• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHSAN

6. Serat Pangan

Serat dapat dikatakan sebagai komponen bahan makanan non-gizi, tetapi akan sangat menyehatkan jika di konsumsi secara teratur dan seimbang setiap hari. Serat pangan dapat dibagi dua berdasarkan jenis kelarutannya, yaitu serat yang tidak larut dalam air dan serat yang larut dalam air. Serat yang tidak larut dalam air memiliki sifat mampu berikatan dengan air, seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Sedangkan serat yang larut dalam air memiliki sifat mampu membentuk gel yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuh, seperti pektin, musilase, dan gum (Sulistijani 2002).

Serat pangan tidak dapat diserap dan tidak mempunyai nilai gizi. Namun sudah banyak diteliti bahwa serat makanan mempunyai dampak positif terhadap peningkatan drajat kesehatan. Berbagai penyakit yang terkait dengan rendahnya konsumsi serat, yaitu jantung, darah tinggi, dibetes, kanker pencernaan, dan kegemukan. Sumber utama serat yaitu sayuran dan buah-bauahan (Muhilal 1995).

Penetapan serat pangan dilakukan dengan metode enzimatis, dimana digunakan enzim-enzim pencernaan dan dibuat kondisi yang mirip dengan yang sesungguhnya terjadi di dalam pencernaan tubuh manusia. Gambar 10 memperlihatkan hasil analisis serat pangan larut air, serat pangan tidak larut air dan total serat pangan pada bekatul awet dengan dua perlakuan.

Gambar 10 Kadar serat pangan bubuk bekatul awet

bk = Berat kering

Berdasarkan grafik di atas bahwa kadar serat pangan larut, tidak larut dan total serat pangan antara perlakuan tidak dicampurkan lebih rendah daripada perlakuan dicampurkan. Hal ini diduga bahwa pada perlakuan tidak dicampurkan, sisa pengayakan 20 mesh tidak dicampurkan sehingga banyak komponen yang tebuang salah satunya serat pangan. Menurut Damayanthi (2003a), kadungan serat panga dalam bekatul ditentukan oleh derajat sosoh, yaitu semakain tinggi derajat sosoh maka distribusi zat gizi akan semakin menurun.

Kandungan serat pangan larut pada perlakuan tidak dicampurkan dan dicampurkan masing-masing yaitu 7.90 % dan 8.95 % bk. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Damayanthi (2003b) yang menyebutkan bahwa kandungan serat pangan larut bekatul dari padi varietas IR- 64 dan Cilamaya berturut-turut adalah 3.68-8.67 % dan 3.56-8.76 %, di mana keragaman ini tergantung pada derajat sosohnya. Akan tetapi hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan yang telah dilaporkan oleh Farizal 2010 yaitu 6.53 % atau 1.40 % (Kahlon dan Chow 1997). Dibandingkan dengan bekatul serealia lainnya kandungan serat pangan pada bekatul padi ini tidak berbeda , misalnya bekatul oat mengandung 8.0 % serat pangan larut dan barley 6.0 % (Kahlon dan Chow 1997). Ketiga jenis sumber bekatul serealia dilaporkan memiliki efek hipokolesterolemik pada hewan percobaan dan manusia.

Serat pangan tak larut yaitu 26.52 % untuk perlakuan tidak dicampurkan dan 33.04 % untuk perlakuan dicampurkan. Hasil penelitian untuk perlakuan tidak dicampurkan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Damayanthi (2003) yang menyebutkan bahwa kandungan serat pangan tak larut bekatul dari padi varietas IR-64 dan Cilamaya berturut-turut adalah 14.99-25.38 % dan 15.22-25.06 %, di mana keragaman ini tergantung pada derajat sosohnya. Akan tetapi untuk perlakuan yang dicampurkan hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan yang telah dilaporkan oleh Damayanthi (2003a). Hasil kedua perlakuan lebih tinggi dibandingan hasil Farizal (2010) yaitu 22.01 % atau Kahlon dan Chow (1997) yaitu 1.40 % . Kahlon and Chow (1997) menyatakan bahwa bekatul padi mengandung 21.50 % serat pangan tidak larut, 10.60 % dan 11.20 % untuk bekatul oat and barley. Total serat pangan pada perlakuan tidak dicampurkan lebih rendah dibandingkan total serat pangan yang dicampurkan yaitu masing-masing 34.42 dan 41.99 %. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitina Farizal (2010) yaitu 28.54 %.

