebencian di dalam lirik lagu “Syair Nurdin Ali yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Sayyidin Band).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Kebencian dalam lirik lagu “Syair Nurdin Ali” (Studi Semiologi Tentang Representasi Kebencian di dalam lirik lagu “Syair Nurdin Ali yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Sayyidin Band)."

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH:

DAELAZ TOHAR KSATRIA CAKTI

0643010087

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

(2)

Oleh :

Daelaz Tohar Ksatria Cakti

NPM. 0643010087

Menyetujui,

Pembimbing Utama Tim penguji :

Ir. Didiek Tranggono, M.Si 1. Ir. Didiek Tranggono, NPT.19581225990011001 NPT. 19581225990011001

2. Juwito, S.Sos. M.Si NPT.367049500361

3. Drs. Saifuddinn Zuhri, M.Si NPT.370069400351

Mengetahui,

Ketua Progdi. 4. Drs. Kusnarto, M.si

NIP. 030 176 735

(3)

“Syair Nurdin Ali di Ciptakan dan di Populerkan Sayyidin Band)

Disusun Oleh :

DAELAZ TOHAR KSATRIA CAKTI

NPM. 0643010087

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

Pembimbing

Ir. H. Didiek Tranggono, MSi

NPT. 195812251990011001

Mengetahui,

DEKAN

(4)

yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Sayyidin Band)

Disusun oleh :

DAELAZ TOHAR KSATRIA CAKTI NPM : 0643010087

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 13 Juni 2011

Pembimbing Tim Penguji

1) Ketua

Ir. H. Didiek Tranggono, Msi Ir. H. Didiek Tranggono, Msi NIP. 19581225199001001 NIP. 195812251990011001

2) Sekretaris

Dra. Sumardjijati,MSi

NIP. 196902103231993092001

3) Anggota

Dra. Herlina Suksmawati, M.Si NIP. 196412251993092001

Mengetahui, DEKAN

(5)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME, yang

telah memberikan rahmat serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian berupa skripsi.

Keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman penulis membuat Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Berkat usaha, dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan Skripsi ini. Rasa terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir. H. Didiek Tranggono, MSi. selaku Dosen Pembimbing penulis yang selama ini telah

membimbing serta memberikan pengarahan kepada penulis dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan harapan dan rencana

Pada kesempatan ini pula penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan bimbingannya kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa pemilik semesta alam beserta isinya. 2. Ibu Dra. Hj. Suparwati, M. Si, Dekan FISIP UPN Veteran JATIM

3. Bapak Juwito, S.Sos., M.Si, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP

UPN Veteran JATIM

4. Bapak Drs. Saiffudin Zuhri, M.Si, Sekretaris Program Studi Ilmu

Komunikasi FISIP UPN Veteran JATIM

(6)

dukungan materi dan moral.

7. Saudara-Saudara penulis yang berada di Bali, Jogja, dan Banyuwangi.

8. Sahabat dan teman-teman dekat penulis Ajiz, Radit ,Bayu Tyok, Lintang, Wahyu, Tito, Dita, My Only One Rani Virgita, Mbak Yanti beserta suami

Mas Dimas, Bintang, Sandra, Hun Sarah, Ryan Andiyono, Elsadiora Febi, Reza Braga, Nugroho, Dani, Mbak Lucy, Dela, Freelance Crew, Kakak-kakak Street Crew, Jawara dan semua angkatan 04, 05, 06 dan 07 Fisip

yang dekat dengan penulis.

9. Seluruh pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu dan memberikan semangat dalam menyelesaikan Skripsi ini. Akhir kata, penulis memohon kehadirat Tuhan YME semoga segala bantuan yang telah mereka berikan kepada penulis mendapatkan balasan dari

Tuhan YME. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang menggunakannya.

Surabaya, Juni 2011

(7)

HALAMAN JUDUL………... i

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI…... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN...

ABSTRAKSI………

ix x

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah... 1.2. Perumusan Masalah... BAB II KAJIAN PUSTAKA

(8)

BAB III

2.1.9. Representasi………...

2.1.10. Pengertian Komunikasi……… 2.1.11. Kerangka Berpikir……….... METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian... 3.2. Corpus………... 3.3. Unit Analisis...

3.4. Teknik Pengumpulan Data... 3.4. Metode Analisis Data...

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 4.1.1 Sekilas Tentang Sayyidin Band ...

4.1.2 Lirik Lagu “Syair Nurdin Ali” ... 4.2. Penyajian Data ...

(9)
(10)

Halaman Gambar 1. Peta Tanda Roland Barthes ……… 25 Gambar 2. Kerangka Berpikir Lirik Lagu “Syair Nurdin Ali”……….. 39

(11)

Halaman Lampiran 1

Lampiran 2

Profil Band Sayyidin Band ………. Lirik Lagu Syair Nurdin Ali ………..

(12)

dalam lirik lagu “Syair Nurdin Ali” (Studi Semiologi Tentang

Representasi Kebencian di dalam lirik lagu “Syair Nurdin Ali yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Sayyidin Band)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana makna yang dikomunikasikan atau di representasikan dari lagu Syair Nurdin Ali yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Sayyidin Band

Teori yang digunakan adalah semilogi Roland Barthes teori yang meneruskan pemikiran dari Saussure. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menenekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunanya, interaksi antara konvesi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of significations”. Kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada Frame of Reference (berdasarkan pengetahuan) dan Field of Experience (latar belakang pengalaman).

Metode dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu sebuah metode yang lebih menyesuaikan bila dalam penelitian ini kenyataanya ganda, menyajikan secara langsung hubungan antara peneliti dengan objek peneliti, lebih peka serta dapat menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh terhadap pola-pola nilai yang dihadapi Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah metode

Setelah mengulas mengenai Representasi kebencian di dalam lirik lagu “Syair Nurdin Ali” yang diciptakan dan dipopulerkan oleh The Sayyidin Band, maka peneliti memperoleh kesimpulan dari interpretasi tersebut bahwa masyarakat membenci kepada pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan yang telah di amanat kan rakyat kepada penguasa tersebut.

Masyarakat pun mempunyai alasan mengapa mereka membenci, karena masyarakat lelah kepada pemimpin yang terlalu mementingkan egonya sendiri, masyarakat juga lelah akan sikap pemimpin yang tidak punya hati nurani, lelah kepada pemimpin yang tidak peka dan membutakan hati mereka untuk melihat penderitaan masyarakat.

(13)

1.1 Latar Belakang Masalah

Musik dan lagu merupakan salah satu kegiatan komunikasi, karena

didalamnya terdapat proses penyampaian pesan dari si pencipta lagu tersebut kepada kyalayak pendengarnya. Pesan yang terkandung dalam sebuah lagu

merupakan representasi dari pikiran atau perasaan dari pencipta lagu sebagai orang yang mengirim pesan. Pesan yang disamapaikan biasanya bersumber dari frame of refrence dan field of experience.

Musik merupakan hasil budaya manusia yang menarik diantara budaya yang lain, dikatakan menarik karena musik memegang peranan yang sangat banyak diberbagai bidang. Seperti dilihat dari sisi psikologisnya, musik kerap

menjadi sarana kebutuhan manusia dalam hasrat akan seni dan berkreasi. Dari sisi sosial musik dapat disebut sebagai cermin tatanan sosial yang ada dalam

masyarakat saat musik tersebut diciptakan. Dari segi ekonomi, musik telah berkembang pesat menjadi suatu komoditi yang menguntungkan.

Musik sendiri menurut Kamus lengkap bahasa Indonesia memiliki makna bunyi-bunyian yang ditata enak dan rapi. Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa musik dapat menciptakan sebuah lagu. Sebuah lagu yang dinyanyikan

(14)

vokal dan yang terakhir adalah lirik lagunya. Instrument dan kekuatan vokal

penyanyi adalah sebagai tubuh sedangkan lirik lagu adalah jiwa atau nyawa adalah penggambaran musik itu sendiri.

