• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Minuman Fungsional Bubuk Bekatul Padi Siap Seduh dengan Berbagai Flavor untuk Pencegahan Penyakit Tidak Menular

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Minuman Fungsional Bubuk Bekatul Padi Siap Seduh dengan Berbagai Flavor untuk Pencegahan Penyakit Tidak Menular"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN MINUMAN FUNGSIONAL BUBUK BEKATUL

PADI SIAP SEDUH DENGAN BERBAGAI FLAVOR UNTUK

PENCEGAHAN PENYAKIT TIDAK MENULAR

Abdurohman

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

(2)

ABSTRACT

ABDUROHMAN. The Development of Ready To Serve Rice Bran Powder Functional Drink With Various Flavor For Non Communicable Disease Prevention. Under the guidance of EVY DAMAYANTHI

Death causes has change, from communicable diseases to non communicable diseases (chronic). Many study reports the function of variety of foods in preventing diseases or called nutraceutical. Rice bran contains a lot of nutrients and oryzanol which has hypocholesterolemic characteristic. This research aimed to study the influence of rice bran preparation to nutrient content, oryzanol, organoleptic characteristic and the addition of various flavor to organoleptic preference for ready to serve rice bran drinks. Completed random factorial design was applied in this study. Data analysis used Independent Sample t-Test and Friedman test. The result showed that rice bran which mixed when milled and sifted has no significant differences with not mixed to proximate, Zinc level, Calcium, Iron and Zinc bioavailability (in vitro method), oryzanol (spectrophotometry method), vitamin E (HPLC method), hedonic and quality hedonic level (p<0.05) except for color. Antioxidant activity (DPPH method), diatary fiber (enzymatic method, Asp et al 1983), calcium and iron levels (AAS method) in mixed rice bran when milled and sifted has higher differences to not mixed rice bran (p<0.05). The optimum flavor concentration from hedonic quality and hedonic are chocolate 0.1 %, vanilla 0.5 %, jasmine tea, soursop 0.3 % and red grape 0.5 %.

(3)

RINGKASAN

ABDUROHMAN. Pengembangan Minuman Fungsional Bubuk Bekatul Padi Siap Seduh dengan Berbagai Flavor untuk Pencegahan Penyakit Tidak Menular. Dibimbing oleh EVY DAMAYANTHI

Penyebab kematian telah bergeser, dari penyakit menular ke penyakit tidak menular (kronis). Berbagai penelitian melaporkan peranan berbagai bahan pangan dalam pencegahan penyakit atau yang disebut dengan nutraceutical. Oleh karena itu, salah satu upaya pencegahan penyakit ini lewat pengaturan konsumsi pangan menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan. Bekatul merupakan salah satu alternatif bahan pangan yang patut dipertimbangkan, selain bekatul padi kaya akan zat gizi, bekatul juga kaya akan oryzanol yang memiliki sifat hipokolesterolemik. Diduga kontribusi zat gizi pada bekatul tergantung dari proses pesiapan yaitu pencampuran kembali bahan kasar.

Tujuan umum penelitian ini yaitu mengkaji pengembangan minuman fungsional bubuk bekatul padi siap seduh dengan berbagai flavor untuk pencegahan penyakit tidak menular. Tujuan khususnya yaitu: 1.) Mempelajari proses pembuatan minuman bubuk bekatul siap seduh, 2.) Mengkaji pengaruh dicampurkan dan tidak dicampurkan kembali bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh terhadap nilai mutu hedonik dan hedonik, sifat kimia ( kadar proksimat, vitamin E, antioksidan, serat pangan, kadar mineral Ca, Fe, Zn, oryzanol dan bioavaibilitas mineral Ca, Fe, Zn) dari bahan baku bekatul awet, 3.) Melakukan uji organoleptik bubuk bekatul awet siap seduh dengan berbagai jenis flavor untuk mengetahui jenis dan konsentrasi flavor yang paling disukai, 4.) Mempelajari kontribusi kalori dan informasi nilai gizi bubuk bekatul berflavor, 5.) Identifikasi senyawa volatil bahan baku bubuk bekatul awet dan bekatul berflavor.

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul “Pengkajian Minuman Bekatul, Minyak Bekatul, dan Tomat untuk Kesehatan Lipid dan Kadar Gula Darah serta Status Imun Orang Dewasa Gemuk”. Desain penelitian adalah eksperiment. Penelitian ini dilaksanakan dua tahap, yaitu penelitian tahap I dan penelitian tahap II. Penelitian tahap I dilakukan untuk menyiapkan bahan baku bekatul awet yang bermutu tinggi. Pada tahap ini, bekatul dibedakan menjadi dua perlakuan yaitu dicampurkan dan tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh, kemudian dianalisis proksimat, analisis vitmain E, analisis oryzanol, kadar mineral Ca, Fe, Zn dan bioavailabilitasnya, dan organoleptik bahan baku. Penelitian tahap II meliputi pembuatan minuman bubuk bekatul siap seduh dengan lima jenis flavor (coklat, vanila, anggur merah, jasmine tea, dan sirsak) dan uji organoleptik mutu hedonik dan hedonik.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pada penelitian tahap I adalah dicampurkan dan tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh dengan dua kali ulangan. Faktor penelitian tahap II yaitu konsentrasi penambahan flavor, yaitu sebesar 0.1, 0.3, dan 0.5 persen, dengan dua kali ulangan. Data yang diproleh selain disajikan dalam bentuk deskriptif dan analisis statistik uji t (independent sampel t-test) untuk data hasil analisis proksimat, serat pangan, kadar mineral Ca, Fe, dan Zn, bioavaibiliti mineral Ca, Fe dan Zn, aktifivas antioksidan, kadar vitamin E, kadar oryzanol, dan organoleptik bahan baku bekatul awet. Data hasil uji organoleptik di uji Friedman. Software yang digunakan adalah Microsoft Exel 2007.

(4)

proksimat bahan baku bubuk bekatul awet diketahui kadar air 5.30 % pada perlakuan tidak dicampurkan, 5.71 % pada perlakuan dicampurkan. Kadar lemak 15.06 % pada perlakuan tidak dicampurkan, 15.35 % pada perlkuan dicampurkan. Kadar protein 13.39 % pada perlakuan tidak dicampurkan, 14.20 % pada perlkuan dicampurkan. Kadar abu 11.89 % pada perlakuan tidak dicampurkan, 11.67% pada perlakuan dicampurkan. Kadar karbohidrat 59.13 % pada perlakuan tidak dicampurkan, 58.78 % pada perlakuan dicampurkan. Kandungan serat pangan bahan baku bubuk bekatul awet yaitu serat pangan total untuk perlakuan tidak dicampurkan sebesar 34.42 % yang terdiri dari serat pangan tidak larut air sebesar 26.52 % dan serat pangan larut air sebesar 7.90 %. Total serat pangan pada perlakuan dicampurkan sebesar 41.99 % yang terdiri dari serat pangan tidak larut air sebesar 33.04 % dan serat pangan larut air sebesar 8.95 %. Kandungan mineral pada bahan baku bubuk bekatul awet yaitu untuk perlakuan tidak dicampurkan dan dicampurkan masing-masing kadar Ca sebesar 5.74 mg/100 g dan 8.19 mg/100 g, kadar besi (Fe) sebesar 30.00 mg/100 g dan 31.89 mg/100 g, kadar seng (Zn) sebesar 7.64 mg/100 g dan 7.13 mg/100 g. Bioavailibilitas mineral pada bahan baku bubuk bekatul awet yaitu untuk perlakuan tidak dicampurkan dan dicampurkan masing-masing bioavailabilitas kalsium sebesar 59.09 dan 58.84 %, Bioavailabilitas besi (Fe) sebesar 0.90 dan 0.78 %, dan bioavailabilitas seng (Zn) sebesar 42.87 dan 44.72 %.

Besarnya aktivitas antioksidan atau kemampuan mereduksi radikal bebas pada bubuk bekatul adalah 36.49 % untuk perlakuan tidak dicampurkan dan 41.29 % untuk perlakuan dicampurkan. Selain itu, ini rata-rata dalam 100 gram bubuk bekatul masing-masing mampu mereduksi radikal bebas DPPH yang setara dengan kemampuan 142.76 mg (pada perlakuan tidak dicampurkan) dan 163.56 mg (pada perlakuan dicampurkan) vitamin C. Kadar vitamin E pada

perlakuan tidak dicampurkan sebesar 2.51 mg/100 g atau 25.1 µg/ g, sedangkan

pada perlakuan dicampurkan sebesar 3.83 mg/100 g atau 38.3 µg/g. Kandungan oryzanol pada perlakuan tidak dicampurkan sebesar 0.25 % atau 250 mg/100 g, sedangkan pada perlakuan dicampurkan sebesar 0.33 % atau 330 mg/100 g.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bekatul yang dicampurkan saat penggilingan dan pengayakan tidak berbeda nyata dengan yang tidak dicampurkan, terhadap proksimat, kadar seng, bioavaibilitas mineral kalsium, besi dan seng, oryzanol, vitamin E, serta tingkat hedonik maupun mutu hedonik (p<0.05), kecuali warna mutu hedonik. Aktivitas antioksidan, kadar serat pangan, dan kadar mineral Ca dan Fe pada bekatul yang dicampurkan saat penggilingan dan pengayakan lebih tinggi secara nyata dibandingkan dengan bekatul yang tidak dicampurkan (p<0.05). Dari tiga sampel yaitu bahan baku dengan perlakuan tidak dicampurkan, bahan baku dengan perlakuan dicampurkan, dan bekatul terpilih dengan penambahan flavor terdapat komponen volatil masing-masing 27, 35, dan 53 komponen.

