• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pergeseran Makna Robu Mamahpah Dalam Masyarakat (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Nagori Siboras Kecamatan Pematang Silimahuta, Kabupaten Simalungun)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pergeseran Makna Robu Mamahpah Dalam Masyarakat (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Nagori Siboras Kecamatan Pematang Silimahuta, Kabupaten Simalungun)"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

PERGESERAN MAKNA ROBU MAMAHPAH DALAM MASYARAKAT

(Studi Deskriptif Pada Masyarakat Nagori Siboras Kecamatan Pematang Silimahuta,

kabupaten Simalungun)

SKRIPSI

DIAJUKAN OLEH :

NALON GINTING

060901063

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

MEDAN

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi Ini Disetujui Untuk Dipertahankan Oleh :

NAMA : NALON GINTING

NIM : 060901063

DEPARTEMEN : SOSIOLOGI

JUDUL :PERGESERAN MAKNA ROBU MAMAHPAH

DALAM MASYARAKAT

(Studi Deskriptif Pada Masyarakat Nagori Siboras

Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten

Simalungun)

DOSEN PEMBIMBING KETUA DEPARTEMEN

Dra. RIA MANURUNG, M.Si Dra. LINA SUDARWATI, M.Si

Nip. 196212031989032001 Nip. 196603181989032001

DEKAN

(3)

ABSTRAK

Etnis Simalungun merupakan salah satu etnis yang ada di Sumatera Utara. Sama seperti etnis lain bahwa etnis simalungun juga memiliki keberagaman kebudayaan yang masing-masing budaya tersebut mengandung makna yang dipercayai oleh masyarakat simalungun. Dalam hal ini termasuk juga masyarakat Nagori Siboras dengan salah satu kebudayaannya yang bernama Robu Mamahpah. Kebudayaan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mempererat hubungan kekeluargaan dengan keluarga dan masyarakat serta untuk melampiaskan rasa sukacita yang dirasakan atas berhasilnya masyarakat memperoleh panen padi dan juga ucapan terimakasih kepada Yang Maha Pencipta karena padi yang mereka tanam telah memperoleh hasil. Dari kegiatan tersebut masing-masing anggota keluarga di pertemukan, dan saling berinteraksi satu sama lain, sehingga terbentuk suatu ikatan kekeluargaan yang kuat diantara mayarakat nagori Siboras dan keluarga mereka masing-masing. Namun karena perkembangan zaman, maka kebudayaan diatas telah mengalami pergeseran baik dari segi ritual maupun makna yang terkandung didalamnya. Hal ini tentunya akan membawa akibat bagi hubungan kekeluargaan masyarakat Nagori Siboras dan juga dengan keluarga mereka masing-masing.

Untuk mengkaji pergeseran makna robu mamahpah dalam masyarakat Nagori Siboras, maka peneliti menggunakan jenis penelitian studi deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Untuk melakukan pengumpulan data di lapangan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi dan studi kepustakaan. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan kepad 3 orang informan kunci dengan perincian 1 orang tokoh adat dan 2 orang keturunan pertama pembuka kampung dan 3 orang informan biasa yang merupakan masyarakat biasa. Data-data yang diperoleh melalui hasil wawancara selanjutnya akan diurutkan dan di klasifikasikan menurut jenisnya. Hasil wawancara tersebut selanjutnya akan di analisis dengan tambahan data lainnya, yang diperoleh melalui observasi dan studi kepustakaan.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi

ini masih jauh dari kesempurnaan, ibarat pepatah yang menyatakan “tiada gading yang tak

retak”. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari

saudara pembaca demi perbaikan skripsi ini.

Atas bimbingan dan bantuan yang diterima penulis dari berbagai pihak selama penulisan

skripsi ini hingga selesai, serta selama perkuliahan di Universitas Sumatera Utara Medan, maka

dengan hati yang tulus penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.si, selaku Ketua Jurusan Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Ibu Dra. Ria Manurung, M.si selaku Dosen Pembimbing

5. Bapak/ibu dosen serta staf dan Pegawai Universitas Sumatera Utara Medan

6. Segenap perangkat pemerintahan Kecamatan Pamatang Silimahuta kabupaten

Simalungun yang memberikan informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian

ini.

7. Segenap masyarakat Nagori Siboras kecamatan Pamatang Silimahuta kabupaten

Simalungun terima kasih atas kesediaannya memberikan informasi bagi penelti dalam

(5)

8. Ayahanda A. Ginting dan Ibunda B. Tarigan yang sangat saya cintai yang telah banyak

berkorban demi selesainya studi saya dan menjadi motivasi terbesar untuk saya dapat

menyelesaikan skripsi ini.

9. Kakak-kakak saya Benaria Ginting, Rosiek Ginting, yang selalu memberi dukungan dan

menjadi salah satu motivasi bagi saya dan juga abang ipar saya Malem Ukur

Perangin-angin dan Anto Simaringga dan keluarga yang selama ini juga banyak membantu dalam

studi saya.

10.Kawan-kawan di Departemen Sosiologi stambuk 2006.

11.Adik-adik di Departemen Sosiologi stambuk 2007-2010.

12.Kakak-kakak di Departemen sosiologi yang dukungan dan semangatnya.

13.Sahabat-sahabatku atas dukungan kalian selama ini yang selalu ada di saat suka dan duka.

Medan, Maret 2011

Penulis

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI………. . ……….. i

KATA PENGANTAR……… ………ii

DAFTAR ISI………..iv

DAFTAR LAMPIRAN………vi

BAB I PENDAHULUAN………...1

1.1 Latar Belakang Masalah……….………... 1

1.2. Perumusan Masalah………... 7

1.3. Tujuan Penelitian ………..……… 8

1.4. Manfaat Penelitian………. 8

1.5. Defenisi Konsep……… 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA……… 10

BAB III METODE PENELITIAN……… 16

3.1. Jenis Penelitian……… 16

3.2. Lokasi Penelitian……….. 16

3.3. Unit Analsis dan Informan………... 17

3.4. Teknik Pengumpulan Data………..………... 18

3.5. Teknik Analisa Data………... 18

3.6. Jadwal Kegiatan……….. 19

3.7. Keterbatasan Penelitian……….……….. 20

BAB IV INTEPRETASI DATA……… 21

(7)

4.2. Profil Informan……….…………... 42

4.2.1. Informan Kunci ……… ... 43

4.2.2. Informan Biasa……….……… 48

4.3. Robu Mamahpah dan Kehidupan Masyarakat………..………….………51

4.3.1. Waktu pengadaan robu mamahpah ………... 51

4.3.2. Makna pengadaan robu mamahpah terhadap masyarakat………...……… 57

4.4. Proses Jalannya Acara Robu Mamahpah Dalam Masyarakat………. 66

4.5. Proses Pergeseran Makna Robu Mamahpah Dalam Masyarakat ………...80

4.6.Faktor Penyebab Pergeseran Makna Robu Mamahpah ………….……… 86

BAB V PENUTUP………94

5.1. Kesimpulan………...……….. 94

5.2. Saran………... 96

DAFTAR PUSTAKA

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Panduan Wawancara L1

Surat Pengajuan Judul Proposal Skripsi L5

Surat Pengangkatan Dosen Pembimbing L7

Surat Permohonan Izin Kelapangan L8

Surat Izin Penelitian L9

(9)

ABSTRAK

Etnis Simalungun merupakan salah satu etnis yang ada di Sumatera Utara. Sama seperti etnis lain bahwa etnis simalungun juga memiliki keberagaman kebudayaan yang masing-masing budaya tersebut mengandung makna yang dipercayai oleh masyarakat simalungun. Dalam hal ini termasuk juga masyarakat Nagori Siboras dengan salah satu kebudayaannya yang bernama Robu Mamahpah. Kebudayaan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mempererat hubungan kekeluargaan dengan keluarga dan masyarakat serta untuk melampiaskan rasa sukacita yang dirasakan atas berhasilnya masyarakat memperoleh panen padi dan juga ucapan terimakasih kepada Yang Maha Pencipta karena padi yang mereka tanam telah memperoleh hasil. Dari kegiatan tersebut masing-masing anggota keluarga di pertemukan, dan saling berinteraksi satu sama lain, sehingga terbentuk suatu ikatan kekeluargaan yang kuat diantara mayarakat nagori Siboras dan keluarga mereka masing-masing. Namun karena perkembangan zaman, maka kebudayaan diatas telah mengalami pergeseran baik dari segi ritual maupun makna yang terkandung didalamnya. Hal ini tentunya akan membawa akibat bagi hubungan kekeluargaan masyarakat Nagori Siboras dan juga dengan keluarga mereka masing-masing.