Isi tanda musik dalam hal ini adalah emosi yang dibangkitkan dalam diri pendengar. Para ahli musik berpendapat bahwa musik merupakan ‘ekspresi perasaan, bentuk simbolik’ yang signifikamsinya dapat dirasakan, tetapi tidak

dapat didefinisikan karena ia hanya bersifat ‘implisit, tetapi secara konvensional tidak tetap’.

Salah satunya hal yang terpenting dalam sebuah musik adalah keberadaaan lirik lagunya, karena melalui lirik lagu, pencipta lagu ingin menyampaikan pesan yang merupakan pengekspresian dirinya terhadap fenomena-fenomena yang

terjadi didunia sekitar. Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang

beredar dalam masyarakat. Lirik lagu, dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dalam pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu diaransir dan dipedengarkan kepada masyarakat tanggung jawab yang

besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003:7 – 8)

Lirik lagu adalah sebuah media komunikasi verbal yang memiliki makna

pesan didalamnya, sebuah lirik lagu bila tepat memilihnya bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata atau peristiwa,juga secara individu mampu

(15)

yang menghibur bagi konsumen. Banyak sekali jenis lirik lagu kesuluruhan dalam

sebuah produk musik yang telah tercipta, ada yang menyangkut pembicaraan autoritas mereka melambangkan saling pengertian yang patut diagungkan dan

dipatuhi orang dari apa yang awali mereka.

Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam

masyarakat. Lirik lagu dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu diansir

dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003:8)

Realitas sosial terdiri dari tiga macam, yaitu realitas subjektif, realitas objektif ,dan realitas simbolik. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari

pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggp sebagai kenyataan. Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sementara itu, realitas subjektif adalah

realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi (Subiakto, 1997:93 dalam

Burhan Bungin,2007:5).

Ini dibuktikan oleh para pencipta seni musik membuat hasil karya musiknya dengan lirik lagu yang bisa diterima dan perhatian oleh para penikmat

(16)

bisa dapat dikenal oleh khayalak, bahkan bisa mendapat penghargaan berupa

platinum-nya dari angka penjualan sehingga mengangkat pamor atau popularitas dari sang pencipta karya seni.

Melalui lirik lagu sebagaimana bahasa, dapat menjadi media komunikasi lewat lirik lagu, pencipta lagu menyampaikan apa yang ingin diungkapkanya. Pesan yang disampaikan oleh seorang pencipta lagu tersebut, dalam artian bahwa

pesan tersebut bersumber pada pola pikirnya serta kerangka acuan (frame of refrence) dan pengalaman (field of experience) sebagai hasil interaksinya dengan

lingkungan sosial disekitarnya.

Menurut pendapat dari Soerjono Soekamto (Rahmawati, 2000:1) bahwa music berkait erat dengan setting sosial kemasyarakatan dan gejala khas akibat

interaksi sosial dimana lirik lagu menjadi penunjang dalam musik tersebut dalam menjembatani isu-isu sosial yang terjadi.

Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekamto dalam Rahmawati (2000:1)

yang menyatakan :

“musik berkaitan erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Music merupakan gejala khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat bereperan, sehingga dengan demikian music tidak hanya bersuara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya”.

Berdasarkan kutipan diatas, sebagai lirik lagu dapat berkaitan erat pula

(17)

masyarakat. Dan beragamnya tema lagu di Indonesia yang akhir-akhir ini ada,

muncul lagu bertema kebencian terhadap keadaan raut mautnya sebuah organisasi besar di Indonesia.

Lirik yang terdapat dalam lagu “Syair Nurdin Ali” ini mencerminkan tentang kritik sosial terhadap pemegang elite politik dan para borjuis men yang menyalahgunakan jabatanya demi kepentingan pribadi. Masih banyak warga

Negara Indonesia yang dengan sadar ataupun sengaja telah melanggar demokrasi di Indonesia yang berideologi Pancasila dengan mempergunakan jabatanya dan

sesuka hatinya tanpa memperdulikan dampaknya terhadap orang lain. Karmila,1998:38).

Kebencian adalah salah satu bentuk wujud perasaan seseorang untuk

mengekspresikan ketidak sukaan perasaan seseorang tersebut terhadap objeknya. Kebencian itu sendiri salah satu sikap psikologis yang dimiliki oleh setiap

manusia. Banyak faktor yang membuat kebencian ini muncul, salah satunya ialah tersinggungnya perasaan manusia karena faktor yang tidak disukai oleh setiap individu manusia tersebut. Berikut ini pernyataan Ronseberg dalam Saiffudin

Azwar (2011:50) :

(18)

Dan didalam lirik lagu “Syair Nurdin Ali” yang diciptakan oleh Sayyidin

Band ini terdapat salah satu lirik yang mencerminkan kebencian dan sesuai pernyataan diatas. Yaitu lirik yang terdapat didalam bait ke tiga,“Tak Sadar diri

semakin banyak orang Membenci, bagaikan manusia tak punya harga diri, hati nurani, kau tak peduli dan bikin sakit hati kau ucapkan sembarang janji”. Lirik ini merepresentasikan tentang seseorang pemimpin disalah satu organisasi besar di

Negeri ini yang tidak mau turun dari jabatanya. Sesuai pernyataan Rosenberg di atas adanya kebencian muncul karena seseorang tidak bisa mengemban amanat

dan loyalitas yang sangat dipertanyakan. Adanya lirik lagu “Syair Nurdin Ali” ini muncul karena bentuk sebuah kebencian masyrakat yang diwakilkan oleh Sayyidin Band tentan seorang pemimpin yang tidak bisa mengemban sebuah

amanat.

Banyak pemimpin yang lalai karena merasa tinggi jabatanya ialah hak

mutlak bagi dirinya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Tidak mengherankan bila para elite politik dan penguasa begitu gencar dengan berbagai cara untuk memperoleh apa yang mereka inginkan dan tidak jarang dari para elite

politik dan penguasa memperoleh sesuatu yang mereka inginkan dengan cara yang kurang baik.

Merebut sebuah jabatan yang lebih tinggi dianggap jauh lebih berharga daripada mendengarkan berbagai macam kehulan rakyat. Tipu daya, manipulasi data, politik, hasutan, provokasi, menjatuhkan lawan, kolusi, menebar janji palsu,

(19)

Bahkan sering sekali Korupsi, Kolusi, Nepotisme, (KKN) berawal dari

sebuah tingginya jabatan. Seperti kita ketahui korupsi, kolusi, dan nepotisme di tanah Negeri ini, ibarat “warisan haram” tanpa surat wasiat. Tetap lestari

sekalipun diharamkan oleh aturan hukum yang berlaku dalam tiap orde yang muncul silih berganti sejak republik sendiri. Pergantian orde baru ke orde lama sampai ke orde reformasi pun tidak mempengaruhi berkurangnya KKN di Negeri

ini.

Berikut ini pendapat tentang KKN dari orde ke orde oleh Bernard L.

Tanya (2005 : 167-168) :

“penyempurnaan terhadap UU No. 3/1971 melalui UU No. 31/1999 yang juga telah direvisi melalui UU No. 20/2000, nyaris tidak membawa perubahan apa-apa. Justru dalam orde yang berideologi anti KKN inilah, terjadilah “demokratisasi korupsi” yang sangat intens dengan nilai kebocoran yang sangat fantastis dalam sejarah replubik. Itulah yang kita lihat misalnya dalam seri korupsi masal legleslatif daerah, dan kebocoran keuangan Negara tahun 2003 yang dilaporkan BPK baru-baru ini.”

Dari beberapa fenomena diatas maka peneliti melihat bahwa lagu yang dipopulerkan oleh Sayyidin Band yang berjudul “Syair Nurdin” ini menarik untuk

direpresentasikan atau diteliti. Oleh karena itulah dalam peneletian ini peneliti menaruh perhatian mengenai kebencian masyarakat terhadap penguasa elite politik yang tidak bisa mengemban sebuah amanat, dan peneliti meneliti lagu ini

(20)

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan semiologi Roland

Berthes atau semiotik saussure. Dimana Lebih lengkapnya saussure meletakan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan pemilahan significant (penanda)

dan signifie (petanda). Significant adalah bunyi yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dari ditulis atau dibaca. Signifie adalah gambaran mental yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa (Bartends, 1985:382 dalam

Kurniawan, 2001:14), dan Roland Barthes yang menekankan ke pada text.

