PURGATORY - DOWNFALL : THE BATTLE
OF UHUD
(Analisis semiotika Roland Barthes)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada
Konsentrasi Hubungan Masyarakat Program Studi Imu Komunikasi
Oleh :
Revandhika Maulana NIM 6662121606
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLIITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG
apabila kamu telah selesai (dari satu urusan), kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain)
Q.S Al-Insyirah ayat 6-7
Skripsi ini, penulis persembahkan untuk mereka yang selalu memarahi untuk kebaikan. Yang senyumnya selalu membawa kesejukan. Yang tawanya selalu membawa kebahagiaan. Ini adalah sebuah kebahagiaan kecil yang tidak mampu membalas
Dalam Lirik Lagu Purgatory – Downfall : The Battle Of Uhud (Analisis Semiotika Roland Barthes). Program Studi Ilmu Komunikasi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 2016. Dr.Rd. Nia Kania, M.Si.Andin Nesia M.IKom
Penelitian ini didasari pada stigma negatif akan esensi makna jihad dalam perilaku kehidupan sosial. Saat ini pemaknaan jihad masih dipandang oleh sebagian orang sebagai bentuk kekerasan yang harus melibatkan peperangan. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jihad direpresentasikan dalam lirik lagu. Lagu merupakan media komunikasi massa. Lagu Downfall : The Battle Of Uhud membahas tentang kisah perang Uhud yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Brthes yang menegaskan bahwa dalam tanda terdapat tiga unsur yaitu denotasi, konotasi dan mitos. Unit analisisnya yaitu dipilih beberapa bagian lagu pilihan yang dianggap merepresentasikan makna jihad. Selanjutnya bagian tersebut dianalisis dengan menggunakan peta tanda milik Roland Barthes yaitu penanda, petanda, tanda denotasi, penanda konotasi, petanda konotasi dan tanda konotasi. Serta tahap selanjutnya adalah mencari makna mitos. Penelitian ini menyimpulkan bahwa representasi jihad dalam lirik lagu Downfall: The Battle Of Uhud disimbolkan melalui setiap bagian lirik lagu. Jihad lebih luas dai sebatas peperangan, namun bagaimana seseorang mampu bersungguh-sungguh dalam beribadah, mampu menahan diri dari godaan setan dan mampu istiqomah taat kepada perkataan dan perilaku Nabi Muhammad SAW.
Lyrics Purgatory - Downfall: The Battle Of Uhud (Roland Barthes Semiotics Analysis). Course of study science Communication. The Faculty of Social Science and Political Science. University Sultan Ageng Tirtayasa. 2016. Dr. Rd. Nia Kania, M.Si. Andin Nesia, M.I.Kom
This research is based on a negative stigma to be the essence of the meaning of jihad in the social life. Currently the meaning of jihad is still seen by some form of violence that involve warfare. The method used is qualitative. Research aims to determine jihad represented in the lyrics. Downfall: The Battle Of Uhud about the story of the battle of Uhud, leading by the Prophet Muhammad. This research uses a semiotic analysis of Roland Barthes which confirms that there are three elements in the sign of denotation, connotation and myth. The unit of analysis is selected parts of songs that are considered to represent the meaning of jihad. The scene is analyzed based on Roland Barthes map of signs namely markers, markers, signs denotation, connotation markers, markers and signs connotation and connotation. And the next is to find the meaning of the myth. This study concluded that the representation of jihad in the lyrics Downfall: The Battle Of Uhud symbolized through every part of the song lyrics. Jihad is far then war, but one is able to earnest to prayed, refrain from the temptation of Satan and capable istiqomah to obey the words and behavior of the Prophet Muhammad.
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “REPRESNTASI JIHAD DALAM LIRIK LAGU DOWNFALL: THE
BATTLE OF UHUD - PURGATORY (Analisis Semiotika Roland Barthes)” dengan baik.
Banyak pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini baik secara moril maupun spiritual maka dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Allah SWT, Dzat yang maha agung dengan segala kuasanya
2. Prof. Dr. H. Soleh Hidayat, M.Pd. sebagai Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sebagai pemangku kebijakan di lingkungan kampus. 3. Dr. H. Agus Sjafari, M.Si. sebagai Dekan FISIP Untirta sebagai
pemangku kepentingan keilmuan khususnya pasa jurusan Ilmu Komunikasi.
4. Ibu Dr. Rahmi Winangsih, S.Sos., M.Si selaku Ketua Jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Pak Darwis Sagita. M.IKom selaku Sekertaris Jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
ii
7. Ibu Dr. Rd. Nia Kania Kurniawati, S.IP., M.Si selaku dosen pembimbing I yang selalu membantu penulis agar terus bisa melanjutkan skripsi ini tepat waktu. I got it, Mrs.
8. Ibu Andin Nesia, S.IK, M.Ikom selaku Dosen Pembimbing II sekaligus mata kuliah Sempro yang telah banyak memberikan masukan dan berdiskusi terkait skripsi ini.
9. Orang tua penulis, Bapak Saepul Nufus dan Ibu Herliyati yang selalu memberikan dorongan, semangat, doa dan motivasinya kepada penulis selama ini. Serta adik penulis Rifki dan Ragil yang sudah menghilangkan flashdisk penulis yang berisi file skripsi.
10.Band Purgatory atas informasi yang peneliti gunakan untuk membuat penelitian ini. Terutama Kak Al dan Kak Bounty, sukses untuk kedepannya semoga bisa berdiskusi dilain waktu.
11.Kak Umi, selaku manager dari Purgatory terima kasih atas keramahannya selama ini, tidak mempersulit dan senantiasa memberi dorongan semangat, makasih kak!
12.Seluruh teman-teman Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2012, khusunya teman-teman kelas B konsentrasi Public Relations atas kebersamaan selama penyelesaian skripsi ini.
13.Keluarga Cemiri, Irma, Jo, Bayu, Hari, Abdul, Erlin, Deni, Arya, Rijon, Ijong, Emil yang sudah berjuang bersama-sama. Kita bergerak, hanya perlahan. #pertemanansehat #jangankasihkendor
iii
15.Bagi FoSMaI FISIP yang telah menambah keimanan penulis sehingga tetap dapat istiqomah dalam iman keislaman terutama penguatan tentang jihad. Khususnya untuk Bang Hendrik atas bimbingan spritualnya. #GilaLuNdrik
16.Untuk HESquad yang menjadi penyemangan, Icang, Helmi, Gori, Ambon, Ime, Om Uyung atas diskusinya.
