• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat dan Jenis Penelitian

Dalam dokumen HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN (Halaman 48-0)

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis39maksudnya menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek di lapangan,40dalam hal ini perjanjian antara PT. PERTAMINA (Persero) dengan PT. Mitra Wahyu Prakasa mengenai perjanjian pengangkutan BBM di daerah Dumai dan Siak

Jenis penelitian ini mempergunakan metode yuridis normatif,41 dimulai analisis terhadap isi perjanjian yang dibuat dalam bentuk baku oleh PT.PERTAMINA (Persero) yang disetujui oleh PT. Mitra Wahyu Prakasa yang dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perusahaan, perjanjian, yang satu dengan lainnya dihubungkan untuk meneliti isi dari suatu perjanjian.

39 Deskriptif analitis artinya penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu, kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekwensi sesuatu yang terjadi. Lihat Rianto Adi, Metode Penelitan Sosial dan Hukum, (Jakarta : Granit, 2000), hal. 58. Dengan penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek atau peristiwa, dalam Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta : Andi Offset, 1989), hal. 3

40 Soerjono Soekanto, Op Cit, hal 63

41Yuridis Normatif, Menurut Ronald Dworkin, penelitian hukum normatif ini disebut juga dengan penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu Suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as written in the bok, maupun hukum sebagai law as it decided by judge through judical process, Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU tanggal 18 Februari 2003, hal 2, dalam Lila Nasution, Analisis Hukum Penggabungan Beberapa Bank Pemerintah Menjadi Bank Mandiri, Fakultas Ilmu Hukum Bisnis, USU, 2003, hal 35.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan salah satu tahapan dalam proses penelitian yang sifatnya mutlak untuk dilakukan karena data merupakan sumber yang akan diteliti. Pengumpulan data dalam penelitian ini mempergunakan data sekunder yang diperoleh dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan (library research)

Studi kepustakaan merupakan suatu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan membaca bahan-bahan hukum yang ada relevansinya dengan topik pembahasan atau masalah yang akan diteliti, baik bahan primer maupun bahan sekunder.

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen publikasi, artinya data sudah dalam bentuk jadi42atau data kepustakaan yang dikenal dengan bahan hukum dalam yang terdiri dari 3 (tiga) kelompok, yaitu:

1) Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah

42I Made Wirartha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Skripsi Dan Tesis, (Yogyakarta : Andi, 2006), hal. 34.

dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.43 Dalam hal ini yang berkaitan dengan perjanjian, dan perseroan, meliputi:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata b) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

c) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

d) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

e) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas

f) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

g) Petunjuk Tekhnis PT. PERTAMINA (Persero) yang terkait dengan perjanjian pengangkutan bahan bakar minyak.

2) Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen teks, kamus-kamus

43Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2010), hal.

141.

hukum, jurnal-jurnal hukum44 Yang meliputi bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah :

a) Kepustakaan mengenai hukum perjanjian.

b) Kepustakaan mengenai hukum perseroan.

c) Kepustakaan mengenai hukum migas

3) Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya, misalnya:

Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum serta majalah yang terkait dengan perjanjian pengangkutan BBM industri

b. Penelitian Lapangan (Field research)

Wawancara dilakukan langsung dengan informan yaitu:

1). Karyawan PT. Mitra Wahyu Prakasa, yang diwakili oleh 2 (dua) orang.

2). Pegawai PT. PERTAMINA (Persero), yang diwakili oleh 2 (dua) orang

3). Notaris, yang diwakili oleh 1 (satu) orang

44 Ibid

3. Alat Pengumpulan Data

Ada beberapa alat pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu:

a. Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan dengan cara mempelajari buku-buku dan hasil penelitian di lapangan serta perundang-undangan yang terkait dengan perjanjian pengangkutan BBM.

b. Pedoman Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab secara langsung dengan membuat daftar pertanyaan yang sudah direncanakan antara penulis dengan informan yaitu: 2 (dua) orang Pegawai PT. Mitra Wahyu Prakasa, 2 (dua) orang Pegawai PT. PERTAMINA (Persero), 1 (satu) orang Notaris.

4. Analisa Data

Setelah pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisis secara kualitatif,45 untuk menemukan hasil dari peneltian dengan melakukan pengolahan data dengan mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis,46 Penarikan kesimpulan dengan

45Adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan diteliti, dalam Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 2012), hal 250.