Hasil penelitian tahap II, konsentasi berbagai flavor yang paling optimum dari aspek mutu hedonik dan hedonk yaitu untuk coklat 0.1 %, vanilla 0.5 %, jasmin tea dan sirsak 0.3 % , serta untuk anggur merah 0.5 %. Hasil ini sudah memenuhi aturan yang dikeluarkan oleh BPOM tentang bahan tambahan pangan.

(5)

PENGEMBANGAN MINUMAN FUNGSIONAL BUBUK BEKATUL

PADI SIAP SEDUH DENGAN BERBAGAI FLAVOR UNTUK

PENCEGAHAN PENYAKIT TIDAK MENULAR

Abdurohman

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

Judul : Pengembangan Minuman Fungsional Bubuk Bekatul Padi Siap Seduh dengan Berbagai Flavor untuk Pencegahan Penyakit Tidak Menular

Nama : Abdurohman

NIM : I14080091

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS NIP. 19621204 198903 2 002

Mengetahui :

Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

(7)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis mampu menyelesaikan penelitian dan proses pembuatan skripsi yang berjudul “Pengembangan Minuman Fungsional Bubuk Bekatul Padi Siap Seduh dengan Berbagai Flavor untuk Pencegahan Penyakit Tidak Menular” dapat berjalan dengan baik. Penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada program Ilmu Gizi, Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungan selama masa perkuliahan, yaitu :

1. Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan sabar menuntun, memotivasi, serta arahan yang sangat berharga bagi penulis

2. Tiurma Sinaga MFSA selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan motivasi kepada penulis.

3. dr. Mira Dewi selaku dosen pemandu seminar yang telah memberikan banyak masukan.

4. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dan arahan yang sangat berharga.

5. Bapak Mashudi, selaku teknisi laboratorium, yang telah banyak membantu dan memberikan arahan pada penulis pada saat penelitian berlangsung.

6. H. Djaenal Abidin dan Siti Rohmat, kedua orang tua penulis, yang senantiasa memberikan dorongan, do’a, kasih sayang dan semangat yang sangat berarti.

7. Mila Sophia S.Tp, beserta keluarga, yang telah memberikan dorongan dan semangat pada penulis.

8. Teman-teman seperjuangan 45, 46, yang banyak memberikan kritik dan saran yang sangat berguna bagi penulis.

9. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak lain yang turut membantu dalam penyelesaian penelitian ini.

Bogor, Febuari 2013

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kp. Ciherang, Desa Pabuaran, Kec. Sukamakmur, Kab. Bogor 10 Agustus 1988 sebagai anak ke enam dari tiga belas bersaudara keluarga H. Djaenal Abidin dan Siti Rohmat. Pendidikan dasar penulis ditempuh di SDN 1 Pabuaran dari tahun 1997-2002. Kemudian dilanjutkan di SMPN 1 Citeureup dari tahun 2002-2005 dan SMAN 1 Citeureup dari tahun 2005-2008.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Kegunaan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Tanaman Padi ... 4

Pengertian Bekatul ... 4

Hubungan Kolesterol dan Trigliserida ... 8

Produk Fungsional untuk Penyakit Kronis ... 10

Mineral ... 12

Kalsium ... 13

Besi ... 15

Seng ... 17

Serat Pangan ... 18

Antioksidan ... 19

Vitamin E ... 24

Oryzanol ... 26

Pemanis Rendah Kalori dan Flavor ... 28

Pemanis Rendah Kalori ... 28

Flavor ... 34

Uji Organoleptik ... 35

Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) ... 38

METODE ... 43

Tempat dan Waktu ... 43

Bahan dan Alat ... 43

Metode Penelitian ... 44

Penelitian Tahap I ... 44

(10)

Rancangan Percobaan ... 58

Pengolahan dan Analisis Data ... 59

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 60

Penelitian Tahap I ... 60

Analisis Proksimat dan Serat Pangan ... 64

Kadar Mineral Ca, Fe, Zn dan Bioavailabilitasnya ... 72

Aktivitas Antioksidan, Kadar Vitamin E, dan Oryzanol ... 79

Identifikasi Senyawa Volatil ... 85

Karakteristik Organoleptik Bahan Baku Bubuk Bekatul Awet ... 89

Penelitian Tahap II ... 92

Pembuatan Minuman Fungsional Bubuk Bekatul ... 92

Karakteristik Organoleptik Minuman Fungsional Bubuk Bekatul 93

Informasi Nilai Gizi dan Klaim Kandungan Gizi ... 98

KESIMPULAN DAN SARAN ...

102

Kesimpulan ... 102

Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 104

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Klasifikasi total kolesterol, trigliserida, kolesterol LDL, dan kolesterol

HDL ... 10

2 Beberapa jenis pemanis buatan pengganti sukrosa yang diijinkan penggunaannya di indonesia ... 29

3 Kadar mineral Ca, Fe dan Zn bahan baku bubuk bekatul awet (bk) ... 74

4 Kadar % aktivitas antioksidan dan AEAC pada bubuk bekatul awet ... 80

5 Komponen volatil pada bubuk bekatul padi awet dan bubuk bekatul padi berflavor ... 88

6 Hasil uji hedonik minuman bekatul dengan berbagai flavor ... 94

7 Hasil uji mutu hedonik minuman bubuk bekatul berbagai flavor... 96

8 Informasi Nilai Gizi Minuman Instan Bekatul Padi Berflavor ... 99

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Morfologi biji padi beserta bagian-bagiannya ... 5

2 Tahap Propagasi ... 21

3 Struktur Kima Tokoferol dan Tokotrienol ... 25

4 Struktur Kimia alfa-tokoferol ... 25

5 Struktur Kimia -oryzanol ... 27

6 GC-MS ... 39

7 Bagan Alat Kromatografi Gas ... 41

8 Proses Perlakuan Bahan Baku Bubuk Bekatul Awet ... 45

9 Kandungan Kadar Proksimat Bahan Baku Bubuk Bekatul Awet ... 64

10 Kadar Serat Pangan ... 70

11 Bioavailabilitas Mineral Ca, Fe, dan Zn ... 76

12 Kadar Vitamin E ... 81

13 Kadar Oryzanol ... 84

14 Hasil Kromatogram pada Bekatul dengan Perlakuan tidak Dicampurkan 86

15 Hasil Kromatogram pada Bekatul dengan Perlakuan Dicampurkan ... 86

16 Hasil Kromatogram pada Bekatul dengan Flavor Jasmine Tea ... 87

17 Hasil Uji Hedonik Bahan Baku Bubuk Bekatul Awet ... 90

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Contoh Perhitungan Antioksidan ... 110

2 Formulir uji organoleptik hedonik bahan baku bubuk bekatul awet ... 111

3 Formulir uji organoleptik mutu hedonik bahan baku bubuk bekatul awet 112

4 Formulir uji organoleptik hedonik minuman bekatul dengan berbagai Flavor ... 113

5 Formulir uji organoleptik mutu hedonik minuman bekatul dengan berbagai flavor ... 114

6 Perhitungan Kadar Air ... 115

7 Perhitungan Kadar Lemak ... 115

8 Perhitungan Kadar Protein ... 115

9 Perhitungan Kadar Abu ... 116

10 Perhitungan Kadar Karbohidrat ... 116

11 Perhitungan Kadar Mineral ... 117

12 Hasil Uji k-independent test mutu hedonik bahan baku bekatul ... 118

13 Hasil Uji k-independent test hedonik bahan baku bekatul ... 118

14 Perhitungan Kadar Serat Pangan ... 119

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Meningkatnya kesejahteraan serta ketersediaan pangan telah menimbulkan akibat yang tidak diinginkan yaitu meningkatnya angka kematiaan yang disebabkan penyakit degeneratif. Sebagai gambaran, survey kesehatan rumah tangga di Indonesia tahun 1992 menunjukan bahwa penyebab utama kematian telah bergeser dari penyakit infeksi pada tahun 1986 menjadi penyakit jantung pada tahun 1992. Menurut data Riskesdas 2007 penyebab kematian untuk semua umur telah terjadi pergeseran, dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. Penyebab kematian perinatal (0-7 hari) yang terbanyak adalah respiratory disorders (35.9 %) dan premature (32.3 %), sedangkan untuk usia

(7-28 hari) penyebab kematian yang terbanyak adalah sepsis neonatorum (20.5 %) dan congenital malformations (18.1 %). Penyebab kematian bayi yang terbanyak adalah diare (31.4 %) dan pnemonia (23.8 %). Untuk penyebab kematian anak balita sama dengan bayi, yaitu terbanyak adalah diare (25.2 %) dan pnemonia (15.5 %), Sedangkan untuk usia >50 tahun, penyeban kematian yang terbanyak adalah stroke, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Sementara itu, prevalensi nasional berbagai penyakit kronis yaitu hipertensi pada umur > 18 tahun adalah sebesar 29.8 %, stroke adalah 0.8 %, asma adalah 4.0 %, penyakit jantung 7.2 %, penyakit diabetes mellitus adalah 1.1 % (Depkes 2008). Oleh karena itu, salah satu upaya pencegahan penyakit ini lewat pengaturan konsumsi pangan menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan. Bekatul merupakan salah satu alternatif bahan pangan yang patut dipertimbangkan. Selain bekatul padi kaya akan zat gizi, bekatul juga kaya akan oryzanol yang memiliki sifat hipokolesterolemik.