17.Tak lupa dan utama, seorang perempuan yang sedang dalam masa pertumbuhan, yang selalu mendesak dan mengintrogasi penulis soal skripsi walaupun dirinya belum memulai skripsi -___-
18.Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun akan menyempurnakan penulisan skripsi ini serta bermanfaat bagi penulis, pembaca dan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Serang, Januari 2017
iv
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN
KATA MUTIARA DAN PERSEMBAHAN ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.3 Identifikasi Masalah ... 9
1.4 Tujuan Penelitian ... 9
1.5 Manfaat Penelitian... 9
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1 Komunikasi Massa ... 11
2.2 Lagu ... 13
2.2.1 Lagu Sebagai Penyampai Pesan ... 14
2.3 Lirik ... 15
v
2.5 Representasi ... 22
2.6 Semiotika ... 23
2.7 Semiotika Roland Barthes ... 24
2.8 Kerangka Berpikir ... 34
2.9 Penelitian Terdahulu ... 36
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 41
3.1 Metode Penelitian ... 41
3.2 Paradigma Penelitian ... 42
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 42
3.4 Instrumen Penelitian ... 46
3.5 Analisis Data ... 46
3.6 Jadwal Penelitian ... 48
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 49
4.1 Objek dan Subjek Penelitian ... 49
4.1.1 Biografi Purgatory ... 49
4.1.2 Gambaran Album Beauty Lies Beneath ... 51
4.4 Analisis Representasi Jihad dalam Lirik lagu Puragtory – Downfall : The Battle Of Uhud ... 53
4.3 Pembahasan ... 78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 83
5.1 Kesimpulan ... 83
5.2 Saran ... 85
DAFTAR PUSTAKA ... 87 DAFTAR LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu ... 38
Tabel 3.1 Tabel 4 Bagian Lirik Lagu ... 45
Tabel 4.1 Baris 1 ... 53
Tabel 4.2 Penerapan Peta Tanda Barthes pada Baris 1 ... 53
Tabel 4.3 Penggolongan Makna Tanda... 53
Tabel 4.4 Baris 2 ... 59
Table 4.5 Penerapan Peta Tanda Barthes pada Baris 2 ... 59
Tabel 4.6 Penggolongan Makna Tanda... 59
Tabel 4.7 Baris 17 ... 65
Tabel 4.8 Penerapan Makna Tanda... 65
Tabel 4.9 Penggolongan Makna Tanda pada Baris 17 ... 65
Tabel 4.10 Baris 20 ... 72
Tabel 4.11 Penerapan Peta Tanda Barthes pada Baris 20 ... 72
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes ... 27
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berpikir ... 36
Gambar 3.1 Signifikansi Dua Tahap Roland Barthes ... 47
Gambar 4.1 Logo Band Purgatory ... 49
viii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Absensi Bimbingan Skripsi
2. Absensi Menghadiri Sidang Skripsi 3. Lirik Lagu Downfall: The Battle Of Uhud 4. Transkrip Wawancara
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Perkembangan musik metal di Indonesia dimulai pada tahun 1988, ketika sekumpulan anak muda Jakarta berkumpul dan membuat komunitas metal di daerah Bulungan, Jakarta. Konser Sepultura (1992) dan Metallica (1993) di Jakarta memberi kontribusi besar bagi komunitas musik metal Indonesia. Hal ini ditandai dengan banyaknya band metal yang mulai merilis album mereka seperti Rotor dengan “Self Tittled” pada tahun 1992 dan Suckerhead dengan “The Sucker
Head” pada tahun 1995 dibawah lebel Blackboard1.
Purgatory adalah band beraliran Islamic Death Metal yang berdiri pada 1992 silam. Mereka kerap menggunakan topeng dalam setiap aksi panggungnya. Selama karirnya band tersebut telah membuat 3 album rekaman Ambang Kepunahan (1999), 7:172 (2003) dan Beauty Lies Beneath (2006).
Purgatory membuat isi syair lagu dengan nuansa Islam dan tidak sedikit orang-orang yang menyukai musik sehingga mereka menyebut band mereka dengan aliran metal religi. Hal ini dikarenakan lirik lagu mereka yang berisi pesan-pesan Islami2. Tidak hanya bermusik, pada kehidupan sehari-hari Purgatory juga mengadakan pengajian rutin di kediaman Bounty (bass) di Kembangan
1
Bambang Sugiharto, Rieza Dienaputra, Ujung Berung Rebels : Panceg Dina Galur, (Bandung : Minorsbook, 2013), hlm.13
2
Larangan, Jaksel, atau di kediaman Aminuddin Al Muqoddas (drum) yang akrab dipanggil Al di Jombang, Ciputat, Tangerang3.
Album terbaru mereka yang berjudul Beauty Lies Beneath dirilis pada tahun 2006 silam berisikan 11 lagu. Tema pokok album ini tentang penyakit hati manusia dan akibatnya. Salah satu lagu yang terdapat dalam album tersebut adalah Downfall : The Battle Of Uhud . Lirik lagu tersebut menceritakan tentang kisah kekalahan yang diterima oleh pasukan kaum Nabi Muhammad SAW karena keserakahan mereka terhadap harta dunia dalam perang Uhud. Salah satu penggalan lirik lagunya adalah sebagai berikut :
We fight, when you violate your oaths after your covenant Our faith, in the name of GOD we will never retreat
(Kami perangi kalian di saat kalian melanggar perjanjian yang sudah ada
Keyakinan kami, demi ALLAH kami tak akan mundur)
Penggalan lirik diatas menggambarkan tekad kaum muslimin dalam melakukan peperangan yang merupakan bagian dari jihad kepada Allah SWT. Hal tersebut sesuai dalam kutipan Al-Qur‟an Surat At- Taubah ayat 73.
“ Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Jahannam.dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya”4
Urgensi dari jihad menjadi penting bagi Islam sebagai pemangku utama ajaran tersebut. Terjadi kesalahpahaman dalam memahami istilah jihad. Jihad biasanya hanya dipahami dalam arti perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata. Ini
3
Chaerul Akhmad, Mereka Mengajar Ngaji, http//:www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/11/06/md225f-mereka-mnegajar-ngaji-1, diakses pada 21 Februari 2016
4
mungkin terjadi karena kata itu sering terucapkan pada saat-saat perjuangan fisik atau perang, tetapi harus diketahui pula bahwa masih ada jihad yang lebih besar daripada pertempuran fisik, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. ketika beliau baru saja kembali dari medan pertempuran “kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu”.5
Masyarakat saat ini memandang jihad sebagai aktifitas yang sarat akan kekerasan. Di Indonesia, istilah jihad mencuat setelah terjadinya tragedi Bom Bali I. Tragedi tersebut memakan banyak korban jiwa yang rata-rata adalah warga Negara asing yang sedang menikmati liburan di Bali. Imam Samudra yang merupakan pelaku dari kasus tersebut mengungkapkan bahwa alasan mereka adalah untuk jihad dan memerangi kaum kafir. Atas kejadian tersebut dunia Internasional tidak hanya menyoroti stabilitas keamanan Indonesia khususnya Pulau Bali tapi juga bagaimana Islam yang damai tapi menjelma menjadi ajaran yang membenarkan kekerasan dalam berbuat baik.
Dalam Islam jihad tidak selalu dengan berperang. Berperang adalah salah satu bagian dari jihad namun jihad tidak harus dengan berperang. Hal ini terkandung dalam Al-Qura‟n surat At-Taubah ayat 41 yang artinya adalah sebagai berikut :
“Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun rasa berat,
dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu dijalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”6
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa jihadpun bisa dilakukan dengan harta dan jiwa. Hal ini merujuk pada infaq dan sedekah yang bisa kita lakukan dijalan Allah. Hal ini belum banyak diketahui oleh masyarakat sehingga pandangan
5
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan Media Utama, 2000), hlm. 121.
6
masyarakat tentang jihad terbatas pada aktifitas fisik yang menggunakan kekerasan seperti perang atau bom bunuh diri. Jihad juga dapat diartikan sebagai perjuangan untuk menyebarkan nilai Islam kepada masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan berdakwah dengan menggunakan musik.
Musik termasuk salah satu media komunikasi audio.Salah satu tujuan dari musik adalah untuk media berkomunikasi7. Tidak banyak orang yang menyanyikan sebuah lagu hanya untuk menyenangkan diri sendiri, kebanyakan orang menyanyikan sebuah lagu karena ingin didengar oleh orang lain. Melalui musik musisi ingin menjelaskan, menghibur, mengungkapkan pengalaman kepada orang lain. Musik adalah sarana bagi musisi untuk mengungkapkan pesan yang dikehendaki, seperti kata-kata yang merupakan sarana bagi penulis lagu untuk mengungkap apa yang diinginkan.
