• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV INTEPRETASI DATA

4.1. Setting Lokasi

Nagori Siboras dahulu merupakan lahan kosong yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat manapun, tidak berpenghuni dan juga merupakan wilayah yang berbukit-bukit dan dipenuhi oleh hutan bambu. Dibawah tahun 1922, oppung masyarakat Nagori Siboras yang bernama Djabottar Girsang beserta dengan istrinya datang ke tempat tersebut untuk bersembunyi dari kejaran bangsa belanda yang paada saat itu masih menjajah Indonesia. Wilayah yang mereka tempati dahulu adalah wilayah rumah juluan yang artinya suatu wilayah yang ada di Nagori Siboras. (BPS : Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten Simalungun, 2010).

Diwilayah tersebut mereka berdua memulai aktivitas mereka yang baru dengan cara membuka lahan baru untuk bertani yang sekaligus juga untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Didalam keseharian mereka, sekali seminggu mereka juga datang berkunjung ke tempat asal mereka semula untuk menjual hasil pertanian mereka, membeli apa yang menjadi kebutuhan mereka, melakukan barter dengan masyarakat lain dan juga tidak jarang mereka mengajak masyarakat lain untuk bergabung dengan mereka tinggal di tempat tinggal mereka yang baru dengan alasan wilayah tersebut lebih aman dan banyak tempat bersembunyi jika bangsa belanda datang mencari mereka. Ajakan mereka tersebut pada awalnya tidak berhasil dan tidak ada yang bersedia tinggal di wilayah tersebut. (BPS : Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten Simalungun, 2010).

Seiring dengan berjalannya waktu, mereka dikarunia dua orang anak yang bernama Djauri Girsang dan Djabona Girsang. Mereka semua merasakan hidup yang aman dan tenang hidup di wilayah tersebut. Sementara masyarakat yang tinggal di wilayah mereka sebelumnya, tetap tidak bisa tenang oleh karena bangsa belanda yang ingin menjadikan mereka untuk kerja paksa. Dengan rasa aman yang dirasakan oleh Djabottar Girsang dengan keluarganya, mereka tidak ingin teman-teman mereka tetap tertindas di tempat tinggal awal mereka. Suatu ketika mereka satu keluarga pergi ke tempat asal mereka untuk menjual hasil pertanian mereka sekaligus mengajak saudara dan keluarga mereka yang lain untuk bergabung dengan mereka tinggal di tempat mereka yang baru. Setelah saudara dan keluarga mereka melihat fakta bahwa Djabottar Girsang dan keluarganya aman ditempat mereka yang baru, maka mereka pun bersedia tinggal di tempat tersebut. Setelah beberapa puluh tahun, mereka pun merasa nyaman ditempat tersebut dan sudah merasa bahwa itulah kampung mereka yang akan mereka tempati selama hidup mereka. (BPS : Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten Simalungun, 2010).

Pada tanggal 26 Desember 1922, Raja Van Silimakuta memanggil Djauri Girsang dan Djabona Girsang untuk menghadap, untuk membicarakan nama dari wilayah yang mereka tempati. Kemudian Djauri Girsang dan Djabona Girsang mengusulkan nama Nagori Siboras dengan alasan bahwa wilayah yang mereka tempati selalu berhasil dalam pertanian dan aman dari luar. Kemudian Raja Van Silimakuta menyetujui nama desa tersebut dan meresmikannya, dan juga sekaligus mengangkat Djauri Girsang dan Djabona Girsang sebagai raja pertama Nagori Siboras. (BPS : Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten Simalungun, 2010).

Setelah Djauri Girsang dan Djabona Girsang diangkat menjadi raja, maka mereka berdua juga melantik beberapa tokoh masyarakat yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat umum. Adapun tokoh masyarakat yang telah dilantik yaitu :

a. Guru sahuta. Guru sahuta bertugas untuk menentukan hari apa untuk memulai

memanggil hujan pada saat musim kemarau agar hujan segera turun. Posisi ini dipegang oleh marga Girsang.

b. Sipotong Hambing. Orang yang memegang jabatan ini bertugas untuk menentukan hari

untuk memulai menanam padi. Jabatan ini dipegang oleh marga Tambun.

c.Persaudaraan dipegang oleh marga Girsang parkarah

d. Mohpoh Jawak yaitu menantu dari Raja Nagori Siboras. Mohpoh jawak ini mendirikan

rumah di alaman jawak yang juga sekaligus menjadi pelebaran Nagori Siboras sampai sekarang.