46Ibid, hal 251

menggunakan metode deduktif maka dapat diharapkan menjawab masalah dalam perjanjian kerjasama transportasi angkutan BBM Moda mobil tangki antara PT. PERTAMINA (Persero) dengan PT. Mitra Wahyu Prakasa yang ditetapkan sehingga kekurangan dalam bentuk perjanjian yang dibuat dalam bentuk baku dapat ditemukan, begitu juga dengan kelebihan dari bentuk perjanjian ini sehingga masih digunakan oleh pihak PT. PERTAMINA (Persero), sehingga jawaban dari permasalahan tersebut dapat menjadi satu temuan baru.

BAB II

PERJANJIAN KERJA SAMA TRANSPORTASI ANGKUTAN BBM MODA MOBIL TANGKI ANTARA PT. PERTAMINA (PERSERO)

DENGAN PT. MITRA WAHYU PRAKASA MENGGUNAKAN PERJANJIAN BAKU.

A. Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

Ketentuan yang mengatur mengenai perjanjian di Indonesia terdapat di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang perikatan. Perjanjian atau perikatan belum mendapat keseragaman bahwa perjanjian berasal dari istilah verbintenis, sebagian pakar hukum ada yang menerjemahkan sebagai perjanjian, sedangkan oveerenkomst diterjemakan sebagai persetujuan.47

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang lain saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, yang dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang yang dinamakan perikatan, dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara perjanjian dengan perikatan adalah perjanjian menerbitkan perikatan atau sumber terpenting melahirkan suatu perikatan,48 dalam pengertian yang lebih luas yaitu di mana dua orang

47 Wirjono Prodjodikoro, Asas- asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Sumur, 1993), hal 7

48Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 2005), hal 1

atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, yang biasanya secara tertulis, dan pihak-pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan berkewajiban untuk menaati dan melaksanakan sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum, yang disebut dengan perikatan karena telah menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak sehingga perjanjian tersebut merupakan sumber hukum formal, karena asal dari perjanjian itu adalah perjanjian yang sah.49

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perikatan adalah “suatu hubungan hukum di antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu”.50 Sedangkan menurut Subekti, yang dimaksud dengan perikatan adalah: “suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.51

Berdasarkan definisi tersebut dapat diuraikan unsur dari perikatan

49 Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori Dan Contoh Kasus, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2015), hal 39

50 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994), hal 3

51 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Cet XXXI, Intermasa, 2003), hal. 122.

yaitu:

a. Adanya suatu hubungan hukum;

b. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda;

c. Antara dua orang/pihak atau lebih;

d. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur;

e. Meletakkan kewajiban pada pihak yang lain, yaitu debitur; Adanya prestasi

Menafsirkan suatu perjanjian adalah menentukan arti pernyataan kehendak yang dilakukan para pihak yang menimbulkan akibat hukum, melakukan penafsiran perjanjian harus memakai dasar kepatutan dan kelayakan52menurut Van Schilfgaarde

bahwa “penafsiran dari perjanjian ditentukan dengan akibat hukum menurut hukum objektif yang bersifat yuridis normatif ”.53

Menurut R. Setiawan, menyebutkan bahwa “perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.54 Sedangkan menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan “suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.55

52Herlien Budiono, Kumpulan Tulsan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2013), hal 142

53 Annotatie atas Arres Haviltex, Arresten Burgerlijk Recht, (T.A.W Sterk, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1995), hal 332

54R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung : Bina Cipta, 1977), hal 49

55 Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), hal. 36

Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dari dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak

2. Bentuk-Bentuk Perjanjian

Menurut R. Subekti, perjanjian yang dilihat dari bentuknya, terbagi atas yaitu:56

a. Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertanggung jawabkan (ospchortende voorwade). Suatu contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau saya lulus dari ujian.

b. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshepaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang.

c. Perikatan yang memperbolehkan memilih (altematif) adalah suatu perikatan, dirnana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau

56 R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1982), hal 35

satu juta rupiah.

d. Perikatan tanggung menanggung (hoofdelijk atau solidctir) ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini. sedikit sekali terdapat dalam praktek.

e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.

f. Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenamya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.

Demikian halnya perjanjian kerja sama transportasi angkutan BBM Moda Mobil Tangki antara PT. PERTAMINA (Persero) dengan PT.

Mitra Wahyu Prakasa di TBBM Dumai dan TBBM Siak yang dilakukan pihak merupakan perjanjian timbal balik. Perjanjian transportasi BBM merupakan consensuil (timbal balik) dimana pihak PT. Mitra Wahyu Prakasa mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan BBM

dari dan ke tempat tujuan tertentu, dan membayar biaya/ongkos angkutan sebagaimana yang disetujui bersama, disini kedua belah pihak mempunyai kewajiban yang harus ditunaikan.