Menurut paradigma Lasswell, komunikasi memiliki 5 unsur yaitu komunikator, pesan, media, komunikan dan efek8. Pesan adalah seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator. Lambang yang dimaksud disini adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan sebagainya yang secara langsung menterjemahkan pikiran atau perasaan komunikator kepada komunikan. Bahasa yang paling banyak digunakan dalam komunikasi adalah jelas, karena hanya bahasalah yang mampu menterjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain9.
7
Syafiq Muhammad, Enksiklopedia Musik Klasik, (Yogyakarta : Adicita Karya Nusa, 2003), hlm.203
8
Naniek Afrilia framanik, Komunikasi Persuasif, (Serang : Kocipta publishing, 2012), hlm. 18
9
Istilah media merupakan bentuk jamak dari medium, artinya perantara. Dalam komunikasi, penggunaan medium merupakan alat perantara yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan. Berdasarkan orang yang dijangkau, media dapat diklasifikasikan kedalam media personal dan media massa10.
Musik termasuk salah satu media komunikasi audio. Salah satu tujuan dari musik adalah untuk media berkomunikasi11. Tidak banyak orang yang menyanyikan sebuah lagu hanya untuk menyenangkan diri sendiri, kebanyakan orang menyanyikan sebuah lagu karena ingin didengar oleh orang lain. Melalui musik musisi ingin menjelaskan, menghibur, mengungkapkan pengalaman kepada orang lain. Musik adalah sarana bagi musisi untuk mengungkapkan pesan yang dikehendaki, seperti kata-kata yang merupakan sarana bagi penulis lagu untuk mengungkap apa yang diinginkan.
Musik sebagaimana dapat disimpulkan dari pendapat Soerjono Soekanto12 bahwa “Musik berkaitan erat dengan setting sosial kemasyarakatan dan gejala
khas akibat interaksi sosial dimana lirik lagu menjadi penunjang dalam musik tersebut dalam menjembatani isu-isu sosial yang terjadi”.
Dalam sebuah lagu, terdapat lirik yang menjadi pelengkapnya. Lirik merupakan isi dari sebuah lagu. Selain nada dan suara, lirik memberikan kekhasan pada sebuah lagu sehingga lagu tersebut dapat memiliki makna. Menurut Sylado13 lagu bisa juga merupakan aransemen musik yang bisa ditambah lirik (teks) yang
10
Ahmad Sihabudin, Rahmi Winangsih, Komunikasi Antar Manusia, (Serang : Pustaka Getok Tular, 2012), hlm. 55
11
Syafiq Muhammad, Enksiklopedia Musik Klasik, (Yogyakarta : Adicita Karya Nusa, 2003), hlm.203
12
Fury Ayunindya, Lagu Sebagai Media Penyampai Pesan, http//:edukasi.komasiana.com/2013/03/11/lagu-sebagai-media-penyampai-pesan-541624.html, diakses 12 Januari 2016
13
lirik tersebut mengungkapkan perasaan dan pikiran penciptanya dengan cara-cara tertentu yang berlaku umum. Jadi, antara lagu dengan lirik berkaitan dengan bidang bahasa.
Lagu yang terbentuk dari hubungan antara unsur musik dengan unsur syair atau lirik lagu merupakan salah satu bentuk komunikasi massa. Pada kondisi ini, lagu sekaligus merupakan media penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan dalam jumlah yang besar melalui media massa. Pesan dapat memiliki berbagai macam bentuk, baik lisan maupun tulisan. Lirik lagu memiliki bentuk pesan berupa tulisan kata-kata dan kalimat yang dapat digunakan untuk menciptakan suasana dan gambaran imajinasi tertentu kepada pendengarnya sehingga dapat pula menciptakan makna-makna yang beragam.
Lagu merupakan bagian dari media massa. Pesan yang disampaikan pada lagu berbentuk lirik lagu . Media massa meneruskan pengetahuan serta nilai-nilai dari generasi terdahulu14. Fungsi media massa adalah menyiarkan informasi (to inform), mendidik (educate), dan menghibur (entertaint)15.
Jika merujuk pada fungsi media tersebut, maka karya lagu dengan lirik lagu sebagai pesannya diharapkan memberikan pengetahuan yang bisa menambah khasanah keilmuan bagi pendengar sehingga memberikan inspirasi yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya, entah itu menjadi lebih ceria, termotivasi menjadi lebih baik dalam banyak hal dan lainnya. Terlepas dari idiologi, faham, pengetahuan yang coba dituangkan dalam sebuah lagu, dan ketika lagu tersebut tidak mampu menciptakan perubahan mindset ataupun sikap yang
14
Alex sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 31.
15
selaras dengan pesan yang disampaikannya terhadap penikmat lagu, maka lagu tersebut bisa dikatakan gagal.
Lirik lagu dalam musik diibaratkan seperti bahasa, dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu diaransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu16.
Lirik lagu memiliki kesamaan puisi, oleh karena itu dapat dianalisis dengan menggunakan metode yang sama yaitu semiotika. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, Semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek tersebut hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstotusi sistem terstruktur dari tanda17.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sebuah lagu dapat merepresentasikan realitas sosial dengan menggunakan lirik sebagai pesannya. Lebih dari itu, lagu juga mampu menjadi media propaganda bagi sebagian orang untuk mengajak, mengarahkan, dan mengintimidasi hal tertentu kepada khalayak ramai. Pesan propaganda tersebut dapat dilihat dari lirik lagunya yang merepresentasikan sesuatu.
16
Agasatya Rama Listya, Musik Rock : Suatu Refleksi Teologis. (Salatiga : Fakultas Teologis Universitas Kristen Satya Wacana Press, 1999), hlm. 5
17
Representasi adalah proses merekam ide, pengetahuan atau pesan dalam beberapa cara fisik18. Representasi dapat didefinisikan lebih jelasnya sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu19. Dengan kata lain, setiap orang dapat merepresentasikan sesuatu berdasarkan pengetahuannya. Dengan demikian, bukanlah hal yang mudah untuk menciptakan keterwakilan secara tepat akan arti representasi yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan tingkat pengetahuan seseorang berbeda-beda. Perbedaan ini membuat hasil representasi seseorang akan berbeda dengan seseorang lainnya.
Ketika mempertimbangkan sebuah lagu, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, suara dan jenis tanda lain mengenai bagaimana cerita itu direpresentasikan tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini “membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu
sebagai penciptaan mitos20”.
Dalam membuat lirik lagu terkait dengan bahasa, dan bahasa terkait dengan sastra. Karena kata-kata (lirik lagu) yang dibuat oleh pencipta lagu tidak semua dapat dimengerti oleh khalayak, karena itulah memerlukan suatu penelitian tentang isi lirik lagu tersebut. Pengertian dari sastra ialah “struktur tanda-tanda
yang bermakna, tanpa memperhatikan sistem tanda-tanda, dan maknanya, serta
18
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian Skripsi Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), hlm. 122.
19
Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna. Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi.
Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hlm. 208.
20
Jonathan Bignell, Media Semiotics: An Introduction, Manchester University Press, (Manchester
konvensi tanda, struktur karya sastra (atau karya sastra) tidak dapat dimengerti secara optimal”21
Karena lirik lagu merupakan rekaman dari berbagai peristiwa dan diwujudkan dalam sistem tanda bahasa22, hal tersebut dinilai mampu menyembunyikan makna sebenarnya dalam tata bahasa yang mampu merepresentasikan makna tersebut. secara tidak langsung pembaca lirik lagu atau khalayak yang mendengarkan lagu tersebut akan terbawa pada pesan atau propaganda yang dilakukan oleh penulis lirik lagu.
