FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERGESERAN MAKNA ROBU MAMAHPAH DALAM MASYARAKAT
(Studi Deskriptif Pada Masyarakat Nagori Siboras Kecamatan Pematang Silimahuta,
kabupaten Simalungun)
SKRIPSI
DIAJUKAN OLEH :
NALON GINTING
060901063
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
MEDAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi Ini Disetujui Untuk Dipertahankan Oleh :
NAMA : NALON GINTING
NIM : 060901063
DEPARTEMEN : SOSIOLOGI
JUDUL :PERGESERAN MAKNA ROBU MAMAHPAH
DALAM MASYARAKAT
(Studi Deskriptif Pada Masyarakat Nagori Siboras
Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten
Simalungun)
DOSEN PEMBIMBING KETUA DEPARTEMEN
Dra. RIA MANURUNG, M.Si Dra. LINA SUDARWATI, M.Si
Nip. 196212031989032001 Nip. 196603181989032001
DEKAN
ABSTRAK
Etnis Simalungun merupakan salah satu etnis yang ada di Sumatera Utara. Sama seperti etnis lain bahwa etnis simalungun juga memiliki keberagaman kebudayaan yang masing-masing budaya tersebut mengandung makna yang dipercayai oleh masyarakat simalungun. Dalam hal ini termasuk juga masyarakat Nagori Siboras dengan salah satu kebudayaannya yang bernama Robu Mamahpah. Kebudayaan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mempererat hubungan kekeluargaan dengan keluarga dan masyarakat serta untuk melampiaskan rasa sukacita yang dirasakan atas berhasilnya masyarakat memperoleh panen padi dan juga ucapan terimakasih kepada Yang Maha Pencipta karena padi yang mereka tanam telah memperoleh hasil. Dari kegiatan tersebut masing-masing anggota keluarga di pertemukan, dan saling berinteraksi satu sama lain, sehingga terbentuk suatu ikatan kekeluargaan yang kuat diantara mayarakat nagori Siboras dan keluarga mereka masing-masing. Namun karena perkembangan zaman, maka kebudayaan diatas telah mengalami pergeseran baik dari segi ritual maupun makna yang terkandung didalamnya. Hal ini tentunya akan membawa akibat bagi hubungan kekeluargaan masyarakat Nagori Siboras dan juga dengan keluarga mereka masing-masing.
Untuk mengkaji pergeseran makna robu mamahpah dalam masyarakat Nagori Siboras, maka peneliti menggunakan jenis penelitian studi deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Untuk melakukan pengumpulan data di lapangan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi dan studi kepustakaan. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan kepad 3 orang informan kunci dengan perincian 1 orang tokoh adat dan 2 orang keturunan pertama pembuka kampung dan 3 orang informan biasa yang merupakan masyarakat biasa. Data-data yang diperoleh melalui hasil wawancara selanjutnya akan diurutkan dan di klasifikasikan menurut jenisnya. Hasil wawancara tersebut selanjutnya akan di analisis dengan tambahan data lainnya, yang diperoleh melalui observasi dan studi kepustakaan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi
ini masih jauh dari kesempurnaan, ibarat pepatah yang menyatakan “tiada gading yang tak
retak”. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
saudara pembaca demi perbaikan skripsi ini.
Atas bimbingan dan bantuan yang diterima penulis dari berbagai pihak selama penulisan
skripsi ini hingga selesai, serta selama perkuliahan di Universitas Sumatera Utara Medan, maka
dengan hati yang tulus penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.si, selaku Ketua Jurusan Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Ibu Dra. Ria Manurung, M.si selaku Dosen Pembimbing
5. Bapak/ibu dosen serta staf dan Pegawai Universitas Sumatera Utara Medan
6. Segenap perangkat pemerintahan Kecamatan Pamatang Silimahuta kabupaten
Simalungun yang memberikan informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian
ini.
7. Segenap masyarakat Nagori Siboras kecamatan Pamatang Silimahuta kabupaten
Simalungun terima kasih atas kesediaannya memberikan informasi bagi penelti dalam
8. Ayahanda A. Ginting dan Ibunda B. Tarigan yang sangat saya cintai yang telah banyak
berkorban demi selesainya studi saya dan menjadi motivasi terbesar untuk saya dapat
menyelesaikan skripsi ini.
9. Kakak-kakak saya Benaria Ginting, Rosiek Ginting, yang selalu memberi dukungan dan
menjadi salah satu motivasi bagi saya dan juga abang ipar saya Malem Ukur
Perangin-angin dan Anto Simaringga dan keluarga yang selama ini juga banyak membantu dalam
studi saya.
10.Kawan-kawan di Departemen Sosiologi stambuk 2006.
11.Adik-adik di Departemen Sosiologi stambuk 2007-2010.
12.Kakak-kakak di Departemen sosiologi yang dukungan dan semangatnya.
13.Sahabat-sahabatku atas dukungan kalian selama ini yang selalu ada di saat suka dan duka.
Medan, Maret 2011
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI………. . ……….. i
KATA PENGANTAR……… ………ii
DAFTAR ISI………..iv
DAFTAR LAMPIRAN………vi
BAB I PENDAHULUAN………...1
1.1 Latar Belakang Masalah……….………... 1
1.2. Perumusan Masalah………... 7
1.3. Tujuan Penelitian ………..……… 8
1.4. Manfaat Penelitian………. 8
1.5. Defenisi Konsep……… 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA……… 10
BAB III METODE PENELITIAN……… 16
3.1. Jenis Penelitian……… 16
3.2. Lokasi Penelitian……….. 16
3.3. Unit Analsis dan Informan………... 17
3.4. Teknik Pengumpulan Data………..………... 18
3.5. Teknik Analisa Data………... 18
3.6. Jadwal Kegiatan……….. 19
3.7. Keterbatasan Penelitian……….……….. 20
BAB IV INTEPRETASI DATA……… 21
4.2. Profil Informan……….…………... 42
4.2.1. Informan Kunci ……… ... 43
4.2.2. Informan Biasa……….……… 48
4.3. Robu Mamahpah dan Kehidupan Masyarakat………..………….………51
4.3.1. Waktu pengadaan robu mamahpah ………... 51
4.3.2. Makna pengadaan robu mamahpah terhadap masyarakat………...……… 57
4.4. Proses Jalannya Acara Robu Mamahpah Dalam Masyarakat………. 66
4.5. Proses Pergeseran Makna Robu Mamahpah Dalam Masyarakat ………...80
4.6.Faktor Penyebab Pergeseran Makna Robu Mamahpah ………….……… 86
BAB V PENUTUP………94
5.1. Kesimpulan………...……….. 94
5.2. Saran………... 96
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
Panduan Wawancara L1
Surat Pengajuan Judul Proposal Skripsi L5
Surat Pengangkatan Dosen Pembimbing L7
Surat Permohonan Izin Kelapangan L8
Surat Izin Penelitian L9
ABSTRAK
Etnis Simalungun merupakan salah satu etnis yang ada di Sumatera Utara. Sama seperti etnis lain bahwa etnis simalungun juga memiliki keberagaman kebudayaan yang masing-masing budaya tersebut mengandung makna yang dipercayai oleh masyarakat simalungun. Dalam hal ini termasuk juga masyarakat Nagori Siboras dengan salah satu kebudayaannya yang bernama Robu Mamahpah. Kebudayaan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mempererat hubungan kekeluargaan dengan keluarga dan masyarakat serta untuk melampiaskan rasa sukacita yang dirasakan atas berhasilnya masyarakat memperoleh panen padi dan juga ucapan terimakasih kepada Yang Maha Pencipta karena padi yang mereka tanam telah memperoleh hasil. Dari kegiatan tersebut masing-masing anggota keluarga di pertemukan, dan saling berinteraksi satu sama lain, sehingga terbentuk suatu ikatan kekeluargaan yang kuat diantara mayarakat nagori Siboras dan keluarga mereka masing-masing. Namun karena perkembangan zaman, maka kebudayaan diatas telah mengalami pergeseran baik dari segi ritual maupun makna yang terkandung didalamnya. Hal ini tentunya akan membawa akibat bagi hubungan kekeluargaan masyarakat Nagori Siboras dan juga dengan keluarga mereka masing-masing.