Lebih ringkasnya peneliti disini meneliti tentang suatu sistem tanda, salah

satunya bagaimana Sayyidin Band membuat lagu tersebut dengan memberi makna pada lagu tersebut dan seperti apa Sayyidin Band mereflesikan fenomena ke dalam sistem tanda komunikasi berupa lirik lagu.

Penelitian tentang suatu sistem Penelitian ini secara khusus untuk mengetahui bagaimana Kebencian di Representasikan dalam lirik lagu “Syair

Nurdin Ali” yang diciptakan dan dippulerkan oleh Sayyidin Band dan berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan sebuah studi semiologi untuk mengetahui representasi Kekuasaan dalam lirik lagu “Syair

Nurdin Ali” yang diciptakan dan dibawakan oleh Sayyidin Band

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah Representasi Kebencian dalam lirik lagu “Syair Nurdin

(21)

1.3 Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah yang telah di uraikan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi Kebencian dalam lirik “Syair

Nurdin Ali” yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Sayyidin Band

1.4 Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Praktis

Diharapkan dapat membantu pembaca dalam memahami makna tentang representasi Kebencian pada lirik lagu yang ada dalam lagu “Syair

Nurdin Ali” yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Sayyidin Band.

b. Kegunaan Teoritis

Untuk menambah liberator penelitian kualitatif ilmu komunikasi

khususnya mengenai analisis semiologi pada lirik lagu “Syair Nurdin Ali” yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Sayyidin Band dan hasil penelitain ini diharapkan sebagai bahan acuan serta menambah acuan serta menambah

(22)

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Musik

Musik adalah suatu suara atau bunyi-bunyian yang diatur menjadi satu yang menarik dan menyenangkan. Dengan kata lain musik dikenal sebagai

sesuatu yang terdiri atas nada dan ritme yang mengalun secara teratur. Musik juga memainkan peran dalam evolusi manusia, dibalik tindakan dan perilaku manusia

terdapat pikiran dan perkembangan ini dipengaruhi oleh musik. Seni musik merupakan salah satu seni untuk menyampaikan eskpresi. Ekspresi yang disampaikan sekarang ini bukan hanya mengandung unsur keindahan seperti

tema-tema percintaan, namun belakangan ini banyak tercipta tema-tema yang yang berisi permasalahan sosial dan realitas yang ada pada masyarakat.

Musik dapat tercipta karena didorong oleh kondisi sosial, politik, dan ekonomi masyarakat, musik juga diilhami oleh perilaku masyarakat, musik adalah cermin masyarakat, music juga diilhami oleh perilaku masyarakat, dan sebaliknya

perilaku umum masyarakat dapat terilhami oleh musik tertentu. Perilaku umum masyarakat dapat berupa permasalahan sosial, peristiwa monumental, kebutuhan

(23)

Pada masa ini oleh masyarakat, musik populer diberi arti music yang

mudah diterima oleh kebanyakan orang dan untuk karenanya masyarakat banyak yng menyukainya (Sumaryo dalam Setianingsih, 2002:26). Beberapa jenis music

yang didasarkan pada manfaat agar diketahui lebih dalam adalah :

1 Musik Klasik : ada sedikit pergeseran makna, seperti terjadi pula pada nama atau istilah lain. Ada tiga taksiran mengenai musik klasik yang

sering digunakan

a. Pertama : Musik klasik adalah jenis musik terkenal yang

dibuat atau diciptakan jauh dimasa lalu, tetapi disukai, dimainkan dan dinikmati oleh orang sepanjang masa sampai sekarang.

b. Kedua : Musik klasik ialah jenis musik yang lahir atau diciptakan oleh komponis-komponis pada masa klasik, yaitu masa sekitar tahun 1750-1800.

c. Ketiga : musik klasik adalah jenis musik yang dibuat pada masa sekarang, tetapi mengambil gaya, corak, ataupun

teknik yang terdapat pada musik klasik dari pengertian pertama dan kedua.

2. Musik Jazz : jenis musik yang dianggap lahir di New Orleans, Amerika Serikat, pada awal abad ini. Merupakan perpaduan antara teknik dan peralatan music eropa, khususnya Perancis, dengan irama bansa negro asal

(24)

3. Musik Keroncong : Jenis Musik dimana dalam musik ini dipergunakan

perlatan dan pernadaan musik barat, yang dimainkan dan dinyanyikan dengan gaya musik tradisi kita yang sudah ada sebelumnya. Misalnya

permainan padi, kentongan, angklungan, dan lain-lain.

4. Musik Populer : Jenis musik yang selalu memasukkan unsur-unsur ataupun cara-cara baru yang sedang disukai, atau diharapkan akan disukai

oleh pendengar dewasa ini. Tujuanya adalah memperoleh ledakan popularitas sebesar mungkin dan secepat mungkin. Walaupun dua atau

tiga tahun kemudian tak ada lagi yang bisa mendengarkan. Musik populer merupakan suatu bidang yang mempunyai perkembangan tersendiri. Sifat-sifat perkembanganya itu kadang-kadang menuju kea rah perkembangan

artistik musikal, tapi yang masih menjadi simpati masyarakat banyak. Meski disebut musik populer, dari pemain-pemainya tetap diminta syarat

musikalitas. Makin tinggi nilai musikalnya, makin baik. Pemain musik populer tidak begitu merasa “tegang” seperti pemain music seriosa. Yang dimaksud “tegang’ disini ialah suatu rasa tekanan atau ketegangan mental,

yang disebabkan anatara lain adanya kosentrasi yang penuh agar dapat memainkan musiknya sebaik-baiknya. (Sumaryo dalam

Rachmawati,2000:29).

2.1.2 Lirik Lagu

Perkembangan lirik lagu di Indonesia sudah mulai muncul sejak setelah

(25)

masih dilakukan yang dinamakan “musikalisasi syair” yaitu menggarap

komposisi-komposisi lagu terhadap puisi-puisi yang terlebih dahulu diciptakan oleh penyair terpandang (Rachmawati,2000:42).

Lirik sebuah lagu di era sekarang merupakan sebuah kunci utama, meski tidak dipungkiri sentuhan musik tidak kalah pentingnya untuk menghidupkan lagu tersebut secara keseluruhan. Link merupakan sebuah energy yang mampu

mengungkapan banyak hal. Hamper sebagian besar lirik lagu-lagu Indonesia memuat berbagai peristiwa atau perasaan emosi yang dilihat, didengar dan

dirasakan oleh si pencipta lagu. Ada yang menyuarakan perasaan cinta yang mengharu biru, ada pula yang menuangkan protes dan kontrol sosial. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik diaransir dan dipedengarkan kepada khalayak juga

mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih,2003:7-8)

Apapun jenis musiknya, lirik lagu cinta tetap dominan dari waktu ke waktu. Para pencipta lagu pun berpendapat bahwa tema cinta adalah universal, bisa diterima apa saja, tidak heran apabila banyak grup musik atau penyanyi yang

memakain konsep pembuatan semacam itu.

Walaupun tidak menutup kemungkinan beberapa waktu ini juga banyak musisi yang membuat lagu tentang kritik sosial yang menyangkut kehidupan

Negara ini. Ini membuktikan bahwa musisi tersebut mencintai Negara inin dengan bentuk lirik-lirik lagu sehinggan menjadi musik yang nyaman dan dikomsumsi

(26)

2.1.3 Kebencian

Kebencian merupakan sebuah emosi yang kuat dan melambangkan ketidaksukaan, permusuhan, atau antipati untuk seseorang, sebuah hal, barang,

atau fenomena. Hal ini juga merupakan sebuah keinginan untuk menghindari, menghancurkan dan menghilangkanya. Kadangkala kebencian dideskripsikan sebagai lawan daripada cinta atau persahabatan. Tetapi banyak orang yang

menganggap bahwa lawan daripada cinta adalah ketidakpedulian, dan benci itu sendiri ialah bagian dari sifat-sifat manusia.

