BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
2.7 Semiotika Roland Barthes
Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signifay) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
48
Beny H. Hoed, Strukturalisme Pragmataik dan Semiotik Kajian Budaya, (Jakarta: Wedatama
Widya Sastra, 200), hlm.3
49
Indiwan Seto Wahyuv Wibowo. 2011. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian
dan Skripsi Komunikasi. (Jakarta: Mitra Wacana Media), hlm.5
50
Beny H. Hoed, Strukturalisme Pragmataik dan Semiotik Kajian Budaya, (Jakarta: Wedatama
Widya Sastra, 200), hlm.3
51
tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda52.
Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi53. Dengan tanda, seseorang mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia yang centang-perenang ini, setidaknya agar manusia sedikit punya pegangan. “apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan “membawanya pada sebuah kesadaran‟,“ ujar Pines54
. Barthes mengembangkan semiotikanya Saussure tidak hanya dalam konteks linguistik, melainkan untuk bidang kajian dan kritik budaya dalam arti yang sangat luas. Meskipun di awal riwayatnya, semiotika itu lebih dekat dengan ilmu linguistik modern, yakni ilmu yang mempelajari bahasa baik tulis maupun lisan, namun yang lebih menarik menurut Barthes adalah, bahwa semiotika bukan pertama-tama sebagai linguistik, tetapi semiotika yang dapat juga digunakan sebagai pendekatan untuk mempelajari “other than language.Dalam hal ini, makna tugas semiotika lebih dekat dengan cita–cita Saussure, yakni: “the linguist must take the study of lingustic structure as his primary concern, and relate all other manifestations of language to it”. Dalam koteks inilah, Barthes akhirnya menyeyogiakan, bahwa dalam mempelajari semiotika hendaklah jangan berhenti hanya pada bahasa semata, melainkan semiotika harus “general science of sign‟55
Dalam kaitannya secara khusus dengan kajian atas teks budaya massa, bahkan Barthes diantaranya lewat bukunya introduction to the Structural Analysis of
52
Marcel Danesi. Pesan, Tanda dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori
Komunikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hlm.32. 53
Littlejohn, S. & Foss, K. Theries of Human Communication, (Terj. Hamdan, Yusuf), (Jakarta:
Salemba Humanika, 1996), hlm. 64.
54
Alex Sobur, Semiotika Komunikas, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004) .hlm.16
55
Narratives (1985) lebih menegaskan lagi, yakni bahwa semiotika merupakan salah satu pendekatan yang amat efektif untuk mengkaji tentang budaya massa, karena di dalamnya menjanjikan pemecahan problema tentang kajian hubungan antara bahasa, budaya, dan ideologi, yang dijalankan lewat analisis proses kritik dan pemaknaan56. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, jika dipandang dari sudut semiotika ini, budaya adalah masalah politis dan ideologis, sedangkan muatan ideologi itu menurut Barthes dalam buku System de la Mode (1967), tidak hanya ditemukan dalam traktat-traktat filosofis, buku sejarah, maupun anggaran dasar politik semata, melainkan juga lewat konsumsi masyarakat setiap hari57.
Terkait dengan persoalan teori kritik ideologi atau mitos ini, Barthes secara spesifik mengungkapkan, bahwa mitos itu merupakan “sistem semiotika tingkat dua” (a second-order semiological system), yang dalam konteks kajian budaya massa, lebih memusatkan kajian atas objek sebagai “the significant”daripada sebagai “the technical” (the functional). Pembedaan ini amat penting untuk melihat gejala budaya dalam masyarakat modern, yang ternyata “the significant”atas objek fungsional, ternyata menjadi lebih penting daripada fungsi atau “the technical”-nya58.
Ketika mempertimbangkan sebuah lagu, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, suara dan jenis tanda lain mengenai bagaimana cerita itu direpresentasikan tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut
56
John Hartley, Communication,Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2010), hlm.210
57
Periksa St. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002), hlm, 29.
58
fenomena ini “membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu sebagai penciptaan mitos59”.
Pengertian mitos disini tidak menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari seperti halnya cerita-cerita tradisional, melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes: “tipe wicara”60
. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.
Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley & Jansz, 1999)61
Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes
Dari peta Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
59
Jonathan Bignell, Media Semiotics: An Introduction, Manchester University Press, (Manchester
and New York, 1997), hlm. 16.
60
Roland Barthes, dalam Nurhadi & Sihabul Millah 2004, hlm. 152 dan dalam John Storey. 1994. hlm. 107.
61
Roland Barthes, dalam Nurhadi & Sihabul Millah 2004, hlm. 152 dan dalam John Storey. 1994. hlm. 69.
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita tradisional, melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes disebut tipe wicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.
Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (“mitos” diperlawankan dengan “kebenaran”); cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain62.
62
Andrew Tolson, Mediations: Text and Discourse ini Media Studies, Arnold, (London, 1996),
Pemikiran Barthes tentang mitos masih melanjutkan apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Saussure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.
Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Saussure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, “pembaca” teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif63. Lebih dari itu, di samping gagasannya dapat dimanfaatkan untuk menganalisis film, semiotika konotasi ala Barthesian ini memungkinkan penggunaannya untuk wilayah-wilayah lain seperti pembacaan terhadap karya sastra dan fenomena budaya kontemporer atau budaya pop. Bahkan dalam pandangan Ritzer, Barthes adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada semua aspek kehidupan sosial (George Ritzer,2003). Bagi Barthes, semiologi bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan
63
limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai “tanda” alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik64
.