Untuk mengkaji pergeseran makna robu mamahpah dalam masyarakat Nagori Siboras, maka peneliti menggunakan jenis penelitian studi deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Untuk melakukan pengumpulan data di lapangan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi dan studi kepustakaan. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan kepad 3 orang informan kunci dengan perincian 1 orang tokoh adat dan 2 orang keturunan pertama pembuka kampung dan 3 orang informan biasa yang merupakan masyarakat biasa. Data-data yang diperoleh melalui hasil wawancara selanjutnya akan diurutkan dan di klasifikasikan menurut jenisnya. Hasil wawancara tersebut selanjutnya akan di analisis dengan tambahan data lainnya, yang diperoleh melalui observasi dan studi kepustakaan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Dalam masyarakat, dimana pengaruh tradisi yang kuat, kaidah-kaidah yang berlaku
secara turun temurun sama saja dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa banyak
mengalami perubahan. Ukuran-ukuran yang dipakai dalam komunitas itu adalah ukuran yang
dipakai secara turun temurun oleh generasi sebelumnya. Kaidah-kaidah dalam masyarakat
tradisional tidak banyak variasinya, cenderung monoton. Dalam masyarakat yang demikian,
apalagi ditambah dengan hubungan dengan dunia luar kurang, daya kreasi masyarakat sedikit
sehingga tindakan-tindakan yang bersifat anomali agak berkurang.
Dalam masyarakat yang homogen dan tradisional, konformitas masyarakat cenderung
tinggi. Perubahan nilai maupun pergeseran nilai dianggap sebagai sesuatu yang tabu, sehingga
kepatuhan dalam menjaga nilai menjadi sesuatu keharusan bagi semua anggota masyarakat itu.
Setiap masyarakat selama dalam perkembangannya pasti mengalami perubahan. Hal yang
membedakannya adalah kadar perubahan itu sendiri, baik itu perubahan yang sifatnya evolutif
maupun perubahan yang sifatnya revolusioner.
Dalam perkembangannya, masyarakat Indonesia yang secara umum dapat dilihat dalam
perubahan dari agraris ke industri. Hal tersebut dapat dilihat dari mekanisasi pertanian,
banyaknya konversi lahan tani ke lahan industri dan banyaknya urbanisasi yang mengakibatkan
masalah baru di perkotaan. Termasuk dalam hal ini, masyarakat Simalungun yang menjadi lokasi
Etnis simalungun merupakan salah satu etnis asli dari propinsi Sumatera Utara,
Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Etnis Simalungun pada
awalnya merupakan salah satu suku terbesar dan tertua diantara etnis Batak lainnya, namun
belakangan ini etnis ini terancam punah akibat orang-orangnya banyak yang tepengaruh dan
beralih menganut bahkan justru mengaku sebagai suku lain di sekitarnya. Jadi ada yang lebih
senang dikategorikan sebagai penduduk pendatang di Simalungun. Penduduk yang dekat dengan
suku lain disekitarnya banyak yang mengalami asimilasi. Namun eksistensi Simalungun
ditengah-tengah masyarakat sampai saat ini masih tetap dapat dipertahankan keberadaannya
sebagai bagian dari salah satu suku di Indonesia (Purba,2008).
Secara umum sistem mata pencaharian tradisional orang Simalungun sehari-hari adalah
marjuma atau berladang dengan cara menebas hutan belukar (mangimas) yang mengolahnya
untuk tanaman palawija seperti padi, jagung, dan ubi. Banyak proses yang harus dilalui ketika
mereka membuka ladang baru dan keseluruhannya itu harus diketahui oleh Gamot yang
merupakan wakil raja di daerah. Biasanya, diantara perladangannya didirikan bangunan rumah
tempat tinggal (sopou juma) sebagai tempat mereka sementara dan untuk melindungi mereka
dari serangan binatang buas maupun menghalau binatang-binatang yang dapat merusak tanaman
mereka. Selain itu ada juga yang menggolah persawahan (sabah) dengan luas yang relatif sedikit
dengan cara-cara tradisional. Untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan, mereka menenun
pakaian (hiou) yang biasanya dilakukan oleh kaum ibu dan gadis-gadis. Mereka juga menumbuk
padi bersama-sama dengan para pemuda di Losung Huta. Disini biasanya, pada zaman dahulu
para pemuda itu akan memilih pasangannya
Sesuai dengan sistem mata pencahariannya, masyarakat simalungun banyak menciptakan
kebudayaan yang dianggap berguna bagi mereka untuk menjalin interaksi sosial yang lebih baik
didalam kehidupan mereka. Kebudayaan tersebut berbeda antara satu daerah dengan daerah lain
sesuai dengan letak geografis daerahnya. Kebudayaan yang diciptakan oleh masyarakat berupa
selamatan seperti Robu Mamahpah, Pesta Rondang Bittang, dan dapat juga berupa sesaji atau
ritus peralihan yang menyangkut selingkaran hidup seperti upacara kehamilan, kelahiran,
perkawinan dan kematian. Sebagian besar kebudayaan tersebut masih tetap dilaksanakan oleh
masyarakat simalungun sesuai dengan waktu dan kebutuhannya. Sama halnya dengan
masyarakat Nagori Siboras yang menjadi pokok utama dalam penelitian ini, masih tetap setia
melaksanakan kebudayaan Robu Mamahpah setiap tahunnya.
Nagori Siboras merupakan salah satu nagori yang terletak di Kecamatan Pamatang
Silimahuta, kabupaten Simalungun yang berbatasan langsung dengan kabupaten Karo. Oleh
karena letaknya yang berbatasaan dengan Kabupaten Karo, Nagori Siboras memiliki komposisi
penduduk yang bermacam-macam. Komposisi penduduknya adalah suku Simalungun, Karo,
Toba, dan Jawa. Bahasa yang digunakan juga bermacam-macam, ada yang menggunakan bahasa
Simalungun yang menjadi bahasa asli daerah ini dan ada juga yang menggunakan bahasa Karo
dan Toba. Akibat dari perbauran tersebut, masyarakat Nagori Siboras dapat mengguasai
minimal 3 bahasa daerah, yaitu : bahasa Simalungun, Karo dan Toba.
Sistem mata pencaharian masyarakat Nagori Siboras adalah bertani. Jenis tanaman yang
dibudidayakan mengalami perubahan dari generasi ke generasi sesuai dengan perkembangan
zaman. Pada awalnya jenis tanaman yang di budidayakan adalah Padi seperti tanaman utama
masyarakat simalungun secara umum, kemudian beralih menjadi Jahe, kemudian diganti lagi
bertahan sampai sekarang. Meskipun masyarakat telah menjadikan jeruk sebagai tanaman
utamanya, namun masih ada masyarakat yang masih tetap menanam padi sebagai tanaman
sampingan. Hal itu dilakukan karena padi masih menjadi kebutuhan pokok masyarakat.
Seperti yang telah dijelaskan pada pernyataan sebelumnya, Nagori Siboras merupakan
salah satu desa di Simalungun yang tetap setia melaksanakan kebudayaan yang diciptakan oleh
masyarakat Simalungun sendiri. Salah satu kebudayaan khas dari Nagori Siboras adalah Robu
Mamahpah. Kebudayaan Robu Mamahpah ada sejak masyarakat Nagori Siboras masih
menjadikan padi sebagai tanaman utama mereka. Robu mamahpah ini merupakan suatu acara
pesta yang paling besar dan yang paling megah yang dilaksanakaan secara turun-temurun oleh
warga sekampung setiap tahunnya, karena acara ini merupakan sarana untuk menyampaikan rasa
terimakasih kepada Yang Maha Pencipta atas hasil panen padi yang telah diperoleh. kebudayaan
ini juga merupakan sarana untuk mempertemukan keluarga dari berbagai tempat yang berbeda
untuk menjalin hubungan persaudaraan yang lebih erat, dan bagi pemuda-pemudi desa,
kebudayaan ini merupakan sarana bagi mereka untuk menjalin hubungan kebersamaan dengan
teman–teman mereka sekampung dan tidak tertutup kemugkinan dengan pemuda - pemudi dari
daerah lain.
Sebelumnya, robu mamahpah ini merupakan salah satu dari tiga bagian kebudayaan yang
langsung berhubungan dengan penanaman, perawatan dan panennya padi. Ketiga kebudayaan
1. Robu
Robu diadakan pada bulan November yang biasanya dilalaksanakkan antara tanggal satu
sampai dengan tanggal 15 yang diadakan dirumah masing – masing keluarga yang ada di
desa tersebut. Pesta ini merupakan persiapan masyarakat untuk melakukan penanaman
padi pada bulan Desember, dimana manfaat pesta ini bagi mayarakat adalah supaya padi
yang akan mereka tanam dapat memberikan hasil yang maksimal dan memuaskan bagi
mereka. Didalam pesta tersebut, masyarakat memohon kepada Yang Maha Pencipta
supaya diberikan hasil yang melimpah dan memuaskan bagi masyarakat agar usaha yang
mereka lakukan tidak merugikan mereka. Kegiatan yang dilakukan dalam Robu ini
adalah Berbagi dengan keluarga yang berasal dari daerah lain dan juga membicarakan
masalah–masalah yang ada didalam keluarga supaya dapat menghasilkan keputusan yang
terbaik bagi semua pihak. Makanan khas Robu adalah Nitak.