(15)

thiamin, niasin, vitamin B-6), mineral (besi, fosfor, magnesium, kalium), asam amino, asam lemak esensial, antioksidan, serat pangan, serta komponen yang bersifat hypoallergenic.

Sejauh ini, pemanfaatan bekatul hanya terbatas pada produksi pakan ternak, bahan substitusi pada pembuatan kue-kue kering maupun basah skala rumah tangga. Pemanfaatan bekatul sebagai bahan baku pangan fungsional diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah serta memberikan keuntungan lebih bagi petani. Menurut Hadipernata (2007) pemanfaatan bekatul sebagai produk komersial dewasa ini baru terbatas pada pembuatan minyak.

Hasil penelitian Roy dan Lundy (2005) menunjukkan bahwa bekatul memiliki efek hipokolesterolemik karena mengandung senyawa aktif seperti oryzanol dan tokotrienol, serta serat pangan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pemanfaatan bekatul sebagai pangan fungsional dapat menurunkan kadar kolesterol dalam tubuh. Peningkatan kolesterol tubuh dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan penyakit jantung. Jumlah kematian akibat penyakit jantung di Indonesia pada tahun 2002 yaitu sekitar 14 % dari total kematian (WHO 2006). Oleh karena itu, pengembangan pemanfaatan bekatul sebagai pangan fungsional diharapkan dapat berkontribusi dalam penurunan jumlah kematian akibat penyakit jantung. Bekatul yang kaya akan zat gizi mudah mengalami kerusakan, karena menurut Potter & Hotchkiss (1995) semakin tinggi kandungan zat gizi suatu bahan pangan, maka akan semakin mudah mengalami kerusakan akibat mikroorganisme maupun enzimatis. Menurut Damayanthi (2003) kerusakan pada bekatul diakibatkan oleh aktifnya enzim lipase pada saat penyosohan sehingga perlu penanganan secara cepat. Kerusakan enzimatis ini meyebabkan aroma bekatul menjadi tengik akibat kandungan lemak tak jenuh. Pemanasan dengan menggunakan otoklaf dapat menginaktifasi enzim lipase, serta pengeringan dengan oven dapat menurukan kadar air (Aw), sehingga dapat meningkatkan umur simpan dari produk bekatul. Selain itu, salah satu untuk meningkatkan nilai jual dari bekatul yaitu dengan menjadikan produk bekatul siap seduh serta layak untuk dikonsumsi.

(16)

Tujuan Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengembangan minuman fungsional bubuk bekatul padi siap seduh dengan berbagai flavor untuk pencegahan penyakit tidak menular.

Tujuan khusus

Penelitian ini secara khusus bertujuan :

1. Mempelajari proses pembuatan bubuk bekatul awet siap seduh

2. Mengkaji pengaruh dicampurkan dan tidak dicampurkan bahan yang tidak lolos ayakan 20 mesh terhadap nilai mutu hedonik dan hedonik, sifat kimia ( kadar air, kadar protein, kadar abu, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar vitamin E, kadar antioksidan, kadar serat pangan, kadar mineral Ca, Fe, Zn, kadar oryzanol dan bioavaibilitas mineral Ca, Fe, Zn) dari bahan baku bekatul awet.

3. Melakukan uji organoleptik bubuk bekatul awet siap seduh dengan berbagai jenis flavor untuk mengetahui jenis dan konsentrasi flavor yang paling disukai.

4. Mempelajari kontribusi kalori dan informasi nilai gizi bubuk bekatul padi berflavor.

5. Identifikasi senyawa volatil bahan baku bubuk bekatul awet dan bekatul berflavor.

Manfaat

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Padi

Tanaman padi merupakan tanaman musiman, termasuk golongan rumput-rumputan dengan klasifikasi botani tanaman padi adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monotyledonae Keluarga : Gramineae (Poaceae) Genus : Oryza

Spesies : Oryza sp.

Terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal adalah O. sativa dengan dua subspesies yaitu Indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi cere). Padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi sawah di dataran rendah yang memerlukan penggenangan tanaman padi dapat hidup dengan baik di daerah yang berhawa panas dan banyak mengandung uap air. Dengan kata lain, padi dapat hidup baik pada daerah beriklim panas yang lembab (AAK 1990).

Varietas padi yang ditanam petani dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan genetik yaitu bulu (javanika), indika lokal, dan pengembangan (unggul baru). Selama dua dasawarsa terakhir varietas-varietas unggul berkembang dengan pesat sehingga areal penyebaran varietas-varietas padi lokal makin terdesak. Namun secara umum sifat fisik dan fisikokimia beras dari ketiga kelompok padi tersebut tidak berbeda (Damardjati 1983).

Pengertian Bekatul

(18)

kadang-kadang masih tercampur dengan potongan sekam) umumnya digunakan sebagai pakan. Bekatul merupakan hasil penyosohan kedua (ukuran halus) sering digunakan sebagai bahan pangan. Pemanfaatan dedak atau bekatul masih terbatas, karena hambatan sifat komoditas ini yang mudah rusak atau tengik. Oleh sebab itu, pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan harus segar (tidak lebih 24 jam setelah digiling) (Damayanthi 2004).

Bekatul (rice bran) merupakan bagian luar butiran beras setelah kulit padi (sekam) dan kulit ari dihilangkan dalam proses penggilingan padi menjadi beras. Bekatul juga sekaligus merupakan hasil samping dari penyosohan beras pecah kulit (Soemardi 1975). Juliano (1972) mengemukakan bahwa sebutir gabah terdiri atas pembungkus pelindung luar, sekam, dan karyopsis atau buah (beras pecah kulit). Beras pecah kulit terdiri atas lapisan luar atau perikarp, seed coat dan nucellus, lembaga, dan endosperm. Endosperm terdiri dari kulit ari (aleuron) dan endosperm sesungguhnya yang terdiri dari lapisan sub-aleuron dan endosperm pati. Lapisan aleuron sendiri berbatasan dengan lembaga. Butir padi setiap varietas bervariasi dalam hal bentuk, ukuran, panjang dan lebar. Struktur yang membentuk beras pecah kulit terdiri dari perikarp dengan berat berkisar antara 1-2 %, aleuron dan testa 4-6 %, lembaga 2-3 % dan endosperm 89-94 %. Lembaga terdiri dari epiblast sebesar 0,26%, coleorhiza 0,18 %, plumule 0,34 %, radicle 0,18 % dan scutellum 1,18-1,4 % (Juliano 1972). Struktur gabah utuh

terdapat pada Gambar 1.

Gambar 1 Morfologi biji padi beserta bagian-bagiannya (Encyclopedia Britannica Inc 1996)

(19)

dalam proses pengolahan gabah, mula-mula diperoleh beras pecah kulit dengan hasil ikutan sekam dan dedak kasar. Dalam proses penyosohan ganda, hasil samping penyosohan pertama dan kedua dapat dipisahkan. Dari penyosohan pertama, diperoleh dedak yang terdiri dari bagian perikarp, nuselus, testa, lapisan aleuron dan lembaga, sedangkan dari penyosohan kedua diperoleh bekatul yang mengandung lebih banyak bagian subaleuron dari endosperm (Houston 1972). Dalam penggilingan dan penyosohan gabah, persentasi produk yang dihasilkan adalah beras utuh sekitar 50 %, sekam 20 %, beras pecah (menir) 17 %, dedak sekitar 5-8 % dan bekatul sekitar 2-3 %. Persentase ini bervariasi tergantung varietas dan umur padi dan penyosohan beras (Grist 1965).

Produksi gabah atau padi yang meningkat dari tahun ke tahun akan meningkatkan hasil samping berupa bekatul. Rendemen bekatul dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: derajat penyosohan, derajat masak padi atau gabah, kadar air gabah, jenis alat penyosoh dan lubang pemisah (Soemardi 1975), sedangkan Luh et al. (1991) menyatakan rendemen bekatul dipengaruhi oleh varietas dan umur padi, derajat giling dan cara penyosohan.

Menurut Damayanthi et al. (2003; 2009) jika dilihat dari segi gizi, bekatul merupakan bahan pangan yang menghasilkan energi, kaya akan serat, serta mengandung protein yang tinggi, bahkan bekatul mengandung asam amino lisin yang lebih tinggi dibandingkan beras. Telah banyak dilakukan penelitian yang mengkaji peranan bahan pangan dalam menurunkan kadar kolesterol darah dan pencegahan pembentukan plak. Intervensi minuman bekatul terhadap penderita kista ternyata menunjukkan penurunan kadar kolesterol plasma contoh secara nyata.

Minyak jagung kaya akan suatu komponen aktif yaitu oryzanol yang bersifat antioksidan. Aktivitas antioksidan oryzanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan tokoferol (Xu & Godber 1999). Besarnya aktivitas antioksidan pada sari buah tomat dan bekatul berturut-turut adalah 60.74 dan 83.89 %. Hal ini mengindikasikan bahwa bekatul mempunyai kemampuan mereduksi radikal bebas lebih besar (effektif) dibandingkan sari buah tomat (Damayanthi et al. 2010).

(20)

berdasarkan penelitian Damayanthi et al. (2003), kandungan oryzanol di dalam minyak dari bekatul padi awet adalah sekitar 1770 mg/ 100 g minyak.

Minyak bekatul dapat menurunkan secara nyata kolesterol plasma total pada penderita hiperkolesterol. Pemberian minyak bekatul sebagai minyak untuk memasak sebanyak 39 g/hari selama 15 hari menyebabkan penurunan kolesterol plasma total sebesar 17 %. Pemberian dalam jumlah yang sama selama 30 hari dapat menurunkan kolesterol plasma total sebesar 26 %. Kemampuan minyak bekatul menurunkan kadar kolesterol disebabkan oleh adanya oryzanol dan komponen lainnya dari bahan yang tidak dapat disabunkan (Raghuram et al. diacu dalam Kahlon & Chow 1997).