Masing-masing dari setiap tokoh tersebut bertanggung jawab kepada Raja Nagori Siboras, dan raja Nagori Siboras bertanggung jawab kepada Raja Van Silimahuta. (BPS : Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten Simalungun, 2010).

Sejarah Nagori Siboras tersebut juga dibenarkan oleh informan kunci S.F. Girsang (lk, 72 Tahun):

“Memang wilayah ini dulunya adalah lahan kosong nya ini. Waktu itu kan belanda masih menyerang wilayah ini. Jadi ada dulu opung kami, itu opungku kandung ya… namanya Djabottar Girsang pergi ke tempat ini untuk bersembunyi. Opung kami itu dulu pergi kesini Sama istrinya lah ya… jadi disini itu dulu hutan bambunya ini. Nah… disinilah dulu mereka bersembunyi. Dan mereka memang aman disini. Setelah itu mereka panggil lah keluarga mereka yang lain juga tinggal sama mereka disini. Awalnya memang susah, tapi akhirnya mereka juga mau. Setelah itu kan mereka pun punya anak dan anak mereka itu pun bisa tenang sampai dewasa. Nama anaknya itu Djauri Girsang dan

Djabottar Girsang. Jadi mereka jugalah yang mengusulkan nama desa ini sama raja van silimahuta waktu itu. Itulah sejarahnya dulu desa ini…”

(Wawancara Nopember 2010)

Berdasarkan hasil observasi dan data yang diperoleh dari sekretaris desa dan kantor Camat Pamatang Silimahuta, secara administrasi Nagori Siboras berada dibawah naungan Kecamatan Pamatang Silima Huta dan Kabupaten Simalungun. Desa ini merupakan salah satu desa yang padat penduduknya jika dibandingkan dengan desa yang berada disekitarnya. Topografi wilayah ini terletak didataran tinggi yang merupakan daerah yang sejuk. Atmosfir pedesaan masih terlihat dengan jelas dari hasil observasi peneliti, dimana pemukiman yang dikelilingi oleh hutan dan perladangan mayarakat.`

Luas wilayah desa ini adalah 4km2 atau 1202 Ha dimana luas wilayah tersebut didominasi oleh lokasi-lokasi perladangan yang tersebar diluar perkampungan, hingga sampai kedaerah perbatasan desa sekitarnya. Berdasarkan hasil observasi peneliti, hanya sediikit ruang yang kosong di desa ini, dimana tanah-tanah telah diusahakan secara intensif untuk kegiatan pertanian. Sebagian besar penduduk desa ini hidup bergerak disektor pertanian, dimana komoditas yang dihasilkan yaitu buah dan sayur-mayur dan hanya sebagian kecil mayarakat yang bergerak disektor lain seperti wiraswasta, pedagang, dan lainnya.

Wilayah Nagori Siboras ini berbatasan dengan : • Desa Saribujandi di sebelah utara,

• Desa Mardinding di sebelah selatan • Desa Nagasaribu di sebelah barat, dan • Kelurahan Saribudolok di bagian timur

Dari hasil observasi, desa ini tidak terlalu sulit untuk dijangkau karena tidak terlalu jauh dari Kelurahan Saribudolok. Jarak desa ini ke Kelurahan Saribudolok adalah sejauh 7 kilometer. Jarak ini dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan umum dengan lama tempuh 30 menit, dan dapat juga ditempuh melalui jalan baru yang telah dipersiapkan pemerintah untuk mencapai ke kecamatan dengan jarak 3 kilometer melewati perladangan masyarakat tetapi dengan menggunakan kendaraan pribadi dengan lama tempuh 15 menit.

Kondisi jalan yang dulunya beraspal semakin rusak diakibatkan oleh banyaknya mobil angkutan barang yang mengangkut hasil pertanian penduduk. Sarana jalan tersebut semakin rusak karena semakin banyaknya mobil berat yang mengangkut kayu yang telah dijual oleh masyarakat desa dan tidak adanya usaha-usaha yang dilakukan untuk memperbaikinya, baik dari aparat pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Kondisi diatas digambarkan oleh D. Sipayung (lk, 49 Tahun) :

“dulu jalan disini udah beraspal nya ini semua.. tapi akibat dari mobil berat yang sering masuk kesini untuk mengangkut hasil pertanian, jadi berusakanlah jalan ini. Inilah akibatnya. Apalagi ditambah lagi dengan mobil yang lebih berat lagi yang mau mengangkat kayu, oh… makin rusak lah. Banyak kali pulanya yang menjual kayu disini.”