Berdasarkan uji independent samples testserat pangan tak larut air, serat pangan larut air, dan total serat pangan pada bahan baku baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh berbeda nyata (p<0.05). Perbedaan ini dapat dilihat dari gambar 10 bahwa bahan baku bektul awet yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh lebih tinggi secara nyata dari bahan baku bekatul awet yang tanpa dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh, baik itu dari serat pangan tak larut air, serat pangan larut air, maupun total serat pangannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Damayanthi et al. (2003a) yang menunjukkan bahwa distribusi zat gizi semakin menurun apabila derajat sosoh semakin besar, sehingga semakin banyak bekatul awet yang tidak lolos 20 mesh ditambahkan maka kadar serat pangannya akan semakin tinggi.

Cukup banyak produk atau bahan pangan yang terbukti dapat menurunkan kadar kolesterol darah manusia. Salah satunya adalah -oryzanol yang terdapat pada minyak bekatul. Berdasarkan penelitian Most et al. (2005), bahwa minyak bekatul dan bukan serat bekatullah yang dapat menurunkan kolesterol darah manusia. Penelitian ini dilakukan dengan metode parallel-arm, dengan menyediakan makan tiga kali sehari bagi 26 subyek selama lebih dari 3 bulan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan konsentrasi lipid pada subyek yang diintervensi bubuk bekatul, sedang terdapat efektivitas yang signifikan pada subyek yang diberikan diet minyak bekatul dengan penurunan kadar ldl darah sebesar 7 % (p<0.0004).

Kadar Mineral Ca, Fe, Zn dan Bioavailabilitasnya Kadar mineral Ca, Fe, dan Zn

Mineral merupakan zat gizi mikro (micronutrient) dalam tubuh yg bersama-sama dengan vitamin berfungsi dalam proses metabolisme unsur gizi makro (karbohidrat, protein, lemak). Mineral bersifat esensial, karena merupakan unsur anorganik yg memiliki fungsi fisiologis yang tidak dapat dikonversikan dari zat gizi lain, sehingga harus selalu tersedia dalam makanan yang dikonsumsi. Jumlah mineral yang harus tersedia bagi tubuh tersebut adalah bervariasi, yaitu dari beberapa mikrogram sampai gram per hari. Mineral dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah ≥ 100 mg per hari. Mineral makro terdapat

≥ 0.01% di dalam tubuh. Mineral makro meliputi kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), natrium (Na), kalium (K), dan klorida (Cl). Mineral mikro

diperlukan tubuh kurang dari 100 mg per hari dan untuk menyusun tubuh diperlukan kurang dari 0.01 % dari berat badan total. Minerl mikro tersebut anatar lain adalah besi, seng dan selenium (Damayanthi dan Nasoetion 2007).

Pada penelitian ini, pengukuran kadar mineral menggunakan metode AAS. Metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) merupakan salah satu metode analisis yang dapat digunakan untuk mengetahui keberadaan dan kadar mineral dalam berbagai bahan, namun terlebih dahulu dilakukan tahap pendestruksi cuplikan. Pada metode destruksi basah dekomposisi sampel dilakukan dengan cara menambahkan pereaksi asam tertentu ke dalam suatu bahan yang dianalisis. Asam-asam yang digunakan adalah asam-asam pengoksidasi seperti H2SO4, HNO3, H2O2, HClO4, atau campurannya. Pemilihan jenis asam untuk mendestruksi suatu bahan akan mempengaruhi hasil analisis.

Spektrometri merupakan suatu metode analisis kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan banyaknya radiasi yang dihasilkan atau yang diserap oleh spesi atom atau molekul analit. Salah satu bagian dari spektrometri ialah Spektrometri Serapan Atom (SSA/AAS), merupakan metode analisis unsure secara kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas. Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu sel yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka sebagian cahaya tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom bebas logam yang berada dalam sel.

Metode AAS merupakan metode analisis berdasarkan atomisasi bahan terhadap sampel larutan. Kelebihan metode ini dibanding dengan metoda yang lain adalah mampu mendeteksi unsur-unsur dengan konsentrasi rendah (orde ppm) dan hanya memerlukan jumlah sampel yang sedikit (beberapa miligram). Pada penelitian ini kadar mineral yang dianalisis adalah kadar kalsium, kadar besi dan kadar seng. Ketiga mineral tersebut sangat dibutuhkan oleh tubuh walaupun jumlahnya sedikit. Hasil dari analisis mineral Ca, Fe, dan Zn dari bahan baku bekatul awet dapat dilihat dibawah ini.

