• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.3 Sidang Paripurna DPR Maret 2010

Sidang atau Rapat Paripurna, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994), memiliki pengertian yaitu rapat lengkap anggota dan pimpinan dan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan wewenang.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

Dalam kasus bailout Century, DPR membentuk Panitia Khusus atau Pansus untuk melakukan penyelidikan terkait kasus bailout Century. keanggotaan Pansus ditetapkan oleh rapat paripurna berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pansus bertugas melaksanakan tugas tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna, dan dibubarkan setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau

karena tugasnya dinyatakan selesai. Pansus mempertanggungjawabkan kinerjanya untuk selanjutnya dibahas dalam rapat paripurna.

2.4 Analisis Framing

Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara lain atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti, atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut (Nugroho, Eriyanto, Surdiasis dalam Sobur, 2001:162)

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1995 (Sudibyo dalam Sobur, 2001:161). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan perilaku (strips of behaviour) yang membimbing individu dalam membaca realitas (Sobur,

G.J Aditjondro (Sudibyo dalam Sobur, 2001:165) mendefinisikan framing sebagai metode penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan menggunakan istilah yang punya konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya.

Menurut Aditjondro (Siahaan, 2001:9-10), proses framing merupakan bagian yang tak terpisahkan dari prosos penyuntingan yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian media cetak. Bahkan, kata Aditjondro, proses framing tidak hanya melibatkan para pekerja pers, tetapi juga pihak-pihak yang

bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing-masing berusaha menampilkan sisi-sisi informasi yang ingin ditonjolkan (sambil menyembunyikan sisi-sisi lain).

2.4.1 Proses Framing

Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih

menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut.

Pada dasarnya pekerjaan media adalah mengkonstruksikan realitas dimana isi media adalah hasil para pekerja mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya, diantaranya realitas politik. Pada umumnya, terdapat tiga tindakan yang biasa dilakukan pekerja media massa (setiap orang yang bekerja pada sebuah organisasi media), khususnya oleh para komunikator massa (sejumlah orang dari

pekerja media yang bertanggung jawab atas editorial sebuah media), tatkala melakukan konstruksi realitas politik yang berujung pada pembentukan makna atau citra mengenai sebuah kekuatan politik (Hamad, 2004:16-24).

Pertama, dalam hal pilihan kata (simbol) politik. Sekalipun media massa

hanya bersifat melaporkan, namun telah menjadi sifat dari pembicaraan politik untuk selalu memperhitungkan simbol politik. Dalam komunikasi politik, para komunikator bertukar citra atau makna-makna melalui lambang. Mereka saling menginterpretasikan pesan-pesan (simbol-simbol) politik yang diterimanya. Dalam konteks ini, sekalipun melakukan pengutipan langsung (direct quotation) atau menjadikan seorang komunikator politik melalui sumber berita, media massa tetap terlibat langsung maupun tidak langsung dengan pilihan simbol sumber tersebut. Tetapi mana kala media massa membuat ulasan, sebutlah editorial, pilihan kata itu ditentukan sendiri oleh sang komunikator massa.

Kedua, dalam melakukan pembingkaian (framing) peristiwa politik,

minimal oleh sebab adanya tuntutan teknis: keterbatasan-keterbatasan kolom dan halaman, jarang ada media yang membuat sebuah peristiwa secara utuh, mulai dari menit pertama kejadian hingga ke menit paling akhir. Atas nama kaidah jurnalistik, peristiwa yang panjang, lebar, rumit, dicoba “disederhanakan” melalui pembingkaian (framing) fakta-fakta dalam bentuk berita sehingga layak terbit. Untuk kepentingan pemberitaan ini, komunikator massa seringkali hanya menyoroti hal-hal yang “penting” (mempunyai nilai berita) dari sebuah peristiwa politik. Dari segi ini saja, mulai terlihat ke arah mana pembentukan (formasi) sebuah berita. Ditambah pula dengan berbagai kepentingan, maka konstruksi

realitas politik sangat ditentukan oleh siapa yang memiliki kepentingan (menarik keuntungan atau pihak mana yang diuntungkan) dengan berita tersebut.

Ketiga, menyediakan ruang untuk sebuah peristiwa politik. Justru jika

media massa memberi tempat pada sebuah peristiwa politik, maka peristiwa akan memperoleh perhatian dari masyarakat. Semakin besar tempat yang diberikan semakin besar pula perhatian yang diberikan oleh khalayak. Pada konteks ini media massa memiliki fungsi agenda setter sebagaimana yang dikenal dengan Teori Agenda Setting. Tesis utama dari teori ini adalah besarnya perhatian

masyarakat terhadap suatu isu amat bergantung seberapa besar media memberikan perhatian pada isu tersebut. bila satu media, apalagi sejumlah media, menaruh sebuah kasus sebagai headline, diasumsikan kasus itu pasti memperoleh perhatian yang besar dari khalayak.

