• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. USULAN PROGRAM PEMBINAAN IMAN

A. Alternatif Bentuk Pembinaan

4. Shared Christian Praxis (SCP)

Shared Christian Praxis (SCP) menekankan proses yang bersifat dialogal dan partisipatif dan kegiatan pembinaan iman dengan Shared Christian Praxis (SCP) ini bertitik tolak pada pengalaman hidup peserta yang direfleksikan secara kritis dan dikonfrontasikan dengan pengalaman iman dan visi kristiani sehingga menemukan sikap dan kesadaran baru yang memberi motivasi pada keterlibatan dan perwujudan nyata.

a. Shared Christian Praxis (SCP)

Model Shared Christian Praxis (SCP), bertitik tolak dari pengalaman hidup peserta yang sudah direfleksikan secara kritis dan dikonfrontasikan. Melalui pengalaman iman dan visi kristiani diharapkan muncul sikap dan kesadaran baru

yang memberi motivasi peserta untuk terlibat aktif dalam kehidupan secara konkrit. Sifat dari SCP ini adalah dialogal dan partisipatif. Dialog artinya relasi timbal balik dari pendamping dan peserta karena pendamping bukanlah pembicara utama, tetapi sebagai fasilitator. Sedangkan yang dimaksudkan dengan partisipatif ialah setiap peserta ikut ambil bagian dalam proses berkatekese secara aktif. Dengan proses yang dialogal dan partisipatif seputar pengalaman iman diharapkan peserta mampu untuk berbagi pengalaman hidupnya dengan demikian saling memperkaya dan menguhkan (Sumarno Ds, 2009: 14-15).

b. Langkah-langkah Shared Christian Praxis (SCP) 1. Langkah I : Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual

Pada langkah pertama peserta dibantu untuk mengungkapkan pengalaman hidup faktual. Pengungkapan pengalaman berdasarkan tema dasar yang telah dipilih. Isi dari pengungkapan pengalaman tersebut adalah pengalaman peserta sendiri atau kehidupan dan permasalahan sosial, ekonomi dan budaya yang terjadi dalam masyarakat, atau gabungan dari keduanya. Cara yang dipakai dalam langkah ini adalah “sharing” dimana peserta diberi kesempatan untuk membagikan pengalaman hidup yang sungguh-sungguh dialami. Sikap yang diharapkan dari peserta yang lain adalah memperhatikan sharing yang disampaikan. (Sumarno Ds, 2009 : 19).

Pada langkah pertama ini bertujuan untuk membantu peserta menyadari kehidupan mereka, bagaimana berdasar situasi masyarakat di dalamnya termasuk keadaan sosial, budaya serta ekonominya. Tindakan hidup peserta benar-benar merupakan perhatian utamanya (Groome, 1997 : 13).

Pada langkah ini pembimbing berperan sebagai fasilitator yang menciptakan suasana pertemuan menjadi hangat, mendukung peserta untuk membagikan praksis hidupnya berkaitan dengan tema dasar, merumuskan pertanyaan, memiliki sikap yang ramah, sabar, hormat, bersahabat, dan peka terhadap latar belakang keadaan dan permasalahan peserta (Sumarno Ds, 2009:19).

Relevansi langkah pertama pembinaan iman kaum muda adalah dalam langkah ini peserta atau kaum muda dapat membagikan pengalaman hidupnya kepada peserta lain. Peserta yang lain menjadi pendengar mempunyai kesempatan untuk belajar mendengarkan, berempati, menimba pengalaman dari orang lain dengan demikian akan semakin diperkaya.

2. Langkah II : Refleksi Kritis atas Sharing Pengalaman Hidup Faktual

Langkah kedua ini mendorong peserta untuk lebih aktif, kritis dan kreatif dalam memahami serta mengolah keterlibatan hidup mereka maupun masyarakatnya. Dalam refleksi kritis ini, peserta diajak untuk menggunakan sarana baik analisa sosial maupun analisa kultural (Sumarno Ds, 2009:20).

Tujuan pokok langkah kedua adalah memperdalam hasil sharing langkah pertama dan mengantar peserta pada kesadaran kritis akan pengalaman hidup dan tindakan mereka yang meliputi alasan, minat, ideologinya (segi pemahaman), sumber-sumber historis (aspek kenangan), dan konsekuensi historis yang diharapkan serta dibayangkan/diimajinasikan (Sumarno Ds, 2009:20).

Tanggungjawab seorang pembimbing pada langkah ini adalah menciptakan suasana pertemuan yang menghormati dan mendukung setiap gagasan serta sumbang

saran peserta, mendorong peserta supaya mengadakan dialog dan penegasan bersama yang bertujuan memperdalam, menguji pemahaman, kenangan dan imaginasi peserta, mengajak peserta untuk berbicara tetapi tidak memaksa, membuat pertanyaan yang menggali bukan menginterogasi dan maengganggu harga diri dan apa yang dirahasiakan peserta, menyadari kondisi peserta, lebih-lebih mereka yang tidak biasa melakukan refleksi kritis terhadap pengalaman hidupnya (Sumarno Ds, 2009:20).