(wawancara Nopember 2010)

Hal yang sama juga diutarakan oleh J. Jawak (lk, 50 Tahun) :

“sebenarnya jalan ini rusak karena mobil berat nya ini. Untuk mengangkut hasil pertanian orang sini kan banyak itu mobil berat yang masuk kekampung. Belum lagi mobil kayu itu. Itu yang paling besar yang buat jalan ini rusak. Tapi walaupun jalan ini udah rusak mereka buat, gak ada itu yang mau memperbaiki.”

Administrasi desa terdiri atas dua lokasi yang terpisah. Nagori Siboras memiliki 4 gamot yang artinya dusun dimana satu lokasi terpisah menjadi dusun tersendiri yaitu Gamot

Sigarantung. Sementara gamot lain yg tempatnya berada dalam satu lokasi yaitu Gamot Rumah Uruk, Gamot Alaman Jawak, dan gamot Rumah Juluan. (Kantor Kepala Desa Nagori Siboras,

2010).

Desa ini juga memiliki penduduk yang padat. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh aparat desa yang bersangkutan, penduduk desa ini pada tahun 2010 berjumlah 2.515 jiwa. Banyaknya jumlah kepala keluarga di desa ini adalah 668 kepala keluarga. Dari segi persentase jenis kelamin, perempuan merupakan jenis kelamin yang terbanyak terdapat di desa ini dengan jumlah 1.402 jiwa atau 55,75%, dan penduduk laki-laki sendiri berjumlah 1.113 jiwa atau 44,25%. (Kantor Kepala Desa Nagori Siboras, 2010).

Komposisi penduduk berdasarkan usia produktif, penduduk di desa ini dihuni oleh masyarakat yang berusia antara 0 – 16 tahun dengan jumlah penduduk 1158 Jiwa atau 46%, kemudian disusul dengan masyarakat yang ber usia 17 – 55 Tahun dengan jumlah 1000 jiwa atau 39,8 %, dan masyarakat yang ber usia 56 tahun keatas dengan jumlah penduduk 357 Jiwa atau jika di persentasekan sama dengan 14,2 %. (Kantor Kepala Desa Nagori Siboras, 2010).

Berdasarkan suku bangsa, penduduk yang tinggal di desa ini adalah mayoritas Suku Batak Simalungun dengan jumlah penduduk 1790 jiwa atau 71,2%, dan hanya sebagian kecil dari jumlah penduduk yang bersuku lain, seperti suku Batak Karo dengan jumlah penduduk 338 jiwa atau setara dengan 13,4%, Suku batak Toba dengan jumlah penduduk 206 jiwa atau 8,2%, dan Suku Jawa, pakpak dan nias dengan jumlah 181 jiwa atau 7,2%. Dari persentase diatas dapat disimpulkan bahwa Nagori Siboras mayoritas dihuni oleh masyarakat yang ber suku bangsa

simalungun. Sementara yang paling sedikit adalah gabungan antara suku bangsa Jawa, Pakpak, dan Nias.

Dari hasil observasi, masyarakat Nagori Siboras pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, pedagang, dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Dengan potensi utama daerah dibidang agribisnis. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi Nagori Siboras. Gambaran diatas juga dibenarkan oleh J. Jawak (lk, 50 Tahun) yng merupakan kepala desa di lokasi penelitian :

“orang-orang disini itu kebanyakan bekerja sebagai petani nya… karena memang disnini itu kan lahannya cocok untuk petani. Selain itu ada juga orang disini sebagai pedagang dan hanya sedikit itu yang sebagai pegawai negeri. Yang pegawai negeri bisa dihitung jarilah…”

(wawancara Nopember 2010)

Ketika ditanya mengenai pertumbuhan ekonomi di Nagori Siboras J. Jawak (lk, 50 Tahun) menjawab :

“disni pertumbuhan ekonominya cepatlah menurut aku. Hasilnya bisa dilihat kan pembangunan desa yang terus jalan. Hasilnya juga bisa dilihat dengan nyata kan…”

(wawancara Nopember 2010)