Tabel 3 Kadar mineral Ca, Fe dan Zn bahan baku bubuk bekatul awet (bk)

Perlakuan Kadar Ca Kadar Fe Kadar Zn

Ppm mg/100g Ppm mg/100g ppm mg/100g

Tidak dicampurkan 57.36±3.47a 5.74±0.35a 300.04±4.13a 30.00±0.41a 76.38±2.65a 7.64±0.26a Dicampurkan 81.95±1.44b 8.19±0.14b 318.56±7.42b 31.89±0.74b 71.22±4.55a 7.13±0.45a

Keterangan : tidak atau dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh bk = berat kering

Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menujukan perbedaan yang nyata (Independent Samples Test)(p< 0.05)

Berdasarkan table di atas dapat dilihat kadar mineral Ca dan Fe pada perlakuan dicampurkan lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan tidak dicampurkan. Namun untuk kadar Zn pada perlakuan tidak dicampurkan lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan dicampurkan. Pada perlakuan tidak dicampurkan kadar Ca sebesar 5.74 mg/100 g sedangkan pada perlakuan dicampurkan sebesar 8.19 mg/100 g. Hasil ini lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Luh et al. (1991) yaitu sebesar 30-120 mg/100 g. Kadar besi (Fe) pada perlakuan tidak dicampurkan sebesar 30.00 mg/100 g, sedangkan pada perlakuan dicampurkan sebesar 31.89 mg/100 g. Hasil ini lebih rendah dari penelitian Luh et al. (1991) yaitu sebesar 50-110 mg/100 g. Untuk kadar Zn pada perlakuan tidak dicampurkan sebesar 7.64 mg/100 g, sedangkan pada perlakuan dicampurkan sebesar 7.13 mg/100 g. Perbedaan dari kedua perlakuan diduga karena adanya bahan yang tidak dicampurkan dan dicampurkan kembali pada saat proses penepungan bekatul awet. Kontribusi zat gizi mineral ini terhadap kecukupan seseorang tergantug dari sifat bilogis mineral itu sendiri.

Berdasarkan uji statistik Independent Samples Test kadar kalsium dan kadar besi (Fe) berbeda nyata (p<0.05) di mana kadar kalsium dan besi pada bahan baku bekatul yang dicampurkan lebih tinggi secara nyata dibandingkan dengan bekatul awet yang tidak dicampurkan (Tabel 3). Namun kadar seng (Zn) pada bahan baku bekatul yang dicampurkan tidak berbeda nyata dengan bekatul awet yang tidak dicampurkan. Secara umum hasil ini menunjukkan bahwa zat gizi mineral lebih banyak terdapat bagian paling luar pada lapisan bekatul (Damayanthi et al. 2003).

Berdasarkan hasil analisis bahwa kadar mineral besi sebesar 30-31 mg/100 g. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan lain misalkan toge kacang hijau. Toge kacang hijau hanya mengandung mineral besi sebesar 0.8 mg/50 g atau setara 1.6 mg/100 g, sehinga bekatul padi merupakan sumber

besi. Hal ini karena bekatul yang cukup melimpah yang masih belum banyak dimanfaatkan.

Bioavaibilitas Mineral Ca, Fe dan Zn

Bioavailabilitas mineral adalah ketersediaan mineral dalam usus untuk diabsorpsi dengan kata lain penyerapan actual (efisiensi) dari mineral dimana menunjukan retensi mineral dalam tubuh yang digunakan dalam fungsi selular atau jaringan. Interaksi antar mineral dapat mengakibatkan penurunan absorpsi elemen atau pengurangan bioavailabilitasnya. Banyak molekul dalam makanan mempengaruhi bioavailabilitas, baik meningkatkan absorpsi atau menghambat absorpsi (bersaing). Misalkan kandungan total kalsium yang tinggi dalam suatu produk pangan belum menjamin jumlah kalsium yang diserap oleh tubuh akan tinggi pula. Jika bioavailabilitasnya rendah maka jumlah kalsium yang diserap oleh tubuh pun menjadi rendah. Ketersediaan biologis (bioavailabilitas) dapat diartikan sebagai jumlah mineral dalam bahan pangan yang dapat diserap dan dipergunakan oleh tubuh. Nilai bioavaibilitas mineral menunjukkan proporsi jumlah mineral yang masuk ke dalam tubuh dan yang diserap oleh usus dan digunakan oleh tubuh.