Beroperasinya ideologi melalui semiotika mitos ini dapat ditengarai melalui asosiasi yang melekat dalam bahasa konotatif. Barthes mengatakan penggunaan konotasi dalam teks ini sebagai: penciptaan mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya “adi bahasa”65
. Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi juga, karena mitos ini merupakan sebuah pesan juga. Ia menyatakan mitos sebagai modus pertandaan, sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui wacana. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. Dalam narasi berita contohnya, pembaca dapat memaknai mitos ini melalui konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat menemukan adanya asosiasi-asosiasi terhadap “apa” dan “siapa” yang sedang dibicarakan sehingga terjadi pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya.
Teori Barthes tentang mitos/ideologi memungkinkan seorang pembaca atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna terantuk pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di situ, oleh karenanya penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih
64
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.69-70.
65
mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam representasi. Sementara secara diakronik analisis Barthes memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitos digunakan. Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa lampau yang sudah jauh dari dunia pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos kemrin sore yang akan menjadi. Media seringkali berperilaku seperti itu, mereka merepresentasikan, kalau bukan malah menciptakan mitos-mitos baru yang kini hadir di tengah masyarakat. Untuk yang terakhir ini, penulis berkecenderungan untuk mengatakan bahwa media melakukan proses “mitologisasi”, dunia dalam sehari-hari digambarkan dengan cara yang penuh makna dan dibuat sebuah pemahaman yang generik bahwa memang begitulah seharusnya dunia. Film, Iklan, berita, fesyen, pertunjukan selebritas adalah dunia kecil yang akrab dijumpai dan menjadi ikon dari dunia besar: mitos dan ideologi di baliknya.
Barthes menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah. Ini menunjukkan kenyataan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melaui sejarah tertentu: maknanya, peredaran mitos mesti dengan membawa sejarahnya, namun operasinya sebagai mitos membuatnya mencoba menyangkal hal tersebut, dan menunjukkan maknanya sebagai alami, dan bukan bersifat historis atau sosial. Mitos memistifikasi atau mengaburkan asal-usulnya sehingga memiliki dimensi sosial atau politik. Para ahli mitologi mengungkapkan sejarah tersembunyi
sehingga cara kerja sosial politik mitos adalah dengan melakukan “demistifikasi” mitos66.
Setidaknya ada tiga unsur utama dalam analisis semiotika yang dikembangkan Barthes, yaitu:
Makna Denotasi:
Makna denotasi adalah makna awal utama dari sebuah tanda, teks, dan sebagainya.Makna ini tidak bisa dipastikan dengan tepat, karena makna denotasi merupakan generalisasi. Dalam semiotika Barthes, ia menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Dalam hal ini, denotasi diasosiasikan dengan ketertutupan makna67. Menurut Lyons, denotasi adalah hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran68. Denotasi dimaknai secara nyata. Nyata diartikan sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya atau terkadang dirancukan dengan referensi atau acuan.
Makna Konotasi:
Makna yang memiliki “sejarah budaya di belakangnya” yaitu bahwa ia hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan signifikansi tertentu. Konotasi adalah mode operatif dalam pembentukan dan penyandian teks kreatif seperti pusis, novel, komposisi musik, dan karya-karya seni.Istilah konotasi digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Kata “konotasi” sendiri berasal dari bahasa Latin, “connotare” yang
66
John Friske, Cultural and Communication Studies,(Yogyakarta: Jalasutra), 2007.hlm177.
67
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm 70.
68
memiliki arti “menjadi tanda” serta mengarah pada makna-makna kultural yang terpisah dengan kata atau bentuk-bentuk komunikasi lainnya. Makna konotasi adalah gabungan antara makna denotasi dengan segala gambar, ingatan dan perasaan yang muncul ketika indera kita bersinggungan dengan petanda. Sehingga akan terjadi interaksi saat petanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Contohnya ketika kita menyebutkan kata “kursi”, makna denotasi “kursi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah alat untuk duduk. Namun secara konotatif kata “kursi” akan dimaknai sebagai sesuatu yang membuat bahagia, karena berhubungan dengan jabatan atau tahta. Konotasi mengacu pada makna yang menempel pada suatu kata karena sejarah pemakainya, oleh karena itu dapat dimaknai secara berbeda oleh setiap individu.
Mitos:
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut dengan mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai - nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu, jadi mitos memiliki tugasnya untuk memberikan sebuah justifikasi ilmiah kepada kehendak sejarah, dan membuat kemungkinan tampak abadi. Dalam Alex Sobur (2009:71) Budiman mengatakan pada kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan memiliki fungsi untuk memberikan pembenaran bagi nilai nilai dominan yang berlaku pada
periode tertentu69. Selain itu, dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda. Mitos biasanya dianggap sama dengan dongeng, dan dianggap sebagai cerita yang aneh serta sulit dipahami maknanya katau diterima kebenarannya karena kisahnya irasional (tidak masuk akal). Namun, berangkat dari ketidakmasuk akalan tersebut lah akhirnya muncul banyak penelitian tentang mitos yang melibatkan banyak ilmuwan Barat. Mereka menaruh minat untuk meneliti teks-teks kuno dan berbagai mitos yang telah mereka kumpulkan dari berbagai tempat dan berbagai suku bangsa di dunia. Manusia banyak bertanya-tanya tentang segala hal yang terjadi dalam kehidupannya sehari-hari. Menurut mitologi Yunani, pertanyaan-pertanyaan manusia tentang kejadian di alam semesta sudah dijawab, namun dikemas dalam bentuk mitos. Oleh sebab itu dalam bahasa Yunani dikenal mitos yang berlawanan dengan logika (muthos dan logos). Dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Imperialisme Inggris misalnya, ditandai oleh berbagai ragam penanda, seperti penggunaan baju pada wanita di zaman Victoria, bendera Union Jack yang lengan-lengannya menyebar ke delapan penjuru, bahasa Inggris yang kini telah mendunia, dan lain-lain.