Untuk mengkaji pergeseran makna robu mamahpah dalam masyarakat Nagori Siboras, maka peneliti menggunakan jenis penelitian studi deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Untuk melakukan pengumpulan data di lapangan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi dan studi kepustakaan. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan kepad 3 orang informan kunci dengan perincian 1 orang tokoh adat dan 2 orang keturunan pertama pembuka kampung dan 3 orang informan biasa yang merupakan masyarakat biasa. Data-data yang diperoleh melalui hasil wawancara selanjutnya akan diurutkan dan di klasifikasikan menurut jenisnya. Hasil wawancara tersebut selanjutnya akan di analisis dengan tambahan data lainnya, yang diperoleh melalui observasi dan studi kepustakaan.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Dalam masyarakat, dimana pengaruh tradisi yang kuat, kaidah-kaidah yang berlaku

secara turun temurun sama saja dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa banyak

mengalami perubahan. Ukuran-ukuran yang dipakai dalam komunitas itu adalah ukuran yang

dipakai secara turun temurun oleh generasi sebelumnya. Kaidah-kaidah dalam masyarakat

tradisional tidak banyak variasinya, cenderung monoton. Dalam masyarakat yang demikian,

apalagi ditambah dengan hubungan dengan dunia luar kurang, daya kreasi masyarakat sedikit

sehingga tindakan-tindakan yang bersifat anomali agak berkurang.

Dalam masyarakat yang homogen dan tradisional, konformitas masyarakat cenderung

tinggi. Perubahan nilai maupun pergeseran nilai dianggap sebagai sesuatu yang tabu, sehingga

kepatuhan dalam menjaga nilai menjadi sesuatu keharusan bagi semua anggota masyarakat itu.

Setiap masyarakat selama dalam perkembangannya pasti mengalami perubahan. Hal yang

membedakannya adalah kadar perubahan itu sendiri, baik itu perubahan yang sifatnya evolutif

maupun perubahan yang sifatnya revolusioner.

Dalam perkembangannya, masyarakat Indonesia yang secara umum dapat dilihat dalam

perubahan dari agraris ke industri. Hal tersebut dapat dilihat dari mekanisasi pertanian,

banyaknya konversi lahan tani ke lahan industri dan banyaknya urbanisasi yang mengakibatkan

masalah baru di perkotaan. Termasuk dalam hal ini, masyarakat Simalungun yang menjadi lokasi

(11)

Etnis simalungun merupakan salah satu etnis asli dari propinsi Sumatera Utara,

Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Etnis Simalungun pada

awalnya merupakan salah satu suku terbesar dan tertua diantara etnis Batak lainnya, namun

belakangan ini etnis ini terancam punah akibat orang-orangnya banyak yang tepengaruh dan

beralih menganut bahkan justru mengaku sebagai suku lain di sekitarnya. Jadi ada yang lebih

senang dikategorikan sebagai penduduk pendatang di Simalungun. Penduduk yang dekat dengan

suku lain disekitarnya banyak yang mengalami asimilasi. Namun eksistensi Simalungun

ditengah-tengah masyarakat sampai saat ini masih tetap dapat dipertahankan keberadaannya

sebagai bagian dari salah satu suku di Indonesia (Purba,2008).

Secara umum sistem mata pencaharian tradisional orang Simalungun sehari-hari adalah

marjuma atau berladang dengan cara menebas hutan belukar (mangimas) yang mengolahnya

untuk tanaman palawija seperti padi, jagung, dan ubi. Banyak proses yang harus dilalui ketika

mereka membuka ladang baru dan keseluruhannya itu harus diketahui oleh Gamot yang

merupakan wakil raja di daerah. Biasanya, diantara perladangannya didirikan bangunan rumah

tempat tinggal (sopou juma) sebagai tempat mereka sementara dan untuk melindungi mereka

dari serangan binatang buas maupun menghalau binatang-binatang yang dapat merusak tanaman

mereka. Selain itu ada juga yang menggolah persawahan (sabah) dengan luas yang relatif sedikit

dengan cara-cara tradisional. Untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan, mereka menenun

pakaian (hiou) yang biasanya dilakukan oleh kaum ibu dan gadis-gadis. Mereka juga menumbuk

padi bersama-sama dengan para pemuda di Losung Huta. Disini biasanya, pada zaman dahulu

para pemuda itu akan memilih pasangannya

(12)

Sesuai dengan sistem mata pencahariannya, masyarakat simalungun banyak menciptakan

kebudayaan yang dianggap berguna bagi mereka untuk menjalin interaksi sosial yang lebih baik

didalam kehidupan mereka. Kebudayaan tersebut berbeda antara satu daerah dengan daerah lain

sesuai dengan letak geografis daerahnya. Kebudayaan yang diciptakan oleh masyarakat berupa

selamatan seperti Robu Mamahpah, Pesta Rondang Bittang, dan dapat juga berupa sesaji atau

ritus peralihan yang menyangkut selingkaran hidup seperti upacara kehamilan, kelahiran,

perkawinan dan kematian. Sebagian besar kebudayaan tersebut masih tetap dilaksanakan oleh

masyarakat simalungun sesuai dengan waktu dan kebutuhannya. Sama halnya dengan

masyarakat Nagori Siboras yang menjadi pokok utama dalam penelitian ini, masih tetap setia

melaksanakan kebudayaan Robu Mamahpah setiap tahunnya.

Nagori Siboras merupakan salah satu nagori yang terletak di Kecamatan Pamatang

Silimahuta, kabupaten Simalungun yang berbatasan langsung dengan kabupaten Karo. Oleh

karena letaknya yang berbatasaan dengan Kabupaten Karo, Nagori Siboras memiliki komposisi

penduduk yang bermacam-macam. Komposisi penduduknya adalah suku Simalungun, Karo,

Toba, dan Jawa. Bahasa yang digunakan juga bermacam-macam, ada yang menggunakan bahasa

Simalungun yang menjadi bahasa asli daerah ini dan ada juga yang menggunakan bahasa Karo

dan Toba. Akibat dari perbauran tersebut, masyarakat Nagori Siboras dapat mengguasai

minimal 3 bahasa daerah, yaitu : bahasa Simalungun, Karo dan Toba.

Sistem mata pencaharian masyarakat Nagori Siboras adalah bertani. Jenis tanaman yang

dibudidayakan mengalami perubahan dari generasi ke generasi sesuai dengan perkembangan

zaman. Pada awalnya jenis tanaman yang di budidayakan adalah Padi seperti tanaman utama

masyarakat simalungun secara umum, kemudian beralih menjadi Jahe, kemudian diganti lagi

(13)

bertahan sampai sekarang. Meskipun masyarakat telah menjadikan jeruk sebagai tanaman

utamanya, namun masih ada masyarakat yang masih tetap menanam padi sebagai tanaman

sampingan. Hal itu dilakukan karena padi masih menjadi kebutuhan pokok masyarakat.

Seperti yang telah dijelaskan pada pernyataan sebelumnya, Nagori Siboras merupakan

salah satu desa di Simalungun yang tetap setia melaksanakan kebudayaan yang diciptakan oleh

masyarakat Simalungun sendiri. Salah satu kebudayaan khas dari Nagori Siboras adalah Robu

Mamahpah. Kebudayaan Robu Mamahpah ada sejak masyarakat Nagori Siboras masih

menjadikan padi sebagai tanaman utama mereka. Robu mamahpah ini merupakan suatu acara

pesta yang paling besar dan yang paling megah yang dilaksanakaan secara turun-temurun oleh

warga sekampung setiap tahunnya, karena acara ini merupakan sarana untuk menyampaikan rasa

terimakasih kepada Yang Maha Pencipta atas hasil panen padi yang telah diperoleh. kebudayaan

ini juga merupakan sarana untuk mempertemukan keluarga dari berbagai tempat yang berbeda

untuk menjalin hubungan persaudaraan yang lebih erat, dan bagi pemuda-pemudi desa,

kebudayaan ini merupakan sarana bagi mereka untuk menjalin hubungan kebersamaan dengan

teman–teman mereka sekampung dan tidak tertutup kemugkinan dengan pemuda - pemudi dari

daerah lain.

Sebelumnya, robu mamahpah ini merupakan salah satu dari tiga bagian kebudayaan yang

langsung berhubungan dengan penanaman, perawatan dan panennya padi. Ketiga kebudayaan

(14)

1. Robu

Robu diadakan pada bulan November yang biasanya dilalaksanakkan antara tanggal satu

sampai dengan tanggal 15 yang diadakan dirumah masing – masing keluarga yang ada di

desa tersebut. Pesta ini merupakan persiapan masyarakat untuk melakukan penanaman

padi pada bulan Desember, dimana manfaat pesta ini bagi mayarakat adalah supaya padi

yang akan mereka tanam dapat memberikan hasil yang maksimal dan memuaskan bagi

mereka. Didalam pesta tersebut, masyarakat memohon kepada Yang Maha Pencipta

supaya diberikan hasil yang melimpah dan memuaskan bagi masyarakat agar usaha yang

mereka lakukan tidak merugikan mereka. Kegiatan yang dilakukan dalam Robu ini

adalah Berbagi dengan keluarga yang berasal dari daerah lain dan juga membicarakan

masalah–masalah yang ada didalam keluarga supaya dapat menghasilkan keputusan yang

terbaik bagi semua pihak. Makanan khas Robu adalah Nitak.