2. Robu Mangalumi
Robu mangalumi diadakan masyarakat pada bulan Mei yang diadakan di lahan pertanian
mereka masing-masing atau di tempat mereka menanam padi. Robu mangalumi
diadakan karena padi yang sudah mereka tanam pada bulan desember sedang dalam
keadaan bunting, Sehingga mereka memohon kepada Sang Pencipta agar padi tersebut
tetap terawat dan tidak ada gagal. Selain itu, makna lain yang dipercayai oleh masyarakat
dari acara ini adalah supaya mereka yang ada dalam keluarga tersebut semuanya dalam
Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam acara Robu Mangalumi adalah
hanya memantau dan melihat keadaan padi yang dalam keadaan bunting tersebut. Selama
dua hari berturut–turut tidak ada diantara masyarakat yang bekerja ataupu melakukan hal
lain, melainkan mereka semua hanya melakukan apa yang menjadi kesenangan mereka
yang sesuai dengan keinginannya dan juga menikmati makanan yang sudah mereka
persiapkan sebelumnya. Makanan khas pada acara tersebut adalah Lemang.
3. Robu Mamahpah
Robu mamahpah merupakan satu – satunya dari ketiga budaya tersebut yang bertahan
sampai sekarang. Pesta ini diadakan setiap bulan Agustus yang biasanya diadakan pada
hari sabtu pada minggu kedua. Acara ini diadakan setelah semua masyarakat Nagori
Siboras telah selesai memanen padi yang sudah mereka tanam pada bulan Desember dan
sudah mereka rawat sampai akhirnya panen pada bulan Juli. Dalam acara tersebut setiap
keluarga memestakan hasil karya yang telah mereka kerjakan selama 7 bulan lamanya.
Acara ini juga menjadi sarana bagi masyarakat dalam menyampaikan rasa syukur dan
terimakasih mereka terhadap sang pencipta karena sudah memberkati padi yang mereka
tanam sehingga dapat menghasilkan hasil yang memuaskan bagi mereka. Acara robu
mamahpah juga menjadi acara yang paling besar dan yang paling megah diantara acara
kebudayaan sebelumnya.
Adapun yang menjadi makanan khas dari robu mamahpah adalah Pahpah yang
dilengkapi dengan bebagai jenis makanan mewah lainnya seperti lemang, daging, dan
Budaya Robu mamahpah sudah terbentuk lama di Nagori Siboras. Tetapi tidak ada
masyarakat yang mengetahui secara pasti kapan pertama kalinya budaya tersebut lahir karena
budaya tersebut telah menjadi tradisi dan sudah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat.
Namun meskipun masyarakat tidak mengetahui awal kelahiran budaya Robu mamahpah,
masyarakat Nagori Siboras tetap setia melaksanakan kegiatan tersebut. Karena pada dasarnya
adat dan budaya didalam implementasinya berfungsi menciptakan dan memelihara keteraturan,
ketentuan-ketentuan adat dan budaya dalam jaringan sosial diadakan untuk menciptakan
keteraturan, sehingga tercapai harmonisasi hubungan secara horizontal sesama warga dan
hubungan vertical kepada Tuhan (Simanjuntak,2001).
Melalui observasi awal yang telah dilakukan, Masyarakat sekarang lebih cenderung
mengadakan robu mamahpah tersebut hanya sebagai rutinitas dan bahkan banyak masyarakat
yang tidak mengetahui apa sebenarnya makna dari RobuMamahpah tersebut. Sehingga banyak
dari masyarakat tidak mengetahui bahwa pengadaan robu mamahpah tersebut telah mengalami
pergeseran makna bagi masyarakat.
Pergeseran makna budaya yang telah terjadi tersebut menjadi landasan awal bagi peneliti
untuk mencoba melakukan penelitian lebih jauh guna menggali aspek – aspek yang melingkupi
pergeseran makna Robu Mamahpah dalam masyarakat. Selain itu alasan lain dari sipeneliti untuk
mengkaji masalah robu mamahpah adalah karena peneliti sendiri berasal dari daerah tersebut dan
selalu terlibat dalam kegiatan robu mamahpah.
1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam
1. Bagaimana proses pergeseran Makna Robu Mamahpah dalam masyarakat Nagori Siboras
Keecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun?
2. Faktor apa yang mempengaruhi pergeseran makna Robu Mamahpah dalam masyarakat
Nagori Siboras, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun?
1.3.Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian in adalah :
1. Untuk mengetahu bagaimana proses pergeseran Makna Robu Mamahpah dalam
masyarakat Nagori Siboras Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun?
2. Untuk mengetahui apa faktor yang mempengaruhi pergeseran makna Robu Mamahpah
dalam masyarakat Nagori Siboras, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten
Simalungun?
1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan
khususnya yang berkaitan dengan pergeseran makna robu mamahpah dalam masyarakat.
1.4.2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literatur kajian
terhadap perkembangan ilmu sosiologi. Sekaligus menjadi acuan bagi penelitian berikut ini
khususnya kajian yang berhubungan dengan pergeseran makna robu mamahpah dalam
1.5.Defenisi Konsep
Berdasarkan uraian diatas dan topik permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini,
maka dapat diambil batasan dalam konseptual, yakni sebagai berikut :
a. Pergeseran. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (Umi Chulsum dan Windy Novia,
2006), pergeseran adalah pergesekan, perpindahan tempat atau kedudukan, pergantian.
Dalam hal ini pergeseran yang dimaksud adalah pergeseran kedudukan dan fungsi atau
makna dalam masyarakat.
b. Robu adalah suatu acara atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam
menyambut hari penanaman padi, dimana dalam acra ini merupakan hari permohonan
kepada Tuhan supaya padi yang akan di tanam dapat tumbuh dengan baik dan
menghasilkan hasil yang banyak dan baik.
c. Robu mangalumi adalah suatu acara atau kegiatan yang dilakukan oleh setiap rumah
tangga yang ada di nagori siboras di ladang masing – masing yang merupakan tempat
dimana mereka menanam padi, dimana setiap rumah tangga tersebut mengucapkan
terimakasih kepada Tuhan karena padi yang telah mereka tanam pada bulan desember
sebelumnya sudah tumbuh besar dan sedang mengalami bunting(hamil) dan memohon
kepada Tuhan agar padi yang sedang bunting tersebut dapat lahir dengan baik dan tidak
ada yang gagal atau gugur.
d. Robu mamahpah adalah suatu acara atau pesta yang dilakukan oleh masyarakat
sekampung, dimana acara ini merupakan acara ucapan terimaksih kepada Tuhan karena
sudah memberikan hasil dari padi yang telah ditanam dan dirawat sampai panen dan telah
dapat menikmati hasilnya. Acara ini merupakan acara untuk memestakan hasil karya
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat
ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu
adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun
temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma
sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain,
tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
12.25).
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
12.25).
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah
sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain,
yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
12.25).
Teori interaksionisme simbolik yang dikembangkan oleh G.H Mead dan Herbert Blumer
merupakan aliran sosiologi Amerika yang lahir dari tradisi psikologi. Teori ini berkembang
pertama kali di Universitas Chicago dan dikenal sebagai Aliran Chicago (Poloma, 2004 : 257).
Istilah “interaksi simbolik” menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang
berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia
menginterpretasikan atau “mendefinisikan” tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi manusia
dimediasi oleh penggunaan symbol-simbol oleh interpretasi atau oleh penerapan makna dari
tindakan orang lain. Simbol merupakan sesuatu yang nilai dan maknanya diberikan kepadanya
oleh mereka yang mempergunakannya. Makna atau simbol hanya dapat ditangkap melalui cara
sensoris.
pkl 12.25).