2.4.2 Perangkat Framing Pan dan Kosicki

Analisis dalam penelitian ini menggunakan model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, dimana Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki (1993) melalui tulisan mereka “Framing Analysis: An Approach to News Discourse” mengoperasionalisasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing: sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Keempat dimensi struktural ini

membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen sementik narasi berita dalam suatu koherensi global. Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita

kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu ke dalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks.

Dalam pendekatan ini, framing dapat dibagi ke dalam empat struktur besar, yaitu :

a. Struktur Sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam kalimat, hal ini berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa, pernyatan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa kedalam bentuk susunan kisah berita (Sobur, 2001:175). Dengan demikian, struktur sintaksis ini bisa diamati dari bagan/skema berita, antara lain :

1. Headline : merupakan aspek sintaksis dari wacana berita dengan tingkat kemenonjolan yang tinggi menunjukkan kecenderungan berita dan digunakan untuk menunjukkan bagaimana wartawan mengkonstruksi suatu isu (Eriyanto, 2002:257-258)

2. Lead : umumnya sebagai pengantar ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum masuk ke dalam isi berita secara lengkap (Eriyanto, 2001:232)

3. Latar informasi : latar dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalm suatu teks (Eriyanto, 2001:235)

4. Pengutipan Sumber Berita : hal ini dimaksudkan untuk membengun objektivitas prinsip keseimbangan tidak memihak (Eriyanto, 2001:259)

5. Pernyataan 6. Penutup

b. Struktur skrip : struktur skrip berhubungan dengan bagaiman wartawan mengisahkan atau menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita. Struktur ini melihat bagaimana strategi bercerita atau bertutur yang dipakai wartawan dalam mengemas peristiwa (Eriyanto, 2002:255). Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah pola 5 W + 1 H, antara lain :

1. Who : siapa yang terlibat dalam peristiwa ? 2. What : apa yang terjadi ?

3. Where : dimana peristiwa itu terjadi ? 4. When : kapan peristiwa itu terjadi ?

5. Why : mengapa (apa yang menyebabkan) peristiwa itu terjadi ? 6. How : bagaimana peristiwa itu terjadi ?

c. Struktur tematik : struktur tematik berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkap pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan (Eriyanto, 2002:255). Ada beberapa elemen dapat diamati dari perangkat tematik ini, antara lain adalah :

1. Detail : elemen wacana ini berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang (komunikator). Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau untuk mendapatkan citra yang baik. Sebaliknya, ia

akan menampilkan informasi tersebut dalam jumlah yang sedikit atau bahkan kalau perlu informasi itu tidak disampaikan kepada khalayak jika hal itu merugikan kedudukannya. Elemen detail merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara implinsit (Eriyanto, 2001:238)

2. Maksud kalimat : elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secar eksplisit dan jelas. Sebaliknya, informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit, dan tersembunyi. Dalam konteks media, elemen maksud menunjukkan bagaimana secara implisit dan tersembunyi wartawan menggunakan praktik bahasa tertentu untuk menonjolkan basis kebenarannya dan secara implisit pula menyingkirkan versi kebenaran lain (Eriyanto, 2001:242)

3. Nominalisasi antarkalimat : adalah abstraksi –berhubungan dengan pernyataan apakah komunikator memandang objek sebagai sesuatu yang tunggal berdiri sendiri ataukah sebagai suatu kelompok atau komunitas (Sobur, 2001:81). Strategi ini berhubungan dengan mengubah kata kerja (Verbal) yang bermakna tindakan/kegiatan menjadi kata benda (nomina) yang bermakna peristiwa. Strategi ini sering digunakan untuk menghilangkan kelompok atau aktor sosial tertentu (Eriyanto, 2001:175-176)

4. Koherensi : adalah pertalian atau jalinan antar kata, proposisi atau kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat

dihubungkan dengan menggunakan koherensi. Sehingga fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan. Ada beberapa macam koherensi, Pertama, koherensi sebab-akibat. Proposisi atau kalimat satu dipandang akibat atau sebab dari proposisi lain. Kedua, koherensi penjelas. Proposisi atau kalimat satu dilihat sebagai penjelas proposisi atau kalimat lain. Ketiga, koherensi pembeda. Proposisi atau kalimat satu dipandang kebalikan atau lawan dari prosisi atau kalimat lain(Eriyanto, 2002 :263).