2. Robu Mangalumi

Robu mangalumi diadakan masyarakat pada bulan Mei yang diadakan di lahan pertanian

mereka masing-masing atau di tempat mereka menanam padi. Robu mangalumi

diadakan karena padi yang sudah mereka tanam pada bulan desember sedang dalam

keadaan bunting, Sehingga mereka memohon kepada Sang Pencipta agar padi tersebut

tetap terawat dan tidak ada gagal. Selain itu, makna lain yang dipercayai oleh masyarakat

dari acara ini adalah supaya mereka yang ada dalam keluarga tersebut semuanya dalam

(15)

Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam acara Robu Mangalumi adalah

hanya memantau dan melihat keadaan padi yang dalam keadaan bunting tersebut. Selama

dua hari berturut–turut tidak ada diantara masyarakat yang bekerja ataupu melakukan hal

lain, melainkan mereka semua hanya melakukan apa yang menjadi kesenangan mereka

yang sesuai dengan keinginannya dan juga menikmati makanan yang sudah mereka

persiapkan sebelumnya. Makanan khas pada acara tersebut adalah Lemang.

3. Robu Mamahpah

Robu mamahpah merupakan satu – satunya dari ketiga budaya tersebut yang bertahan

sampai sekarang. Pesta ini diadakan setiap bulan Agustus yang biasanya diadakan pada

hari sabtu pada minggu kedua. Acara ini diadakan setelah semua masyarakat Nagori

Siboras telah selesai memanen padi yang sudah mereka tanam pada bulan Desember dan

sudah mereka rawat sampai akhirnya panen pada bulan Juli. Dalam acara tersebut setiap

keluarga memestakan hasil karya yang telah mereka kerjakan selama 7 bulan lamanya.

Acara ini juga menjadi sarana bagi masyarakat dalam menyampaikan rasa syukur dan

terimakasih mereka terhadap sang pencipta karena sudah memberkati padi yang mereka

tanam sehingga dapat menghasilkan hasil yang memuaskan bagi mereka. Acara robu

mamahpah juga menjadi acara yang paling besar dan yang paling megah diantara acara

kebudayaan sebelumnya.

Adapun yang menjadi makanan khas dari robu mamahpah adalah Pahpah yang

dilengkapi dengan bebagai jenis makanan mewah lainnya seperti lemang, daging, dan

(16)

Budaya Robu mamahpah sudah terbentuk lama di Nagori Siboras. Tetapi tidak ada

masyarakat yang mengetahui secara pasti kapan pertama kalinya budaya tersebut lahir karena

budaya tersebut telah menjadi tradisi dan sudah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat.

Namun meskipun masyarakat tidak mengetahui awal kelahiran budaya Robu mamahpah,

masyarakat Nagori Siboras tetap setia melaksanakan kegiatan tersebut. Karena pada dasarnya

adat dan budaya didalam implementasinya berfungsi menciptakan dan memelihara keteraturan,

ketentuan-ketentuan adat dan budaya dalam jaringan sosial diadakan untuk menciptakan

keteraturan, sehingga tercapai harmonisasi hubungan secara horizontal sesama warga dan

hubungan vertical kepada Tuhan (Simanjuntak,2001).

Melalui observasi awal yang telah dilakukan, Masyarakat sekarang lebih cenderung

mengadakan robu mamahpah tersebut hanya sebagai rutinitas dan bahkan banyak masyarakat

yang tidak mengetahui apa sebenarnya makna dari RobuMamahpah tersebut. Sehingga banyak

dari masyarakat tidak mengetahui bahwa pengadaan robu mamahpah tersebut telah mengalami

pergeseran makna bagi masyarakat.

Pergeseran makna budaya yang telah terjadi tersebut menjadi landasan awal bagi peneliti

untuk mencoba melakukan penelitian lebih jauh guna menggali aspek – aspek yang melingkupi

pergeseran makna Robu Mamahpah dalam masyarakat. Selain itu alasan lain dari sipeneliti untuk

mengkaji masalah robu mamahpah adalah karena peneliti sendiri berasal dari daerah tersebut dan

selalu terlibat dalam kegiatan robu mamahpah.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam

(17)

1. Bagaimana proses pergeseran Makna Robu Mamahpah dalam masyarakat Nagori Siboras

Keecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun?

2. Faktor apa yang mempengaruhi pergeseran makna Robu Mamahpah dalam masyarakat

Nagori Siboras, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian in adalah :

1. Untuk mengetahu bagaimana proses pergeseran Makna Robu Mamahpah dalam

masyarakat Nagori Siboras Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun?

2. Untuk mengetahui apa faktor yang mempengaruhi pergeseran makna Robu Mamahpah

dalam masyarakat Nagori Siboras, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten

Simalungun?

1.4.Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan

khususnya yang berkaitan dengan pergeseran makna robu mamahpah dalam masyarakat.

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literatur kajian

terhadap perkembangan ilmu sosiologi. Sekaligus menjadi acuan bagi penelitian berikut ini

khususnya kajian yang berhubungan dengan pergeseran makna robu mamahpah dalam

(18)

1.5.Defenisi Konsep

Berdasarkan uraian diatas dan topik permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini,

maka dapat diambil batasan dalam konseptual, yakni sebagai berikut :

a. Pergeseran. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (Umi Chulsum dan Windy Novia,

2006), pergeseran adalah pergesekan, perpindahan tempat atau kedudukan, pergantian.

Dalam hal ini pergeseran yang dimaksud adalah pergeseran kedudukan dan fungsi atau

makna dalam masyarakat.

b. Robu adalah suatu acara atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam

menyambut hari penanaman padi, dimana dalam acra ini merupakan hari permohonan

kepada Tuhan supaya padi yang akan di tanam dapat tumbuh dengan baik dan

menghasilkan hasil yang banyak dan baik.

c. Robu mangalumi adalah suatu acara atau kegiatan yang dilakukan oleh setiap rumah

tangga yang ada di nagori siboras di ladang masing – masing yang merupakan tempat

dimana mereka menanam padi, dimana setiap rumah tangga tersebut mengucapkan

terimakasih kepada Tuhan karena padi yang telah mereka tanam pada bulan desember

sebelumnya sudah tumbuh besar dan sedang mengalami bunting(hamil) dan memohon

kepada Tuhan agar padi yang sedang bunting tersebut dapat lahir dengan baik dan tidak

ada yang gagal atau gugur.

d. Robu mamahpah adalah suatu acara atau pesta yang dilakukan oleh masyarakat

sekampung, dimana acara ini merupakan acara ucapan terimaksih kepada Tuhan karena

sudah memberikan hasil dari padi yang telah ditanam dan dirawat sampai panen dan telah

dapat menikmati hasilnya. Acara ini merupakan acara untuk memestakan hasil karya

(19)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan

Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat

ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu

adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun

temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma

sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain,

tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

12.25).

Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan

lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan

Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

12.25).

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah

sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang

terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat

(20)

sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata,

misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain,

yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan

bermasyarakat.

12.25).

Teori interaksionisme simbolik yang dikembangkan oleh G.H Mead dan Herbert Blumer

merupakan aliran sosiologi Amerika yang lahir dari tradisi psikologi. Teori ini berkembang

pertama kali di Universitas Chicago dan dikenal sebagai Aliran Chicago (Poloma, 2004 : 257).

Istilah “interaksi simbolik” menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang

berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia

menginterpretasikan atau “mendefinisikan” tindakan satu sama lain. Jadi, interaksi manusia

dimediasi oleh penggunaan symbol-simbol oleh interpretasi atau oleh penerapan makna dari

tindakan orang lain. Simbol merupakan sesuatu yang nilai dan maknanya diberikan kepadanya

oleh mereka yang mempergunakannya. Makna atau simbol hanya dapat ditangkap melalui cara

sensoris.

pkl 12.25).

Psikologi sosial Mead didominir oleh pandangan yang melihat realitas sosial sebagai

proses daripada sebagai sesuatu yang statis. Manusia maupun aturan sosial berada dalam proses

akan jadi, bukan sebagai fakta yang lengkap. Mead berkecimpung dengan masalah yang rumit

yaitu bagaimana proses individu menjadi anggota organisasi yang kita sebut masyarakat

(21)

Selanjutnya Mead mengemukakan bahwa pikiran merupakan suatu proses, dengan proses

itu individu menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya. Pikiran atau kesadaran muncul dalam

proses tindakan. Namun demikian individu-individu tidak bertindak sebagai organisme yang

terasing. Sebaliknya tindakan-tindakan mereka saling berhubungan dan saling tergantung. Proses

komunikasi dan interaksi dimana individu-individu saling mempengaruhi dan saling

menyesuaikan diri atau dimana tindakan-tindakan individu saling cocok, tidak berbeda secara

kualitatif dan proses berfikir internal (Johnson, 2005 : 11).