Minyak bekatul padi dan -oryzanol dapat menurunkan konsentrasi lipid plasma dan kolesterol lipoprotein, namun terjadi akumulasi ester kolesterol aorta yang lebih banyak dibandingkan dengan asam ferulat pada hamster hiperkolesterolemik. Mekanisme penurunan kadar kolesterol akibat minyak

bekatul padi, -oryzanol dan asam ferulat di dalam Golden Syrian Hamster

(Mesocricetus auratus) dilaporkan terjadi melalui peningkatan yang besar eksresi kolesterol dan metabolitnya di feses. Namun demikian asam ferulat memiliki kapasitas antioksidan lebih besar melalui kemampuannya untuk menjaga kandungan vitamin E serum dibandingkan minyak bekatul padi dan oryzanol.

Baik -oryzanol dan asam ferulat disimpulkan memiliki sifat anti atherogenik yang serupa, tetapi diduga melalui mekanisme yang berbeda (Wilson et al. 2007). Minyak bekatul padi mampu menekan respon hiperlipidemik dan hiperinsulin pada tikus hiperlipidemik. Mekanisme penurunan kolesterol oleh minyak bekatul padi pada hiperlipidemik dan perkembangan diabetes di dalam tikus dilaporkan melalui peningkatan 7α-hydroxilase kolesterol hati, LDL-reseptor hati dan 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzim A reductase mRNA hati. Kandungan

yang tinggi dari γ-oryzanol dan γ-tokotrienol di dalam minyak bekatul padi dapat menyebabkan peningkatan neutral sterol feses dan eksresi asam empedu, melalui upregulation dari sintesis kolesterol dan metabolisme (Chen & Cheng 2006).

(21)

Aktivitas antioksidan oryzanol lebih tinggi daripada vitamin E yang juga terdapat pada minyak bekatul padi (Xu dan Godber 1999; Xu et al. 2001).

Minyak bekatul padi, fraksi bahan tak tersabunkan dan oryzanol terbukti dapat menghambat oksidasi LDL manusia secara in vitro. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya kandungan malonaldehid LDL yang plasmanya telah disuplementasi minyak bekatul dan fraksinya dibandingkan kontrol. Persentase

malonaldehid -VLDL dan LDL manusia menurun sangat nyata (p=0.05) sebesar

15-41 % (LDL) dan 39-56 % (-VLDL). Sebagai antioksidan minyak memiliki kapasitas relatif paling besar, kemudian fraksi tak tersabunkan dibandingkan oryzanol. Untuk keperluan kesehatan, minyak bekatul padi lebih berpotensi

sebagai antioksidan LDL dibandingkan -oryzanol yang disebabkan oleh rendemennya yang lebih tinggi (Damayanthi 2004).

Fitosterol dalam minyak bekatul padi ini jika dimasukkan ke dalam pembuatan margarin dan dikonsumsi oleh laki-laki dan perempuan yang normolipedemik sebanyak 2.1 g /hari maka total kolesterol menurun 5 persen dan kolesterol LDL menurun 9 persen. Hal ini diduga disebabkan oleh -sitosterol

dan 4-desmethylsterol dan bukan 4.4-dimethylsterol seperti cycloartenol dan 24- methylene cycloartanol (Most et al. 2005).

Hubungan Kolesterol dan Trigliserida

Kolesterol adalah sterol utama pada jaringan hewan yang merupakan lipid berantai panjang dan merupakan komponen penting dari lipoprotein plasma dan membrane sel bagian luar, memiliki cincin tidak jenuh serta merupakan prekursor asam empedu, hormon sek, dan vitamin D. Selain itu kolesterol diperlukan karena merupakan komponen esensial membran struktur semua sel, dan komponen utama sel otak dan saraf. Kolesterol hanya terdapat di dalam makanan asal hewan (Brody 1999).

Sebagian besar kolesterol disintesis dalam tubuh, terutama dalam hati dan intestin, dalam sel-sel permukaan dan jaringan. Sintesis endogen adalah control feedback oleh kolesterol. Dengan demikian apabila konsumsi kolesterol (dari

(22)

Trigliserida merupakan senyawa pokok penyusun lemak yang terdiri dari tiga molekul asam lemak yang teresterifikasi pada gliserol. Trigliserida terdapat pada sebagian besar lemak nabati dan hewani, sehingga banyak dikonsumsi oleh manusia (Silalahi 2006; Sipan dan Winarto 2007). Level trigliserida dikenal sebagai faktor risiko penyakit jantung koroner. Jika seseorang memiliki level trigliserida yang tinggi maka level kolesterol HDL biasanya rendah. Faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya level trigliserida pada seseorang adalah diet, estrogen, alkohol, obesitas, penyakit liver dan penyakit ginjal kronik (Mahan dan Stump 2008).

Kolesterol tidak larut dalam darah. Agar dapat diangkut dalam aliran darah kolesterol bersama dengan lemak-lemak lain (trigliserida dan fosfolipid) harus berikatan dengan protein untuk membentuk senyawa yang larut dan dinamakan dengan lipoprotein. Brody (1999), menyatakan bahwa lipoprotein adalah senyawa yang tersusun atas protein dan lipida yang berperan penting dalam metabolisme sel dan tubuh. Mahan dan Stump (2008) menambahkan bahwa lipoprotein dalam darah membentuk lima kelompok berdasarkan komposisi, ukuran dan densitasnya yaitu : 1) kilomikron, 2) very low density lipoprotein (VLDL), 3) intermediate density lipoprotein (IDL), 4) low density lipoprotein (LDL), dan 5) high density lipoprotein (HDL).

Kilomikron adalah lipoprotein yang mengangkut lipida yang berasal dari makanan (terutama trigliserida) dari saluran cerna ke seluruh tubuh. VLDL adalah lipoprotein yang membentuk kilomikron pada plasma darah dan berperan dalam pengangkutan trigliserida. IDL adalah lipoprotein yang terbentuk melalui katabolisme VLDL dan merupakan precursor LDL. LDL adalah lipoprotein yang berperan mengangkut kolesterol sehingga tidak terjadi pengendapan dalam pembuluh darah, sedangkan HDL adalah lipoprotein yang berperan dalam pengangkutan kolesterol tetapi lebih cenderung meresirkulasi kolesterol dari dinding tabung dan dapat mencegah berkembangnya gangguan kardiovaskular (Mahan dan Stump 2008; Brody 1999).

(23)

diuraikan lalu dibuang ke dalam kantung empedu sebagai asam empedu. Klasifikasi total kolesterol, trigliserida, kolesterol LDL, dan kolesterol HDL dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Klasifikasi total kolesterol, trigliserida, kolesterol LDL, dan kolesterol HDL

Komponen Lipid Batasan (mg/dL) Klasifikasi

Kolesterol Total < 200 Normal

200-239 Batas Tinggi

≥ 240 Tinggi

< 100 Optimal

Kolesterol LDL 100-129 Mendekati Optimal

130-159 Batas Tinggi

160-189 Tinggi

≥ 190 Sangat tinggi

Kolesterol HDL < 40 Rendah

≥ 60 Tinggi

Trigliserida < 150 Normal

150-199 Batas Tinggi

200-499 Tinggi

≥ 500 Sangat Tinggi

Sumber : Mahan dan Stump (2008)

Produk Fungsional untuk Penyakit Kronis

Terdapat hubungan yang kuat antara jenis pangan yang dikonsumsi dengan kesehatan tubuh seseorang. Salah satu contohnya adalah konsumsi lemak khususnya asam lemak jenuh yang terlalu banyak, tetapi sebaliknya konsumsi serat, sayuran, dan buah yang rendah dapat mengakibatkan penyakit jantung dan kanker. Saat ini pengetahuan tentang peranan berbagai komponen pangan pada pencegahan dan pengobatan penyakit tertentu, yang disebut dengan komponen bioaktif pangan, telah berkembang sedemikian pesatnya. Seiring dengan hal tersebut, teknologi-termasuk bioteknologi dan rekayasa genetik-telah menciptakan penemuan sains, inovasi produk dan produksi massal. Pengembangan ini menghasilkan bertambah besarnya jumlah produk yang berpotensi bagi kesehatan, yang disebut dengan pangan fungsional. Istilah pangan fungsional ditujukan bagi makanan yang dapat melindungi dan mengobati penyakit (Goldberg 1994).

(24)

direkomendasikan untuk memanfaatkan minyak bekatul di dalam bahan pangan karena adanya kandungan tokoferol dan oryzanol (McCaskill dan Zhang 1999).

Selama ini bekatul padi sebagai hasil samping penggilingan padi bersifat limbah dan dimanfaatkan sebagai makanan ternak (pakan) dengan nilai ekonomi yang rendah. Sebenarnya bekatul padi dapat dipakai sebagai bahan baku industri farmasi dan makanan manusia. Dengan penemuan lembaga Eykman Jakarta, bekatul padi dapat diekstrak untuk sumber vitamin B. Untuk makanan manusia, bekatul padi dapat dicampur dengan bahan lain pada pembuatan biskuit, kue dan minuman fungsional. Penggunaan bekatul secara komersial di luar negeri baru pada pengekstrakan bekatul untuk minyak goreng dan bahan pembuatan sabun (Tangenjaya 1991).