Psikologi sosial Mead didominir oleh pandangan yang melihat realitas sosial sebagai
proses daripada sebagai sesuatu yang statis. Manusia maupun aturan sosial berada dalam proses
akan jadi, bukan sebagai fakta yang lengkap. Mead berkecimpung dengan masalah yang rumit
yaitu bagaimana proses individu menjadi anggota organisasi yang kita sebut masyarakat
Selanjutnya Mead mengemukakan bahwa pikiran merupakan suatu proses, dengan proses
itu individu menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Pikiran atau kesadaran muncul dalam
proses tindakan. Namun demikian individu-individu tidak bertindak sebagai organisme yang
terasing. Sebaliknya tindakan-tindakan mereka saling berhubungan dan saling tergantung. Proses
komunikasi dan interaksi dimana individu-individu saling mempengaruhi dan saling
menyesuaikan diri atau dimana tindakan-tindakan individu saling cocok, tidak berbeda secara
kualitatif dan proses berfikir internal (Johnson, 2005 : 11).
Menurut Mead orang tak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari
dirinya sendiri. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara
simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain manusia dapat menyadari
dirinya secara sadar dalam perilakunya dari sudut pandang orang lain. Sebagai akibatnya, mereka
dapat mengkonstruksikan perilakunya dengan sengaja untuk membangkitkan tipe respons pada
orang yang sedang melakukannya seperti terjadi pada orang kemana isyarat itu diarahkan
merupakan sebuah isyarat yang berarti. Respon yang sama ini merupakan arti isyarat, dan
munculnya arti-arti bersama ini memungkinkan komunikasi simbol (symbolic communication).
Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, simbol berada pada proses yang kontiniu.
Proses penyampaian makna inilah yang merupakan subjek matter dari sejumlah analisa kaum
interaksionis. Dalam interaksi orang belajar memahami simbol-simbol konvensional dan dalam
suatu pertandingan mereka belajar menggunakannya sehingga mampu memahami peranan
Menurut Blumer istilah interaksionisme simbolik menunjuk kepada sifat khas dari
interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan saling
mendefenisikan tindakannya. Bukan hanya sebagai reaksi belaka dari tindakan seseorang
terhadap orang lain. Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap
tindakan-tindakan orang lain, tetapi didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan-tindakan orang lain
itu. Interaksi antar individu diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan
saling berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing (Ritzer,2004 ; 63).
Interaksionisme simbolik yang di ketengahkan Blumer mengandung sejumlah root
images atau ide-ide dasar yang dapat diringkas sebagai berikut :
1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling
bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai
organisasi atau struktur sosial.
2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan
manusia lain. Interaksi non simbolis mencakup stimulus-respon yang sederhana.
Sedang interaksi simbolis mencakup penafsiran tindakan.
3. Objek-objek tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan
produksi interaksionisme simbolik.
4. Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal tetapi mereka dapat melihat dirinya
sebagai objek.
5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri
6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok;
hal ini dibuat sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai organisasi sosial dari
Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar
individual dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya
melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata suatu
tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya, atau dari
luar dirinya, tetapi tindakan itu merupakan hasil daripada proses interpretasi terhadap stimulus.
Jadi merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling
menyesuaikan makna dari simbol-simbol itu. Meskipun norma-norma nilai-nilai sosial dan
makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya namun dengan
kemampuan berpikir yang dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah
laku yang didapati dari apa yang diamati. Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitin secara holistic (utuh), misalnya tentang
perilaku, motivasi, tindakan, dan sebagainya(Moleong, 2005:4).
Studi deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menggambarkan atau melukiskan
sejumlah fenomena dan masalah yang diteliti didalam masyarakat. Penelitian deskriptif ini
dipilih karena penelitian ini hanya terbatas pada usaha untuk mengungkapkan suatu fenomena,
permasalahan, keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar
mengungkapkan fakta yang terjadi dalam proses sosialisasi.
3.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yaitu Nagori Siboras, Kecamatan Pamatang Silimahuta, Kabupaten
Simalungun. Pemilihan lokasi tersebut adalah karena Nagori Siboras merupakan desa yang selalu
rutin mengadakan pesta Robu Mamahpah dan memiliki penduduk yang terpadat diantara desa
sekitarnya. Dan mayoritas penduduknya adalah suku Simalungun. Selain itu, alasan lain dari
3.3. Unit Analisis dan Informan
Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Unit
analisis dalam penelitian ini adalah:
a. Ritual Robu Mamahpah
b. Simbol adat dalam acara Robu Mamahpah
Sedangkan yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah :
1. Informan Kunci yang terdiri dari dua pihak.
Adapun yang menjadi informan kunci adalah :
a. Satu orang penatua adat
b. Satu orang tokoh Agama
c. Satu orang tokoh marga
d. Satu orang aparatur desa
e. Dua orang informan yang memahami dengan baik tentang robu mamahpah seperti
keturunan dari generasi pertama pembuka kampung.
2. Informan Biasa
Adapun yang menjadi informan biasa adalah :
a. Dua orang masyarakat umum yang aktif ikut melaksanakan acara robu mamahpah
b. Dua orang masyarakat umum yang sudah tinggal di Nagori Siboras lebih dari 10
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang telah digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Data primer dengan cara observasi partisipatif dan wawancara mendalam.
Dalam hal ini peneliti ikut dalam proses pengambilan data, dan peneliti mengadakan
pengamatan secara langsung. Hal tersebut dilakukan dengan cara ikut terlibat dalam kegiatan
tersebut dan mengamati setiap ritual yang telah dilakukan. Peneliti juga merasakan apa yang
dirasakan oleh masyarakat setempat dalam mengikuti kegiatan tersebut.
Wawancara mendalam dilakukan oleh peneliti kepada inofrman dengan menggunakan
pedoman wawancara ( interview guide ).
b. Data sekunder
Data sekunder diperlukan untuk melengkapi dan menyempurnakan hasil
penelitian yang telah dilakukan. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui
studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan suatu sumber yang diambil beupa
buku referensi yang memperkuat teori dan pembahasan yang ada. Referensi bahan
yang diperoleh tidak hanya berpatokan kepada buku, melainkan juga dapat bersumber
dari internet, suarat kabar yang berkaitan langsung dan dianggap relevan dengan
penelitian.
3.5. Teknik Analisa Data
Analisa data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data kedalam pola,
kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat ditemukan hipotesis
Setelah data direkam maka dilakukan pencatatan dengan jelas, baik itu catatan lapangan,
wawancara maupun data penunjang lainnya dan dikumpulkan. Setelah semua data terkumpul,
maka dilakukan analisis data dan diinterpretasikan dengan mengacu pada tinjauan pustaka. Dan
hasil observasi diuraikan di narasikan untuk memperkaya hasil wawancara sekaligus melengkapi
data. Setiap data yang diperoleh diinterpretasikan untuk menggambarkan secara jelas keadaan
melalui kata berdasarkan dukungan teori dan tanjauan pustaka.
3.7. Keterbatasan Peneliti
Selama dalam proses penelitian ini, peneliti menghadapi beberapa kendala. Adapun
kendala tersebut yaitu :
1. Kendala dalam bahasa simalungun, dimana para informan terutama informan kunci dan
masyarakat biasa semuanya menggunakan bahasa simalungun dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam proses wawancara. Namun untuk mengatasi
hal tersebut, peneliti biasanya menanyakan ulang istilah-istilah dalam bahasa simalungun
yang kurang dipahami maknanya kepada orang yang diwawancarai, atau minta bantuan
kepada orang di tempat penelitian tersebut untuk menterjemahkan hasil wawancara
tersebut kedalam bahasa Indonesia dan juga mencari artinya dalam kamus atau referensi
BAB IV
INTERPRETASI DATA
4.1. Setting Lokasi
Nagori Siboras dahulu merupakan lahan kosong yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat
manapun, tidak berpenghuni dan juga merupakan wilayah yang berbukit-bukit dan dipenuhi oleh
hutan bambu. Dibawah tahun 1922, oppung masyarakat Nagori Siboras yang bernama Djabottar
Girsang beserta dengan istrinya datang ke tempat tersebut untuk bersembunyi dari kejaran
bangsa belanda yang paada saat itu masih menjajah Indonesia. Wilayah yang mereka tempati
dahulu adalah wilayah rumah juluan yang artinya suatu wilayah yang ada di Nagori Siboras.
(BPS : Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten Simalungun, 2010).