Dengan karakteristik yang dimiliki oleh lagu tersebut, penulis memiliki ketertarikan untuk menganalisis lebih jauh terkait keterwakilan Jihad yang terkandung dalam lirik lagu milik Purgatory – Downfall : The Battle Of Uhud dengan judul penelitian yaitu “REPRESENTASI JIHAD DALAM LIRIK LAGU
PURGATORY – DOWNFALL : THE BATTLE OF UHUD (Analisis Semiotika Roland Barthes)
1.2Rumusan Masalah
Rumusan masalahnya adalah “Bagaimana representasi jihad dalam lirik lagu Purgatory – Downfall : The Battle Of Uhud dengan menggunakan Analisis Semiotika Model Roland Barthes?”.
1.3Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana makna denotasi jihad dalam lirik lagu Purgatory – Downfall : The Battle Of Uhud ?
21
Alex Sobur, Psikologi Umum, (Jakarta: PT Pustaka Setia, 2003), hlm. 143
22
Zaimar. Okke K.S. Semiotik dan Penerapannya Dalam Karya Sastra. (Jakarta: Pusat Bahasa
2. Bagaimana makna konotasi jihad dalam lirik lagu Purgatory –Downfall : The Battle Of Uhud ?
3. Bagaimana makna mitos jihad dalam lirik lagu Purgatory – Downfall : The Battle Of Uhud ?
1.4Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Bagaimana makna denotasi jihad dalam lirik lagu Purgatory – Downfall : The Battle Of Uhud
2 Bagaimana makna konotasi jihad dalam lirik lagu Purgatory –Downfall : The Battle Of Uhud
3 Bagaimana makna mitos jihad dalam lirik lagu Purgatory – Downfall : The Battle Of Uhud
3.1Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan analisis semiotika dalam teks bagi mahasiswa. Serta menambah wawasan keilmuan tentang praktik jihad dalam kehidupan. 1.5.2 Manfaat Praktis
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN TEORI
2.1Komunikasi Massa
Komunikasi sebagai suatu proses dengan mana suatu pesan dipindahkan atau dioperkan (lewat suatu saluran) dari suatu sumber kepada penerima dengan maksud mengubah perilaku, perubahan dalam pengetahuan, sikap dan atau perilaku overt lainnya. Sekurang-kurangnya didapati empat unsur utama dalam model komunikasi yaitu sumber (the source), pesan (the message), saluran (the channel) dan penerima (the receiver)23.
Komunikasi massa diadopsi dari istilah Bahasa Inggris, mass communication sebagai kependekan dari mass media communication (komunikasi massa). Artinya, komunikasi menggunakan media massa atau komunikasi yang mass mediated24. Komunikasi massa pada dasarnya merupakan suatu bentuk komunikasi dengan melibatkan khalayak yang luas yang biasanya menggunakan tekhnologi
media massa25.
Menurut Nurudin, komunikasi massa adalah studi ilmiah tentang media massa serta pesan yang dihasilkan, pembaca/pendengar/penonton yang akan coba diraihnya, dan efek terhadap mereka26. Sedangkan menurut Defleur dan Dennis komunikator-komunikatornya menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang
23
Pawito, dan C Sardjono. Teori-Teori Komunikasi, Buku Pegangan Kuliah Fisipol Komunikasi Massa S1 Semester IV, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 1994).
24
Wiryanto, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: Grasindo 2000)hlm.69
25
Pawito, Penelitian Kualitatif Komunikasi, (Yogyakarta : LKIS 2007) hlm.16
26
diharapkan dapat mempengaruhi khalayak-khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara27.
Ahli komunikasi lainnya, Joseph A. DeVito merumuskan definisi komunikai massa yang pada intinya merupakan penjelasan tentang pengertian massa, serta tentang media yang dipergunakannya. Ia mengemukakan definisinya dalam dua item, yakni pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton televisi, Tetapi ini berati bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan/visual. Komunikasi massa barang kali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefinisikan menurut bentuknya: televisi, radio siaran, surat kabar, majalah dan film28.
Dari beberapa pengertian tersebut, penulis memahami bahwa komunikasi massa adalah proses penyampaian pesan dari seorang komunikator melaui media massa kepada khalayak yang besar dan berbeda akan menimbulkan efek yang diharapkan oleh komunikator.
Dibalik semua fungsi media (massa) yang tampaknya sudah komunikatif tersebut, sesungguhnya terdapat fungsi internal yang disadari maupun tidak telah “serba menentukan” pemikiran, persepsi, opini dan bahkan perilaku orang. Hal ini
menjadi mungkin tatkala media dipandang sebagai penyampai imaji. Imaji ini
27
Riswandi. Ilmu Komunikasi. (Jakarta : Graha Ilmu. 2009). hlm 103
28
tidaklah terbatas pada sesuatu yang konkret-visual (kasat mata), melainkan juga sesuatu yang “tampak” dan hadir pada batin29
.
2.2Lagu
Jamalus berpendapat bahwa musik adalah karya seni berbentuk lagu atau komposisi musik yang mengungkapkan pikiran atau perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik yaitu irama, melodi, harmoni, bentuk dan struktur lagu dan ekspresi sebagai satu kesatuan. Sedangkan musik menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah nada atau suara yang disusun dengan sedemekian rupa sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu)30.
Menurut Djohan31, musik merupakan perilaku sosial yang kompleks dan universal yang didalamnya memuat sebuah ungkapan pikiran manusia, gagasan, dan ide-ide dari otak yang mengandung sebuah sinyal pesan yang signifikan. Pesan atau ide yang disampaikan melalui musik atau lagu biasanya memiliki keterkaitan dengan konteks historis. Muatan lagu tidak hanya sebuah gagasan untuk menghibur, tetapi memiliki pesan-pesan moral atau idealisme dan sekaligus memiliki kekuatan ekonomis.
Secara harfiah, lagu merupakan gabungan seni nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temproral (biasanya diiringi dengan alat musik) untuk menghasilkan gubahan musik yang memiliki kesatuan dan kesinambungan (mengandung irama), dan ragam nada atau suarayang berirama disebut lagu32.
29
Elvinaro Ardianto, dan Lukiati Komala, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), hlm. 18.
30
Departemen Pendidikan Nasional. KamusBesar Bahasa Indonesia. (Jakarta : Balai Pustaka. 2002), hlm.226
31
Djohan, Psikologi Kegelapan, (Yogyakarta : Buku Baik, 2003),hlm.7-8
32
Ada beberapa tingkatan musik, tingkan seni musik kita sendiri, ada tiga dimensi yaitu :
a. Musik klasik, yaitu musik yang diubah dan dimainkan oleh kalangan prfesional terlatih, yang awalnya ada dilingkungan kaum bangsawan dan religious.
b. Musik tradisional, yaitu musik yang bersama dimiliki oleh seluruh populasi. c. Musik popular, yaitu musik yang dibawakan oleh kaum professional dan
disebar melalui media elektronik (radio, televisi, album rekaman, film) dan dikonsumsi oleh masyarakat.
Penulis memahami bahwa lagu merupakan kesatuan nada atau bunyi yang dihasilkan oleh satu atau beberapa alat musik yang dilengkapi dengan lirik bertujuan untuk menghibur atau mengkomunikasikan pesan kepada pendengarnya.