Menurut Mead orang tak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari

dirinya sendiri. Dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain, tetapi secara

simbolis dia juga berinteraksi dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain manusia dapat menyadari

dirinya secara sadar dalam perilakunya dari sudut pandang orang lain. Sebagai akibatnya, mereka

dapat mengkonstruksikan perilakunya dengan sengaja untuk membangkitkan tipe respons pada

orang yang sedang melakukannya seperti terjadi pada orang kemana isyarat itu diarahkan

merupakan sebuah isyarat yang berarti. Respon yang sama ini merupakan arti isyarat, dan

munculnya arti-arti bersama ini memungkinkan komunikasi simbol (symbolic communication).

Simbol bukan merupakan fakta-fakta yang sudah jadi, simbol berada pada proses yang kontiniu.

Proses penyampaian makna inilah yang merupakan subjek matter dari sejumlah analisa kaum

interaksionis. Dalam interaksi orang belajar memahami simbol-simbol konvensional dan dalam

suatu pertandingan mereka belajar menggunakannya sehingga mampu memahami peranan

(22)

Menurut Blumer istilah interaksionisme simbolik menunjuk kepada sifat khas dari

interaksi antar manusia. Kekhasannya adalah bahwa manusia saling menerjemahkan dan saling

mendefenisikan tindakannya. Bukan hanya sebagai reaksi belaka dari tindakan seseorang

terhadap orang lain. Tanggapan seseorang tidak dibuat secara langsung terhadap

tindakan-tindakan orang lain, tetapi didasarkan atas makna yang diberikan terhadap tindakan-tindakan orang lain

itu. Interaksi antar individu diantarai oleh penggunaan simbol-simbol, interpretasi atau dengan

saling berusaha untuk saling memahami maksud dari tindakan masing-masing (Ritzer,2004 ; 63).

Interaksionisme simbolik yang di ketengahkan Blumer mengandung sejumlah root

images atau ide-ide dasar yang dapat diringkas sebagai berikut :

1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling

bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai

organisasi atau struktur sosial.

2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan

manusia lain. Interaksi non simbolis mencakup stimulus-respon yang sederhana.

Sedang interaksi simbolis mencakup penafsiran tindakan.

3. Objek-objek tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan

produksi interaksionisme simbolik.

4. Manusia tidak hanya mengenal objek eksternal tetapi mereka dapat melihat dirinya

sebagai objek.

5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri

6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok;

hal ini dibuat sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai organisasi sosial dari

(23)

Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar

individual dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya

melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata suatu

tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya, atau dari

luar dirinya, tetapi tindakan itu merupakan hasil daripada proses interpretasi terhadap stimulus.

Jadi merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling

menyesuaikan makna dari simbol-simbol itu. Meskipun norma-norma nilai-nilai sosial dan

makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya namun dengan

kemampuan berpikir yang dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi deskriptif dengan pendekatan

kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah

laku yang didapati dari apa yang diamati. Pendekatan kualitatif dimaksudkan untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitin secara holistic (utuh), misalnya tentang

perilaku, motivasi, tindakan, dan sebagainya(Moleong, 2005:4).

Studi deskriptif adalah penelitian yang berusaha untuk menggambarkan atau melukiskan

sejumlah fenomena dan masalah yang diteliti didalam masyarakat. Penelitian deskriptif ini

dipilih karena penelitian ini hanya terbatas pada usaha untuk mengungkapkan suatu fenomena,

permasalahan, keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar

mengungkapkan fakta yang terjadi dalam proses sosialisasi.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yaitu Nagori Siboras, Kecamatan Pamatang Silimahuta, Kabupaten

Simalungun. Pemilihan lokasi tersebut adalah karena Nagori Siboras merupakan desa yang selalu

rutin mengadakan pesta Robu Mamahpah dan memiliki penduduk yang terpadat diantara desa

sekitarnya. Dan mayoritas penduduknya adalah suku Simalungun. Selain itu, alasan lain dari

(25)

3.3. Unit Analisis dan Informan

Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian. Unit

analisis dalam penelitian ini adalah:

a. Ritual Robu Mamahpah

b. Simbol adat dalam acara Robu Mamahpah

Sedangkan yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah :

1. Informan Kunci yang terdiri dari dua pihak.

Adapun yang menjadi informan kunci adalah :

a. Satu orang penatua adat

b. Satu orang tokoh Agama

c. Satu orang tokoh marga

d. Satu orang aparatur desa

e. Dua orang informan yang memahami dengan baik tentang robu mamahpah seperti

keturunan dari generasi pertama pembuka kampung.

2. Informan Biasa

Adapun yang menjadi informan biasa adalah :

a. Dua orang masyarakat umum yang aktif ikut melaksanakan acara robu mamahpah

b. Dua orang masyarakat umum yang sudah tinggal di Nagori Siboras lebih dari 10

(26)

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang telah digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data primer dengan cara observasi partisipatif dan wawancara mendalam.

Dalam hal ini peneliti ikut dalam proses pengambilan data, dan peneliti mengadakan

pengamatan secara langsung. Hal tersebut dilakukan dengan cara ikut terlibat dalam kegiatan

tersebut dan mengamati setiap ritual yang telah dilakukan. Peneliti juga merasakan apa yang

dirasakan oleh masyarakat setempat dalam mengikuti kegiatan tersebut.

Wawancara mendalam dilakukan oleh peneliti kepada inofrman dengan menggunakan

pedoman wawancara ( interview guide ).

b. Data sekunder

Data sekunder diperlukan untuk melengkapi dan menyempurnakan hasil

penelitian yang telah dilakukan. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui

studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan suatu sumber yang diambil beupa

buku referensi yang memperkuat teori dan pembahasan yang ada. Referensi bahan

yang diperoleh tidak hanya berpatokan kepada buku, melainkan juga dapat bersumber

dari internet, suarat kabar yang berkaitan langsung dan dianggap relevan dengan

penelitian.

3.5. Teknik Analisa Data

Analisa data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data kedalam pola,

kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat ditemukan hipotesis

(27)

Setelah data direkam maka dilakukan pencatatan dengan jelas, baik itu catatan lapangan,

wawancara maupun data penunjang lainnya dan dikumpulkan. Setelah semua data terkumpul,

maka dilakukan analisis data dan diinterpretasikan dengan mengacu pada tinjauan pustaka. Dan

hasil observasi diuraikan di narasikan untuk memperkaya hasil wawancara sekaligus melengkapi

data. Setiap data yang diperoleh diinterpretasikan untuk menggambarkan secara jelas keadaan

melalui kata berdasarkan dukungan teori dan tanjauan pustaka.

(28)

3.7. Keterbatasan Peneliti

Selama dalam proses penelitian ini, peneliti menghadapi beberapa kendala. Adapun

kendala tersebut yaitu :

1. Kendala dalam bahasa simalungun, dimana para informan terutama informan kunci dan

masyarakat biasa semuanya menggunakan bahasa simalungun dalam menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam proses wawancara. Namun untuk mengatasi

hal tersebut, peneliti biasanya menanyakan ulang istilah-istilah dalam bahasa simalungun

yang kurang dipahami maknanya kepada orang yang diwawancarai, atau minta bantuan

kepada orang di tempat penelitian tersebut untuk menterjemahkan hasil wawancara

tersebut kedalam bahasa Indonesia dan juga mencari artinya dalam kamus atau referensi

(29)

BAB IV

INTERPRETASI DATA

4.1. Setting Lokasi

Nagori Siboras dahulu merupakan lahan kosong yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat

manapun, tidak berpenghuni dan juga merupakan wilayah yang berbukit-bukit dan dipenuhi oleh

hutan bambu. Dibawah tahun 1922, oppung masyarakat Nagori Siboras yang bernama Djabottar

Girsang beserta dengan istrinya datang ke tempat tersebut untuk bersembunyi dari kejaran

bangsa belanda yang paada saat itu masih menjajah Indonesia. Wilayah yang mereka tempati

dahulu adalah wilayah rumah juluan yang artinya suatu wilayah yang ada di Nagori Siboras.

(BPS : Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten Simalungun, 2010).

Diwilayah tersebut mereka berdua memulai aktivitas mereka yang baru dengan cara

membuka lahan baru untuk bertani yang sekaligus juga untuk memenuhi kebutuhan hidup

mereka. Didalam keseharian mereka, sekali seminggu mereka juga datang berkunjung ke tempat

asal mereka semula untuk menjual hasil pertanian mereka, membeli apa yang menjadi kebutuhan

mereka, melakukan barter dengan masyarakat lain dan juga tidak jarang mereka mengajak

masyarakat lain untuk bergabung dengan mereka tinggal di tempat tinggal mereka yang baru

dengan alasan wilayah tersebut lebih aman dan banyak tempat bersembunyi jika bangsa belanda

datang mencari mereka. Ajakan mereka tersebut pada awalnya tidak berhasil dan tidak ada yang

bersedia tinggal di wilayah tersebut. (BPS : Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten

(30)

Seiring dengan berjalannya waktu, mereka dikarunia dua orang anak yang bernama Djauri

Girsang dan Djabona Girsang. Mereka semua merasakan hidup yang aman dan tenang hidup di

wilayah tersebut. Sementara masyarakat yang tinggal di wilayah mereka sebelumnya, tetap tidak

bisa tenang oleh karena bangsa belanda yang ingin menjadikan mereka untuk kerja paksa.