5. Bentuk kalimat : bentuk kalimat ini berhubungan dengan cara berpikir yang logis, yaitu kausalitas, logika kausalitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subyek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan). Bentuk kalimat bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat (Sobur, 2001:81)

6. Kata ganti : kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti ini timbul untuk menghindari pengulangan kat (yang disebut antaseden) dalam kalimat-kalimat berikutnya. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam suatu wcana (Sobur, 2001:81-82)

d. Struktur retoris : adalah gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis. Retoris, mempunyai fungsi persuasif, dan berhubungan erat dengan bagaimana pesan itu ingin disampaikan kepada khalayak (Sobur, 2001:84). Struktur ini berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam bentuk berita. Struktur retoris dari wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan oleh wartawan. Wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citr, meningkatkan gambaran yang diinginkan dari suatu berita. Struktur retoris juga menunjukkan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan oleh wartawan merupakan suatu kebenaran (Eriyanto, 2002:264). Struktur retoris terdiri dari beberapa elemen, antara lain :

1. Leksikon : pada dasarnya lemen ini menandakan bagimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia, pilihan kata yang dipakai tidak semata hanya karen kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta/realitas (Eriyanto, 2001 :255)

2. Grafis : grafis biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran yang lebih besar. termasuk di dalamnya adalah pemakaian caption, raster, grafik, gambar, tabel untuk mendukung arti penting suatu

pesan. Bagian-bagian yang ditonjolkan ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut, dimana ia menginginkan khalayak menaruh perhatian lebih pada bagian tersebut. elemen grafis itu juga muncul dalam bentu foto, gambar, dan tabel untuk mendukung gagasan atau untuk bagian lain yang tidak ingin ditonjolkan (Eriyanto, 2001:258)

3. Metafora : metafora merupakan suatu kiasan, ungkapan yang dimaksudkan sebagai ornamen atau bumbu dari suatu teks. Pemakaian metafora tertentu dapat menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks. Metafora tertentu dipakai oleh komunikator secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat/gagasan tertentu kepada publik (Eriyanto,2001:259)

4. Pengandaian (Presupposition) adalah strategi lain yang dapat memberi citra tertentu ketika diterima khalayak. elemen wacana pengandaian merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Pengandaian hadir dengan memberi pernyataan yang dipandang terpercaya dan karena tidak perlu dipertanyakan (Sobur, 2001:79)

KERANGKA FRAMING PAN DAN KOSICKI

STRUKTUR PERANGKAT FRAMING UNIT YANG DIAMATI

Headline, lead, latar informasi, kutipan, sumber pernyataan, penutup SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta 1. Skema berita SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta 2. Kelengkapan berita 5W + 1H TEMATIK Cara wartawan menulis fakta 3. Detail 4. Maksud kalimat,hubungan 5. Nominalisasi antar kalimat 6. Koherensi 7. Bentuk kalimat 8. Kata ganti Paragraf, proposisi RETORIS Cara wartawan menekankan fakta 9. Leksikon 10. Grafis 11. Metafora 12. Pengandaian Kata, idiom gambar/foto, grafik

Tabel 1 : Kerangka Framing Pan dan Kosicki (Sumber : Analisis Teks Media, Sobur, 2001:176)

2.5 Kerangka Berpikir

Media adalah subjek yang mengkonstruksi realitas. Dimana media berperan mendefinisikan bagaimana sebuah realitas dipahami dan dijelaskan dengan cara tertentu oleh khalayak. sehingga jelas bahwa bukanlah realitas yang sesungguhnya melainkan realitas buatan.

Bentuk konstruksi media terhadap suatu realitas dipengaruhi beberapa hal diantaranya dominasi orientasi pemilik modal dan tekanan-tekanan kepentingan politik.

Dengan penggunaan bahasa tertentu maka akan terlihat bentuk konstruksi media terhadap suatu realitas, tak terkecuali realitas politik yang selalu melibatkan aktor-aktor politik. Dimana ketika mengemas suatu pesan, aktor-aktor politik tersebut sering menggunakan bahasa politik dan menggunakan strategi tertentu.

Dalam hal ini realitas politik yang hendak dibingkai adalah rapat paripurna DPR Maret 2010 yang membahas masalah kebijakan Bailout Century.

Untuk mengetahui bagaimana suatu media membingkai suatu realitas dalam hal ini realitas politik, maka dipergunakan analisis framing. Dengan demikian akan terlihat bagaimana suatu realitas dipahami, dimaknai, dan dikonstruksi oleh media dengan bentukan dan makna tertentu.