Pemanfaatan bekatul yang telah diawetkan dengan ekstruder sebagai makanan sarapan sereal dilaporkan oleh Damardjati dan Luh (1986). Tepung beras : bekatul dari perbandingan 90 : 10 sampai dengan 30 : 70 dicampur lalu diekstrusi pada kadar air 21 %. Hasilnya berbentuk ekstrudat yang terbagi dua yaitu irregular round untuk kadar bekatul sedang (10-30 %) dan oblonglon rectangular untuk kadar bekatul tinggi (50-70 %). Peningkatan penambahan bekatul sampai 30 % akan menurunkan viskositas awal, indeks penyerapan air, sebaliknya meningkatkan indeks kelarutan air dan densitas kamba. Substitusi bekatul padi 15 % pada terigu dilaporkan memberikan hasil yang optimal terhadap penerimaan cookies dan roti manis metode dough sponge dan straight dough. Substitusi ini meningkatkan kandungan serat pangan (hemiselulosa,

selulosa, dan lignin) dan niasin pada produk (Muchtadi et al. 1995).

Substitusi tepung bekatul padi varietas IR 64 terhadap tepung terigu atau tepung beras pada bolu kukus memberikan penerimaan yang baik dengan substitusi hingga 45 %, sedangkan besar substitusi pada risoles, nagasari, dan cucur masing-masing sebesar 55 % (Damayanthi et al. 2001).

(25)

sebagai sumber serat dan vitamin yang cukup baik dapat dikembangkan sebagai minuman fungsional yang dapat memberikan efek fisiologis bagi tubuh. Pangan, termasuk minuman fungsional didefinisikan sebagai suatu makanan atau minuman yang dimodifikasi dengan ditambahkan satu atau lebih komponen bahan alami. Minuman fungsional, dapat menguntungkan kesehatan di samping adanya zat-zat nutrisi, dan secara tidak langsung berfungsi dalam pencegahan dan pengobatan penyakit (Goldberg 1994).

Departemen Kesehatan Jepang telah mengidentifikasi minimal terdapat 12 komponen yang dipertimbangkan dapat meningkatkan kesehatan, yaitu serat kasar makanan, oligosakarida, gula alkohol, asam amino, peptida dan protein, glikosida, alkohol, isoprenoid, vitamin, kolin, bakteri asam laktat, mineral, Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA) atau asam lemak tidak jenuh (ALTJ) jamak,

fitokimia, dan antioksidan (Goldberg 1994).

Suatu produk dapat dikategorikan dalam kelompok pangan fungsional bila berupa pangan dan dikonsumsi sebagai bahan pangan sehari-hari, mempunyai fungsi tertentu saat dicerna atau selama proses metabolisme di dalam tubuh dan mengandung komponen bioaktif. Suatu produk pangan fungsional juga harus memiliki 3 fungsi dasar yaitu : (1) sensorik (warna dan penampilan menarik, serta citarasa enak); (2) nutrisional (bernilai gizi tinggi); dan (3) fisiologis (dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi tubuh). Fungsi fisiologis tersebut meliputi pencegahan timbulnya penyakit, peningkatan daya tahan tubuh, pengatur kondisi ritme fisik tubuh, perlambatan proses aging, dan penyembuhan kembali (Goldberg 1994).

Menurut Hilliam (2000), pemasaran produk pangan fungsional memiliki kecepatan pertumbuhan sebesar 15-20 % per tahun. Hal tersebut didukung oleh semakin banyaknya masyarakat yang tertarik akan pangan fungsional. Menurut Milner (2000), hal tersebut dikarenakan biaya kesehatan makin mahal, banyaknya penemuan-penemuan oleh ilmuwan di bidang pangan dan kesehatan yang menarik, serta adanya perundang-undangan yang melindungi dan mengatur tentang penggunaan makanan sehat.

Mineral

(26)

hormone tiroksin. Di samping itu mineral berperan dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim-enzim (Almatsier 2006).

Menurut Soekirman (2000) masalah gizi mikro yang mendapat perhatian lebih besar secara internasional adalah kurang zat besi, kurang zat iodium, kurang vitamin A, dan kurang zat seng (Zn). Urutan pentingnya masalah dapat berubah dari waktu kewaktu, tergantung pada prevalensi, kemajuan penanggulangan, dan hasil penelitian baru.

Defisiensi zat gizi mikro khususnya Fe, Zn, dan vitamin A merupakan masalah yang dihadapi oleh sebanyak 3 miliar manusia. Prevalensi defisiensi vitamin A pada anak dan ibu hamil di Asia mencapai 30-48 % (Riskesdas 2007) Kalsium

Kalsium merupakan mineral yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang paling banyak. Kalsium sebagian besar berperan sebagai komponen skeleton yang membentuk garam dengan fosfat. Kalsium juga berperan dalam aktivasi sejumlah enzim hidrolitik, dalam pembekuan darah, dan mengontrol cairan melalui membrane sel (Brody 1994).

Penyerapan kalsium dalam tubuh dalam keadaan normal sebanyak 30-50 %. Kalsium harus berada dalam lingkungan asam agar mudah diabsorpsi dengan cara mempertahankannya dalam bentuk ionik. Kalsium ditransportasikan dalam aliran dalam bentuk ion kalsium bebas atau terikat dengan protein. Konsentrasi kalsium dalam darah diregulasi oleh hormonkontrol, jika konsentrasinya rendah, kelenjar paratiroid akan melepaskan hormon paratiroid. Hormon paratiroid meningkatkan kalsium darah melalui tiga jalur yaitu menstimulasi perombakan kalsium dari tulang, meningkatkan retensi kalsium dalam ginjal, dan mengaktifkan vitamin D. Hal yang sebaliknya jika konsentrasi kalsium dalam darah meningkat, kelenjar tiroid akan melepaskan kalsitonin yang akan mengembalikan konsentrasi kalsium ke dalam keadaan normal dengan cara mengurangi perombakan kalsium dari tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium dalam ginjal (Bredbenner et al. 2007).

(27)

perempuan. Kalsium akan terserap lebih banyak dan efisien jika kebutuhan semakin tinggi dan persediaan semakin rendah dalam tubuh. Kebutuhan kalsium akan meningkat dalam masa pertumbuhan, saat hamil, menyusui, defisiensi kalsium, dan tingkat aktifitas fisik yang meningkatkan densitas tulang. Vitamin D dalam bentuk aktif 1.25(OH)D3 dapat meningkatkan penyerapan kalsium pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium. (Almatsier 2004).

Allen (1982) menyatakan bahwa penyerapan kalsium dipengaruhi oleh komponen makanan yaitu fosfor, protein, komponen tumbuhan (serat, fitat, dan oksalat), laktosa dan lemak. Almatsier (2004) menyatakan bahwa asam oksalat pada sayuran dapat menghambat penyerapan kalsium dengan membentuk garam kalsium oksalat yang tidak larut. Begitupun asam fitat, ikatan yang mengandung fosfor yang terdapat dalam sekam serelia, akan menghambat penyerapan kalsium dengan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut. Serat dapat menurunkan penyerapan kalsium dengan cara menurunkan waktu transit makanan di dalam saluran cerna sehingga kesempatan untuk penyerapan berkurang.

Bioavailabilitas kalsium dapat diukur dengan metode in vivo atau in vitro. Metode in vivo dapat dilakukan dengan metode keseimbangan kalsium dan isotop kalsium yang mengukur absorpsi kalsium secara langsung pada manusia atau hewan (Allen 1982). Adapun metode in vitro dilakukan dengan simulasi proses pencernaan makanan pada saluran pencernaan dengan menggunakan enzim komersial. Enzim yang digunakan adalah enzim pepsin dan pankreatin bile yang berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Roig et al. 1999). Prinsip metode in vitro ini adalah teknik dialisis menggunakan kantung dialisis. Dialisis berfungsi dalam memisahkan molekul-molekul besar dan molekul-molekul kecil berdasarkan sifat membran semi permeabel dengan cara menahan molekul besar dan membiarkan molekul kecil (Nur et al. 1989).

(28)

menguntungkan karena dapat dilakukan dengan cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008).

Pemanggangan dengan oven dapat mengubah ketersediaan zat gizi mineral tertentu seperti kalsium. Fitin dalam bekatul gandum dapat mengkompleks kalsium dengan erat dan mungkin kation lain sehingga tidak tersedia untuk diserap. Ranhotra (1972) dalam Harris menyatakan bahwa hidrolisis yang berarti pada asam fitat akan membebaskan fosfor anorganik dan mengurangi pengikatan kalisum dan besi dan hal ini terjadi selama fermentasi ketika membuat roti. Pemanggangan juga mengakibatkan susutnya lisin produk akhir asam amino (Harris & Karmas 1975).

Besi

Besi dibutuhkan sebagai komponen dalam hemoglobin darah yang membawa oksigen dan mioglobin otot yang menyimpan oksigen (Brody 1994). Menurut Muchtadi (1989), zat besi dalam tubuh dapat ditemukan dalam hemoglobin atau pigmen respirasi (60-70 % total besi), mioglobin atau protein otot bergaris yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen, enzim-enzim heme Intraseluler (katalase dan sitokrom oksidase), metalo protein (aktinoksidase, suksino dehidrogenase, DPNH sitoreduktase), kromatin, ferritin atau cadangan zat besi dalam jaringan retikuloendotelial (15 % total besi), dan transferin atau bentuk transpor besi yang terikat pada beta-globulin (0.1 % total besi).