Dengan rasa aman yang dirasakan oleh Djabottar Girsang dengan keluarganya, mereka tidak

ingin teman-teman mereka tetap tertindas di tempat tinggal awal mereka. Suatu ketika mereka

satu keluarga pergi ke tempat asal mereka untuk menjual hasil pertanian mereka sekaligus

mengajak saudara dan keluarga mereka yang lain untuk bergabung dengan mereka tinggal di

tempat mereka yang baru. Setelah saudara dan keluarga mereka melihat fakta bahwa Djabottar

Girsang dan keluarganya aman ditempat mereka yang baru, maka mereka pun bersedia tinggal di

tempat tersebut. Setelah beberapa puluh tahun, mereka pun merasa nyaman ditempat tersebut dan

sudah merasa bahwa itulah kampung mereka yang akan mereka tempati selama hidup mereka.

(BPS : Kecamatan Pamatang Silimahuta Kabupaten Simalungun, 2010).

Pada tanggal 26 Desember 1922, Raja Van Silimakuta memanggil Djauri Girsang dan

Djabona Girsang untuk menghadap, untuk membicarakan nama dari wilayah yang mereka

tempati. Kemudian Djauri Girsang dan Djabona Girsang mengusulkan nama Nagori Siboras

dengan alasan bahwa wilayah yang mereka tempati selalu berhasil dalam pertanian dan aman

dari luar. Kemudian Raja Van Silimakuta menyetujui nama desa tersebut dan meresmikannya,

dan juga sekaligus mengangkat Djauri Girsang dan Djabona Girsang sebagai raja pertama Nagori

(31)

Setelah Djauri Girsang dan Djabona Girsang diangkat menjadi raja, maka mereka berdua

juga melantik beberapa tokoh masyarakat yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat umum.

Adapun tokoh masyarakat yang telah dilantik yaitu :

a. Guru sahuta. Guru sahuta bertugas untuk menentukan hari apa untuk memulai

memanggil hujan pada saat musim kemarau agar hujan segera turun. Posisi ini

dipegang oleh marga Girsang.

b. Sipotong Hambing. Orang yang memegang jabatan ini bertugas untuk menentukan hari

untuk memulai menanam padi. Jabatan ini dipegang oleh marga Tambun.

c.Persaudaraan dipegang oleh marga Girsang parkarah

d. Mohpoh Jawak yaitu menantu dari Raja Nagori Siboras. Mohpoh jawak ini mendirikan

rumah di alaman jawak yang juga sekaligus menjadi pelebaran Nagori Siboras sampai

sekarang.

Masing-masing dari setiap tokoh tersebut bertanggung jawab kepada Raja Nagori Siboras, dan

raja Nagori Siboras bertanggung jawab kepada Raja Van Silimahuta. (BPS : Kecamatan

Pamatang Silimahuta Kabupaten Simalungun, 2010).

Sejarah Nagori Siboras tersebut juga dibenarkan oleh informan kunci S.F. Girsang (lk, 72

Tahun):

(32)

Djabottar Girsang. Jadi mereka jugalah yang mengusulkan nama desa ini sama raja van silimahuta waktu itu. Itulah sejarahnya dulu desa ini…”

(Wawancara Nopember 2010)

Berdasarkan hasil observasi dan data yang diperoleh dari sekretaris desa dan kantor

Camat Pamatang Silimahuta, secara administrasi Nagori Siboras berada dibawah naungan

Kecamatan Pamatang Silima Huta dan Kabupaten Simalungun. Desa ini merupakan salah satu

desa yang padat penduduknya jika dibandingkan dengan desa yang berada disekitarnya.

Topografi wilayah ini terletak didataran tinggi yang merupakan daerah yang sejuk. Atmosfir

pedesaan masih terlihat dengan jelas dari hasil observasi peneliti, dimana pemukiman yang

dikelilingi oleh hutan dan perladangan mayarakat.`

Luas wilayah desa ini adalah 4km2 atau 1202 Ha dimana luas wilayah tersebut didominasi

oleh lokasi-lokasi perladangan yang tersebar diluar perkampungan, hingga sampai kedaerah

perbatasan desa sekitarnya. Berdasarkan hasil observasi peneliti, hanya sediikit ruang yang

kosong di desa ini, dimana tanah-tanah telah diusahakan secara intensif untuk kegiatan pertanian.

Sebagian besar penduduk desa ini hidup bergerak disektor pertanian, dimana komoditas yang

dihasilkan yaitu buah dan sayur-mayur dan hanya sebagian kecil mayarakat yang bergerak

disektor lain seperti wiraswasta, pedagang, dan lainnya.

Wilayah Nagori Siboras ini berbatasan dengan :

• Desa Saribujandi di sebelah utara,

• Desa Mardinding di sebelah selatan • Desa Nagasaribu di sebelah barat, dan

(33)

Dari hasil observasi, desa ini tidak terlalu sulit untuk dijangkau karena tidak terlalu jauh

dari Kelurahan Saribudolok. Jarak desa ini ke Kelurahan Saribudolok adalah sejauh 7 kilometer.

Jarak ini dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan umum dengan lama tempuh 30 menit,

dan dapat juga ditempuh melalui jalan baru yang telah dipersiapkan pemerintah untuk mencapai

ke kecamatan dengan jarak 3 kilometer melewati perladangan masyarakat tetapi dengan

menggunakan kendaraan pribadi dengan lama tempuh 15 menit.

Kondisi jalan yang dulunya beraspal semakin rusak diakibatkan oleh banyaknya mobil

angkutan barang yang mengangkut hasil pertanian penduduk. Sarana jalan tersebut semakin

rusak karena semakin banyaknya mobil berat yang mengangkut kayu yang telah dijual oleh

masyarakat desa dan tidak adanya usaha-usaha yang dilakukan untuk memperbaikinya, baik dari

aparat pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Kondisi diatas digambarkan oleh D. Sipayung

(lk, 49 Tahun) :

“dulu jalan disini udah beraspal nya ini semua.. tapi akibat dari mobil berat yang sering masuk kesini untuk mengangkut hasil pertanian, jadi berusakanlah jalan ini. Inilah akibatnya. Apalagi ditambah lagi dengan mobil yang lebih berat lagi yang mau mengangkat kayu, oh… makin rusak lah. Banyak kali pulanya yang menjual kayu disini.”

(wawancara Nopember 2010)

Hal yang sama juga diutarakan oleh J. Jawak (lk, 50 Tahun) :

“sebenarnya jalan ini rusak karena mobil berat nya ini. Untuk mengangkut hasil pertanian orang sini kan banyak itu mobil berat yang masuk kekampung. Belum lagi mobil kayu itu. Itu yang paling besar yang buat jalan ini rusak. Tapi walaupun jalan ini udah rusak mereka buat, gak ada itu yang mau memperbaiki.”

(34)

Administrasi desa terdiri atas dua lokasi yang terpisah. Nagori Siboras memiliki 4 gamot

yang artinya dusun dimana satu lokasi terpisah menjadi dusun tersendiri yaitu Gamot

Sigarantung. Sementara gamot lain yg tempatnya berada dalam satu lokasi yaitu Gamot Rumah Uruk, Gamot Alaman Jawak, dan gamot Rumah Juluan. (Kantor Kepala Desa Nagori Siboras,

2010).

Desa ini juga memiliki penduduk yang padat. Berdasarkan pendataan yang dilakukan

oleh aparat desa yang bersangkutan, penduduk desa ini pada tahun 2010 berjumlah 2.515 jiwa.

Banyaknya jumlah kepala keluarga di desa ini adalah 668 kepala keluarga. Dari segi persentase

jenis kelamin, perempuan merupakan jenis kelamin yang terbanyak terdapat di desa ini dengan

jumlah 1.402 jiwa atau 55,75%, dan penduduk laki-laki sendiri berjumlah 1.113 jiwa atau

44,25%. (Kantor Kepala Desa Nagori Siboras, 2010).

Komposisi penduduk berdasarkan usia produktif, penduduk di desa ini dihuni oleh

masyarakat yang berusia antara 0 – 16 tahun dengan jumlah penduduk 1158 Jiwa atau 46%,

kemudian disusul dengan masyarakat yang ber usia 17 – 55 Tahun dengan jumlah 1000 jiwa

atau 39,8 %, dan masyarakat yang ber usia 56 tahun keatas dengan jumlah penduduk 357 Jiwa

atau jika di persentasekan sama dengan 14,2 %. (Kantor Kepala Desa Nagori Siboras, 2010).