Diwilayah tersebut mereka berdua memulai aktivitas mereka yang baru dengan cara
membuka lahan baru untuk bertani yang sekaligus juga untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Didalam keseharian mereka, sekali seminggu mereka juga datang berkunjung ke tempat
asal mereka semula untuk menjual hasil pertanian mereka, membeli apa yang menjadi kebutuhan
mereka, melakukan barter dengan masyarakat lain dan juga tidak jarang mereka mengajak
masyarakat lain untuk bergabung dengan mereka tinggal di tempat tinggal mereka yang baru
dengan alasan wilayah tersebut lebih aman dan banyak tempat bersembunyi jika bangsa belanda
datang mencari mereka. Ajakan mereka tersebut pada awalnya tidak berhasil dan tidak ada yang
bersedia tinggal di wilayah tersebut. (BPS : Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten
Seiring dengan berjalannya waktu, mereka dikarunia dua orang anak yang bernama Djauri
Girsang dan Djabona Girsang. Mereka semua merasakan hidup yang aman dan tenang hidup di
wilayah tersebut. Sementara masyarakat yang tinggal di wilayah mereka sebelumnya, tetap tidak
bisa tenang oleh karena bangsa belanda yang ingin menjadikan mereka untuk kerja paksa.
Dengan rasa aman yang dirasakan oleh Djabottar Girsang dengan keluarganya, mereka tidak
ingin teman-teman mereka tetap tertindas di tempat tinggal awal mereka. Suatu ketika mereka
satu keluarga pergi ke tempat asal mereka untuk menjual hasil pertanian mereka sekaligus
mengajak saudara dan keluarga mereka yang lain untuk bergabung dengan mereka tinggal di
tempat mereka yang baru. Setelah saudara dan keluarga mereka melihat fakta bahwa Djabottar
Girsang dan keluarganya aman ditempat mereka yang baru, maka mereka pun bersedia tinggal di
tempat tersebut. Setelah beberapa puluh tahun, mereka pun merasa nyaman ditempat tersebut dan
sudah merasa bahwa itulah kampung mereka yang akan mereka tempati selama hidup mereka.
(BPS : Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten Simalungun, 2010).
Pada tanggal 26 Desember 1922, Raja Van Silimakuta memanggil Djauri Girsang dan
Djabona Girsang untuk menghadap, untuk membicarakan nama dari wilayah yang mereka
tempati. Kemudian Djauri Girsang dan Djabona Girsang mengusulkan nama Nagori Siboras
dengan alasan bahwa wilayah yang mereka tempati selalu berhasil dalam pertanian dan aman
dari luar. Kemudian Raja Van Silimakuta menyetujui nama desa tersebut dan meresmikannya,
dan juga sekaligus mengangkat Djauri Girsang dan Djabona Girsang sebagai raja pertama Nagori
Setelah Djauri Girsang dan Djabona Girsang diangkat menjadi raja, maka mereka berdua
juga melantik beberapa tokoh masyarakat yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat umum.
Adapun tokoh masyarakat yang telah dilantik yaitu :
a. Guru sahuta. Guru sahuta bertugas untuk menentukan hari apa untuk memulai
memanggil hujan pada saat musim kemarau agar hujan segera turun. Posisi ini
dipegang oleh marga Girsang.
b. Sipotong Hambing. Orang yang memegang jabatan ini bertugas untuk menentukan hari
untuk memulai menanam padi. Jabatan ini dipegang oleh marga Tambun.
c.Persaudaraan dipegang oleh marga Girsang parkarah
d. Mohpoh Jawak yaitu menantu dari Raja Nagori Siboras. Mohpoh jawak ini mendirikan
rumah di alaman jawak yang juga sekaligus menjadi pelebaran Nagori Siboras sampai
sekarang.
Masing-masing dari setiap tokoh tersebut bertanggung jawab kepada Raja Nagori Siboras, dan
raja Nagori Siboras bertanggung jawab kepada Raja Van Silimahuta. (BPS : Kecamatan
Pamatang Silimahuta Kabupaten Simalungun, 2010).
Sejarah Nagori Siboras tersebut juga dibenarkan oleh informan kunci S.F. Girsang (lk, 72
Tahun):
Djabottar Girsang. Jadi mereka jugalah yang mengusulkan nama desa ini sama raja van silimahuta waktu itu. Itulah sejarahnya dulu desa ini…”
(Wawancara Nopember 2010)
Berdasarkan hasil observasi dan data yang diperoleh dari sekretaris desa dan kantor
Camat Pamatang Silimahuta, secara administrasi Nagori Siboras berada dibawah naungan
Kecamatan Pamatang Silima Huta dan Kabupaten Simalungun. Desa ini merupakan salah satu
desa yang padat penduduknya jika dibandingkan dengan desa yang berada disekitarnya.
Topografi wilayah ini terletak didataran tinggi yang merupakan daerah yang sejuk. Atmosfir
pedesaan masih terlihat dengan jelas dari hasil observasi peneliti, dimana pemukiman yang
dikelilingi oleh hutan dan perladangan mayarakat.`
Luas wilayah desa ini adalah 4km2 atau 1202 Ha dimana luas wilayah tersebut didominasi
oleh lokasi-lokasi perladangan yang tersebar diluar perkampungan, hingga sampai kedaerah
perbatasan desa sekitarnya. Berdasarkan hasil observasi peneliti, hanya sediikit ruang yang
kosong di desa ini, dimana tanah-tanah telah diusahakan secara intensif untuk kegiatan pertanian.
Sebagian besar penduduk desa ini hidup bergerak disektor pertanian, dimana komoditas yang
dihasilkan yaitu buah dan sayur-mayur dan hanya sebagian kecil mayarakat yang bergerak
disektor lain seperti wiraswasta, pedagang, dan lainnya.
Wilayah Nagori Siboras ini berbatasan dengan :
• Desa Saribujandi di sebelah utara,
• Desa Mardinding di sebelah selatan • Desa Nagasaribu di sebelah barat, dan
Dari hasil observasi, desa ini tidak terlalu sulit untuk dijangkau karena tidak terlalu jauh
dari Kelurahan Saribudolok. Jarak desa ini ke Kelurahan Saribudolok adalah sejauh 7 kilometer.
Jarak ini dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan umum dengan lama tempuh 30 menit,
dan dapat juga ditempuh melalui jalan baru yang telah dipersiapkan pemerintah untuk mencapai
ke kecamatan dengan jarak 3 kilometer melewati perladangan masyarakat tetapi dengan
menggunakan kendaraan pribadi dengan lama tempuh 15 menit.
Kondisi jalan yang dulunya beraspal semakin rusak diakibatkan oleh banyaknya mobil
angkutan barang yang mengangkut hasil pertanian penduduk. Sarana jalan tersebut semakin
rusak karena semakin banyaknya mobil berat yang mengangkut kayu yang telah dijual oleh
masyarakat desa dan tidak adanya usaha-usaha yang dilakukan untuk memperbaikinya, baik dari
aparat pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Kondisi diatas digambarkan oleh D. Sipayung
(lk, 49 Tahun) :
“dulu jalan disini udah beraspal nya ini semua.. tapi akibat dari mobil berat yang sering masuk kesini untuk mengangkut hasil pertanian, jadi berusakanlah jalan ini. Inilah akibatnya. Apalagi ditambah lagi dengan mobil yang lebih berat lagi yang mau mengangkat kayu, oh… makin rusak lah. Banyak kali pulanya yang menjual kayu disini.”
(wawancara Nopember 2010)
Hal yang sama juga diutarakan oleh J. Jawak (lk, 50 Tahun) :
“sebenarnya jalan ini rusak karena mobil berat nya ini. Untuk mengangkut hasil pertanian orang sini kan banyak itu mobil berat yang masuk kekampung. Belum lagi mobil kayu itu. Itu yang paling besar yang buat jalan ini rusak. Tapi walaupun jalan ini udah rusak mereka buat, gak ada itu yang mau memperbaiki.”
Administrasi desa terdiri atas dua lokasi yang terpisah. Nagori Siboras memiliki 4 gamot
yang artinya dusun dimana satu lokasi terpisah menjadi dusun tersendiri yaitu Gamot
Sigarantung. Sementara gamot lain yg tempatnya berada dalam satu lokasi yaitu Gamot Rumah Uruk, Gamot Alaman Jawak, dan gamot Rumah Juluan. (Kantor Kepala Desa Nagori Siboras,
2010).
Desa ini juga memiliki penduduk yang padat. Berdasarkan pendataan yang dilakukan
oleh aparat desa yang bersangkutan, penduduk desa ini pada tahun 2010 berjumlah 2.515 jiwa.
Banyaknya jumlah kepala keluarga di desa ini adalah 668 kepala keluarga. Dari segi persentase
jenis kelamin, perempuan merupakan jenis kelamin yang terbanyak terdapat di desa ini dengan
jumlah 1.402 jiwa atau 55,75%, dan penduduk laki-laki sendiri berjumlah 1.113 jiwa atau
44,25%. (Kantor Kepala Desa Nagori Siboras, 2010).