Lagu menjadi cerminan keadaan social di masayarakat. Hal ini terlihat dari fenimena apa yang yang sedang ramai di masayarakat pasti tidak lama setelah itu muncul lagu yang bertemakan seperti itu. Lagu juga bisa menjadi kritik sosial. Sebagai contoh adalah lagu yang diciptakan oleh Iwan Fals yang sebagain besar liriknya adalah kritik sosial kepada pemerintah dan cerminan keadaan masyarakat.
2.2.1 Lagu Sebagai Proses Penyampaian Pesan
Pencipta lagu menyampaikan isi pikiran dibenaknya berupa lirik agar audiens mampu menerima pesan didalamnya. Disinilah terjadi proses komunikasi melalui lambang berupa teks lirik lagu antara pencipta dan audiens. Melalui lirik lagu manusia diajak untuk menginterpretasikan melalui otak yang menyimpan pengalaman dan pengetahuan, serta mengolahnya sebagai landasan dasar dalam mencerna keindahan lirik lagu. Dengan kata lain lirik lagu mampu menimbulkan banyak persepsi yang sangat dipengaruhi oleh tingkat kepahaman seseorang yang berasal dari pengalaman hidup yang dimiliki serta aspek lingkungan disebut lagu33.
2.3Lirik
Musisi dalam menciptakan sebuah lirik biasanya berdasarkan hasil pengamatan. Lirik lagu biasanya merupakan ungkapan penyair terhadap sesuatu yang dirasakannya. Lirik adalah sebuah tema atau alur dalam sebuah lagu. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia, lirik adalah karya seni (puisi) yang berisikan curhatan perasaan pribadi, susunan kata sebuah nyanyian34.
Lirik memiliki peranan besar dalam mengkomunikasikan pemikiran para musisi. Melalui lirik mereka, musisi menyuarakan idenya secara konotatif dan denotatif. Di beberapa negara yang menganut kebebasan berekspresi, ide musisi kerap dianggap tabu dan kontroversial. Beberapa musisi berpendapat bahwa mereka menyampaikan kenyataan yang benar-benar terjadi di tengah masyarakat. Terlepas dari argumen tersebut sebagian masyarakat tetap tidak percaya dan menganggap hal ini adalah sesuatu yang dilebih-lebihkan dan untuk mendapatkan
33
Agasatya Rama Listya, Musik Rock : Suatu Refleksi Teologis. (Salatiga : Fakultas Teologis, Universitas Kristen Satya Wacana, 1999), hlm. 25
34
popularitas. Perbedaan interpretasi bisa saja terjadi. Hal ini disebabkan setiap orang memiliki perbedaan latar belakang pengetahuan.
Tema dalam setiap lirik lagu juga berbeda. Pada umumnya lagu kritik sosial mengambil tema tentang korupsi, kemiskinan, ketidakadilan, tekanan ekonomi, kerusakan lingkungan atau globalisasi. Walaupun kritik sering menjadi sebuah persoalan, namun musisi dengan kemampuan kreatifnya mampu menjadikan kritik sebagai alat kontrol dalam masyarakat. Karena bagi mereka, kehidupan merupakan suatu lahan untuk menemukan ide atau gagasan dalam menciptakan sebuah karya.
Lirik lagu biasanya menggunakan bahasa sastrawi untuk memperindah lirik atau syair yang dibuat. Penggunaan bahasa dalam lirik lagu bergantung pada sejauh mana pembuat lirik berkreasi. Lirik lagu menggunakan bahasa untuk menyampaikan maksud atau tujuan dari si penyanyi kepada si pendengar. Lirik adalah teks atau kata-kata dalam lagu35.Dalam setiap lirik pasti memiliki makna yang terkandung di dalamnya. Dalam beberapa lirik penggunaan bahasa dapat menyembunyikan makna dari lirik tersebut.
2.4Jihad
Semenjak serangan 11/9 di Amerika, citra ummat islam yang damai seakan hilang. Jihad bukan semata-mata perjuangan fisik. Jihad juga berarti perjuangan pikiran dan perjuangan mengalahkan nafsu. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Nasaruddin Umar, mengatakan definisi seperti itu berasal dari padanan kata jihad dalam bahasa Arab. Jihad, terangnya berasal dari kata jahada yang berarti bersungguh-sungguh. Kemudian berubah
35
menjadi beberapa kata di antaranya jihad, ijtihad, dan mujahadah. Yang pertama berarti perjuangan fisik, kedua berarti perjuangan pemikiran, dan ketiga adalah perjuangan memerangi hawa nafsu. Jihad yang dipahami adalah sinergi dari seluruhnya36.
Jihad merupakan tulang punggung dan kubah Islam. Kedudukan orang-orang yang berjihad amatlah tinggi di akhirat kelak. Begitu pula di dunia mereka mulia di dunia dan akhirat. Rasulullah SAW adalah orang yang paling tinggi derajatnya dalam jihad. Beliau telah berjihad dengan segala bentuk dan macamnya. Beliau berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad, baik dengan hati, lisan dan pedang37.
Secara Umum, Islam mengenal empat Manhaz yang memiliki pandangannya masing-masing akan makna jihad yaitu38 :
a. Hanafi
Dalam Fathul Qodir, juz 5/187, Ibnu Hummam mengatakan bahwa yang dimaksud Al Jihad adalah mengajak orang kafir kedalam pelukan Dienul Haq dan memeranginya jika menolak. Al Jihad berarti mengatakan dalam kitabnya Al Badaa‟i, juz 9/4299 bahwa Al Jihad berarti mengerahkan baik dengan diri,
harta, maupun lisan. b. Maliki
Makna jihad diperuntukkan kepada orang-orang muslim yang memerangi orang-orang kafir yang tidak terikat dalam perjanjian (damai) demi menegakkan ajaran Allah SWT. Jihad juga berarti datangnya orang Islam
36
Artikel, Mari Meluruskan Makna Jihad http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islamnusantara/ 10/07/17/125038-mari-meluruskan-makna-jihad edisi Sabtu, 17 Juli 2010, diakses 18 Februari 2016, pkl 23.01.
37
Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad, (PT. Mirzan Pustaka: Jakarta, 2010), hlm. 78
38
kepada orang kafir untuk mengajak mereka memeluk Dienullah, atau masuknya orang Islam ke daerah kafir untuk tujuan serupa.
c. Syafi‟ie
Al Baajuti mengatakan Al Jihad adalah berperang di jalan Allah. Selain itu, Ibnu Hajar dalam Fathul Baari, juz 2/6 juga mengatakan bahwa ditinjau dari hukum syara‟, jihad mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi orang kafir.
d. Hambali
Jihad artinya memerangi orang-orang kafir. Jihad juga berarti perang dan mengarahkan segenap kemampuan untuk menegakkan kalimat Allah.
Bentuk jihad dalam islam
Secara Umum, seperti yang tertulis dalam literatur, Islam mengenalbeberapa bentuk jihad yaitu39:
a. Jihad alan-nafsi, yaitu berjuang melawan hawa nafsu. b. Jihad bil-lisan, yaitu berjihad dengan lidah.
c. Jihad bil-qalam, yaitu berjihad dengan pena.
d. Jihad bit-tarbiyah, yaitu berjihad dengan pendidikan, dengan cara menyebarkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat.
e. Jihad fi sabilillah, yaitu berjuang dijalan Allah.