Keberagaman dalam konteks pekerjaan juga terlihat di Nagori Siboras. jika di persentasekan dari total jumlah penduduk Nagori Siboras, maka masyarakat yang bekerja sebagai petani ada 1503 jiwa atau 59,8 %, balita dan pelajar ada 991 jiwa atau 39,3%, pedagang 14 jiwa atau0,6 % dan yang terakhir adalah PNS ( pegawai negeri sipil ) dengan jumlah penduduk 7 jiwa atau 0,3 %. (Kantor Kepala DesaNagori Siboras, 2010)

Sistem ekonomi penduduk desa didominasi oleh sektor pertanian. Penggunaan lahan pertanian lebih terkonsentrasi pada penggunaan lahan kering (perladangan) meskipun masih banyak lahan basah (persawahan) yang belum dimaksimalkan penggunaannya. Jika dipersentasekan luas wilayah desa dan pemanfaatannya secara keseluruhan maka pemanfaatan sebagai perladangan ada 1076 Ha atau 89,5%, persawahan 80Ha atau setara dengan 6,7 %, pemukiman 28 Ha atau 2,4 %, dan lainnya 18 Ha atau 1,5 %. Total keseluruhan wilayah Nagori Siboras adalah 1202 Ha. (Kantor Kepala DesaNagori Siboras, 2010)

Gambaran diatas juga dibenarkan oleh B. Jawak (pr, 42 Tahun) :

“kalo kami disini rata-rata berladang nya. Sawah disini memang cukup luas, tapi kami lebih suka berladang. Karena untungnya lebih banyak dapat dari ladang.”

(wawancara Nopember 2010)

Hal yang sama juga diungkapkan oleh S. Sipayung (lk, 38 Tahun) :

Kebanyakan berladang nya kami disini. Sawah memang ada tapi kebanyakan gak dipake nya kulihat. Kalo kami sendiri gak ada make sawah karena memang kami gak punya sawah yang bisa dipake… heheheheh… tapi meskipun mungkin kami punya sawah kami pasti make ladang kok. Untungnya kan lebih jelasnya dari ladang ini.”

(wawancara Nopember 2010)

Masyarakat Nagori Siboras sudah terbiasa dengan kehidupan mereka yang hidup sebagai petani. Jenis tanaman utama yang mereka tanam atau budidayakan telah empat kali mengalami pergantian yang sesuai dengan kemampuan, pergantian musim dan peluang untung yang mereka perkirakan. Awalnya semua nenek moyang mereka selalu menanam padi dengan luas lahan yang digunakan bisa mencapai tiga Ha per keluarga. Jenis tanaman utama mereka tersebut bertahan sampai sekitar tahun 1984. Gambaran diatas diperoleh melalui wawancara terhadap P. Simaringga (lk, 48Tahun) :

“kalo orang-orang sini sudah terbiasa itu hidup sebagai petani. Bertani apapun kalo bisa menghasilkan pasti dicoba nya itu. Makanya orang-orang sini udah sampai empat kali itu pernah mengalami pergantian jenis tanaman utama kan... Karena kan harus disesuaikan juga itu dengan kemampuan kami dalam dana, tenaga, peluang untungnya dan juga musim yang cocok kan… karena sekarang ini gampang kali cuaca berubah. Awalnya dulu kan opung kami disini tanaman utamanya kan padi nya.. makanya lahan nya itu bisa mencapai 3 ha per keluarga. Tapi itu bertahan hanya sampai kira-kira tahun 1984..”

(wawancara Nopember 2010)

Informan B. Jawak (pr, 42 Tahun) juga menyatakan :

“kalo kami udah biasanya itu jadi petani.. karena memang dari situlah kami bisa makan kan.. jadi kalo cari makan itu, apapun bisa lah kami tanam disini. Yang penting bisa menghasilkan. Tapi bukan ganja ya… yang aku tau aja, di desa kami ini entah udah berapa kali itu mengalami pergantian jenis tanaman utama. Kalo gak salah ada empat kali itu. Yang pertama dulu kan padi nya itu yang jadi tanaman utama disini. Tapi kira-kira tahun delapanpuluhan dulu berganti lagi. Agak lupa aku tahun delapanpuluh berapa itu kemarin.”