Besi berperan dalam metabolisme energi dengan cara bekerjasama dengan rantai protein pengangkut elektron yang berperan dalam langkah-langkah akhir metabolisme energi. Protein memindahkan hidrogen dan elektron yang berasal dari zat gizi penghasil energi ke oksigen sehingga membentuk air yang menghasilkan ATP (Almatsier 2004). Rolfes dan Whitney (2008) menjelaskan bahwa setiap sel besi bekerjasama denganbeberapa protein rantai transpor elektron dalam melaksanakan tahapan akhir jalur metabolik yang menghasilkan energi. Proten memindahkan hidrogen dan elektron dari zat-zat gizi penghasil energi kepada oksigen, membentuk air, dan berperan dalam proses pembentukan ATP yang akan digunakan oleh sel.

(29)

gugus hemenya melalui pencernaan protein yang terjadi di lumen duo denum. Gugus besi heme yang telah dibebaskan dari proto forforin dengan bantun enzim hemo oksigenase yang memecah cincin porfirin akan menghasilkan ion ferri (Fe3+), biliverdin, dan gas CO2 (Fairbank 1999).

Besi non heme harus berada dalam bentuk terlarut (Fe2+) agar dapat diserap dalam tubuh di usus halus. Oleh karena itu, besi nonheme akan diionisasi oleh asam lambung, direduksi dalam bentuk ferro dan selanjutnya dilarutkan dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula, dan asam amino yang mengandung sulfur (Fairbanks 1999). Besi heme dan nonheme akan melawati jalur yang sama setelah meninggalkan sel mukosa usus dalam bentuk yang sama dengan alat angkut yang sama.

Menurut Rolfes dan Whitney (2008), bentuk zat besi yang terkandung dalam makanan juga mempengaruhi bioavailabilitas zat besi karena kelarutan besi dalam medium intralumenalsaluran pencernaan merupakan prasyarat bagi absorbsi. Garam ferro sederhana lebih mudah diserap daripada garam kompleks dan garam ferri. Besi ferro memiliki ketersediaan atau bioavailabilitas lebih tinggi karena kelarutannya lebih besar pada pH saluran cerna usus yang basa. Besi ferri akan mengendap sebagai ferri oksida pada pH di atas 3.5 sehingga berkurang kelarutannya dan lebih sulit untuk diserap oleh usus. Oleh karena itu besi ferro dapat diserap 3 kali lebih besar dari pada besi ferri.

Muhilal et al. (1998) mengklasifikan makanan sehari-hari berdasarkan kemampuan tubuh dalam mengabsorbsi zat besi dari makanan tersebut, yaitu absorbsi besi rendah atau sama dengan 5 %, absorbsi besi sedang atau sama dengan 10 %, dan absorbsi besi tinggi atau sama dengan 15 %. Adapun Whitney et al. (1998) mengkategorikan ketersediaan besi nonheme dalam makanan berdasarkan penyerapannya, yaitu ketersediaan tinggi jika besi nonheme diserap sebesar 8 %, ketersediaan sedang jika besi nonheme diserap sebesar 5 %, dan ketersediaan rendah jika besi nonheme hanya diserap sebesar 3 %.

(30)

besi juga dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh. Penyerapan besi meningkat jika tubuh kekurangan besi atau kebutuhan meningkat pada masa pertumbuhan, penyerapan besi nonheme dapat meningkat sampai sepuluh kali sedangkan besi heme dua kali (Almatsier 2004).

Seng ( Zine )

Seng merupakan salah satu mineral yang terdapat dalam semua organ dan jaringan serta cairan tubuh. Total seng dalam tubuh adalah 1.5-2.5 g (Gropper et al. 2005). Seng berfungsi dalam sintesis DNA dan RNA, metabolisme alkohol, sintesis heme, pembentukan tulang, keseimbangan asam basa, fungsi imun, pertumbuhan dan perkembangan, dan pertahanan antioksidan (Bredbenner et al. 2007).

Seng/zine ditemukan dalam makanan berikatan kompleks dengan asam amino yang merupakan bagian dari peptida dan protein dan dengan asam nukleat. Sumber seng yang baik terdapat pada daging merah dan makanan laut. Produk hewani mengandung seng antara 40-70 %. Seng juga terdapat pada gandum dan sayuran. Seng dalam tanaman lebih rendah penyerapannya dalam tubuh dibandingkan dengan seng dalam hewan (Gropper et al. 2005).

Menurut Bredbenner et al. (2007), faktor-faktor yang meningkatkan penyerapan seng adalah asupan seng yang kurang, defisiensi seng, asupan protein hewani dan kebutuhan yang tinggi terhadap seng. Adapun faktor-faktor yang menurunkan penyerapan seng adalah asam fitat dan serat pada serealia, asupan seng yang berlebih, asupan zat besi non-heme yang tinggi, dan status seng yang baik.

Fitat atau asam fitat yang ditemukan dalam tanaman seperti kacang-kacangan dan sereal dapat menghambat penyerapan seng. Fitat mengikat seng menggunakan oksigen membentuk ikatan kompleks yang tidak dapat larut dan sulit dicerna. Fermentasi pada roti dapat mengurangi kandungan fitat dan meningkatkan penyerapan seng (Gropper et al. 2005).

Oksalat atau asam oksalat yang ditemukan dalam makanan seperti bayam, coklat, dan teh, juga dapat mengikat seng sehingga seng sulit dicerna. Poliphenol yang terdapat pada teh dan serat pada sayuran dan buah-buahan juga dapat mengikat seng sehingga menghambat penyerapannya (Gropper et al. 2005).

(31)

positif dengan protein, asam amino dan atau mineral dalam makanan. Ikatan kompleks yang dihasilkannya tidak dapat larut, manusia tidak dapat menghidrolisisnya selama pencernaan, dan zat-zat gizi yang ada menjadi berkurang penyerapannya. Fitat membentuk ikatan konjugasi dengan mineral penting seperti kalsium, magnesium, cu, besi (Fe2 dan Fe3+), seng, cobalt, dan manganese. Beberapa faktor yang mempengaruhi fitat pada bioavailabilitas mineral adalah pH, ukuran dan valensi mineral, mineral dan konsentrasi dan rasio fitat, dan matriks makanan termasuk keberadaan pendukung atau penghambat (Bredbenner et al. 2007).

Menurut penelitian Cook (1997) bahwa terdapat korelasi positif antara penyerapan besi dengan kandungan fitat pada sereal pada orang dewasa muda dengan r =-0.801, p < 0.02. molar rasio setiap mineral berbeda-beda yang dapat dipengaruhi oleh fitat. Molar rasio fitat dengan seng merupakan faktor utama yang mempengaruhi bioavailabilitas seng pada tikus pada sarapan sereal (Morris 1981). Rasio molar fitat dengan seng>10 berisiko dengan gejala defisiensi seng (Morris 1980). Rasio Fe2+ dengan seng > 14.2 menurunkan bioavailabiltas. Rasio fitat dengan kaslium>0.24 menurunkan bioavailabilitas kalsium. Hidrolisis fitat selama fermentasi secara signifikan dapat meningkatkan bioavailabilitas mineral (Ca, Mg, Copper, Seng, dan besi) (Bredbenner et al. 2007).

Serat Pangan (Dietary Fiber)

Serat pangan dapat dikatakan sebagai komponen bahan makanan non-gizi, tetapi akan sangat menyehatkan jika di konsumsi secara teratur dan seimbang setiap hari. Serat pangan berbeda dengan serat kasar (crude fiber). Serat kasar adalah bagian dari tanaman pangan yang tersisa atau tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia. Jika dibandingkan dengan serat pangan, serat kasar memilki nilai lebih kecil sekitar 1/3-1/2 dari nilai serat pangan (Sulistijani 2002). Serat pangan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan.

(32)

Menurut Linder (1992) ada korelasi langsung antara kadar serat pangan (selulosa dan hemiselulosa) dan gerak laju zat-zat makananyang dicerna melalui saluran pencernaan. Diet yang mengandung selulosa, serat akan berjalan lebih cepat karena meningkatnya volume feses.

Pengaruh konsumsi serat pangan pada kadar kolesterol tinggi telah dibuktikan pada pasien sukarelawan, yang kemudian dibuktikan pada hewan percobaan, bahwa pasien yang memiliki kandungan kolestrerol tinggi tetapi rendah konsumsi serat bahan makanan, dengan meningkatkan konsumsi serat pangan akan secara nyata turun kadar kolesterol dalam darahnya, terutama bila hal tersebut dilakukan secara terus menerus. Fungsi serat pangan dalam hal ini ternyata melibatkan asam empedu (bile acid). Pasien dengan konsumsi serat pangan yang tinggi dapat mengeluarkan lebih banyak asam empedu, juga lebih banyak sterol dan lemak dikeluarkan bersama feses. Serat pangan ternyata dapat mencegah terjadinya penyerapan kembali asam empedu, kolesterol, dan lemak (Winarno 2002).

Antioksidan

Antioksidan merupakan substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan oxidative stress. Secara umum, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas. Antioksidan dinyatakan sebagai senyawa yang secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi rendah dibandingkan substrat yang dapat dioksidasi (Pokorny 2001).

(33)

pemutus rantai dan pencegah digunakan secara bersamaan, rantai inisiasi dan propagasi keduanya dapat dihambat.