Bioavailabilitas mineral dapat dianalisis dengan metode in vivo maupun in vitro. Selain secara in vivo, pengukuran bioavailabilitas mineral juga dapat dilakukan secara in vitro. Metode in vitro merupakan simulasi proses pencernaan bahan pangan dengan menggunakan enzim komersial. Enzim pepsin dan pankreatin bile yang biasa digunakan berfungsi untuk memecah protein sehingga mineral yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Roig et al. 1999). Namun, metode in vitro selama ini dinilai lebih menguntungkan karena cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008). Berikut adalah grafik hasil analisis bioavailabilitas kalsium, besi dan seng dari bahan baku bekatul awet.

Gambar 11 Bioavaibilitas mineral Ca, Fe, dan Zn bubuk bekatul awet

Keterangan : tidak atau dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh bk = berat kering

Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bioavailabilitas kalsium dan besi pada perlakuan tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh lebih tinggi dibandingkan bioavailabilitas kalsium dan besi pada bahan yang dicampurkan yang lolos ayakan 20 mesh. Namun bioavailabilitas seng pada bahan yang tidak dicampurkan bahan yang lolos ayakn 20 mesh lebih rendah dibandingkan bioavailabilitas seng pada bahan yang dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh. Hasil analis bioavaibilitas mineral Ca, Fe dan Zn pada bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan dan yang dicampurkan bahan yang lolos aykan 20 mesh yaitu masing-masing sebgai berikut: untuk Ca adalah 59.09 dan 58.84 %; Fe adalah 0.90 dan 0.78 % serta untuk Zn adalah 42.87 dan 44.72 %.

Di dalam bahan pangan nabati, mineral biasanya dalam keadaan terikat. Oleh karena itu biavaibilitas Fe dan Zn tidak terlalu tinggi, namun untuk bioavailabilitas dari Ca cukup tinggi yaitu melebih 50 %. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak semua kalsium, besi dan seng dalam bubuk bekatul awet dapat dimanfaatkan untuk keperluan tubuh dan seberapa besar yang dapat dimanfaatkan bergantung pada ketersediaan biologisnya (bioavailabilitas).

Bioavailabilitas kalsium menunjukkan proporsi kalsium yang tersedia untuk digunakan dalam proses metabolis terhadap kalsium yang dikonsumsi (Miller 1996). Berdasarkan Allen (1982) komponen makanan yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium meliputi fosfor, protein, komponen tumbuhan (serat, fitat, dan oksalat), laktosa, dan lemak. Selain itu, Gropper et al.

(2005) menambahkan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi dua) juga dapat mengurangi absorpsi kalsium. Serat pangan dapat mengikat beberapa mineral sehingga menurunkan tingkat kelarutan dan bioavailabilitasnya (Ink 1988). Komponen utama serat makanan diklasifikasikan sebagai materi penyusun dinding sel tumbuhan (selulosa, polisakarida nonselulosa, dan lignin) atau polisakarida nonstruktural seperti pektin, gum, musilage, dan beberapa hemiselulosa (Allen 1982). Selulosa dapat meningkatkan massa feses dalam usus dan mengurangi transit time sehingga mengurangi waktu yang tersedia untuk absorpsi kalsium. Hemiselulosa menstimulasi proliferasi oleh mikroba, yang pada akhirnya akan mengikat kalsium sehingga kalsium tidak dapat diabsorpsi (Gropper et al. 2005).

Adanya asam fitat akan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut sehingga tidak dapat diabsorpsi (Almatsier 2006). Fitat atau juga sering disebut asam fitat atau mioinositol heksafosfat ditemukan pada beberapa pangan yang berasal dari tumbuhan seperti kacang-kacangan, biji-bijian dan sereal. Fitat mengikat kalsium dan menurunkan ketersediaannya khususnya jika rasio fitat : kalsium lebih dari 0.2 (Gropper et al. 2005).

Meskipun bioavaibilitas kalsium dari bekatul padi tidak terlalu tinggi namun cukup berarti sebagai pangan yang kaya akan kalsium karena bioavailabilitasnya melebihi 50 %. Hal ini mengingat ketersediaan pangan ini melimpah, awet dan dengan harga terjangkau masyarakat luas. Di negara- negara maju sumber utama kalsium untuk masyarakatnya adalah susu dan hasil olahannya yang mengandung sekitar 1150 mg kalsium per liter (Soekatri & Kartono 2004).