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual

Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis framing. Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan (Moleong, 2000:3)

Dengan menggunakan analisis framing, peneliti ingin melihat bagaimana perbedaan Harian Jawa Pos dan Kompas dalam membingkai peristiwa Rapat Paripurna DPR Maret 2010 ke dalam suatu berita. Rapat Paripurna DPR Maret 2010 digelar untuk menentukan sikap apa yang akan diambil oleh anggota DPR, apakah bermasalah atau tidak ada masalah kebijakan pemerintah terkait dengan masalah Bailout Century.

Berita menurut Fishman, bukanlah refleksi atau distorsi dari realitas yang seakan diluar sana bukanlah realitas sesungguhnya melainkan realitas buatan dimana setiap wartawan mempunyai ukuran tentang “nilai sebuah berita” (news value), tapi wartawan juga punya keterbatasan visi, kepentingan ideologis, dan

sudut pandang yang berbeda, dan bahkan latar belakang budaya dan etnis. Karena alasan itulah maka peneliti ingin mengetahui bagaimana masing-masing wartawan

dari surat kabar Jawa Pos dan Kompas menulis dan mengemas peristiwa tersebut menjadi suatu berita yang menarik untuk disajikan kepada khalayak.

Metode framing analysis (Analisis Bingkai) yang dipakai dalam penelitian ini adalah milik Zhonhdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Zhongdang Pan dan Kosicki melihat framing sebagai cara untuk mengetahui bagaimana suatu media mengemas berita dan mengkonstruksi realitas melalui pemakaian strategis kata, kalimat, lead, hubungan antarkalimat, foto, grafik, dan perangkat lain untuk membantu dirinya mengungkapkan pemaknaan mereka sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Model yang diperkenalkan oleh Zhongdang Pan dan Kosicki berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame adalah suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita (seperti kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu) ke dalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks (Eriyanto, 2002 : 254-255).

Model ini mengoperasionalisasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing : sintaksis, skrip, tematik, dan retoris. Keempat dimensi struktural ini membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global. Dalam pendekatan ini framing dapat dibagi ke dalam empat struktur besar, yaitu :

a. Struktur Sintaksis: struktur sintaksis ini berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun berita mengenai Rapat Paripurna DPR Maret 2010.

struktur ini bisa diamati dari bagan/skema berita, antara lain: headline, lead, latar informasi, pengutipan sumber berita, pernyataan, penutup.

b. Struktur Skrip: struktur skrip berhubungan dengan bagaimana strategi wartawan krtika mengisahkan atau menceritakan Rapat Paripurna DPR Maret 2010 ke dalam bentuk berita. Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah pola 5W + 1H.

c. Struktur Tematik: struktur tematik berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas Rapat Paripurna DPR Maret 2010 ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan antarkalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Ada beberapa elemen dapat diamati dari perangkat tematik ini, antara lain adalah detail, maksud kalimat, nominalisasi antarkalimat,koherensi, bentuk kalimat, kata ganti.

d. Struktur Retoris: struktur ini berkaitan dengan pemilihan gaya atau kata yang oleh wartawan untuk menekankan yang ingin ditonjolkan oleh wartawan dari Rapat Paripurna DPR Maret 2010, hal ini dilakukan untuk membuat citra dan meningkatkan gambaran yang diinginkan dari peristiwa tersebut dengan melihat elemen-elemen dri struktur retoris seperti penggunaan foto, metafora, pngandaian, dan leksikon.

3.2 Subyek dan Obyek Penelitian

subyek dalam penelitian ini adalah surat kabar Jawa Pos dan Kompas. Karena kedua harian ini adalah harian yang banyak dibaca oleh masyarakat Jawa Timur. Sedangkan yang menjadi obyek dari penelitian ini adalah berita-berita

Rapat Paripurna DPR Maret 2010 tentang bailout Century pada surat kabar Jawa Pos dan Kompas.

3.3 Unit Analisis

unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah unit tematik dan unit reference. Unit tematik adalah setiap berita yang dianalisis merupakan tema yang telah ditetapkan. Pada penelitian ini tema berita yang telah ditetapkan adalah berita Rapat Paripurna DPR Maret 2010 tentang Bailout Century. Sedangkan unti reference, yang dianalisi adalah kalimat-kalimat dan kata-kata yang dimuat dalam berita Rapat Paripurna DPR Maret 2010 tentang Bailout Century di surat kabar Jawa Pos dan Kompas.

Dokumen terkait