Secara alami tubuh dapat memproduksi antioksidan secara spontan. Antioksidan yang diproduksi dari dalam tubuh (endogen) berupa tiga enzim yaitu, superoksida dismutase (SOD), glutation peroksidase (GSH Px), dan katalase. Kerja ketiga enzim tersebut dibantu oleh asupan antioksidan dari luar (eksogen) yang berasal dari bahan makanan. Misalnya, vitamin E, C, betakaroten dan senyawa flavonoid yang diperoleh dari tumbuhan. Antioksidan memberikan perlindungan kepada tubuh dari ancaman radikal bebas dan berfungsi untuk menetralisasi atau melawan radikal bebas. Lebih dari 30.000 penelitian telah dilakukan, yang hasilnya menunjukkan bahwa antioksidan membantu menyehatkan tubuh manusia, di antaranya memperkuat fungsi kardiovaskular, mata, sistem saraf pusat, kulit, dan banyak lagi. Antioksidan juga dapat memperlambat proses penuaan seseorang (Sianturi 2006).

Menurut Cuppet et al. (1997), antioksidan merupakan suatu senyawa yang ketika berada pada konsentrasi rendah dibandingkan dengan subtrat yang dapat dioksidasi, secara nyata dapat memperlambat oksidasi subtrat tersebut. Antioksidan terdapat secara alami dalam hamper semua bahan pangan. Antioksidan bereaksi dengan oksidan sehingga mengurangi kapasitas oksidan untuk menimbulkan kerusakan. System antioksidan tubuh mampu melindungi jaringan tubuh itu sendiri dari efek negative radikal bebas. Nawar (1985), menjelaskan bahwa antioksidan dapat menunda terjadinya reaksi oksidasi atau memperlambat kecepatan reaksi oksidasi yang terjadi pada bahan yang dapat teroksidasi. Akan tetapi tidak dapat memperbaiki minyak yang telah mengalami ketengikan karena antioksidan ini bekerja pada saat sebelum terjadinya ketengikan (Coppen 1983).

Jenis antioksidan sangat beragam. Inglod diacu dalam Gordon (1990), mengklasifikasikan antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer atau antioksidan pemecah rantai (Chain-Breaking Antioxidant) dapat beraksi dengan radikal lemak dan mengubahnya menjadi produk yang stabil. Contoh antioksidan

(34)

inisiasi melalui berbagai mekanisme, seperti melalui pengikatan ion-ion logam, penangkapan oksigen, penguraian hidroperoksida menjadi produk-produk non radikal. Menurut Winarno (1995) antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergik. Contoh antioksidan sekunder antara lain asam sitrat dan EDTA (Etylene-diaminetetra-acetic-acid).

Selanjutnya Gordon (1990) menjelaskan suatu molekul dapat disebut antioksidan primer, jika molekul tersebut dapat memberikan sumbangan atom hidrogen secara cepat pada radikal lipid dan jika radikal yang diturunkan dari antioksidan (A*) lebih stabil dibandingan dengan radikal lipid atau dapat diubah menjadi produk lain yang lebih stabil (reaksi 7).

A* + A*  A – A (reaksi 7)

Hamilton (1983), menjelaskan reaksi penghambatan antioksidan primer (AH) pada tahap propagasi dari reaksi oksidasi sebagai berikut:

ROO* + AH  ROOH + A* (reaksi 8)

A* + ROO*  produk non radikal A* + A*  produk non radikal

Seperti dikemukakan sebelumnya, menurut Nawar (1985), pada tahap propagasi radikal lipid (R*) yang dihasilkan dari tahap inisiasi akan bereaksi dengan oksigen (O2) menghasilkkan radikal peroksida (ROO*) yang selanjutnya bereaksi dengan molekul lipid (RH) menghasilkan hidroperoksida (ROOH) dan radikal lipid (R*) yang selanjutnya akan bereaksi kembali dengan oksigen, sehingga reaksi ini disebut reaksi berantai. Skema dari tahap propagasi tersebut, yang menghasilkan hidroperoksida disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Tahap propagasi (Nawar 1985)

(35)

selanjutnya diubah menjadi hidroperoksida oleh elektron donor (reaksi 9), atau dapat secara langsung diubah menjadi hidroperoksida oleh sebuah elektron donor yang dapat merupakan antioksidan (AH) (reaksi 8), sehingga pembentukkan radikal lipid (R*) akan terhambat yang menyebabkan rantai tahap propagasi terputus yang pada akhirnya akan menghambat pembentukkan hidroperoksida (ROOH).

ROO* +e ROO- H+ ROOH (reaksi 9) Menurut Hamilton (1983), antioksidan sekunder bekerja dengan cara melalkukan inaktivasi ion logam yang dapat mengkatalis rantai inisiasi, yang termasuk antioksidan jenis ini antara lain asam sitrat dan asam askorbat. Beberapa antioksidan sekunder dapat pula mengabsorbsi radiasi tanpa membentuk radikal. Penil salsilat dan hidrobenzopenon merupakan contoh UV deaktivators.

Keefektifan dari antioksidan berhubungan dengan banyak faktor meliputi energi aktivasi, konstanta kecepatan reaksi, potensial oksidasi reduksi, kemudahan antioksidan untuk hilang atau rusak dan sifat-sifat kelarutannya (Nawar 1985). Menurut Gordon (1990), efektivitas dari antioksidan tergantung pada beberapa faktor termasuk struktur, kondisi oksidasi dan bahan yang dioksidasi. Seringkali aktivitas dari antioksidan yang berupa senyawa penol hilang pada konsentrasi dan antioksidan itu dapat menjadi prooksidan.

Menurut Pokorny et al. (2008) sumber antioksidan digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik yang diperoleh dari sintesa reaksi kimia dan antioksidan alami. Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan atau diisolasi dari sumber alami kemudian ditambahkan ke dalam makanan sebagai bahan tambahan makanan.

Senyawa antioksidan alami pada umumnya merupakan kelompok fenolik atau polifenolik dari sumber tanaman. Antioksidan alami yang paling umum adalah flavonoid (flovanol, isoflovanol, flavon, katekin dan flavanon) derivat asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam organik polifungsional (Pratt & Hudson 1990). Antioksidan alami dari makanan dapat berasal dari (a) senyawa endogenous dari satu atau lebih komponen bahan pangan, (b) substansi yang

(36)

Antioksidan alami banyak terdapat dalam seluruh bagian tanaman dari tanaman akar, daun, bunga, biji, batang dan sebagainya. Menurut Pratt dan Hudson (1990), senyawa-senyawa yang umumnya terkandung dalam antioksidan alami antara lain fenol, polifenol dan yang paling umum adalah flavanoid (flavanol, isoflavon, flavon, katekin, flavonon), karotenoid, turunan asam

sinamat, α-tokoferol dan asam organik polifungsi. Tokoferol berfungsi sebagai antioksidan, sedangkan komponen oryzanol merupakan fitrosterol suatu eter senyawa asam ferulat yang dapat menurunkan kolesterol serum manusia (Wilkinson & Champagne 2004). Asam pangamat berfungsi sebagai antioksidan, membantu menurunkan kadar kolesterol darah dan sintesis protein (Damayanthi et al. 2007).

Antioksidan alami dapat berfungsi dengan satu atau lebih cara yaitu sebagai senyawa pereduksi, sebagai penghambat radikal bebas, sebagai pembentuk komplek dengan logam prooksidan, dan sebagai penekan oksigen singlet (Pratt & Hudson 1990). Menurut Gordon (1990), oksigen singlet merupakan bentuk oksigen yang sangat reaktif dan dapat dnegan cepat bereaksi dengan molekul lipid untuk memulai reaksi rantai oksidasi.

Antioksidan sintetik yang umumnya digunakan dalam produk pangan antara lain BHA (Butylated Hidryoxyanisole), BHT (Butylated Hydroxytoluene), PG (Propil Galat), dan TBHQ (Tri-Butylhydroxyquinone). BHA dan BHT sangat efektif untuk lemak hewan, sedangkan PG selain untuk lemak hewan juga baik untuk minyak nabati walaupun senyawa ini menimbulkan perubahan warna jika terdapat besi dan air. Kecenderungan perubahan warna dalam PG tidak terjadi pada TBHQ (Karyadi 1997). Akan tetapi penggunaan antioksidan sintetik sampai saat ini masih dipertanyakan keamanannya, bahkan oleh Departemen Kesehatan tidak direkomendasikan karena diduga dapat menyebabkan penyakit kanker (Carcinogenic Agent) (Hermani & Raharjo 2005). Penelitian oleh FASEB (1994) diacu dalam Wiliams et al. (1999) mengemukakan bahwa efek karsinogenik BHA yang diujikan pada tikus diduga karena pembentukkan TBHQ pada liver yang menyebabkan kerusakan oksidatif pada DNA. Akan tetapi efek kerusakan oksidatif DNA pada manusia membutuhkan penelitian lebih lanjut.

(37)

antioksidan. Studi mengenai hubungan komposisi flavonoid dan daya antioksidan telah dipelajari oleh Fernandez et al. (2004). Namun pengetahuan mengenai hal ini sudah ada sejak tahun 1936 oleh Rusznyak dan Szent-Gyorgyi yang menghipotesis bahwa flavonoid dan vitamin C bekerja secara sinergis. Penelitian oleh Kadoma et al. (2006) menunjukkan bahwa terdapat efek sinergisme antioksdan antara α-tokoferol dan epikatekin serta epigalokatekin galat pada model invitro. Terlebih lagi Frank et al. (2006) juga menunjukkan bahwa intervensi quersetin, katekin atau epikatekin pada tikus dapat meningkatkan

konsentrasi α-tokoferol pada plasma darah dan hati.