Dalam ilmu psikologi, Sigmund Freud mendefinisikan benci sebagai pernyataan ego (ke-akuan) yang ingin menghancurkan sumber-sumber ketidakbahagiaannya (Saiffudin Azwar,61:2010). Kebencian juga bisa

didefinisikan sebagai emosi yang dalam dan bertahan kuat, yang mengekspresikan permusuhan dan kemarahan terhadap seseorang, kelompok, atau objek tertentu.

Pentingnya moralitas, keadilan, komitmen yang melibatkan pemikiran

yang kompleks dan kesadaran diri, hal-hal tersebut sangat dibutuhkan untuk menghindari munculnya kebencian. Maka tiga hal tersebut harus terjaga dalam

sebagian sikap manusia.

Kebencian juga bisa didekatkan melalui pendekatan kognitif yang

menekankan bahwa bukan pengalaman real individu, namun cara seseorang menginterpretasikan atau memahami berbagai relasi dan pengalaman yang menentukan tindakan-tindakanya. Menurut pandangan ini, kebencian tergantung

(27)

Berbagai teori belajar menyatakan bahwa agresif diperoleh melalui

berbagai mekanisme yang ama seperti semua perilaku. Menurut Sigmund Freud ada 3 teori belajar dalam pendekatan kebencian yaitu (Saiffudin Azwar.70:2010).

a. Teori belajar klasik menyatakan bahwa emosi yang penuh kebencian merupakan respon-respon yang terarah..

b. sementara teori belajar operant menekankan peran dari penguatan dan

hukuman dalam membentuk agresivitas yang dipelajari.

c. Teori belajar sosial menggambungkannya dengan menyatakan bahwa

perilaku benci merupakan hasil dari modelling, observasi, imitasi , dan

vicariously reinforced (sangat dibesarkan)

2.1.4 Makna Kritik dan Bahasa

Kata tidak sekedar mengandung arti bahasa melainkan juga lebih utama bagaiman publik memaknai sebuah kata dalam kehidupan. Arti kata seringkali

bukan merupakan maksud sesungguhnya dalam realitas sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Taufik Abdullah (Masoed, 1993:3) yang mengatakan.

“Kata ketika dinaikan tingkatanya menjadi sebuah konsep, maka kesatuan maknanya menjadi problematic. Kamus pun tidak berfungsi sabagai penunjuk

makan sebab tidak lebih hanya sekedar pemberi indikasi arti kata,. Penentuan

makna seringkali bersifat hemegonik yang bertolak dari kepentingan kekuasaan”

Ungkapan tersebut menujukan betapa sulitnya memahami sebuah kata

(28)

filsafat dan ilmu sosial, pengertian kritik menurut Sinduanata sebagai aktifis

kebebasan. Dalam pengertian Kantian kritik berarti kemampuan subjek untuk melepaskan diri dan mengambil jarak dari objek. Dalam pengertian Marx, hal itu

dipahami sebagai kemampuan manusia merealisasikan dirinya dalam objek dengan mengubah objek itu. Dalam pengertian teori kritis mazhab Frankrut kritik berarti kemampuan dan penyadaran diri manusia dari kekuatan homogenic

tertentu sehinggga pada giliranya manusia itu mampu melakukan perlawanan dan perubahanya atasnya (Masoed,199:32)

Arti harfiah kritik yang dapat diperoleh dari Kamus Besar Indonesia adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik-buruk terhadap suatu karya, pendapat dan sebagainya. Dalam Kamus Umum

Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta, kata tersebut disebut mempunyai dua kemungkinan arti, yaitu (1) ‘genting, kemelut, sangat berbahaya

(tentang keadaan0’ dan (20 ‘selaan, kecaman, sanggahan’. Kamus pertama mengartikan kata mengkritik sebagai menemukakan kritik, mengencam, sedangkan kamus yang kedua mengartikanya sebagai memberi pertimbangan

(dengan mengemukakan mana-mana yang salah, mencela, mengecam) (Masoed,1999:36)

Dari berapa pengertian tersebut tampak bahwa kata kritik, dalam bahasa Indonesia, cenderung mengandung konotasi yang negatif, dapat beranonim dengan pengertian yang sepenuhnya berkonotasi negatif seperti celaan, tetapi

(29)

Bahasa merupakan alat komunikasi atau alat penghubung antar manusia,

tercipta anatar lain dengan menggunakan bunyi yang dihasilkan alat ucap. Wujud bahasa yang digunakan dalam kritik menggunakan pilihan bahasa secara halus

misalnya sindiran, perumpamaan dan semacamnya. Bentuk kritik yang cenderung dengan penghalusan bahasa tercipta oleh keadaan struktur masyarakat yang hierarkis, segala macam bentuk kritik tidak mungkin akan berekembang secara

transparan sebab kritik tidak mungkin akan berkembang secara transparan sebab kritik merupakan bentuk perbedaan yang tidak dikehendaki oleh penguasa

(Masoed,199:16)

Kritik tidak selamanya berarti melawan atau menentang. Kritik itu mengandung muatan ‘saling memberi arti’. Setidaknya menjadi masukan yang

dapat dipertimbangkan atau diperhitungkan dalam merumuskan kebijaksanaan dan tidak lanjutnya. Juga untuk menilai sejauh mana hal-hal yang berlalu,

terselenggara sebagaimana mustinya.

Pengalaman menunjukan kehidupan dan perkembangan masyarakat kita dewasa, tidak pernah luput dari upaya ‘saaling memberi arti’. Upaya ini, ditandai

oleh pemekaran arti dan makna kritik ditengah pergelutan apa pun didalamnya. Sesungghunya ‘saling memberi arti’ lewat distribusi kritik pada kontelasi yang

(30)

2.1.5 Konsep Budaya

Budaya adalah jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta dan karsa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta budhaya yaitu bentuk

jamak kata budhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa Inggris, kata budaya berarti dari kata culture.

Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu segala daya

dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Berikut pengertian budaya atau kebudayaan dari beberapa ahli :

1. E.B. Tylor, budaya adalah suatu kesuluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, dan adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapayt oleh

manusia sebagai anggota masyarakat.

2. R. Linton, kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku

yang dapat dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsur pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainya.

3. Koentjaraningrat, mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan

sistem gagasan, milik manusia dengan belajar.

4. Selo Soermadjan dan Soelaeman Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.

(31)

Dengan demikian, kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan

aspek kehidupan baik materil atau non-material. Sebagian besar ahli yang mengartikan kebudayaan seperti ini kemungkinan besar sngat dipengaruhi oelgh

pandangan evolusionisme, yaitu suatu teori yang mengatakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahap yang sederhana menuju tahapan yang lebih kompleks (Setiadi,2007:27-28)

Budaya pada dasarnya adalah proses penyempurnaan cara pikir dan penilaian manusia atau bangsa. Pada masyarakat maju budaya merupakan suatu

tipe perkembangan intelektual atau peadapan serta perkembangan tata hidup secara ilmiah. Budaya direflesikan dalam kepercayaan, seni, prsesepsi, dan pandangan hidup individu dan kelompok manusia dengan lembaga-lembaga.

Budaya menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Budaya sekslompok manusia pada mulanya dipengeruhi oleh alam sekitarnya, geografi, dan baru kemudian

perkembangan lingkungan dan sejarah (Samego,1990:25)

Menurut Levi-Strauss dalam Fisker (2006:167), budaya merupakan sebuah proses pemahaman bukan hanya untuk memahami alam atau realita eksternal,

melainkan juga sistem sosial sekaligus identitas sosialnya sendiri serta kegiatan keseharian orang-orang di dalam sistem tersebut. Kita memahamik diri kita

sendiri, relasi sosial kita, dan ”realitas” yang semuanya dihasilkan oleh proses cultural yang sama.

Namun kebudayaan tak mengakui kontinuitas antara memahami diri

(32)

membuat distingsi yang jelas abtar alam dan buadaya, dan mencoba menggunakan

makna atau kategori yang terlihat menjadi bagian yangb tak terpisahkan dari alam sendiri untuk memahami konseptualisasi cultural yang lebih nyata.