Berdasarkan suku bangsa, penduduk yang tinggal di desa ini adalah mayoritas Suku

Batak Simalungun dengan jumlah penduduk 1790 jiwa atau 71,2%, dan hanya sebagian kecil

dari jumlah penduduk yang bersuku lain, seperti suku Batak Karo dengan jumlah penduduk 338

jiwa atau setara dengan 13,4%, Suku batak Toba dengan jumlah penduduk 206 jiwa atau 8,2%,

dan Suku Jawa, pakpak dan nias dengan jumlah 181 jiwa atau 7,2%. Dari persentase diatas dapat

(35)

simalungun. Sementara yang paling sedikit adalah gabungan antara suku bangsa Jawa, Pakpak,

dan Nias.

Dari hasil observasi, masyarakat Nagori Siboras pada umumnya bermata pencaharian

sebagai petani, pedagang, dan bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Dengan potensi utama

daerah dibidang agribisnis. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan

merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi Nagori Siboras. Gambaran

diatas juga dibenarkan oleh J. Jawak (lk, 50 Tahun) yng merupakan kepala desa di lokasi

penelitian :

“orang-orang disini itu kebanyakan bekerja sebagai petani nya… karena memang disnini itu kan lahannya cocok untuk petani. Selain itu ada juga orang disini sebagai pedagang dan hanya sedikit itu yang sebagai pegawai negeri. Yang pegawai negeri bisa dihitung jarilah…”

(wawancara Nopember 2010)

Ketika ditanya mengenai pertumbuhan ekonomi di Nagori Siboras J. Jawak (lk, 50 Tahun)

menjawab :

“disni pertumbuhan ekonominya cepatlah menurut aku. Hasilnya bisa dilihat kan pembangunan desa yang terus jalan. Hasilnya juga bisa dilihat dengan nyata kan…”

(wawancara Nopember 2010)

Keberagaman dalam konteks pekerjaan juga terlihat di Nagori Siboras. jika di

persentasekan dari total jumlah penduduk Nagori Siboras, maka masyarakat yang bekerja

sebagai petani ada 1503 jiwa atau 59,8 %, balita dan pelajar ada 991 jiwa atau 39,3%, pedagang

14 jiwa atau0,6 % dan yang terakhir adalah PNS ( pegawai negeri sipil ) dengan jumlah

(36)

Sistem ekonomi penduduk desa didominasi oleh sektor pertanian. Penggunaan lahan

pertanian lebih terkonsentrasi pada penggunaan lahan kering (perladangan) meskipun masih

banyak lahan basah (persawahan) yang belum dimaksimalkan penggunaannya. Jika

dipersentasekan luas wilayah desa dan pemanfaatannya secara keseluruhan maka pemanfaatan

sebagai perladangan ada 1076 Ha atau 89,5%, persawahan 80Ha atau setara dengan 6,7 %,

pemukiman 28 Ha atau 2,4 %, dan lainnya 18 Ha atau 1,5 %. Total keseluruhan wilayah Nagori

Siboras adalah 1202 Ha. (Kantor Kepala DesaNagori Siboras, 2010)

Gambaran diatas juga dibenarkan oleh B. Jawak (pr, 42 Tahun) :

“kalo kami disini rata-rata berladang nya. Sawah disini memang cukup luas, tapi kami lebih suka berladang. Karena untungnya lebih banyak dapat dari ladang.”

(wawancara Nopember 2010)

Hal yang sama juga diungkapkan oleh S. Sipayung (lk, 38 Tahun) :

Kebanyakan berladang nya kami disini. Sawah memang ada tapi kebanyakan gak dipake nya kulihat. Kalo kami sendiri gak ada make sawah karena memang kami gak punya sawah yang bisa dipake… heheheheh… tapi meskipun mungkin kami punya sawah kami pasti make ladang kok. Untungnya kan lebih jelasnya dari ladang ini.”

(wawancara Nopember 2010)

Masyarakat Nagori Siboras sudah terbiasa dengan kehidupan mereka yang hidup sebagai

petani. Jenis tanaman utama yang mereka tanam atau budidayakan telah empat kali mengalami

pergantian yang sesuai dengan kemampuan, pergantian musim dan peluang untung yang mereka

perkirakan. Awalnya semua nenek moyang mereka selalu menanam padi dengan luas lahan

yang digunakan bisa mencapai tiga Ha per keluarga. Jenis tanaman utama mereka tersebut

bertahan sampai sekitar tahun 1984. Gambaran diatas diperoleh melalui wawancara terhadap P.

(37)

“kalo orang-orang sini sudah terbiasa itu hidup sebagai petani. Bertani apapun kalo bisa menghasilkan pasti dicoba nya itu. Makanya orang-orang sini udah sampai empat kali itu pernah mengalami pergantian jenis tanaman utama kan... Karena kan harus disesuaikan juga itu dengan kemampuan kami dalam dana, tenaga, peluang untungnya dan juga musim yang cocok kan… karena sekarang ini gampang kali cuaca berubah. Awalnya dulu kan opung kami disini tanaman utamanya kan padi nya.. makanya lahan nya itu bisa mencapai 3 ha per keluarga. Tapi itu bertahan hanya sampai kira-kira tahun 1984..”

(wawancara Nopember 2010)

Informan B. Jawak (pr, 42 Tahun) juga menyatakan :

“kalo kami udah biasanya itu jadi petani.. karena memang dari situlah kami bisa makan kan.. jadi kalo cari makan itu, apapun bisa lah kami tanam disini. Yang penting bisa menghasilkan. Tapi bukan ganja ya… yang aku tau aja, di desa kami ini entah udah berapa kali itu mengalami pergantian jenis tanaman utama. Kalo gak salah ada empat kali itu. Yang pertama dulu kan padi nya itu yang jadi tanaman utama disini. Tapi kira-kira tahun delapanpuluhan dulu berganti lagi. Agak lupa aku tahun delapanpuluh berapa itu kemarin.”

(wawancara Nopember 2010)

Pada sekitar tahun 1985, pemikiran masyarakat mengalami kemajuan dimana mereka

mulai memikirkan jenis tanaman apa yang bisa mereka budidayakan yang musim panennya tidak

terlalu lama seperti padi yang hanya dapat dua kali panen setiap tahun. Tidak lama setelah itu,

ada salah satu keluarga pendatang di desa tersebut yang juga merupakan salah satu alumni

perguruan tinggi dimedan yang telah mendapatkan gelar sebagai Insinyur pertanian melakukan

penanaman kentang. Setelah tiga bulan lamanya , kentang tersebut sudah dapat di panen dan

orang tersebut mendapatkan untung yang besar. Karena belum ada orang lain yang menanam

kentang di desa tersebut, dia bisa mendapatkan penawaran harga yang tinggi. Setelah masyarakat

(38)

dan juga sekaligus membeli bibit kentang kepadanya. Setelah itu, masyarakat desa tersebut mulai

menguranggi lahan yang biasanya digunakan untuk menanam padi, dan menggunakan sisa lahan

tersebut untuk menanam kentang. Pada saat itu kentang masih digunakan sebagai tanam utama

kedua setelah padi.Gambaran diatas diperoleh melalui wawancara terhadap P. Simaringga (lk, 48

Tahun) :

“….. dan sekitar tahun 1985, kami orang sini mulai memikirkan hal yang baru lah kan. Yang kami pikirkan itu apa lah yang bisa di tanam yang waktu panennya tidak selama masa panen padi. Karna padi kan cuma dua kalinya bisa panen dalam setahun. Gak lama setelah itu, adalah kemarin orang baru datang ke kampung kami ini yang tinggal menetap disini. Mereka mau datang kesini karena memang ada saudara mereka disini. Katanya dia itu tamatan kuliah bagian pertanian. Dan memang dinamanya itu ada memang ditulisnya Ir. Waktu itu mereka datang membawa beberapa goni bibit kentang. Awalnya kami biasa aja melihat mereka gitu. Tapi tiga bulan setelah mereka menanam kentang itu, mereka sudah panen dan dapat harga yang tinggi pula itu. Mungkin karena Cuma mereka yang ada menanam kentang disini. Setelah itu mulailah kami belajar menanam dan merawat kentang sama mereka. Baru… kami juga membeli bibit dari mereka. Setelah itu mulailah kami disini menanam kentang. Tapi waktu itu padi masih tetap menjadi tanaman utama kami disini.”

(wawancara Nopember 2010)

Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat semakin menikmati hasil yang lebih

memuaskan dari penanaman kentang, akhirnya masyarakat telah membuat kentang sebagai

tanaman utama mereka dan membuat padi sebagai tanaman utama kedua setelah kentang.