Berikut ini adalah tingkatan jihad menurut Ibn Al-Qayyim40
a. Jihad terhadap hawa nafsu, terdapat empat tingkatan jihad melawanhawa nafsu:
39
Tim Penyusun Pusaka Azet Jakarta, Leksikon Islam, (Jakarta: PT Penerbit Pustazet Pustaka,1998), hlm. 286
40Arief B. Iskandar, “
1. Melakukan jihad terhadap diri untuk mempelajari kebaikan, petunjuk, dan agama yang benar.
2. Berjihad terhadap diri untuk mengamalkan ilmu yang sudah didapat.
3. Berjihad terhadap diri untuk mendakwahkan dan mengajarkan ilmu kepada orang-orangyang belum mengetahuinya.
4. Berjihad dengan kesabaran ketika mengalami kesulitan dan siksaan dari makhluk dalam berdakwah di jalan Allah dan menanggung semuanya dengan hanya mengharapkan ridha Allah.
b. Jihad melawan setan, terdapat dua tingkatan jihad dalam melawan setan: 1. Berjihad melawan setan dengan membuang segala kebimbangan dan
keraguan dalam keimanan seorang hamba yang diberikan olehnya.
2. Berjihad melawan setan dengan menangkis keimanan berbuat kerusakan dan memenuhi syahwat yang diberikan olehnya.
c. Jihad memerangi kaum kafir dan kaum munafik, terdapat empat tingkatan dalam jihad melawan kaum kafir dan kaum munafik:
1. Jihad dengan hati
Yang dimaksudkan dengan jihad dengan hati ialah karena tidak berdaya untuk memerangi kesesatan, kebatilan dan kemungkaran itu dengan tangan dan lidahnya disebabkan karena merasa yakin akan menerima mudarat kerananya.
2. Jihad dengan lisan
yang mau tunduk dengan hujjah dan ancaman non senjata, sehingga mereka cukup ditakut-takuti tanpa kekerasan fisik.
3. Jihad dengan harta
Jihad dengan harta adalah sebagai senjata lahir kepada semua jenis jihad. 4. Jihad dengan jiwa (nafs)
Jihad dengan jiwa adalah berperang dijalan Allah demi membela kebenaran yang hakiki, kebenaran sejati yang bukan berdasarkan pemikiran dan hawa nafsu manusia semata.
d. Jihad melawan kezaliman dan kefasikan, terdapat tiga tingkatan jihad melawan kezaliman dan kefasikan :
1. Jihad terhadap pelaku kezaliman 2. Jihad terhadap pelaku bid‟ah
3. Jihad terhadap pelaku kemungkaran
Dilakukan dengan kekuatan jika memiliki kemampuan untuk melakukannya. Jika tidak, beralihlah dengan menggunakan lisan (dakwah). Jika masih tidak mampu, berjihadlah dengan hati.
Ulama fikih membagi jihad menjadi tiga bentuk, yaitu berjihad memerangi musuh secara nyata, berjihad melawan setan, dan berjihad terhadap diri sendiri. Lebih lanjut, Ibnu Qayyim juga menguraikan bahwa jika dilihat dari pelaksanaannya, jihad dapat dibagi menjadi tiga, yaitu41 :
a. Jihad Mutlaq
Jihad dalam rangka perang melawan musuh di medan pertempuran. Jihad ini mempunyai persyaratan tertentu, diantaranya perang tersebut harus bersifat
41
defensif, untuk menghilangkan fitnah, menciptakan perdamaian, dan mewujudkan kebaikan dan keadilan. Perang juga tidak dibenarkan bila digunakan untuk memaksakan ajaran Islam kepada orang yang bukan Islam, untuk tujuan perbudakan, penjajahan dan perampasan harta kekayaan. Juga tidak dibenarkan membunuh orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan tersebut, seperti wanita, anak kecil, dan orang-orang tua.
Orang yang berjihad dalam pengertian perang ini adalah mereka yang Islam, akil baligh, laki-laki, tidak cacat, merdeka, dan mempunyai biaya yang cukup untuk pergi perang dan untuk keluarga yang ditinggalkan.
b. Jihad Hujjah
Jihad yang dilakukan dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain dengan menggunakan argumentasi yang kuat. Ibnu Taimiyah menyebut jihad ini sebagai jihad bi al-‘ilm wa al-Bayan ataujihad bi al-lisan (jihad dengan lisan), yaitu jihad yang memerlukan kemampuan ilmiah yang bersumberkan dari Al-Qur‟an dan sunnah serta ijtihad.
c. Jihad „Amm
yang membahayakan umat manusia. Sedangkan jihad terhadap hawa nafsu adalah sikap pengendalian diri agar cara tindak, jiwa, dan komunikasi dengan orang lain tidak menyimpang dari ketentuan Islam.
Dari beberapa pengertian jihad diatas, jihad dengan lagu termasuk kedalam jihad dnegan lisan. Hal ini dikarenakan lagu termasuk bahasa lisan. Jihad dengan lisan bisa juga diartikan dengan berceramah, memberikan khutbah dan memberikan nasihat.
2.5Representasi
Representasi adalah proses merekam ide, pengetahuan atau pesan dalam beberapa cara fisik42. Representasi secara definisi lain adalah segala aktivitas yang membentuk ilmu pengetahuan yang dimungkinkan kapasitas otak untuk dilakukan oleh semua manusia43.Representasi dapat didefinisikan lebis jelasnya sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret, atau mereproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu44.
Ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental yaitu konsep tentang sesuatu yang ada di kepala masing-masing (peta konseptual), representasi mental masih merupakan suatu yang abstrak. Konsep abstrak yang ada dalam kepala harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya dapat
42
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian Skripsi
Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), hlm.122. 43
Marcel Danesi. Pesan, Tanda dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori
Komunikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hlm.24.
44
John Hartley, Communication,Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, (Yogyakarta:
menghubungkan konsep dan ide-ide tentang sesuatu dengan tanda dari simbol tertentu45.
Kedua, representasi dapat didefinisikan lebih jelasnya sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret atau memproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan. Dengan, atau dirasakan dalam benda fisik tertentu. Dengan kata lain, proses menaruh X dan Y secara berbarengan itu sendiri. Menentukan makna X = Y bukanlah pekerjaan yang mudah. Maksud dari pembuat bentuk, konteks sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya dan sebagainya, merupakan faktor kompleks yang masuk dalam sebuah lukisan. Sebenarnya, salah satu dari berbagai tujuan utama semiotika adalah untuk mempelajari faktor-faktor tersebut46.
2.6Semiotika
Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti tanda. Tandaitu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangunsebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagaisesuatu hal yang menunjuk adanya hal lain. Contohnya asap menandaai adanya api, sirine mobilyang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota47.
Secara definitif, istilah semiotika berasal dari kata seme (Yunani) yang berarti penafsiran tanda. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Karena itu, semiotika atau semiologi (istilah yang digunakan Saussure) diartikan sebagai ilmu yang mengkaji tanda-tanda dalam kehidupan
45
Roland Barthes.Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa.( Jakarta: Jalasutra, 1972), hlm.112
46
Roland Barthes.Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa.( Jakarta: Jalasutra, 1972), hlm.112
47
Indiwan Seto Wahyuv Wibowo. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan
manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna48.
Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas dari objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi atau wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic49.
Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna50. Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tamda dengan yang ditandakan (siginfie) sesuai dengan sistem bahasa yang bersangkutan51.
2.7Semiotika Roland Barthes
Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signifay) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
48
Beny H. Hoed, Strukturalisme Pragmataik dan Semiotik Kajian Budaya, (Jakarta: Wedatama
Widya Sastra, 200), hlm.3
49
Indiwan Seto Wahyuv Wibowo. 2011. Semiotika Komunikasi Aplikasi Praktis Bagi Penelitian
dan Skripsi Komunikasi. (Jakarta: Mitra Wacana Media), hlm.5
50
Beny H. Hoed, Strukturalisme Pragmataik dan Semiotik Kajian Budaya, (Jakarta: Wedatama
Widya Sastra, 200), hlm.3
51
tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda52.
Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi53. Dengan tanda, seseorang mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia yang centang-perenang ini, setidaknya agar manusia sedikit punya pegangan. “apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan “membawanya pada sebuah kesadaran‟,“ ujar Pines54.
Barthes mengembangkan semiotikanya Saussure tidak hanya dalam konteks linguistik, melainkan untuk bidang kajian dan kritik budaya dalam arti yang sangat luas. Meskipun di awal riwayatnya, semiotika itu lebih dekat dengan ilmu linguistik modern, yakni ilmu yang mempelajari bahasa baik tulis maupun lisan, namun yang lebih menarik menurut Barthes adalah, bahwa semiotika bukan pertama-tama sebagai linguistik, tetapi semiotika yang dapat juga digunakan sebagai pendekatan untuk mempelajari “other than language.Dalam hal ini, makna tugas semiotika lebih dekat dengan cita–cita Saussure, yakni: “the linguist must take the study of lingustic structure as his primary concern, and relate all
other manifestations of language to it”. Dalam koteks inilah, Barthes akhirnya menyeyogiakan, bahwa dalam mempelajari semiotika hendaklah jangan berhenti hanya pada bahasa semata, melainkan semiotika harus “general science of sign‟55
Dalam kaitannya secara khusus dengan kajian atas teks budaya massa, bahkan Barthes diantaranya lewat bukunya introduction to the Structural Analysis of
52
Marcel Danesi. Pesan, Tanda dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori
Komunikasi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hlm.32. 53
Littlejohn, S. & Foss, K. Theries of Human Communication, (Terj. Hamdan, Yusuf), (Jakarta:
Salemba Humanika, 1996), hlm. 64.
54
Alex Sobur, Semiotika Komunikas, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004) .hlm.16
55
Narratives (1985) lebih menegaskan lagi, yakni bahwa semiotika merupakan salah satu pendekatan yang amat efektif untuk mengkaji tentang budaya massa, karena di dalamnya menjanjikan pemecahan problema tentang kajian hubungan antara bahasa, budaya, dan ideologi, yang dijalankan lewat analisis proses kritik dan pemaknaan56. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, jika dipandang dari sudut semiotika ini, budaya adalah masalah politis dan ideologis, sedangkan muatan ideologi itu menurut Barthes dalam buku System de la Mode (1967), tidak hanya ditemukan dalam traktat-traktat filosofis, buku sejarah, maupun anggaran dasar politik semata, melainkan juga lewat konsumsi masyarakat setiap hari57.
Terkait dengan persoalan teori kritik ideologi atau mitos ini, Barthes secara spesifik mengungkapkan, bahwa mitos itu merupakan “sistem semiotika tingkat dua” (a second-order semiological system), yang dalam konteks kajian budaya
massa, lebih memusatkan kajian atas objek sebagai “the significant”daripada sebagai “the technical” (the functional). Pembedaan ini amat penting untuk melihat gejala budaya dalam masyarakat modern, yang ternyata “the significant”atas objek fungsional, ternyata menjadi lebih penting daripada fungsi
atau “the technical”-nya58.
Ketika mempertimbangkan sebuah lagu, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, suara dan jenis tanda lain mengenai bagaimana cerita itu direpresentasikan tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut
56
John Hartley, Communication,Cultural and Media Studies: Konsep Kunci, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2010), hlm.210
57
Periksa St. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002), hlm, 29.
58
fenomena ini “membawa tanda dan konotasinya untuk membagi pesan tertentu
sebagai penciptaan mitos59”.
Pengertian mitos disini tidak menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari seperti halnya cerita-cerita tradisional, melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes: “tipe wicara”60
. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.
Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Cobley & Jansz, 1999)61
Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes
Dari peta Barthes di atas, terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif
59
Jonathan Bignell, Media Semiotics: An Introduction, Manchester University Press, (Manchester
and New York, 1997), hlm. 16.
60
Roland Barthes, dalam Nurhadi & Sihabul Millah 2004, hlm. 152 dan dalam John Storey. 1994. hlm. 107.
61
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga
diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Pengertian mitos di sini tidaklah menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita tradisional, melainkan sebuah cara pemaknaan; dalam bahasa Barthes disebut tipe wicara. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh pelbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan yang lain.
Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tak berdosa, netral; melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (“mitos” diperlawankan dengan “kebenaran”); cukuplah dikatakan bahwa praktik penandaan seringkali
memproduksi mitos. Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi. Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa adanya pada suatu masa, dan mungkin tidak untuk masa yang lain62.
62
Andrew Tolson, Mediations: Text and Discourse ini Media Studies, Arnold, (London, 1996),
Pemikiran Barthes tentang mitos masih melanjutkan apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Bagi Barthes, mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Saussure mengatakan bahwa makna adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.
Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Saussure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, “pembaca” teks dapat memahami
penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif63. Lebih dari itu, di samping gagasannya dapat dimanfaatkan untuk menganalisis film, semiotika konotasi ala Barthesian ini memungkinkan penggunaannya untuk wilayah-wilayah lain seperti pembacaan terhadap karya sastra dan fenomena budaya kontemporer atau budaya pop. Bahkan dalam pandangan Ritzer, Barthes adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada semua aspek kehidupan sosial (George Ritzer,2003). Bagi Barthes, semiologi bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan
63
limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai “tanda” alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik64
.
Beroperasinya ideologi melalui semiotika mitos ini dapat ditengarai melalui asosiasi yang melekat dalam bahasa konotatif. Barthes mengatakan penggunaan konotasi dalam teks ini sebagai: penciptaan mitos. Ada banyak mitos yang diciptakan media, misalnya mitos tentang kecantikan, kejantanan, pembagian peran domestik versus peran publik dan banyak lagi. Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya “adi bahasa”65.
Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi juga, karena mitos ini merupakan sebuah pesan juga. Ia menyatakan mitos sebagai modus pertandaan, sebuah bentuk, sebuah “tipe wicara” yang dibawa melalui
wacana. Mitos tidaklah dapat digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan. Dalam narasi berita contohnya, pembaca dapat memaknai mitos ini melalui konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat menemukan adanya asosiasi-asosiasi terhadap “apa” dan “siapa” yang sedang dibicarakan sehingga terjadi pelipatgandaan makna. Penanda bahasa konotatif membantu untuk menyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau dari makna denotasinya.
Teori Barthes tentang mitos/ideologi memungkinkan seorang pembaca atau analis untuk mengkaji ideologi secara sinkronik maupun diakronik. Secara sinkronik, makna terantuk pada suatu titik sejarah dan seolah berhenti di situ, oleh karenanya penggalian pola-pola tersembunyi yang menyertai teks menjadi lebih
64
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.69-70.