Vitamin E

Pada tahun 1922, ditemukan suatu zat larut lemak yang dapat mencegah keguguran dan sterilitas pada tikus. Semula zat ini dinamakan faktor antisterilitas dan kemudian dinamakan vitamin E. Vitamin E kemudian pada tahun 1936 dapat diisolasi dari minyak kecambah gandum dan dinamakan tokoferol, berasal dari bahasa Yunani dari kata tokos yang berarti kelainan dan pherein berarti yang menyebabkan. Sekarang dikenal beberapa bentuk tokoferol dan istilah vitamin E bisa digunakan untuk menyatakan setiap campuran tokoferol yang aktif secara biologik. Hewan tidak dapat mensitesis vitamin E dalam tubuhnya, sehingga harus memperolehnya dari pangan nabati. Kekurangan vitamin E pada hewan dapat menimbulkan sindroma, tapi angka kecukupan untuk manusia belum dapat dikatakan sudah pasti (Bender 2003).

Vitamin E termasuk jenis nutrient (gizi/nutrisi) yang hanya dapat larut dalam lemak dan beberapa pelarut organik. Namun, vitamin E mudah rusak oleh oksigen di udara dan oleh suhu tinggi atau proses pemanasan. Oleh karena itu, kebanyakan makanan olahan dan siap saji tidak cukup memenuhi kebutuhan vitamin E. Minyak dalam keadaan segar atau makanan mengandung vitamin E yang hanya ditumis jauh lebih aman terhadap kerusakan vitamin E (Soehardi 2004).

(38)

Gambar 3 Struktur kimia tokoferol dan tokotrienol (Garrow dan James 1993)

Menurut Bender (2003), tokotrienol mempunyai tiga ikatan rangkap pada rantai samping. Perbedaan struktur ini mempengaruhi tingkat aktivitas vitamin E secara biologik. Tokotrienol tidak banyak terdapat di alam dan kurang aktif secara biologik. Alfa-tokoferol adalah bentuk vitamin E paling aktif, yang digunakan pula sebagai standar pengukuran vitamin E dalam makanan. Jumlah vitamin E dalam bentuk lain dinyatakan dalam bentuk tokoferol ekivalen (TE). Bentuk sintetik vitamin E mempunyai aktivitas biologis 50% daripada tokoferol yang terdapat dialam. Berikut merupakan struktur kimia dari alfa-tokoferol.

Gambar 4 Struktur kimia α-tokoferol (Garrow dan James 1993)

Fungsi utama vitamin E di dalam tubuh adalah sebagai antioksidan alami yang mambuang radikal bebas dan molekul oksigen. Secara partikular, vitamin E juga penting dalam mencegah peroksidasi membran asam lemak tak jenuh. Vitamin E dan C berhubungan dengan efektivitas antioksidan masing-masing. Alfa-tokoferol yang paling aktif dapat diregenerasi dengan adanya interaksi dengan vitamin C yang menghambat oksidasi radikal bebas peroksi. Alternatif lain, alfa tokoferol dapat membuang dua radikal bebas peroksi dan mengkonjugasinya menjadi glukuronat ketika ekskresi di ginjal (Bender 2003).

(39)

vitamin E berperan dalam suplai oksigen ke darah sampai dengan ke seluruh organ tubuh. Vitamin E juga menguatkan dinding pembuluh kapiler darah dan mencegah kerusakan sel darah merah akibat racun. Vitamin E membantu mencegah sterilitas dan destrofi otot.

Vitamin E banyak digunakan untuk tujuan melawan kekeringan pada kulit, sebagai produk tabir surya. Produk –produk tabir surya yang terbaik adalah yang mengandung sekurangnya 1% vitamin E. Riset membuktikan bahwa vitamin E memberikan perlawanan terhadap kekeringan dengan membantu memberikan pelembab natural pada kulit. Apabila digunakan sebelum terkena matahari, vitamin E bisa mencegah kulit kemerahan, bengkak, dan kering. Vitamin E biasanya dipakai sebelum dan sesudah terkena paparan sinar matahari, karena sinar matahari langsung bisa merusak setengah dari suplai vitamin E alami kulit. Penelitian juga membuktikan bahwa vitamin E bisa mengurangi molekul jahat yang terjadi akibat paparan asap rokok (Soehardi 2004).

Stabilitas kimia vitamin E mudah berubah akibat pengaruh berbagai zat alami. Minyak tak jenuh, seperti minyak hati ikan cod, minyak jagung, minyak kacang kedele, minyak biji bunga matahari, semuanya mempertinggi kebutuhan vitamin E. Hal ini terjadi jika minyak-minyak tersebut mengalami ketengikan oksidatif dalam makanan. Bila minyak-minyak tersebut tengik sebelum makanan dimakan, maka berarti telah terjadi kerusakan vitamin E dalam minyak dan dalam makanan yang mengandung minyak tersebut. Garam-garam besi, seperti feriklorida, kalium ferrisianida bersifat mengoksidasi tokoferol. Nitrogen klorida dan klor dioksida pada konsentrasi yang biasa digunakan untuk memutihkan tepung akan merusak sebagian besar tokoferol yang terdapat dalam tepung. Pembuatan tepung menjadi roti akan merusak 47 % tokoferol yang terdapat dalam tepung (Almatsier 2006).

Oryzanol

Oryzanol adalah komponen berharga dari bagian tidak tersabunkan. Komponen ini memiliki sifat antioksidan dengan aktivitas yang lebih tinggi dibanding tokoferol dan dinyatakan dapat memicu pertumbuhan manusia, membantu sirkulasi darah, dan memicu sekresi hormon. Struktur kimia γ -oryzanol adalah keluarga dari ester asam ferulat dari triterpenoid alkohol tidak

jenuh. Pada minyak bekatul padi, γ-oryzanol telah diidentifikasi berfungsi sebagai antioksidan dan bersifat menyembuhkan berbagai penyakit manusia. Telah

(40)

campesteryl ferulate, cycloartanyl ferulate, beta sitosteryl ferulate, dan 2,4 methylene cycloartenyl ferulate yang memiliki aktivitas tertinggi (Damayanthi et al 2006).

Gambar 5 Struktur kimia -oryzanol (Cho et al. 2012)

Gamma-oryzanol merupakan fraksi tak tersabunkan dalam minyak bekatul. Menurut Diack dan Saska (1994), struktur -oryzanol adalah keluarga dari ester asam ferulat dari triterpenoid alkohol tidak jenuh. Berdasarkan penelitian Damayanthi et al. (2007), kandungan oryzanol di dalam minyak dari bekatul padi awet adalah sekitar 17.70 mg/ g minyak. Aktivitas antioksidan oryzanol bergantung pada gugus hidroksi fenolik di dalam bagian ferulat. Aktivitas antioksidan tertinggi oryzanol terdapat pada struktur 24-methylenecycloartanyl ferulat (Xu et al. 2001).

Minyak bekatul sangat bermanfaat karena ada kandungan vitamin E dan komponen bioaktif oryzanol yang berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan adalah senyawa yang mampu melindungi melindungi tubuh dari pengaruh radikal bebas (Mulato & Suharyanto 2011). Minyak bekatul awet dan fraksinya (fraksi tak

tersabunkan dan oryzanol) terbukti dapat menghambat oksidasi β-VLDL dan LDL manusia secara in vitro. Di samping itu, minyak bekatul awet, faksi tak tersabunkan dan oryzanol juga dapat menghambat proliferasi sel kanker KR-4, K-562 dan melanoma (Damayanthi 2002; Damayanthi et al. 2004). Most et al. (2005) melaporkan pemberian minyak bekatul secara nyata dapat menurunkan kadar kolesterol total plasma dan kolesterol LDL dibandingkan dengan campuran minyak dengan asam lemak serupa. Hal ini kemudian diduga akibat fraksi tak tersabunkan pada minyak bekatul, termasuk di dalamnya -oryzanol. Berikut adalah struktur kimia -oryzanol.

Gambar

Gambar 1   Morfologi biji padi beserta bagian-bagiannya
Tabel 1 Klasifikasi total kolesterol, trigliserida, kolesterol LDL, dan kolesterol HDL
Gambar 3 Struktur kimia tokoferol dan tokotrienol
Gambar 5 Struktur kimia  -oryzanol (Cho et al. 2012)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah program ini diimplementasikan dalam studi kasus absensi karyawan perusahaan Mentari Rajut maka program aplikasi ini dapat dikatakan berhasil dengan memberikan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui macam aksesi jambu bol yang lebih baik, konsentrasi GA3 yang lebih efisien, dan mengetahui interaksi

Koentjaraningrat (1984) menambah- kan model pengasuhan yang biasa dilaku- kan para orang tua Jawa pada anak-anak- nya, yaitu: (1) “menyuap” anak dengan menjanjikannya

Tindak tutur asertif melaporkan digunakan penutur untuk menyampaikan laporan kepada mitra tutur. Laporan atau berita yang disampaikan karena penutur menginginkan mitra

Namun dalam melakukan peramalan, metode ini menggunakan pembobotan pada setiap data aktual sebelumnya yang akan diramalkan, sehingga lebih dikenal dengan Weighted Moving

Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar di Kota Pangkalpinang belum dilaksanakan dalam hal ini mengakibatkan tidak adanya perlindungan hukum dan kepastian

Sumari (Tergugat/Terbanding) yang berupa obyek sengketa, akan tetapi para Penggugat/para Pembanding bermaksud menarik kembali hibah yang telah diberikan kepada

Kecenderungan berdemokrasi yang terlihat dalam masyarakat Indonesia selama ini adalah rakyat telah lebih cerdas dalam memilih, mana partai yang tepat untuk duduk di parlemen dan