(wawancara Nopember 2010)

Pada sekitar tahun 1985, pemikiran masyarakat mengalami kemajuan dimana mereka mulai memikirkan jenis tanaman apa yang bisa mereka budidayakan yang musim panennya tidak terlalu lama seperti padi yang hanya dapat dua kali panen setiap tahun. Tidak lama setelah itu, ada salah satu keluarga pendatang di desa tersebut yang juga merupakan salah satu alumni perguruan tinggi dimedan yang telah mendapatkan gelar sebagai Insinyur pertanian melakukan penanaman kentang. Setelah tiga bulan lamanya , kentang tersebut sudah dapat di panen dan orang tersebut mendapatkan untung yang besar. Karena belum ada orang lain yang menanam kentang di desa tersebut, dia bisa mendapatkan penawaran harga yang tinggi. Setelah masyarakat melihat hal tersebut, mereka pun pergi belajar membudidayakan kentang kepada orang tersebut

dan juga sekaligus membeli bibit kentang kepadanya. Setelah itu, masyarakat desa tersebut mulai menguranggi lahan yang biasanya digunakan untuk menanam padi, dan menggunakan sisa lahan tersebut untuk menanam kentang. Pada saat itu kentang masih digunakan sebagai tanam utama kedua setelah padi.Gambaran diatas diperoleh melalui wawancara terhadap P. Simaringga (lk, 48 Tahun) :

“….. dan sekitar tahun 1985, kami orang sini mulai memikirkan hal yang baru lah kan. Yang kami pikirkan itu apa lah yang bisa di tanam yang waktu panennya tidak selama masa panen padi. Karna padi kan cuma dua kalinya bisa panen dalam setahun. Gak lama setelah itu, adalah kemarin orang baru datang ke kampung kami ini yang tinggal menetap disini. Mereka mau datang kesini karena memang ada saudara mereka disini. Katanya dia itu tamatan kuliah bagian pertanian. Dan memang dinamanya itu ada memang ditulisnya Ir. Waktu itu mereka datang membawa beberapa goni bibit kentang. Awalnya kami biasa aja melihat mereka gitu. Tapi tiga bulan setelah mereka menanam kentang itu, mereka sudah panen dan dapat harga yang tinggi pula itu. Mungkin karena Cuma mereka yang ada menanam kentang disini. Setelah itu mulailah kami belajar menanam dan merawat kentang sama mereka. Baru… kami juga membeli bibit dari mereka. Setelah itu mulailah kami disini menanam kentang. Tapi waktu itu padi masih tetap menjadi tanaman utama kami disini.”

(wawancara Nopember 2010)

Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat semakin menikmati hasil yang lebih memuaskan dari penanaman kentang, akhirnya masyarakat telah membuat kentang sebagai tanaman utama mereka dan membuat padi sebagai tanaman utama kedua setelah kentang. Disamping itu, masyarakat juga tidak fokus hanya kepada kedua jenis tanaman tersebut, melainkan mereka juga sudah menggunakan sebagian kecil lahan mereka untuk menanam cabe, ubi dan sayur-sayuran. Gambaran diatas diperoleh melalui wawancara terhadap J. Jawak (lk, 50 Tahun) :

“setelah kami disini puas dengan hasil yang kami dapatkan dari kentang, makin lama jenis tanaman kami itu sudah jadi lebih luas kentang daripada padi. Selain itu kami juga tidak lagi hanya menanam kentang dan padi. Tapi kami juga menanam cabe, sayur, dan ubi gitu…”

(wawancara Nopember 2010)

Hal senada juga diungkapkan oleh D. Sipayung (lk, 49 Tahun) :

“begitu kami berhasil dari kentang, akhirnya fokus tanaman kami sudah kepada kentang. Bukan ke padi lagi. Pokoknya dari situ padi udah menjadi tanaman utama kedua. Karena tanaman utama itu udah menjadi kentang. Selain itu kan kami juga menggunakan sebagian lahan dari jatah menanam padi untuk menanam tanaman lain. Misalnya ubi, sayur-sayuran. Jenis sayuran itu juga banyak kan..

(wawancara Nopember 2010)

Menjadikan kentang sebagai tanaman utama mereka hanya bertahan sampai tahun 1999. Hal tersebut terjadi akibat dari krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia pada tahun 1998 yang membuat harga-harga barang melonjak naik dan juga harga pupuk yang mengalami kenaikan mendekati 100%. Antara tahun 1998 sampai dengan tahun 1999, sebenarnya masyarakat masih mencoba untuk bertahan untuk tetap menanam kentang. Tetapi keberadaan harga pupuk yang tinggi yang tidak seimbang dengan harga jual kentang yang murah membuat sebagian besar masyarakat Nagori Siboras mengalami kerugian yang besar. Setelah itu masyarakat mulai lagi memikirkan jenis tanaman yang cocok untuk mereka tanam sesuai dengan keadaan perekonomian mereka yang tidak bisa lagi menanam tanaman yang membutuhkan modal yang tinggi. Gambaran diatas diungkapkan oleh L. Saragih (lk, 57 Tahun) :