Komposisi penduduk berdasarkan usia produktif, penduduk di desa ini dihuni oleh
masyarakat yang berusia antara 0 – 16 tahun dengan jumlah penduduk 1158 Jiwa atau 46%,
kemudian disusul dengan masyarakat yang ber usia 17 – 55 Tahun dengan jumlah 1000 jiwa
atau 39,8 %, dan masyarakat yang ber usia 56 tahun keatas dengan jumlah penduduk 357 Jiwa
atau jika di persentasekan sama dengan 14,2 %. (Kantor Kepala Desa Nagori Siboras, 2010).
Berdasarkan suku bangsa, penduduk yang tinggal di desa ini adalah mayoritas Suku
Batak Simalungun dengan jumlah penduduk 1790 jiwa atau 71,2%, dan hanya sebagian kecil
dari jumlah penduduk yang bersuku lain, seperti suku Batak Karo dengan jumlah penduduk 338
jiwa atau setara dengan 13,4%, Suku batak Toba dengan jumlah penduduk 206 jiwa atau 8,2%,
dan Suku Jawa, pakpak dan nias dengan jumlah 181 jiwa atau 7,2%. Dari persentase diatas dapat
simalungun. Sementara yang paling sedikit adalah gabungan antara suku bangsa Jawa, Pakpak,
dan Nias.
Dari hasil observasi, masyarakat Nagori Siboras pada umumnya bermata pencaharian
sebagai petani, pedagang, dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Dengan potensi utama
daerah dibidang agribisnis. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan
merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi Nagori Siboras. Gambaran
diatas juga dibenarkan oleh J. Jawak (lk, 50 Tahun) yng merupakan kepala desa di lokasi
penelitian :
“orang-orang disini itu kebanyakan bekerja sebagai petani nya… karena memang disnini itu kan lahannya cocok untuk petani. Selain itu ada juga orang disini sebagai pedagang dan hanya sedikit itu yang sebagai pegawai negeri. Yang pegawai negeri bisa dihitung jarilah…”
(wawancara Nopember 2010)
Ketika ditanya mengenai pertumbuhan ekonomi di Nagori Siboras J. Jawak (lk, 50 Tahun)
menjawab :
“disni pertumbuhan ekonominya cepatlah menurut aku. Hasilnya bisa dilihat kan pembangunan desa yang terus jalan. Hasilnya juga bisa dilihat dengan nyata kan…”
(wawancara Nopember 2010)
Keberagaman dalam konteks pekerjaan juga terlihat di Nagori Siboras. jika di
persentasekan dari total jumlah penduduk Nagori Siboras, maka masyarakat yang bekerja
sebagai petani ada 1503 jiwa atau 59,8 %, balita dan pelajar ada 991 jiwa atau 39,3%, pedagang
14 jiwa atau0,6 % dan yang terakhir adalah PNS ( pegawai negeri sipil ) dengan jumlah
Sistem ekonomi penduduk desa didominasi oleh sektor pertanian. Penggunaan lahan
pertanian lebih terkonsentrasi pada penggunaan lahan kering (perladangan) meskipun masih
banyak lahan basah (persawahan) yang belum dimaksimalkan penggunaannya. Jika
dipersentasekan luas wilayah desa dan pemanfaatannya secara keseluruhan maka pemanfaatan
sebagai perladangan ada 1076 Ha atau 89,5%, persawahan 80Ha atau setara dengan 6,7 %,
pemukiman 28 Ha atau 2,4 %, dan lainnya 18 Ha atau 1,5 %. Total keseluruhan wilayah Nagori
Siboras adalah 1202 Ha. (Kantor Kepala DesaNagori Siboras, 2010)
Gambaran diatas juga dibenarkan oleh B. Jawak (pr, 42 Tahun) :
“kalo kami disini rata-rata berladang nya. Sawah disini memang cukup luas, tapi kami lebih suka berladang. Karena untungnya lebih banyak dapat dari ladang.”
(wawancara Nopember 2010)
Hal yang sama juga diungkapkan oleh S. Sipayung (lk, 38 Tahun) :
Kebanyakan berladang nya kami disini. Sawah memang ada tapi kebanyakan gak dipake nya kulihat. Kalo kami sendiri gak ada make sawah karena memang kami gak punya sawah yang bisa dipake… heheheheh… tapi meskipun mungkin kami punya sawah kami pasti make ladang kok. Untungnya kan lebih jelasnya dari ladang ini.”
(wawancara Nopember 2010)
Masyarakat Nagori Siboras sudah terbiasa dengan kehidupan mereka yang hidup sebagai
petani. Jenis tanaman utama yang mereka tanam atau budidayakan telah empat kali mengalami
pergantian yang sesuai dengan kemampuan, pergantian musim dan peluang untung yang mereka
perkirakan. Awalnya semua nenek moyang mereka selalu menanam padi dengan luas lahan
yang digunakan bisa mencapai tiga Ha per keluarga. Jenis tanaman utama mereka tersebut
bertahan sampai sekitar tahun 1984. Gambaran diatas diperoleh melalui wawancara terhadap P.
“kalo orang-orang sini sudah terbiasa itu hidup sebagai petani. Bertani apapun kalo bisa menghasilkan pasti dicoba nya itu. Makanya orang-orang sini udah sampai empat kali itu pernah mengalami pergantian jenis tanaman utama kan... Karena kan harus disesuaikan juga itu dengan kemampuan kami dalam dana, tenaga, peluang untungnya dan juga musim yang cocok kan… karena sekarang ini gampang kali cuaca berubah. Awalnya dulu kan opung kami disini tanaman utamanya kan padi nya.. makanya lahan nya itu bisa mencapai 3 ha per keluarga. Tapi itu bertahan hanya sampai kira-kira tahun 1984..”
(wawancara Nopember 2010)
Informan B. Jawak (pr, 42 Tahun) juga menyatakan :
“kalo kami udah biasanya itu jadi petani.. karena memang dari situlah kami bisa makan kan.. jadi kalo cari makan itu, apapun bisa lah kami tanam disini. Yang penting bisa menghasilkan. Tapi bukan ganja ya… yang aku tau aja, di desa kami ini entah udah berapa kali itu mengalami pergantian jenis tanaman utama. Kalo gak salah ada empat kali itu. Yang pertama dulu kan padi nya itu yang jadi tanaman utama disini. Tapi kira-kira tahun delapanpuluhan dulu berganti lagi. Agak lupa aku tahun delapanpuluh berapa itu kemarin.”
(wawancara Nopember 2010)
Pada sekitar tahun 1985, pemikiran masyarakat mengalami kemajuan dimana mereka
mulai memikirkan jenis tanaman apa yang bisa mereka budidayakan yang musim panennya tidak
terlalu lama seperti padi yang hanya dapat dua kali panen setiap tahun. Tidak lama setelah itu,
ada salah satu keluarga pendatang di desa tersebut yang juga merupakan salah satu alumni
perguruan tinggi dimedan yang telah mendapatkan gelar sebagai Insinyur pertanian melakukan
penanaman kentang. Setelah tiga bulan lamanya , kentang tersebut sudah dapat di panen dan
orang tersebut mendapatkan untung yang besar. Karena belum ada orang lain yang menanam
kentang di desa tersebut, dia bisa mendapatkan penawaran harga yang tinggi. Setelah masyarakat
dan juga sekaligus membeli bibit kentang kepadanya. Setelah itu, masyarakat desa tersebut mulai
menguranggi lahan yang biasanya digunakan untuk menanam padi, dan menggunakan sisa lahan
tersebut untuk menanam kentang. Pada saat itu kentang masih digunakan sebagai tanam utama
kedua setelah padi.Gambaran diatas diperoleh melalui wawancara terhadap P. Simaringga (lk, 48
Tahun) :
“….. dan sekitar tahun 1985, kami orang sini mulai memikirkan hal yang baru lah kan. Yang kami pikirkan itu apa lah yang bisa di tanam yang waktu panennya tidak selama masa panen padi. Karna padi kan cuma dua kalinya bisa panen dalam setahun. Gak lama setelah itu, adalah kemarin orang baru datang ke kampung kami ini yang tinggal menetap disini. Mereka mau datang kesini karena memang ada saudara mereka disini. Katanya dia itu tamatan kuliah bagian pertanian. Dan memang dinamanya itu ada memang ditulisnya Ir. Waktu itu mereka datang membawa beberapa goni bibit kentang. Awalnya kami biasa aja melihat mereka gitu. Tapi tiga bulan setelah mereka menanam kentang itu, mereka sudah panen dan dapat harga yang tinggi pula itu. Mungkin karena Cuma mereka yang ada menanam kentang disini. Setelah itu mulailah kami belajar menanam dan merawat kentang sama mereka. Baru… kami juga membeli bibit dari mereka. Setelah itu mulailah kami disini menanam kentang. Tapi waktu itu padi masih tetap menjadi tanaman utama kami disini.”