Disamping itu, masyarakat juga tidak fokus hanya kepada kedua jenis tanaman tersebut,

melainkan mereka juga sudah menggunakan sebagian kecil lahan mereka untuk menanam cabe,

ubi dan sayur-sayuran. Gambaran diatas diperoleh melalui wawancara terhadap J. Jawak (lk, 50

(39)

“setelah kami disini puas dengan hasil yang kami dapatkan dari kentang, makin lama jenis tanaman kami itu sudah jadi lebih luas kentang daripada padi. Selain itu kami juga tidak lagi hanya menanam kentang dan padi. Tapi kami juga menanam cabe, sayur, dan ubi gitu…”

(wawancara Nopember 2010)

Hal senada juga diungkapkan oleh D. Sipayung (lk, 49 Tahun) :

“begitu kami berhasil dari kentang, akhirnya fokus tanaman kami sudah kepada kentang. Bukan ke padi lagi. Pokoknya dari situ padi udah menjadi tanaman utama kedua. Karena tanaman utama itu udah menjadi kentang. Selain itu kan kami juga menggunakan sebagian lahan dari jatah menanam padi untuk menanam tanaman lain. Misalnya ubi, sayur-sayuran. Jenis sayuran itu juga banyak kan..

(wawancara Nopember 2010)

Menjadikan kentang sebagai tanaman utama mereka hanya bertahan sampai tahun 1999.

Hal tersebut terjadi akibat dari krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia pada tahun

1998 yang membuat harga-harga barang melonjak naik dan juga harga pupuk yang mengalami

kenaikan mendekati 100%. Antara tahun 1998 sampai dengan tahun 1999, sebenarnya

masyarakat masih mencoba untuk bertahan untuk tetap menanam kentang. Tetapi keberadaan

harga pupuk yang tinggi yang tidak seimbang dengan harga jual kentang yang murah membuat

sebagian besar masyarakat Nagori Siboras mengalami kerugian yang besar. Setelah itu

masyarakat mulai lagi memikirkan jenis tanaman yang cocok untuk mereka tanam sesuai dengan

keadaan perekonomian mereka yang tidak bisa lagi menanam tanaman yang membutuhkan

(40)

“waktu kentang kemarin yang jadi tanaman utama disini, terjadilah krisis moneter tahun 1998 kan…? Jadi…. Waktu itu harga-harga kebutuhan naik semua. Rata-rata 100% pula itu naiknya… termasuk juga harga pupuk dan obat semprot naik dua kali lipat kemarin itu. Tapi harga pertanian kami turun… gak seimbang dia. Dari situ, banyaklah kami yang rugi dan bangkrut disini. Tapi awalnya kemarin itu, walaupun kami rugi, tetap juga nya kami coba terus menanam kentang. Tapi tetap juga rugi. Ya… dari situ kami pun berpikirlah untuk mencari jenis tanaman lain yang bisa menguntungkan. Mulai berkuranglah kemarin orang yang menanam kentang. Karena modalnya kan besar kali itu..”

(wawancara Nopember 2010)

Hal yang sama juga diungkapkan oleh D. Girsang (lk, 52 Tahun) :

“Waktu krisis tahun 1999 nya waktu itu awalnya. Udah harga pupuk dan obat naik, harga kentang malah turun drastis… hancurlah kami kan… dari situ ya… dipikirkan lagi lah apa tanaman baru yang bisa mendapatkan untung sama kami. Gak mungkin kan kami bertahan menanam kentang kalo rugi terus…”

(wawancara Nopember 2010)

Setelah itu, tanaman utama masyarakatpun mengalami perubahan dari kentang menjadi

ubi. Sebagian besar masyarakat tidak lagi menanam kentang tetapi sudah fokus untuk menanam

ubi, padi, jagung, cabe dan sayur-sayuran. Menjadikan kentang sebagai tanaman utama hanya

bertahan sampai sekitar tahun 2000. D. Sipayung (lk, 49 Tahun) mengungkapkan :

“…….akibat dari situ… bergantilah tanaman utama orang sini dari kentang menjadi ubi. Orang-orang pun sudah fokus untuk menanam ubi, jagung, cabe, dan sayur-sayuran. Tapi lahannya itu sebagian besar digunakan untuk menanam ubi.”

(wawancara Nopember 2010)

D. Girsang (lk, 52 Tahun) juga menyatakan :

“dari situ kami disini rata-rata menanam ubi lah. Bisa nanti lahan yang kami punya itu lebih dari setengah digunakan untuk menanam ubi. Itulah akibat dari krisis itu.”

(41)

Peralihan tanaman utama masyarakat dari ubi menjadi jeruk telah dapat memperbaiki

keadaan perekonomian masyarakat. Jeruk yang dapat panen tiga kali dalam setahun dapat

mengubahkan kehidupan masyarakat jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pada waktu

masyarakat yang menjadikan padi, kentang, dan ubi sebagai tanaman utama mereka. Menjadikan

jeruk sebagai tanaman utama masih tetap bertahan sampai sekarang ini (tahun 2011). Kondisi

perekonomian masyarakat yang sudah jauh lebih baik, juga berdampak terhadap pembangunan

rumah masyarakat dan desa yang juga mengalami perubahan yang jauh lebih baik. Gambaran

diatas diutarakan oleh D. Girsang (lk, 52 tahun) :

“setelah kami menjadikan jeruk jadi tanaman utama kami, kami jadi makin makmurlah. Karena jeruk kan bisa panen tiga kali dalam setahun. Harganya pun jarang kali itu dabawah yang diharapkan. Kalo dibandingkan dengan dulu yang waktu padi, kentang, dan ubi jadi tanaman utama kami, sekarang ini jauhlah lebih baik. Lihatlah… rumah-rumah di desa ini juga udah rata-rata baik kan…?

(wawancara Nopember 2010)

Disamping masyarakat yang sudah menjadikan jeruk sebagai tanaman utama, sebagian

besar masyarakat juga menjadikan kopi sebagai tanaman utama kedua setelah jeruk. Masyarakat

sepertinya sudah fokus kepada jenis tanaman tua yang menurut persepsi mereka dapat

memperoleh untung yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jenis tanaman muda. Selain itu,

sampai saat ini (tahun 2011), masih ada juga masyarakat yang tetap menanam padi di lahan

pertanian mereka. Namun hanya sebagian kecil dari masyarakat yang tetap bertahan

membudidayakan padi tersebut meskipun statusnya tidak lagi menjadi tanaman utama yang

(42)

“setelah jeruk udah menjadi tanaman utama disini, orang-orang disini sudah semakin fokus sama tanaman tua. Karena selain jeruk, sudah banyak juga orang disini yang menanam kopi. Karena memang lebih banyak kan untungnya dari tanaman tua daripada tanaman muda. Tapi walaupun kami disini kebanyakan menanam jeruk dan kopi, tapi masih ada juga yang menanam padi. Tapi tinggal sedikit.

(wawancara Nopember 2010)

J. Jawak (lk, 50 tahun) juga mengatakan :

“karena kami sudah mendapatkan untung yang besar dari jeruk, jadinya kami lebih memikirkan untuk menanam tanaman tua. Makanya sekarang banyak juga kami yang menanam kopi sekarang kan.”

(wawancara Nopember 2010)

Interaksi yang terbangun diantara berbagai suku yang ada di Nagori Siboras mendorong

pertumbuhan ekonomi yang kebanyakan bergerak dalam sektor informal terutama sektor

pertanian dan perdagangan. Perpaduan berbagai suku bangsa yang terdapat di Nagori Siboras

mampu menciptakan keadaan yang rukun, damai dan kondusif bagi iklim pertanian dan

perdagangan yang dapat memberikan citra yang positif bagi Nagori Siboras, meskipun terdapat

berbagai konflik yang terjadi, tetapi masing-masing masyarakat masih mampu mengendalikan

atau meredam konflik tersebut, sehingga Nagori Siboras yang dikenal dengan desa yang

masyarakatnya majemuk dikenal sebagai salah satu desa yang cukup aman dan rukun. Hal diatas

diungkapkan oleh J. Girsang (lk, 72 tahun) :

(43)

Hal senada juga diungkapkan oleh S. F. Girsang :

“kami disini selalu aman itu… karena kami gak pernah melihat perbedaan suku, agama atau apapun. Kalo gak kau Tanya tadi masalah itu, sikitpun aku gak ada memikirkan perbedaan itu. Pokoknya kami selalu aman. Makanya bisa kampung kami ini makin maju kan karena kami bisa saling bekerjasama juga…”

(wawancara Nopember 2010)

Masyarakat setempat juga ada membentuk STM (serikat tolong menolong) yang

kelompoknya ditentukan oleh letak rumah yang mereka bangun. Kelompok tersebut ditentukan

bukan berdasarkan etnis atau status sosial, melainkan kelompok tersebut berdarkan batas wilayah

satu kelompok yang sudah disepakati oleh masyarakatt setempat. A. Girsang (lk, 72 tahun)

mengatakan :

“kami disini ada yang namanya STM. Udah tau kan STM…? Jadi kelompok-kelompoknya itu bukan berdasarkan suku atau kaya miskinnya. Tapi itu sudah kami sepakati dari dulu bahwa kelompoknya itu berdasarkan letak rumahnya. Jadi kami sudah membatasi dimana itu STM 1, STM 2 dan selanjutnya.. gitu…”

(wawancara Nopember 2010)

J. Girsang(lk, 75 Tahun) juga mengatakan :

“disini kan ada STM… nah… kelompok STM ini dibuat sesuai dengan letak rumahnya…”

(wawancara Nopember 2010)

Berdasarkan hasil observasi dan data yang diperoleh dari aparatur desa, Guna

menjalankan ketaqwaan dan keimanan masyarakat, Nagori Siboras terdapat dua jenis aliran sekte

sarana peribadatan yang sesuai dengan keyakinan masyarakatnya. Didesa ini terdapat dua Gereja

Kristen Protestan Simalungun ( GKPS ), dan satu Gereja pantekosta Di Indonesia ( GPDI ).