“waktu kentang kemarin yang jadi tanaman utama disini, terjadilah krisis moneter tahun 1998 kan…? Jadi…. Waktu itu harga-harga kebutuhan naik semua. Rata-rata 100% pula itu naiknya… termasuk juga harga pupuk dan obat semprot naik dua kali lipat kemarin itu. Tapi harga pertanian kami turun… gak seimbang dia. Dari situ, banyaklah kami yang rugi dan bangkrut disini. Tapi awalnya kemarin itu, walaupun kami rugi, tetap juga nya kami coba terus menanam kentang. Tapi tetap juga rugi. Ya… dari situ kami pun berpikirlah untuk mencari jenis tanaman lain yang bisa menguntungkan. Mulai berkuranglah kemarin orang yang menanam kentang. Karena modalnya kan besar kali itu..”

(wawancara Nopember 2010)

Hal yang sama juga diungkapkan oleh D. Girsang (lk, 52 Tahun) :

“Waktu krisis tahun 1999 nya waktu itu awalnya. Udah harga pupuk dan obat naik, harga kentang malah turun drastis… hancurlah kami kan… dari situ ya… dipikirkan lagi lah apa tanaman baru yang bisa mendapatkan untung sama kami. Gak mungkin kan kami bertahan menanam kentang kalo rugi terus…”

(wawancara Nopember 2010)

Setelah itu, tanaman utama masyarakatpun mengalami perubahan dari kentang menjadi ubi. Sebagian besar masyarakat tidak lagi menanam kentang tetapi sudah fokus untuk menanam ubi, padi, jagung, cabe dan sayur-sayuran. Menjadikan kentang sebagai tanaman utama hanya bertahan sampai sekitar tahun 2000. D. Sipayung (lk, 49 Tahun) mengungkapkan :

“…….akibat dari situ… bergantilah tanaman utama orang sini dari kentang menjadi ubi. Orang-orang pun sudah fokus untuk menanam ubi, jagung, cabe, dan sayur-sayuran. Tapi lahannya itu sebagian besar digunakan untuk menanam ubi.”

(wawancara Nopember 2010) D. Girsang (lk, 52 Tahun) juga menyatakan :

“dari situ kami disini rata-rata menanam ubi lah. Bisa nanti lahan yang kami punya itu lebih dari setengah digunakan untuk menanam ubi. Itulah akibat dari krisis itu.”

Peralihan tanaman utama masyarakat dari ubi menjadi jeruk telah dapat memperbaiki keadaan perekonomian masyarakat. Jeruk yang dapat panen tiga kali dalam setahun dapat mengubahkan kehidupan masyarakat jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pada waktu masyarakat yang menjadikan padi, kentang, dan ubi sebagai tanaman utama mereka. Menjadikan jeruk sebagai tanaman utama masih tetap bertahan sampai sekarang ini (tahun 2011). Kondisi perekonomian masyarakat yang sudah jauh lebih baik, juga berdampak terhadap pembangunan rumah masyarakat dan desa yang juga mengalami perubahan yang jauh lebih baik. Gambaran diatas diutarakan oleh D. Girsang (lk, 52 tahun) :

“setelah kami menjadikan jeruk jadi tanaman utama kami, kami jadi makin makmurlah. Karena jeruk kan bisa panen tiga kali dalam setahun. Harganya pun jarang kali itu dabawah yang diharapkan. Kalo dibandingkan dengan dulu yang waktu padi, kentang, dan ubi jadi tanaman utama kami, sekarang ini jauhlah lebih baik. Lihatlah… rumah-rumah di desa ini juga udah rata-rata baik kan…?

(wawancara Nopember 2010)

Disamping masyarakat yang sudah menjadikan jeruk sebagai tanaman utama, sebagian besar masyarakat juga menjadikan kopi sebagai tanaman utama kedua setelah jeruk. Masyarakat sepertinya sudah fokus kepada jenis tanaman tua yang menurut persepsi mereka dapat memperoleh untung yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis tanaman muda. Selain itu, sampai saat ini (tahun 2011), masih ada juga masyarakat yang tetap menanam padi di lahan

Dokumen terkait