2.1.6 Budaya Kritik Indonesia

Budaya kritik merupakan ‘barang mahal’, karena kritik ibarat suatu yang

tabu, sehingga mau selamat, jangan mengkritik. Ada tidaknya budaya kritik di Indonesia, harus coba disimak dari cara berpikir orang Indonesia pada umumnya.

Edward C, Smith yang mengkutip uraian “Army Handbook” dalam buku sejarah pembredelan pers di Indonesia (1983) menutarakan bahwa :

“Cara berpikir orang Indonesia bergantung pada usaha mempertahankan tata

ksomis. Orang Indonesia berusaha mencapai keserasian dalam hubungan manusia

dengan Maha Esa Kuasa, dengan kekuatan alam, dan dengan sesame manusia,

dengan kewajiban untuk bergotong royong, memupuk toleransi dan harmoni

(Ali,1993:83)

Kritik merupakan bagian esensial dari masyarakat meskipun teori-teori sosiologi cenderung memperbaikinya. Yang mungkin membedakan masyarakat yang satun dengan masyarakat yang lainya hanyalah cara pernyataanya. Karena

dominasi buadaya Jawa yang amat kuat, masyarakat Indonesia cenderung menggunakan kritik yang tersirat, yang disampaikan secara tidak langsung,

(33)

Eufemisme (pengahalusan kata) yang sedang berlangsung dalam

masyarakat tidak dapat dihindarkan. Kecenderungan menghaluskan kata sering dilakukan oelh setiap orang untuk mengungkapkan kekurangan orang lain agar

tidak menggangu perasaan dan bukan membuka kelemahan pemikiran untuk merubah tindakan.

2.1.7 Semiologi dan Semiotik Dalam Komunikasi

Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda,

atau seme yang berarti penafsir tanda. Semiotika sendiri berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poctika.

Semiotika atau semiologi adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk

mengkaji suatu tanda. Tanda adalah perangkat-perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan didunia ini, di tengah-tengah masyarakat dan hidup bersama

manusia. Semiotika, atau dalam istilah Narthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal

mana objek itu hendak berkomunikasi dari tanda (Kurniawan dalam Sobur,2004:15).

Suatu tanda menandakan seseuatu selain dirinya sendiri, dan makna adalah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Fiskejohn,1996:64). Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti

(34)

dengan pembacanya. Pembaca itulah yang mengubungkan seseuai dengan

konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Sebuah teks, naik itu lirik lagu, surat cinta, novel, cerpen, puisi, komik, semua hal itu mungkin menjadi “tanda”

yang dapat dilihat dalam aktivitas penanda : yakni suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang mengubungkan objek dan interpretasi.

Semiotika modern mempunyai dua orang tokoh, yaitu Charles Sanders

Pierce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913). Terdapat perbedaa antara Pierce dan Saussure, antara lain: Pierce adalah ahli filsafat dan ahli logika,

sedangkan Saussure adalah tokoh cikal bakal linguistik umum (Sobur, 2004:110).

Sehingga perlu digaris bawahi dari berbagai definisi di atas adalah para ahli melihat semiotika itu sebagai ilmu atau proses yang berhubungan dengan

tanda. Semiotika mempunyai tiga bidang studi utama yaitu yang pertama adalah tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda,

cara tanda-tanda yang berbeda itu terkait dengan manusia yang menggunakanya. Tnda adalah konstruksi manusia dengan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakanya. Kedua, kode atau sistem yang mengorganisasikan

tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mentransimikannya. Ketiga,

(35)

Kajian semiotika dibedakan menjadi dua jenis, yaitu semiotika komunikasi

dan semiotika signifikasi, yang pertama menitik beratkan pada teori tentang produksi tanda, yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam factor

dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda pesan), saluran komunikasi dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan yang kedua menitik beratkan pada teori tanda dan segi pemahamanya dalam suatu konteks tertentu.

Pada jenis yang kedua (semiotika signifikasi) tidak dipersoalkan adanya tujuan komunikasi, sebaliknya yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu

tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya (Sobur,2004:15).

Pada dasarnya, semiosis dapat dipandang sebagai proses tanda yang dalam

istilah semiotika senagai suatu hubungan antara lima istilah :

S (s, i, e, r, c)

S adalah untuk semitotic relation (hubungan semiotic); s untuk sign (tanda); i adalah interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh; r untuk

reference (rujukan); c untuk conteks (konteks) atau conditions (kondisi).

Batasan semiotika komunikasi menurut Ferdinand de Saussure adalah linguistic hendaknya menjadi bagian suatu ilmu pengetahuan umum tentang

tanda, yang disebutnya sabagai semiologi.

(36)

orientasi semiologi pada Saussure dan orientasi pada semiotic pada Pierce. Satu

perbedaan diantara keduanya, menurut Hawkes adalah semiologi dipilih orang-orang eropa diluar perbedaan yang dimaksud Saussure, sedang semiotika dipilih

oleh penutur berbahasa inggris diluar perbedaan yang dimaksud dari Pierce Amerika. Dengan kaya lain, sebenranya menurut Eco dama Sobur, pada prinsipnya adalah disiplin ilmu yang mengkaji segala seseuatu yang dapat

digunakan untuk mendustai, mengelabui atau mengecoh.

“Semiotika menaruh perhatian apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang diambil sebagaipenanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain, seseuatu yang lain tersebut tidak perlu ada, atau tanda itu secara nyata ada disuatu tempat pada waktu tertentu. Semiotika pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari apapun yang bisa digunakan untuk menyatakan suatu kebohongan. Jika sesuatu tersebut tidak dapat digunakan mengatakan suatu kebohongan, sebaliknya, tidak bisa digunakan untuk mengatakan kebenaran. (Berger Dalam Sobur,2004:18

2.1.8 Semiologi Roland Barthes

Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang

getol mempraktikan model linguistic dan semiologi Saussuren. Ia juga intelektual dan kritikus asal Prancis yang ternama; ekspones penerapan strukturalisme dan semiotika pada studi sastra. Bartens (2001:208) menyebutnya sebagai tokoh yang

memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960-an dan 70-an. Barthes berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan

(37)

Menurut Shklovsky “karya seni adalah karya-karya yang diciptakan

melalui tekhnik-tekhnik khas yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi karya yang seatristik mungkin”. Sedangkan pendekatan karya strukturalis

memberikan perhatian terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makna. Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya seni atau sastra. Fenomena kesastraan dan estetika

didekati sebagai sistem tanda-tanda (Budiman,2003:11).

Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang

menyediakan metode dan peristilahan dasar yang diperoleh seseorang semiotikus dalam mempelajari semua sistem-tanda sosial lainya. Semiologi ialah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan secara terpisah dari

kandunganya. (Kurniawan,2001:156). Di dalam semiologi, seseorang diberikan kebebasan didalam memaknai sebuah tanda.

Gambar 2.1 : Peta Tanda Roland Barthes

1. signifier (penanda)

2. signified (petanda)

3. denotative sign (tanda denotative) 4. connotative signifier

(petanda konotatif)

(38)

Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri dari atas

penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotative adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur

material : hanya jika anda mengenal tanda “siaga”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan kebranian menjadi mungkin (Cobley&Janz,1991:51 dalam Sobur,2004:69)

Jadi, dalam konsep Barthes. Tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotative yang

melandasi keberadaanya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Bathes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotative.

Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dam konotasi dalam pengertian-pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti

oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga diracunkan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut

sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang seseuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, didalam semiologi roland

barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketetutupan makna dan dengan demikian, sensor

(39)

menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini

mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna bagi sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harafiah” merupakan seseuatu yang bersifat alamiah

(Budiman,199:22 dalam Sobur,2004:70-71).

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik denganoperasi ideology, yang disebut dengan “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan

pembenaran bagi nilai-nilai dominant yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman,2001:28). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda,

petanda, dan tanda, namun sebagai sistem yang unik , mitos dibangun oleh suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua. Dalam mitos pula petanda dapat memiliki bebearapa penanda. Artinya, dari segi jumlah, petanda lebih miskin jumlahnya

daripada penanda, sehingga dalam prakteknya tejadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk yang berbeda-beda. mitologi

mempelajari bentuk-bentuk tersebut karena pengulangan konsep terjadi dalam wujud bentuk tersebut (Sobur,2004:71).