(wawancara Nopember 2010)
Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat semakin menikmati hasil yang lebih
memuaskan dari penanaman kentang, akhirnya masyarakat telah membuat kentang sebagai
tanaman utama mereka dan membuat padi sebagai tanaman utama kedua setelah kentang.
Disamping itu, masyarakat juga tidak fokus hanya kepada kedua jenis tanaman tersebut,
melainkan mereka juga sudah menggunakan sebagian kecil lahan mereka untuk menanam cabe,
ubi dan sayur-sayuran. Gambaran diatas diperoleh melalui wawancara terhadap J. Jawak (lk, 50
“setelah kami disini puas dengan hasil yang kami dapatkan dari kentang, makin lama jenis tanaman kami itu sudah jadi lebih luas kentang daripada padi. Selain itu kami juga tidak lagi hanya menanam kentang dan padi. Tapi kami juga menanam cabe, sayur, dan ubi gitu…”
(wawancara Nopember 2010)
Hal senada juga diungkapkan oleh D. Sipayung (lk, 49 Tahun) :
“begitu kami berhasil dari kentang, akhirnya fokus tanaman kami sudah kepada kentang. Bukan ke padi lagi. Pokoknya dari situ padi udah menjadi tanaman utama kedua. Karena tanaman utama itu udah menjadi kentang. Selain itu kan kami juga menggunakan sebagian lahan dari jatah menanam padi untuk menanam tanaman lain. Misalnya ubi, sayur-sayuran. Jenis sayuran itu juga banyak kan..
(wawancara Nopember 2010)
Menjadikan kentang sebagai tanaman utama mereka hanya bertahan sampai tahun 1999.
Hal tersebut terjadi akibat dari krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia pada tahun
1998 yang membuat harga-harga barang melonjak naik dan juga harga pupuk yang mengalami
kenaikan mendekati 100%. Antara tahun 1998 sampai dengan tahun 1999, sebenarnya
masyarakat masih mencoba untuk bertahan untuk tetap menanam kentang. Tetapi keberadaan
harga pupuk yang tinggi yang tidak seimbang dengan harga jual kentang yang murah membuat
sebagian besar masyarakat Nagori Siboras mengalami kerugian yang besar. Setelah itu
masyarakat mulai lagi memikirkan jenis tanaman yang cocok untuk mereka tanam sesuai dengan
keadaan perekonomian mereka yang tidak bisa lagi menanam tanaman yang membutuhkan
“waktu kentang kemarin yang jadi tanaman utama disini, terjadilah krisis moneter tahun 1998 kan…? Jadi…. Waktu itu harga-harga kebutuhan naik semua. Rata-rata 100% pula itu naiknya… termasuk juga harga pupuk dan obat semprot naik dua kali lipat kemarin itu. Tapi harga pertanian kami turun… gak seimbang dia. Dari situ, banyaklah kami yang rugi dan bangkrut disini. Tapi awalnya kemarin itu, walaupun kami rugi, tetap juga nya kami coba terus menanam kentang. Tapi tetap juga rugi. Ya… dari situ kami pun berpikirlah untuk mencari jenis tanaman lain yang bisa menguntungkan. Mulai berkuranglah kemarin orang yang menanam kentang. Karena modalnya kan besar kali itu..”
(wawancara Nopember 2010)
Hal yang sama juga diungkapkan oleh D. Girsang (lk, 52 Tahun) :
“Waktu krisis tahun 1999 nya waktu itu awalnya. Udah harga pupuk dan obat naik, harga kentang malah turun drastis… hancurlah kami kan… dari situ ya… dipikirkan lagi lah apa tanaman baru yang bisa mendapatkan untung sama kami. Gak mungkin kan kami bertahan menanam kentang kalo rugi terus…”
(wawancara Nopember 2010)
Setelah itu, tanaman utama masyarakatpun mengalami perubahan dari kentang menjadi
ubi. Sebagian besar masyarakat tidak lagi menanam kentang tetapi sudah fokus untuk menanam
ubi, padi, jagung, cabe dan sayur-sayuran. Menjadikan kentang sebagai tanaman utama hanya
bertahan sampai sekitar tahun 2000. D. Sipayung (lk, 49 Tahun) mengungkapkan :
“…….akibat dari situ… bergantilah tanaman utama orang sini dari kentang menjadi ubi. Orang-orang pun sudah fokus untuk menanam ubi, jagung, cabe, dan sayur-sayuran. Tapi lahannya itu sebagian besar digunakan untuk menanam ubi.”
(wawancara Nopember 2010)
D. Girsang (lk, 52 Tahun) juga menyatakan :
“dari situ kami disini rata-rata menanam ubi lah. Bisa nanti lahan yang kami punya itu lebih dari setengah digunakan untuk menanam ubi. Itulah akibat dari krisis itu.”
Peralihan tanaman utama masyarakat dari ubi menjadi jeruk telah dapat memperbaiki
keadaan perekonomian masyarakat. Jeruk yang dapat panen tiga kali dalam setahun dapat
mengubahkan kehidupan masyarakat jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pada waktu
masyarakat yang menjadikan padi, kentang, dan ubi sebagai tanaman utama mereka. Menjadikan
jeruk sebagai tanaman utama masih tetap bertahan sampai sekarang ini (tahun 2011). Kondisi
perekonomian masyarakat yang sudah jauh lebih baik, juga berdampak terhadap pembangunan
rumah masyarakat dan desa yang juga mengalami perubahan yang jauh lebih baik. Gambaran
diatas diutarakan oleh D. Girsang (lk, 52 tahun) :
“setelah kami menjadikan jeruk jadi tanaman utama kami, kami jadi makin makmurlah. Karena jeruk kan bisa panen tiga kali dalam setahun. Harganya pun jarang kali itu dabawah yang diharapkan. Kalo dibandingkan dengan dulu yang waktu padi, kentang, dan ubi jadi tanaman utama kami, sekarang ini jauhlah lebih baik. Lihatlah… rumah-rumah di desa ini juga udah rata-rata baik kan…?
(wawancara Nopember 2010)
Disamping masyarakat yang sudah menjadikan jeruk sebagai tanaman utama, sebagian
besar masyarakat juga menjadikan kopi sebagai tanaman utama kedua setelah jeruk. Masyarakat
sepertinya sudah fokus kepada jenis tanaman tua yang menurut persepsi mereka dapat
memperoleh untung yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis tanaman muda. Selain itu,
sampai saat ini (tahun 2011), masih ada juga masyarakat yang tetap menanam padi di lahan
pertanian mereka. Namun hanya sebagian kecil dari masyarakat yang tetap bertahan
membudidayakan padi tersebut meskipun statusnya tidak lagi menjadi tanaman utama yang
“setelah jeruk udah menjadi tanaman utama disini, orang-orang disini sudah semakin fokus sama tanaman tua. Karena selain jeruk, sudah banyak juga orang disini yang menanam kopi. Karena memang lebih banyak kan untungnya dari tanaman tua daripada tanaman muda. Tapi walaupun kami disini kebanyakan menanam jeruk dan kopi, tapi masih ada juga yang menanam padi. Tapi tinggal sedikit.
(wawancara Nopember 2010)
J. Jawak (lk, 50 tahun) juga mengatakan :
“karena kami sudah mendapatkan untung yang besar dari jeruk, jadinya kami lebih memikirkan untuk menanam tanaman tua. Makanya sekarang banyak juga kami yang menanam kopi sekarang kan.”