Kerukunan umat beragama di desa ini sangat di junjung tinggi. Hal ini terlihat dari tidak adanya

(44)

aliran sekte yang ada, serta melaksanakan kegiatan keagamaannya masing-masing dengan penuh

keyakinan. Gambaran diatas diungkapkan oleh S. Sipayung (lk, 38 tahun) :

“disini kan ada dua jenis gereja… dua itu GKPS dan satu GPDI. Walaupun ada dua jenis disini gereja tapi kami gak pernah saling mengganggu. Jalani agama masing-masing ajalah… iya kan….?

(wawancara Nopember 2010)

Hal yang sama juga diungkapkan B. Jawak (pr, 42 Tahun) :

“walaupun ada dua disini jenis gereja, kami gak pernah mengganggu mereka. Dan mereka juga gak pernah mengganggu kami. Untuk apa pula saling mengganggu. Capek kan…?”

(wawancara Nopember 2010)

Berdasarkan hasil observasi dan data yang diperoleh dari aparatur desa, komposisi

penduduk berdasarkan agama adalah homogen. Hampir seluruh penduduk yang bertempat

tinggal di lokasi penelitian ini adalah beragama Kristen Protestan. Masyarakat yang beribadah ke

Gereja Kristen Protestan Simalungun(GKPS) merupakan mayoritas dari jumlah penduduk,

diperkirakan pengikut aliran ini sebanyak 80% dari total jumlah penduduk, 2% beragama Islam,

dan sisanya merupakan pengikut aliran Pantekosta dengan nama lembaga Gereja Pantekosta Di

Indonesia (GPDI) kira-kira 18% dari total jumlah penduduk.

Bahasa daerah juga masih sangat kuat pengaruhnya didesa ini. Hampir dalam setiap

komunikasi yang dipakai adalah bahasa daerah Simalungun. Bahasa daerah merupakan bahasa

yang paling berpengaruh dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Penduduk akan enggan

berkomunikasi dengan manusia yang lain apabila tidak menggunakan bahasa daerah. Adapun

bahasa daerah yang biasa dipakai masyarakat di desa ini adalah bahasa Simalungun, Karo, dan

Toba. Dalam setiap interaksi yang dilakukan masyarakat baik itu dalam acara formal seperti

pendidikan maupun informal, dari observasi diperoleh bahwa frekuensi pengucapan bahasa

(45)

pengaruh tradisi dan nilai-nilai budaya membuat institusi resmi sekallipun belum bisa berhasil

sepenuhnya mengubah dan menggantikannya nilai-nilai baru dalam tatanan masyarakat.

Gambaran diatas diungkapkan oleh L. saragih (pr, 57 Tahun) :

“disini ya yang saya lihat… kalo kita gak make bahasa daerah, kurang dihargai itu.. apalagi kalo kau misalnya pake bahasa Indonesia, agak-agak aneh itu jawaban mereka. Tapi kalo kau pake bahasa simalungun, atau karo, atau toba, kau pasti lebih dihargai. Makanya disini kan kebanyakan pake bahasa daerahnya. Jangankan untuk bahasa sehari-hari, disekolah sini aja gurunya itu masih menggunakan bahasa simalungun”

9wawancara Nopember 2010)

Berdasarkan hasil observasi dan data yang diperoleh dari aparatur desa, program

pembangunan yang telah dilaksanakan pemerintah sejak Indonesia merdeka sedikit banyaknya

telah dirasakan manfaatnya oleh penduduk desa ini. Pembangunan infrastruktur vital telah

terpenuhi sehingga desa ini tidak termasuk desa yang tertinggal dan terisolasi. Meskipun

demikian, sebenarnya masih banyak sarana dan prasarana yang masih sangat dibutuhkan yang

belum dimiliki oleh desa ini. Gambaran diatas diperkuat lagi oleh D. Girsang (lk, 52 Tahun) :

“kalo pembangunan yang dibantu pemerintah kesini udah cukup baik nya. Kalo kebutuhan utama udah terpenuhinya disini. Tapi walaupun kek gitu masih banyak juganya yang kami butuhkan lagi bantuan dari pemerintah ini”

(wawancara Nopember 2010)

Desa juga sudah tersedia sarana air minum yang dikelola oleh swadaya masyarakat yang

telah masuk kerumah masing-masing penduduk. Hal ini masih sangat jarang di temukan di desa

lain yang berada di kabupaten simalungun. Keberadaan air minum yang sudah masuk ke

masing-masing rumah penduduk dapat membantu masyarakat dalam kebutuhan air minum yang juga

(46)

lain karena sudah dapat memanejemen waktu yang lebih baik lagi. Gambaran diatas

diungkapkan oleh J. Jawak (lk, 50 Tahun) :

“disini kan seperti yang kau lihat, sudah masuknya PAM kerumah masing-masing rumah tangga. Nah PAM ini disediakan sama swadaya masyarakat sini. Kalo kita lihat desa lain masih sangat jarang kan yang ada PAM nya… jadi kan.. dengan masuknya PAM ini, kami juga sangat terbantu.. enaklah setelah ada PAM ini. Waktu kami jadinya lebih banyak yang bisa dipakai”

(wawancara Nopember 2010)

Berdasarkan hasil observasi dan data yang diperoleh dari aparatur desa, sarana

transportasi ke desa dan keluar Nagori Siboras sudah cukup baik dan lancar. Adapun jalan yang

menghubungkan Nagori Siboras dengan kecamatan, desa, ataupun kota lain yang berdekatan

dengan Nagori Siboras sudah dapat dilalui oleh semua jenis kendaraan. Untuk dapat sampai ke

desa tersebut terdapat delapan unit angkutan umum yang setiap saat melayani kebutuhan

transportasi masyarakat. Disamping itu masyarakat Nagori Siboras juga menggunakan alat

transportasi lainnya seperti sepeda motor dan kendaraan pribadi untuk keperluan alat

transportasinya.

Sarana pendidikan sudah dapat dinikamti oleh masyarakat Nagori siboras karena sudah

tersedianya sarana transportasi yang menghubungkan desa ini dengan wilayah lainnya. Di Nagori

Siboras terdapat beberapa sarana pendidikan seperti satu Sekolah Dasar (SD) dan satu Taman

Kanak-kanak (TK). Untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke yang lebih tinggi seperti SMP dan

SMA, masyarakat juga dapat memperolehnya di kota Saribudolok yang hanya berjarak enam km

dari desa dan dapat ditempuh dengan menggunakan sarana transportasi yang tersedia di desa

tersebut. Berbagai sarana pendidikan tersebut tentunya sudah didukung oleh prasarana yang

Gambar

Tabel 1.1

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan beda kasta pada masyarakat Bali di Desa

Selain dalam bentuk makanan, pergeseran solidaritas masyarakat Sungai Deli dapat dilihat dari berkurangnya rata-rata bantuan yang diberikan masyarakat sekitar dalam

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh industrialisasi terhadap pergeseran nilai sosial pada masyarakat Desa Tegalrejo Kecamatan

Atas berkat dan rahmat dari Allah Yang Maha Kuasa yang selalu menyertai dan melindungi kita, maka skripsi tentang “Dari Ritual Ke Pasar: Pergeseran Makna Saguer Pada Masyarakat

Fenomena inilah yang akhirnya menjadi pemicu terjadinya pergeseran makna dari ritual ke pasar, para produsen, distributor dan penjual Saguer kini seakan-akan mulai berlomba

Tradisi yang telah dijalankan oleh masyarakat Kecamatan Wonosalam selama 3 tahun ini memiliki makna untuk mengucap rasa syukur atas panen raya buah durian, selain itu

Kesimpulan bah- wa obesitas, kebiasaan merokok, dan stres merupakan faktor penyebab terjadinya hipertensi pada masyarakat di Kecamatan Passi Barat Kabupaten Bolaang

Selain dalam bentuk makanan, pergeseran solidaritas masyarakat Sungai Deli juga dapat dilihat dari berkurangnya rata-rata bantuan yang diberikan masyarakat sekitar dalam