Kode sebagai sistem makna luar yang lengkap sebagai acuan dari setiap

tanda, menurut Barthes terdiri atas lima jenis. Lima kode ini ditinjau oleh barthes adalah kode hermeneutika (kode teka-teki), kode proaretik, kode budaya, kode

semik, dan kode simbolik (Kurniawan, 2001:69).

Kode hermeneutika atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode

(40)

dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa

teka-teki dan penyelesaianya didalam cerita (Sobur,2004:65). Dibawah kode ini, orang dapat mendaftar beragam istilah yang sebuah teka-teki dapat dibedakan, diduga,

diformulasikan, dipertahankan, dan akhirnya disikapi. Kode ini juga disebut suara kebenaran (Kurniawan, 2001:69). Kode ini berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam suatu wacana (Tinarbuko,2008:19).

Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain semua teks yang

bersifat naratif (Sobur,2004:66). Kode proaretik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi (Tinarbuko,2008:19)

Kode budaya sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga

pengetahuan. Biasanya orang mengindikasikan tipe pengetahuan mengacu pada, tanpa cukup jauh mengkonstruksikan budaya yang mereka ekspresikan

(Kurniawan,2001:69). Gnomik atau kode cultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuanyang telah

diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal kecil-hal kecil yang telah dikodifisikan (Sobur,2004:66)

Kode semik atau semantic, yaitu kode yang mengandung konotasi pada

level penanda (Tinaburko,2008:18). Kode ini menawarkan banyak sisi dalam proses pembacaan, pembaca menysusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa

(41)

frase yang mirip. Jika kita melihat kumpulan satuan konotasi melekat, kita

menemukan suatu tema di dalam cerita perlu dicatat bahwa Barthes menganggap bahwa denotasi dan konotasi yang paling kuat dan paling “akhir” (Sobur,2004:66)

Kode simbolik (tema) yang bersifat tidak stabil dan dapat dimasuki melalui beragam sudut pendekatan. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat structural, atau tepatnya menurut konsep Barthes,

pascastrukutural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem

dalam proses produksi wicara, maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses (Sobur, 2004:66).

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang

tanda adalah peran pembaca. Konotasi, walaupun sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas

apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh yang paling jelas sistem pemaknaan yang ke-dua yang dibangun atas bahasa sebagai sistem

pertama. Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut konotatif, yang didalamnya mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan

tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley & Janz,1999 dalam Sobur,2004:69).

Menurut Barthes (2001) tanda adalah suatu kesatuan dari suatu bentuk

(42)

bermakna. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa apa yang dikatakan,

didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa. Yang harus

diperhatikan adalah bahwa tanda bahasa yang kongkret, kedua unsur tidak dapat dilepaskan. Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi, yakni signifier (penanda) dan signifield (petanda). Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan

karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya suatu petanda, tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda, petanda atau yang ditandakan itu

termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan factor linguistik. “penanda dan petanda merupakan kesatuan, seperti dua sisi dari sehelai kertas (Sobur,2004:46) .

Semiologi Barthes tersusun atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa. umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa, bahasa pada tingkat

pertama adalah sebagai objek dan bahasa tingkat kedua yang disebut metabahasa. Sistem tanda pertama kadang disebut dengan istilah denotasi atau sistem terminologis, sedang sistem tanda tingkat kedua disebut sebagai konotasi atau

sistem teoris atau mitologi. Fokus kajian Barthes terletak pada sistem tanda tingkat kedua atau metabahasa (Kurniawan,2001:115).

Konotasi dan metabahasa adalah cernminan yang berlawanan satu sama lain. Metabahasa adalah operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah yang berperan untuk menerapkan sistem rill, dan dipahami sebagai petanda,diluar

(43)

meliputi bahasa-bahasa yang sifat utamanya sosial dalam hal pesan

(Kurniawan,2001;68)

Pendekatan semiologi Barthes secara khusus tertuju pada jenis tuturan

yang disebut mitos. Menurut Barthes, bahasa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos (Budiman,2003:64).

Mengenai bekerjanya tanda dalam tatanan kedua adalah melalui mitos.

Mitos ini biasanya mengacu pada pikiran bahwa mitos itu keliru, namun pemakaian yang biasa itu adalah penggunaan oleh orang yang tak percaya. Brthes

menggunakan mitos sebagai seorang yang dipercaya, dalam artian yang orisinil. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan beberapa aspek dari realitas suatu alam. Mitos primitive berekenaan dengan hidup

dan mati, manusia dan dewa, baik dan buruk. Mitos kita lebih bertakik-takik adalah tentang maskulinitas dan feminitas tentang keluarga, tentang keberhasilan

atau tentang ilmu. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Barthes memikirkan mitos sebagai mata rantai dari konsep-konsep

terkait. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda (Fiske,2006:121).

Untuk membuat ruang atensi yang lebih lapang bagi diseminasi makna dan

pluralitas teks. Barthes mencoba memilah-milah petnda-penanda pada wacana naratif kedalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut

(44)

bervariasi. Sepotong bagian teks yang apabila diisolasikan akan berdampak atau

memiliki fungsi yang khas apabila dibandingkan dengan teks lain disekitarnya, adalah sebuah leksia. Akan tetapi sebuah leksia sesungguhnya bisa berupa aapa

saja, kadang hanya berupa satu dua pata kata saja, kadang kelompok kata, kadang beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraph, tergantung kepada kegampanganya saja. Dimensi nya tergantung kepada kepekatan dan konotasi-konotasinya yang

bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran kontak pertama diantara

pembaca dan teks maupun pada saat satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tataran-tataran pengorganisasian yang lebih tinggi (Budiman,2003:54)

Dalam rangka memaknai sebuah “teks” kita akan dihadapkan pada pilihan-pilihan pisau analisis mana yang bisa kita pakai dari sekelian jumlah

pendeketan yang yang begitu melimpah. Ketika kita sampai pada pilihan tertentu semestinya “setia” pada satu plihan saja, namun bisa juga mencampuradukkan dengan beberapa pilihan tersebut, tergantung kepentingan dari tujuan “pembaca”

dalam membedah pembacaanya. Bisa pula benar-benar hanya memfokuskan pada teks dan melupakan sang pengarang, pembaca kemudian dapat melakukan

interpretasi pada suatu karya.

Dalam hal ini “pembacalah” yang memberikan makna dan penafsiran. Pembaca mempunyai kekuasaan absolute untuk memaknai sebuah hasil karya

(45)

itu memberikan maknanya. Wilayah kajian teks yang dimaksud Barthes memang

sangat luas, mulai bahasa verbal seperti karya sastra hingga fashion atau cara berpakaian. Barthes melihat selutuh produk budaya merupakan teks yang dibaca

secara otonom dari para penulisnya.

2.1.9 Representasi

Representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan

menyangkut pengalamn pribadi. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sam, membagi kode-kode kebudayaan yang sama. Berbicara dalam “bahasa” yang

sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama (Juliastuti,2005:05)

Dalam representasi bahasa adalah yang menjadi medium perantara kita

dalam memaknai seseuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena bahasa beroperasi sebagai sistem reseprentasi. Lewat bahasa (symbol-simbol) dan tanda tertulis (lisan atau gambar). Kita dapat

mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna seseuatu hal sangat tergantung dari cara merempresentasikannya. Dengan mengamati

kata-kata yang kita gunakan dalam mempresentasikan seseuatu, bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada seseuatu tersebut (Juliastuti, 200:06)

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa, ada tiga

(46)

mereflesikan makna yang sebenranya dari segala sesuatu yang ada. Kedua

pendekatan intensional, dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap seseuatu.

Sedangkan yang ketiga adalah pendekatan konstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai (Juliastuti, 2000:07)

Ada dua reseprentasi yaitu reseprentasi mental dan representasi bahasa.