Relevansi langkah kedua bagi pembinaan kaum muda di Asrama St. Ignasius de Loyola adalah pada langkah ini kaum muda diajak untuk lebih mendalami pengalaman hidupnya. Mengajak peserta untuk mengendapkan pengalaman hidupnya karena semuanya merupakan pengalaman yang sungguh membekas dan menjadi kenangan terindah dalam hidup.

3. Langkah III: Mengusahakan supaya Tradisi dan Visi Kristianai Terjangkau

Tradisi Kristiani mengungkapkan tanggapan iman jemaat Kristiani sepanjang sejarah terhadap pewahyuan ilahi, seperti terungkap di dalam Kitab Suci, dogma, pengajaran Gereja, liturgi, spiritualitas, devosi-devosi, kepemimpinan, seni dalam Gereja dan kehidupan jemaat beriman (Sumarno Ds, 2009:20-21).

Peran pembimbing dalam langkah ini adalah menghilangkan segala macam hambatan sehingga semua peserta mempunyai peluang besar untuk menemukan nilai-nilai dari tradisi dan visi kristiani, tidak mendikte tetapi mengantar peserta ketingkat kesadaran, tidak mengulang-ulang rumusan, tidak bersikap sebagai “guru”, adakalanya bersikap sebagai “murid” yang siap belajar, tafsiran dari pembimbing

mengikutsertakan kesaksian iman, harapan dan hidupnya sendiri, dan harus membuat persiapan yang matang (Sumarno Ds, 2009:20-21).

Relevansi langkah ketiga bagi pembinaan kaum muda di Asrama St. Ignasius de Loyola adalah dalam langkah ini kaum muda dihadapkan pada nilai-nilai Tradisi dan visi Kristiani untuk dikomunikasikan dengan pengalaman hidupnya, sehingga pengalamannya sungguh menjadi pengalaman iman sebagai pengikut Kristus.

4. Langkah IV : Interpretasi Dialektis antara Tradisi dan Visi Kristiani dengan tradisi dan visi Peserta

Dalam langkah keempat ini peserta diajak untuk meneguhkan, mempertanyakan, memperkembangkan dan menyempurnakan pokok-pokok penting yang telah ditemukan pada langkah pertama dan kedua. Selanjutnya pokok-pokok- penting itu dikonfrontasikan dengan hasil interpretasi tradisi dan visi kristiani dari langkah ketiga. Dari proses konfrontasi itu diharapkan peserta dapat secara aktif menemukan kesadaran atau sikap-sikap baru yang hendak diwujudkan dan semakin bersemangat dalam mewujudkan imannya dengan harapan supaya nilai-nilai kerajaan Allah makin dapat dirasakan di tengah-tengah kehidupan bersama. Interpretasi dialektis ini akan memampukan peserta untuk menginternalisasi dan mensosialisasi nilai tradisi dan visi kristiani sehingga menjadi bagian hidup mereka sendiri. Dengan proses ini diharapakan hidup iman peserta lebih aktif, dewasa dan missioner (Sumarno Ds, 2009:21).

Langkah ini bertujuan untuk meyakinkan peserta bahwa mereka memiliki potensi yang alamiah untuk memahami interaksi yang dinamis antara nilai

pengalaman hidup dan visi mereka dengan nilai Tradisi dan Visi Kristiani (Groome, 1997 : 19).

Relevansi langkah keempat bagi pembinaan iman kaum muda adalah melalui langkah ini peserta atau kaum muda memperoleh tambahan pengetahuan lewat tafsir yang diberikan oleh pembimbing.

5. Langkah V: Keterlibatan Baru demi Makin Terwujudnya Kerajaan Allah di Dunia Kekhasan dari langkah ini adalah mengajak peserta untuk melihat keprihatinan yang terjadi sehingga mendorong mereka untuk sampai pada keputusan baik secara pribadi maupun kolektif untuk sebuah pembaharuan hidup atau dengan kata lain keterlibatan baru dan dengan cara itu menggarisbawahi peran peserta sebagai subyek yang dipanggil untuk mewujudkan nila-nilai Kerajaan Allah dengan jalan mengusahakan metanoia yaitu pertobatan pribadi dan sosial yang terus-menerus (Sumarno Ds, 2009:22).

Tujuan dari langkah kelima yaitu mendorong peserta supaya sampai pada keputusan konkrit bagaimana menghidupi iman Kristiani pada konteks hidup yang telah dialami, dianalisa dan dipahami, direfleksi secara kritis, dinilai secara kreatif dan bertanggung jawab. Tanggapan peserta dipengaruhi oleh tema dasar yang religius, direfleksikan, nilai-nilai kristiani yang diinternalisasikan dan konteks kepentingan politis, sosial dan ekonomis peserta (Sumarno Ds, 2009:22).

Relevansi langkah kelima bagi pembinaan kaum muda di Asrama adalah setelah melalui tahap-tahap sebelumnya maka pada langkah kelima ini para kaum

muda diajak untuk membuat suatu niat yang konkrit atau aksi baru sebagai wujud bahwa mereka menghidupi iman Kristiani, serta sebagai wujud pertobatan.

B. Dasar-Dasar Pemilihan Program