Selain komponen makanan, faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi absorpsi kalsium adalah status vitamin D, defisiensi kalsium dan fosfor, serta perbedaan kondisi fisiologis dan kebutuhan pada setiap tahap dalam daur kehidupan (Allen 1982). Tahap dalam daur kehidupan yang dimaksud adalah bayi, anak-anak dan remaja, dewasa, ibu hamil dan menyusui, wanita menopause serta lansia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, baik itu faktor pendorong maupun faktor penghambat. Faktor yang dapat meningkatkan absorpsi kalsium antara lain vitamin D dalam bentuk aktif (1.25(OH)2D3), fosfor, protein, dan laktosa (Almatsier 2006). Adapun faktor yang menghambat penyerapan kalsium di antaranya kekurangan vitamin D

dalam bentuk aktif (1.25(OH)2D3), adanya asam oksalat dan asam fitat, serat, kation divalen, serta lemak.

Bioavailabilitas zat besi adalah jumlah zat besi dalam bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah (Latunde-Dada & Neale 1986). Hasil penelitian menunjukan bahwa bioavailabilitas mineral besi sangat rendah yaitu 0.87-0.90 %. Sedangkan ketersediaan zat besi pada bekatul cukup tinggi yaitu 30-31.89 mg/100 g. Bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh dua hal yaitu faktor endogen (kondisi tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan). Faktor eksogen meliputi berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat besi,yaitu kandungan zat besi dalam bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan pangan, faktor pendorong dan penghambat absorbsi zat besi yang berasal dari makanan. Kandungan zat besi dalam bahan pangan khususnya zat besi nonheme mempengaruhi jumlah zat besi yang diabsorbsi (Hallberg 1988). Efisiensi absorbsi zat besi berbanding terbalik dengan total zat besi dalam makanan. Semakin besar total zat besi makanan, maka persentase zat besi yang diabsorbsi akan semakin rendah (Gropper et al. 2005).

Bioavailabilitas zat besi heme lebih tinggi daripada nonheme yaitu sekitar 15-30 %. Hal ini karena zat besi heme diserap secara utuh dalam cincin porfirin dan tidak terekspos ligan–ligan penghambat (pengikat) yang ada dalam makanan. Adapun zat besi nonheme masuk ke dalam pool yang memudahkan dipertukarkan (exchangeable pool). Hal ini menyebabkan adanya efek dari ligan- ligan pendorong dan penghambat baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu besi nonheme yang dapat diserap hanya 2-20 % tergantung pada ligan dan status zat besi seseorang (Rolfes & Whitney 2008). Bekatul merupakan bahan pangan nonheme, sehingga penyerapan zat besinya sangat rendah.

Bioavailabiltas mineral seng cukup tinggi pada bubuk bekatul padi awet yaitu 42.87-44.72 %, namun ketersediaanya sangat rendah yaitu 7.13-7.64 mg/100 g bubuk bekatul padi awet. Penyerapan seng itu sendiri dapat dipengaruhi oleh proses pemasakan. Pemanasan dapat menyebabkan seng dalam bahan pangan membentuk kompleks yang melawan hidrolisis sehingga seng tidak dapat dicerna. Produk dari reaksi Maillard yaitu asam amino, kompleks karbohidrat yang menyebabkan browning, dapat menghambat penyerapan seng (Gropper et al. 2005). Karena proses pengawetan bekatul

menggunakan pemanasan, diduga proses ini bisa memperkecil bioavailabilitas seng yang terdapat pada bekatul padi.

Menurut Gibney et al. (2002), faktor-faktor yang dapat meningkatkan absorpsi seng adalah faktor fisiologi (status seng kurang) dan faktor dietary (asupan seng rendah, asam organik tertentu, asam amino tertentu). Adapun yang menurunkan absorpsi seng adalah status seng normal, asupan seng tinggi, fitat, dan zat besi tertentu. Absorpsi seng yang rendah 10-15 % terdapat di negara berkembang yang makanannya didominasi oleh sereal dan kacang- kacangan dengan konsentrasi fitat tinggi. Adapun daerah dengan dietary pangan hewani dan produk tanaman diperkirakan memiliki absorpsi seng sebesar 20-30 %.