Representasi mental adalah konsep tentang “sesuatu” yang ada dikepala kita masing-masing, representasi ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Sedangkan

representasi bahasa adalah reseprentasi yang berperan penting dalam konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dikepala kita diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menhubungkan konsep dan ide-ide kita tentang seseuaru

dengan tanda-tanda dan symbol-simbol tertentu (Juliastuti, 2000:7).

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dengan

mengkonstraksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem “konseptual” kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai koresponden antara “peta konseptual” dengan “bahasa atau symbol” yang

berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara “seseuatu”, “peta konseptual” dan “symbol” dalam “bahasa” adalah suatu proses

makna lewat bahasa. Proses yang mengubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang dinamakan representasi.

Sedangkan menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah suatu praktek

(47)

sangat luas, kebudayaan menyangkut “pengalaman berbagi”. Seseorang dikatakan

berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode yang sama, berbicara

dalam “Bahasa” yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita memaknai sesuatu. Memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini

karena. Bahasa mampu melakukan semua ini karena bahasa beroperasi sebagai system representasi, lewat bahasa (symbol-simbol dan tanda tulis, lesan atau

gambar), kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide sesuatu makna.

Sesuatu hal yang sangat tergantung dari cara kita mempresentasikan dengan mengamati kata-kata yang kita gunakan dan image-image yang kita

gunakan dalam merepresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut.

Untuk menjelaskan bagaimana makna representasi lewat bahasa bekerja

kita bisa memakai tiga teori representasi yang dipakai sebagai usaha untuk menjawab pertanyaan dari mana suatu makna berasal dari mana suatu makna

berasal atau bagaimana membedakan antara makna yang sebenarnya dari suatu image dari sesuatu atau suatu image dari sesuatu yang pertama adalah pendekatan efektif. Disini bahasa berfungsi sebagai cermin yang mereflesikan makna yang

sebenarnya dari segala sesuatu yang ada didunia. Kedua adalah pendekatan internasional dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan

(48)

adalah penekatan konstruksion, dalam pendekatan ini kita percaya bahwa kita

mengkonstruksi lewat bahasa yang kita pakai. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan representasi.

Konsep representasi dalam penelitan ini merujuk pada pengertian tentang bagaimana seseorang yaitu pencipta lagu membentuk makna dalam sebuah lirik lagu. Dalam lirik lagu alat representasi itu berupa tulisan-tulisan syair pada lirik

lagu yang bahasanya berbeda dengan bahasa “sehari-hari” yang digunakan masyarakat. Lewat lirik lagu pencipta dapat mengungkapkan pikiran yang ada

dalam dirinya untuk mempresentasikan sesuatu.

2.1.10. Pengertian Komunikasi

Komunikasi adalah suatu proses pengiriman pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat secara timbal balik sehingga pesan yang

dimaksud dapat dipahami oleh kedua belah pihak (Djamarah,2004:2)

Komunikasi adalah peristiwa sosial yaitu peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia lain. Ilmu komunikasi apabila

dipublikasikan secara benar akan mencegah dan menghilangkan konflik antar pribadi, antar kelompok, antar suku, antar bangsa dan antar ras membina kesatuan

dan persatuan umat manusia (Effendy,2001:2007)

(49)

Disamping itu komunikasi merupakan proses yang penyampaianya menggunakan

symbol-simbol dalam kata-kata, gambar-gambar maupun angka-angka.

Musik juga merupakan bagian dari komunikasi, seperti yang dikemukakan

oleh William I. Gorden menyatakan bahwa komunikasi itu mempunyai empat fungsi. Keempat fungsi tersebut meliputi komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual dan komunikasi instrumental, tidak saling

meniadakan. (mutually exclusive).

Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial adalah komunikasi ekspresif

yang dapat dilakukan baik sendirian ataupun dalam kelompok. Komunikasi ekspresif tidak otomatis bertujuan mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrument untuk menyampaikan

perasaan-perasaan (emosi). Perasaan tersebut dikomunikasikan melalui pesan-pesan nonverbal. Emosi kita juga dapat kita salurkan lewat bentuk-bentuk seni

seperti novel, musik, puisi, tarian atau lukisan.. harus diakui musik juga dapat mengekspresikan perasaan, kesadaran dan bahkan pandangan hidup manusia (Mulyana, 2005:21).

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa komunikasi memiliki pengertian yang luas dan beragam walaupun secara singkat komunikasi merupakan suatu proses pembentukan, penyampaian, penerimaan, dan pengolahan pesan yang

(50)

berhubungan dengan manusia itu, dimana tidak mungkin manusia bisa hidup

tanpa berkomunikasi.

2.1.11 Kerangka Berpikir

Setiap individu memiliki latar belakangnya berbeda-beda dalam merepresentasikan suatu peristiwa atau objek. Hal ini dikarenakan latar belakang

pengalaman (field of experience) dan pengetahuan (field of reference) yang berbeda-beda dalam setiap individu tersebut. Begitu juga individu dalam

menciptakan sebuah pesan komunikasi, dalam hal ini pesan disampaikan dalam sebuah lirik lagu atau dalam bentuk sebuah lagu, maka pencipta lagu tidak terlepas dari dua hal tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan representasi terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan lirik lagu “Syair Nurdin Ali” yang diciptakan dan

dipopulerkan oleh Sayyidin Band. Lirik lagu “Syair Nurdin Ali” akan dianilisis dengan menggunakan pendekatan semiologi dari Roland Barthes.

Dalam penelitian ini, peneliti tidak menggunakan metode semiotik Pierce.

Karena dalam lirik lagu “Syair Nurdin Ali” kata-kata yang digunakana adalah kata-kata lugas atau kalimat langsung sehingga peneliti tidak banyak menemukan

adanya simbol-simbol yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan analisis. Tetapi disini bukan berarti bahasan langsung tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, peneliti menggunakan metode semiologi Roland Barthes dengan menitik

(51)

Analisis menggunakan metode semiologi roland barthes

Hasil dari representasi

kebencian dalam Lirik Lagu

menunjukkan aspek-aspek denotatif tanda-tanda dalam menyingkapkan konotasi,

dimana pada dasarnya adalah mitos-mitos yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat.

Dalam pendekatan Roland Barthes terhadap signifikasi dua tahap, yaitu tahap pertama terdapat komponen penanda dan petanda serta makna denotasi, tanda itu akan dikaitkan dengan reality eksternal (kenyataan yang ada diluar).

Tahap kedua adalah penanda dan petanda itu mempunyai bentuk konotasi yang isinya mengandung mitos dan berkaitan dengan budaya sekitar. Secara sistematis

dapat ditunjukkan bagan kerangka sbb :

Lirik lagu

“Syair Nurdin Ali”

(52)

3.1 Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif, dimana dalam penelitian ini menginterpretasikan secara rinci pemaknaan lirik lagu “Syair Nurdin Ali” yang diciptakan dan dipopulerkan oleh

Sayyidin Band. Metode ini memfokuskan dirinya pada “teks” sebagai objek, serta bagaimana menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik teks.

Alasan digunakan metode deskriptif kualitatif berdasarkan beberapa

faktor, yaitu menyesuaikan metode kualitatif lebih muda apabila berhadapan dengan kenyataan ganda dan metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pengaruh

pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong,2002:5).

Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2002:3) menggunakan

metode kualitatif sebagai berikut :

“Metode Kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada individu secara holistic (utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu kedalam variable atau hipotesis, tetapi memandangnya sebagai kebutuhan” Lirik lagu “Syair Nurdin Ali” ini mempunyai tanda dibailk teksnya.

(53)

menggunakan representasi kebencian dalam lirik tersebut. Hal ini diperkuat

dengan adanya pengertian dari konsep kebencian itu sendiri yang menyatakan bahwa Kebencian merupakan sebuah emosi yang sangat kuat dan melambangkan

ketidaksukaan, permusuhan, atau antipasti unutuk seseorang sebuah hal, barang, atau fenomena.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif

dengan menggunakan pendekatan semiologi Roland Barthes yang menitik beratkan pada signifier (penanda) dan signified (petanda).