(wawancara Nopember 2010)
Interaksi yang terbangun diantara berbagai suku yang ada di Nagori Siboras mendorong
pertumbuhan ekonomi yang kebanyakan bergerak dalam sektor informal terutama sektor
pertanian dan perdagangan. Perpaduan berbagai suku bangsa yang terdapat di Nagori Siboras
mampu menciptakan keadaan yang rukun, damai dan kondusif bagi iklim pertanian dan
perdagangan yang dapat memberikan citra yang positif bagi Nagori Siboras, meskipun terdapat
berbagai konflik yang terjadi, tetapi masing-masing masyarakat masih mampu mengendalikan
atau meredam konflik tersebut, sehingga Nagori Siboras yang dikenal dengan desa yang
masyarakatnya majemuk dikenal sebagai salah satu desa yang cukup aman dan rukun. Hal diatas
diungkapkan oleh J. Girsang (lk, 72 tahun) :
Hal senada juga diungkapkan oleh S. F. Girsang :
“kami disini selalu aman itu… karena kami gak pernah melihat perbedaan suku, agama atau apapun. Kalo gak kau Tanya tadi masalah itu, sikitpun aku gak ada memikirkan perbedaan itu. Pokoknya kami selalu aman. Makanya bisa kampung kami ini makin maju kan karena kami bisa saling bekerjasama juga…”
(wawancara Nopember 2010)
Masyarakat setempat juga ada membentuk STM (serikat tolong menolong) yang
kelompoknya ditentukan oleh letak rumah yang mereka bangun. Kelompok tersebut ditentukan
bukan berdasarkan etnis atau status sosial, melainkan kelompok tersebut berdarkan batas wilayah
satu kelompok yang sudah disepakati oleh masyarakatt setempat. A. Girsang (lk, 72 tahun)
mengatakan :
“kami disini ada yang namanya STM. Udah tau kan STM…? Jadi kelompok-kelompoknya itu bukan berdasarkan suku atau kaya miskinnya. Tapi itu sudah kami sepakati dari dulu bahwa kelompoknya itu berdasarkan letak rumahnya. Jadi kami sudah membatasi dimana itu STM 1, STM 2 dan selanjutnya.. gitu…”
(wawancara Nopember 2010)
J. Girsang(lk, 75 Tahun) juga mengatakan :
“disini kan ada STM… nah… kelompok STM ini dibuat sesuai dengan letak rumahnya…”
(wawancara Nopember 2010)
Berdasarkan hasil observasi dan data yang diperoleh dari aparatur desa, Guna
menjalankan ketaqwaan dan keimanan masyarakat, Nagori Siboras terdapat dua jenis aliran sekte
sarana peribadatan yang sesuai dengan keyakinan masyarakatnya. Didesa ini terdapat dua Gereja
Kristen Protestan Simalungun ( GKPS ), dan satu Gereja pantekosta Di Indonesia ( GPDI ).
Kerukunan umat beragama di desa ini sangat di junjung tinggi. Hal ini terlihat dari tidak adanya
aliran sekte yang ada, serta melaksanakan kegiatan keagamaannya masing-masing dengan penuh
keyakinan. Gambaran diatas diungkapkan oleh S. Sipayung (lk, 38 tahun) :
“disini kan ada dua jenis gereja… dua itu GKPS dan satu GPDI. Walaupun ada dua jenis disini gereja tapi kami gak pernah saling mengganggu. Jalani agama masing-masing ajalah… iya kan….?
(wawancara Nopember 2010)
Hal yang sama juga diungkapkan B. Jawak (pr, 42 Tahun) :
“walaupun ada dua disini jenis gereja, kami gak pernah mengganggu mereka. Dan mereka juga gak pernah mengganggu kami. Untuk apa pula saling mengganggu. Capek kan…?”
(wawancara Nopember 2010)
Berdasarkan hasil observasi dan data yang diperoleh dari aparatur desa, komposisi
penduduk berdasarkan agama adalah homogen. Hampir seluruh penduduk yang bertempat
tinggal di lokasi penelitian ini adalah beragama Kristen Protestan. Masyarakat yang beribadah ke
Gereja Kristen Protestan Simalungun(GKPS) merupakan mayoritas dari jumlah penduduk,
diperkirakan pengikut aliran ini sebanyak 80% dari total jumlah penduduk, 2% beragama Islam,
dan sisanya merupakan pengikut aliran Pantekosta dengan nama lembaga Gereja Pantekosta Di
Indonesia (GPDI) kira-kira 18% dari total jumlah penduduk.
Bahasa daerah juga masih sangat kuat pengaruhnya didesa ini. Hampir dalam setiap
komunikasi yang dipakai adalah bahasa daerah Simalungun. Bahasa daerah merupakan bahasa
yang paling berpengaruh dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Penduduk akan enggan
berkomunikasi dengan manusia yang lain apabila tidak menggunakan bahasa daerah. Adapun
bahasa daerah yang biasa dipakai masyarakat di desa ini adalah bahasa Simalungun, Karo, dan
Toba. Dalam setiap interaksi yang dilakukan masyarakat baik itu dalam acara formal seperti
pendidikan maupun informal, dari observasi diperoleh bahwa frekuensi pengucapan bahasa
pengaruh tradisi dan nilai-nilai budaya membuat institusi resmi sekallipun belum bisa berhasil
sepenuhnya mengubah dan menggantikannya nilai-nilai baru dalam tatanan masyarakat.
Gambaran diatas diungkapkan oleh L. saragih (pr, 57 Tahun) :
“disini ya yang saya lihat… kalo kita gak make bahasa daerah, kurang dihargai itu.. apalagi kalo kau misalnya pake bahasa Indonesia, agak-agak aneh itu jawaban mereka. Tapi kalo kau pake bahasa simalungun, atau karo, atau toba, kau pasti lebih dihargai. Makanya disini kan kebanyakan pake bahasa daerahnya. Jangankan untuk bahasa sehari-hari, disekolah sini aja gurunya itu masih menggunakan bahasa simalungun”
9wawancara Nopember 2010)
Berdasarkan hasil observasi dan data yang diperoleh dari aparatur desa, program
pembangunan yang telah dilaksanakan pemerintah sejak Indonesia merdeka sedikit banyaknya
telah dirasakan manfaatnya oleh penduduk desa ini. Pembangunan infrastruktur vital telah
terpenuhi sehingga desa ini tidak termasuk desa yang tertinggal dan terisolasi. Meskipun
demikian, sebenarnya masih banyak sarana dan prasarana yang masih sangat dibutuhkan yang
belum dimiliki oleh desa ini. Gambaran diatas diperkuat lagi oleh D. Girsang (lk, 52 Tahun) :
“kalo pembangunan yang dibantu pemerintah kesini udah cukup baik nya. Kalo kebutuhan utama udah terpenuhinya disini. Tapi walaupun kek gitu masih banyak juganya yang kami butuhkan lagi bantuan dari pemerintah ini”
(wawancara Nopember 2010)
Desa juga sudah tersedia sarana air minum yang dikelola oleh swadaya masyarakat yang
telah masuk kerumah masing-masing penduduk. Hal ini masih sangat jarang di temukan di desa
lain yang berada di kabupaten simalungun. Keberadaan air minum yang sudah masuk ke
masing-masing rumah penduduk dapat membantu masyarakat dalam kebutuhan air minum yang juga
lain karena sudah dapat memanejemen waktu yang lebih baik lagi. Gambaran diatas
diungkapkan oleh J. Jawak (lk, 50 Tahun) :
“disini kan seperti yang kau lihat, sudah masuknya PAM kerumah masing-masing rumah tangga. Nah PAM ini disediakan sama swadaya masyarakat sini. Kalo kita lihat desa lain masih sangat jarang kan yang ada PAM nya… jadi kan.. dengan masuknya PAM ini, kami juga sangat terbantu.. enaklah setelah ada PAM ini. Waktu kami jadinya lebih banyak yang bisa dipakai”
(wawancara Nopember 2010)
Berdasarkan hasil observasi dan data yang diperoleh dari aparatur desa, sarana
transportasi ke desa dan keluar Nagori Siboras sudah cukup baik dan lancar. Adapun jalan yang
menghubungkan Nagori Siboras dengan kecamatan, desa, ataupun kota lain yang berdekatan
dengan Nagori Siboras sudah dapat dilalui oleh semua jenis kendaraan. Untuk dapat sampai ke
desa tersebut terdapat delapan unit angkutan umum yang setiap saat melayani kebutuhan
transportasi masyarakat. Disamping itu masyarakat Nagori Siboras juga menggunakan alat
transportasi lainnya seperti sepeda motor dan kendaraan pribadi untuk keperluan alat
transportasinya.
Sarana pendidikan sudah dapat dinikamti oleh masyarakat Nagori siboras karena sudah
tersedianya sarana transportasi yang menghubungkan desa ini dengan wilayah lainnya. Di Nagori
Siboras terdapat beberapa sarana pendidikan seperti satu Sekolah Dasar (SD) dan satu Taman
Kanak-kanak (TK). Untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke yang lebih tinggi seperti SMP dan
SMA, masyarakat juga dapat memperolehnya di kota Saribudolok yang hanya berjarak enam km
dari desa dan dapat ditempuh dengan menggunakan sarana transportasi yang tersedia di desa
tersebut. Berbagai sarana pendidikan tersebut tentunya sudah didukung oleh prasarana yang