Berdasarkan uji independent samples test bioavailabilitas kalsium, besi, dan seng pada pada bahan baku bekatul awet yang tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan bekatul awet yang dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh (Gambar 11). Dugaan bahwa nilai bioavailabilitas mineral akan menurun apabila bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh dicampurkan kembali ternyata tidak terbukti.

Aktivitas Antioksidan, kadar Vitamin E, dan kadar Oryzanol 1. Aktivitas Antioksidan

Metode yang digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan adalah metoda serapan radikal DPPH (1,1-diphenyl-2-pycrilhydrazil) karena merupakan metoda yang sederhana, mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang singkat. Pengukuran aktivitas antioksidan sampel dilakukan pada panjang gelombang 517 nm yang merupakan panjang gelombang maksimum DPPH (1,1-dyphenyl-2-picrylhydrazyl), dengan konsentrasi DPPH 10 mM. Adanya aktivitas antioksidan dari sampel mengakibatkan perubahan warna pada larutan DPPH dalam metanol yang ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu menjadi kuning pucat (Molyneux 2004).

Pemudaran warna mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer, sehingga semakin rendah nilai absorbansi maka semakin tinggi aktivitas antioksidannya. Semakin pudar warna dan semakin rendah nilai absorbansi menunjukkan bahwa semakin banyak radikal bebas yang diserap oleh antioksidan. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai % aktivitas antioksidan.

Pengujian aktivitas antioksidan untuk melihat persentase aktivitas antioksidan yang terdapat dalam bubuk bekatul serta kesetaraan dengan kemampuan mg vitamin C. Pembuatan standar dari vitamin C dan contoh perhitungan aktivitas antioksidan vitamin C dapat dilihat pada Lampiran. Pada penelitian ini digunakan vitamin C sebagai standar dalam pengukuran aktivitas antioksidan karena vitamin C merupakan salah satu antioksidan sekunder yang memiliki kemampuan menangkap radikal bebas dan mencegah terjadinya reaksi berantai. Aktivitas antioksidan dari ekstrak metanol bubuk bekatul ini dinyatakan dalam persentase aktivitas antioksidan terhadap radikal DPPH. Persentase ini didapatkan dari perbedaan serapan antara absorban DPPH dengan absorban sampel yang diukur dengan spektrofotometer UV-Vis. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai % aktivitas antioksidan sedangkan kesetaraan jumlah antioksidan sampel dalam berat vitamin C (mg) dinyatakan dalam Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity atau biasa disingkat AEAC (mg vit C/100g). Hasil analisis aktivitas antioksidan disajikan pada berikut ini.

Tabel 4 Kadar % aktivitas antioksidan dan AEAC pada bubuk bekatul awet Perlakuan % Antioksidan AEAC (mg Vit C/100 g

Tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos

ayakan 20 mesh 36.49±0.496

a 142.76±2.607 a

Dicampurkan bahan yang lolos ayakan 20 mesh

41.29±0.649 b 163.56±5.149 b Keterangan : angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menujukan

perbedaan yang nyata (p<0.05) (independent samples test)

Besarnya aktivitas antioksidan atau kemampuan mereduksi radikal bebas pada bubuk bekatul adalah 36.49 % untuk perlakuan tidak dimsasukan dan 41.29 % untuk perlakuan dicampurkan. Perbedaan hasil analisis dari kedua perlakuan diduga adanya bahan yang dicampurkan dan tidak dicampurkan kembali yaitu bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh. Hasil penelitian anktivitas antioksidan ini lebih kecil dibandingkan aktivitas antioksidan bubuk bekatul yang dilaporkan Farizal (2010) yaitu sebesar 83.89 %. Perbedaan ini diduga adanya kerusakan pada saat persipan bahan baku, sehingga hasil aktivitas antioksidanya lebih kecil dibandingkan bubuk bekatul yang dibuat oleh Farizal (2010). Namun bubuk bekatul hasil penelitian ini rata-rata dalam 100 gram bubuk bekatul masing-masing mampu mereduksi radikal bebas DPPH yang setara dengan kemampuan 142.76 mg (pada perlakuan tidak dicampurkan) dan 163.56

mg (pada perlakuna dicampurkan) vitamin C lebih tinggi dibandingkan Farizal (2010) yaitu sebesar 28.74 mg vitamin C.

Berdasarkan uji statistik independent samples test persen aktivitas

Dokumen terkait