3.2 Corpus

Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan perkembangan

oleh analisis kesemenaan. Corpus merupakan sampel terbatas dalam penelitian kualitatif. Corpus harus cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa

unsur-unsurnya akan memelihara sebuah sistem kemiripan dan perbedaan yang lengkap, corpus juga bersifat sehomogen mungkin (Barthes dalam Kurniawan,2001:70).

Sebagai analisis, corpus itu bersifat terbuka pada konteks yang beraneka ragam, sehingga memungkinkan untuk memahami banyak aspek dari sebuah

(54)

Corpus pada penelitian ini adalah lirik lagu dengan judul “Syair Nurdin

Ali” yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Sayyidin Band. Alasan pemilihan lirik lagu tersebut adalah karena dalam lirik lagu itu bahwa kebencian masyarakat

terhadap pimimpin sebuah organisai besar di Negara ini yang berkuasa dan tidak bisa memngemban sebuah amanat yang dijalankan, sehingga banyak keganjalan-keganjalan selama memimpin sampai pada akhirnya masyarakat lelah dengan

kondisi yang ada dan munculah sebuah bentuk rasa benci.

Berikut ini adalah lirik lagu “Syair Nurdin Ali:

Berulang kali masuk penjara tak juga jera Politisasi korupsi semakin menjadi Satu masalah dua masalah

Satu kepala namun begitu banyak masalah

Halalkan segala cara

Pertahankan posisi demi kepentingan pribadi Tak mau disalahkan

Nurdin Ali... Manusia macam apa kau

Hentikan (Hentikan Nurdin) semuanya... Kau tak seharusnya di sana...

Hentikan secepatnya...

(55)

bagaikan manusia tak punya harga diri

Hati nurani, kau tak perduli

Dan bikin sakit hati kau ucapkan sembarang janji

Tak tau malu...

Lebih dari sekedar benalu...

Indonesia berseru...

Tinggalkanlah jabatanmu...

Sebuah cerita kisah yang nyata.. seorang koruptor... koruptor Indonesia

Hentikan cepat Nurdin Ali... Cepat hentikan...

Korupsi, politisasi, eksploitasi, manipulasi... Hentikan Nurdin Ali...

Korupsi, politisasi, eksploitasi, manipulasi... SUDAHLAH NURDIN...!!!

3.3 Unit Analisis

Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sistem tanda

(56)

membentuk kalimat yang ada pada lirik lagu “Syair Nurdin Ali” yang diciptakan

dan dipopulerkan oleh Sayyidin Band, serta sistem sosial (social system) yang merupakan sistem sosial atau budaya yang berupa ideologoyang dicerminkan

dalam lirik lagu “Syair Nurdin Ali. Dalam lirik lagu ini tampak mencerminkan kritikan terhadap kekuasaan yang berperan untuk melencengkan ideology bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat adanya kalimat kritikan “Halalkan segara cara

demi posisi dan kepentingan pribadi”. Adanya tanda-tanda tersebut maka peneliti kemudian menganalisisnya dengan menggunakan penanda dan petanda (peta

Roland Barthes), kode Barthes dimana denotasi sebagai sistem tanda pertama dan konotasi sebagai sistem tanda kedua.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data primer, yaitu data yang diperoleh melalui pemahaman lirik lagu “Syair Nurdin

Ali” yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Sayyidin Band. Pada setiap pemahaman ini diperoleh data primer, yaitu lirik lagu “Syair Nurdin Ali” itu sendiri. Pengumpulan data sekunder dengan melalui penggunaan bahan

documenter seperti buku-buku dan internet untuk berbagai hal yang berhubungan dengan objek kajian yang diteliti.

3.5 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode semiologi Roland Barthes, yaitu menghubungkan antara signifier (penanda) dan signifield (petanda)

(57)

lirik lagu tersebut. Signifier (penanda) adalah bunyi yang bermakna atau coretan

yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan, apa yang didengar dan apa yang ditulis dan dibaca. Sementara signifield (petanda) adalah gambaran

mental, yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa (Kurniawan.2001:30)

Peneliti memaknai kata-kata atau lirik sebagai tanda yang terdapat pada

lirik lagu “Syair Nurdin Ali” serta menyimpulkan suatu makna, arti yang ada pada lirik lagu atau tanda dalam lagu tersebut. Tanda dalam kata per-kata lirik lagu

“Syair Nurdin Ali” dalam penelitian ini akan dikategorikan kedalam penanda dan petanda (peta tanda Roland Barthes), kemudian beberapa diantara kode dari Roland Barthes yang dikategorikan dalam dua tahapan signifikasi konsep Roland

Barthes (denotasi dan konotasi).

Pada tahap tataran pertama, makna denotasi oleh penanda melalui

hubungan petanda yang terdapat dalam tanda dimana merupakan sebuah realitas. Sedangkan bentuk konotasi merupakan lirik lagu “Syair Nurdin Ali” sebagai tataran kedua merupakan pencerminan dalam sebuah kondisi kehidupan sosial

budaya yang ada dalam masyarakat..

Bila hendak menemukan maknanya, maka yang akan dilakukan adalah rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks lirik lagu

(58)

atau satuan bacaan tertentu. Leksia ini dapat berupa kata, beberapa kalimat,

(59)

4.1 Gambaran Umum Obyek Penelitian

4.1.1 Sekilas Tentang Sayyidin Band

Sebelumnya band ini bernama Sayyidin Panata Gama yang

dibentuk oleh 7 orang personel (6 diantaranya bersekolah di Al-Azhar Cirebon). Sayyidin Panata Gama dulunya adalah band sekolah Al-Azhar

Cirebon yang terbentuk pada tahun 2004 dan sempat manggung di beberapa festival musik di daerah Jabotabek, salah satunya di Festival Nuansa Radio dan mereka menjadi juara di festival tersebut.

Beberapa tahun belakangan ini, mereka sempat vakum karena masing-masing personilnya berpencar dengan kesibukan lain. Namun, Tiga diantara personel tersebut masih menetap dan kuliah di Bandung.

Dan seiring waktu berjalan Tiga personel tersebut bereuni dan mengerjakan proyek lagu “Syair Nurdin Ali” ini. Dengan tiga personel ini

Sayyidin Panata Gama berubah menjadi Sayyidin Band. Nama Sayyidin ini berasal dari nama masjid di sekolah mereka di Al-Azhar Cirebon.   Personel terdiri dari 2 vokalis yaitu Mohamad Abdullah Fadilah (24) dan

Gambar

Gambar 2. Kerangka Berpikir Lirik Lagu “Syair Nurdin Ali”………..
Gambar 2.1 : Peta Tanda Roland Barthes
Gambar 2.2 : Kerangka Berpikir Lirik Lagu “Syair Nurdin Ali

Referensi

Dokumen terkait

On the present study, the nourishment and the digestive system of a population of the spotted pimelodid Pimelodus maculatus Lacepède 1803 from a polluted urban river in Argentina

terhadap kemampuan berpikir kritis di MA NU Mazro’atul Huda Karanganyar Demak).. Kesimpulannya adalah Ho ditolak dan Ha diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa

Variabel kepemimpinan yang diteliti oleh (Setyowati & Haryani, 2016 ; Renggani, 2014) menunjukan bahwa kinerja dipengaruhi oleh kepemimpinan hal ini dibuktikan dengan

15 Menurut Masrukhin, analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi,

Peningkatan kekuatan produk dengan cara melakukan modifikasi pada bagian sirip penguat dilakukan untuk mendistribusikan tegangan yang terjadi, sebelumnya terjadi konsentrsi

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara budaya organisasi dan human relation dengan intensi turnover pada karyawan non medis Rumah Sakit Muhammadiyah Tipe

Atribut sensoris yang digunakan pada pendugaan umur simpan food bars berbasis tepung milet putih dan koya ikan gabus – tepung kedelai meliputi atribut warna,

maka akan semakin sulit manajemen akan memprediksi lingkungan akan berubah. Ketidakmampuan manajemen dalam memprediksi perubahan lingkungan, akan memburuk citra perusahaan