65
mungkin dilakukan. Pola tersembunyi ini boleh jadi berupa pola oposisi, atau semacam skema pikir pelaku bahasa dalam representasi. Sementara secara diakronik analisis Barthes memungkinkan untuk melihat kapan, di mana dan dalam lingkungan apa sebuah sistem mitos digunakan. Mitos yang dipilih dapat diadopsi dari masa lampau yang sudah jauh dari dunia pembaca, namun juga dapat dilihat dari mitos kemrin sore yang akan menjadi. Media seringkali berperilaku seperti itu, mereka merepresentasikan, kalau bukan malah menciptakan mitos-mitos baru yang kini hadir di tengah masyarakat. Untuk yang terakhir ini, penulis berkecenderungan untuk mengatakan bahwa media melakukan proses “mitologisasi”, dunia dalam sehari-hari digambarkan dengan
cara yang penuh makna dan dibuat sebuah pemahaman yang generik bahwa memang begitulah seharusnya dunia. Film, Iklan, berita, fesyen, pertunjukan selebritas adalah dunia kecil yang akrab dijumpai dan menjadi ikon dari dunia besar: mitos dan ideologi di baliknya.
sehingga cara kerja sosial politik mitos adalah dengan melakukan “demistifikasi” sebagainya.Makna ini tidak bisa dipastikan dengan tepat, karena makna denotasi merupakan generalisasi. Dalam semiotika Barthes, ia menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Dalam hal ini, denotasi diasosiasikan dengan ketertutupan makna67. Menurut Lyons, denotasi adalah hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran68. Denotasi dimaknai secara nyata. Nyata diartikan sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya atau terkadang dirancukan dengan referensi atau acuan.
Makna Konotasi:
Makna yang memiliki “sejarah budaya di belakangnya” yaitu bahwa ia hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan signifikansi tertentu. Konotasi adalah mode operatif dalam pembentukan dan penyandian teks kreatif seperti pusis, novel, komposisi musik, dan karya-karya seni.Istilah konotasi digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Kata “konotasi” sendiri berasal dari bahasa Latin, “connotare” yang
66
John Friske, Cultural and Communication Studies,(Yogyakarta: Jalasutra), 2007.hlm177.
67
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm 70.
68
memiliki arti “menjadi tanda” serta mengarah pada makna-makna kultural
yang terpisah dengan kata atau bentuk-bentuk komunikasi lainnya. Makna konotasi adalah gabungan antara makna denotasi dengan segala gambar, ingatan dan perasaan yang muncul ketika indera kita bersinggungan dengan petanda. Sehingga akan terjadi interaksi saat petanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Contohnya ketika kita menyebutkan kata “kursi”, makna denotasi “kursi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah alat untuk
duduk. Namun secara konotatif kata “kursi” akan dimaknai sebagai sesuatu yang membuat bahagia, karena berhubungan dengan jabatan atau tahta. Konotasi mengacu pada makna yang menempel pada suatu kata karena sejarah pemakainya, oleh karena itu dapat dimaknai secara berbeda oleh setiap individu.
Mitos:
periode tertentu69. Selain itu, dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda. Mitos biasanya dianggap sama dengan dongeng, dan dianggap sebagai cerita yang aneh serta sulit dipahami maknanya katau diterima kebenarannya karena kisahnya irasional (tidak masuk akal). Namun, berangkat dari ketidakmasuk akalan tersebut lah akhirnya muncul banyak penelitian tentang mitos yang melibatkan banyak ilmuwan Barat. Mereka menaruh minat untuk meneliti teks-teks kuno dan berbagai mitos yang telah mereka kumpulkan dari berbagai tempat dan berbagai suku bangsa di dunia. Manusia banyak bertanya-tanya tentang segala hal yang terjadi dalam kehidupannya sehari-hari. Menurut mitologi Yunani, pertanyaan-pertanyaan manusia tentang kejadian di alam semesta sudah dijawab, namun dikemas dalam bentuk mitos. Oleh sebab itu dalam bahasa Yunani dikenal mitos yang berlawanan dengan logika (muthos dan logos). Dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Imperialisme Inggris misalnya, ditandai oleh berbagai ragam penanda, seperti penggunaan baju pada wanita di zaman Victoria, bendera Union Jack yang lengan-lengannya menyebar ke delapan penjuru, bahasa Inggris yang kini telah mendunia, dan lain-lain.
2.8Kerangka Berpikir
Komunikasi sebagai suatu proses dengan mana suatu pesan dipindahkan atau dioperkan (lewat suatu saluran) dari suatu sumber kepada penerima dengan maksud mengubah perilaku, perubahan dalam pengetahuan, sikap dan atau
69
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berpikir
2.9Penelitian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya, maka peneliti mengadakan peninjauan terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya, sebagai berikut:
Jihad dalam masyarakat
Lirik Lagu Purgatory
–
Downfall : The Battle Of Uhud
Jihad dalam Islam
Representasi
Semiotika Roland Barthes
Tanda
Denotasi
Representasi Jihad dalam Lirik Lagu
Purgatory
–
Downfall : The Battle Of Uhud
Tanda
Konotasi
Mitos
Skripsi yang berjudul “Representasi Jihad dalam Lirik Lagu Michael Heart – We Will No Go Down” yang disusun oleh Jesslyn Catherine tahun 2014, Jurusan
Komunikasi, Fakultas Komunikasi, Universitas Multimedia Nusantara Tangerang. Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi deskriptif kualitatif.
Subjek penelitiannya adalah lirik lagu Michael Heart – We Will No Go Down. Objek penelitiannya adalah scene yang menandakan jihad memerangi kaum kafir dan kaum munafik yang ada dalam lirik lagu Michael Heart – We Will Not Go Down.Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotik dengan mengambil teori dari Charles Shander Pierce.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat tanda-tanda jihad memerangi kaum kafir dan kaum munafik dalam scene dan tanda verbal yang ada dalam lagu ini. Ada empat tingkatan jihad melawan kaum kafir dan kaum munafik, yaitu : jihad dengan hati, jihad dengan lisan, jihad dengan harta, jihad dengan jiwa (nafs).
Peneliti juga menggunakan skripsi yang berjudul “Representasi Nilai-
Nilai Moral dalam Lirik Lagu Rap (Studi Semiotik Terhadap Lagu “Ngelmu Pring” Yang Dipopulerkan oleh Group Musik Rotra)” yang disusun oleh
Pramudya Adhy tahun 2011, Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta. Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi deskriptif kualitatif.
penelitian ini menunjukan bahwa terdapat tanda-tanda nilai moralitas dalam bait dan tanda verbal yang ada dalam lagu ini. Lirik lagu tersebut berisi pesan bahwa setiap manusia harus menjunjung nilai moral dan menjadikan nilai-nilai moral dan kepatuhan kepada tuhan sebagai landasan hidup demi mencapai kehidupan yang baik.
Tabel 1. Penelitian Terdahulu
No Item Penelitian A Penelitian B Peneliti
10 Kritik Teori yang dgunakan tidak memfokuskan pada pembahasan tentang teks
Objek tidak dikenal banyak orang
-
41
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menggunakan latar alamiah. Tujuannya menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada70. Penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya prilaku, presepsi, motivasi, tindakan secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks yang khusus alamiah dengan memanfaatkan berbgai metode alamiah71.
Penelitian ini memfokuskan pada semiotika, yaitu sebagai sebuah ilmu yang mengkaji tanda-tanda yang ada di dalam suatu obyek di dalam suatu kelompok masyarakat. Dari sini nantinya peneliti haruslah mengkaitkan simbol dan definisi subyek yang terdapat dalam lirik lagu yang akan diteliti yaitu lirik lagu Purgatory – Downfall : The Battle Of Uhud. Penelitian ini bersifat deskriptif. Penulis
berusaha menjelaskan makna denotasi, konotasi dan mitos yang mengacu pada teori milik Roland Barthes dalam meneliti teks lirik lagu Downfall : The Battle Of Uhud milik Purgatory.
70
Lexy Moleong. Metode penelitian kualitatif.(Bandung. Remaja rosdakarya. 2006), hlm.5
71
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alpabeta,