3. Dasar Hukum Perjanjian

Syarat sahnya suatu perjanjian terbagi dua yakni syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif yakni apabila dilanggar maka perjanjian dapat dibatalkan yang meliputi kecakapan untuk membuat perjanjian (dewasa dan tidak sakit ingatan), kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya sedangkan syarat objektif apabila dilanggar maka perjanjian batal demi hukum yang meliputi suatu hal (objek) tertentu dan suatu sebab yang halal.57

Perjanjian harus memenuhi unsur syarat sahnya perjanjian, berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata diperlukan empat syarat perjanjian yakni:

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yakni dalam hal ini PT.PERTAMINA (Persero) dan PT.Mitra Wahyu Prakasa yang mengadakan perjanjian kerjasama dalam

57Abdul R. Saliman, Op Cit, hal 40

hal transportasi angkutan BBM moda mobil tangki harus sepakat, setuju, mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak PT.PERTAMINA (Persero) juga harus dikehendaki oleh PT. Mitra Wahyu Prakasa, artinya kedua belah pihak harus menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

Dalam tercapainya kata sepakat atau kesepakatan dalam mengadakan perjanjian kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. ’’artinya para pihak dalam perjanjian untuk mencapai kata sepakat tersebut tidak dalam keadaan menghadapi tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut”.

Tidak dalam keadaan menghadapi tekanan tersebut dimaksudkan bahwa para pihak dalam mencapai kata sepakat harus terbebas dari kekhilafan (kesesatan), paksaan dan penipuan seperti yang tercantum dalam Pasal 1321 KUHPerdata, yang berbunyi: “Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

Menurut Ridwan Khairandy menyebutkan bahwa: ”Tiga asas yang saling berkaitan yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikat dan

asas kebebasan berkontrak.”58

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yaitu orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, dan perempuan yang bersuami. Tetapi pada subjek yang terakhir, yaitu perempuan bersuami telah dihapuskan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, sehingga sekarang kedudukan perempuan yang bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria dan cakap untuk mengadakan perbuatan hukum.

Dalam praktek Notaris melihat batasan seseorang dapat dikatakan dewasa didasarkan pada rujukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu usia dewasa yaitu 18 tahun atau telah kawin (sesuai Pasal 47 (1), (2) dan Pasal 50 (1), (2) Undang-Undang Perkawinan).

Kecakapan dalam membuat suatu perjanjian menurut kedewasaan secara yuridis yaitu mengandung pengertian bahwa kewenangan

58 Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004), hal 38

seseorang untuk melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa adanya bantuan pihak lain karena diakui oleh hukum untuk melakukan perbuatan hukum sendiri dengan tanggung jawab sendiri.59

Setiap organ dalam badan hukum perdata (Perseroan Terbatas, Yayasan, Perkumpulan, Koperasi), selalu mempunyai batas waktu dalam menjalankan jabatannya (kecuali Pembina yang berasal Pendiri tanpa batas waktu) yang disebutkan dalam akta terakhir yang mengaturnya, setiap organ dalam badan hukum tersebut selalu mempunyai kewenangan yang disebut dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan, yang tindakan hukumnya harus dalam koridor kewenangan jabatan organ-organ yang bersangkutan, jika tindakan hukum organ-organ-organ-organ tersebut wajib meminta persetujuan dari organ yang lain (berdasarkan anggaran dasar/anggaran rumah tangga), organ yang bersangkutan misalnya direktur wajib meminta persetujuan dari komisaris atau pengurus yayasan dari Pembina maka hal tersebut harus dilakukan terlebih dahulu.60

Sama halnya seperti PT. Mitra Wahyu Prakasa dan PT.

PERTAMINA (Persero) maka masing-masing perseroan memiliki organ-organ yang bertindak dalam kegiatan perusahaan sesuai dengan anggaran

59 Habib Adjie, Kompilasi 1 Persoalan Hukum Dalam Praktek Notaris Dan PPAT, (Surabaya: Bahan Diskusi Notaris/PPAT, 2015), hal 18

60Ibid, hal 90

dasar rumah tangganya, maka dalam pengikatan perjanjian kedua belah pihak juga harus adanya persetujuan dari masing-masing organ dalam perusahaannya.

Jika organ tersebut melakukan tindakan hukum diluar batas waktu masa jabatannya atau diluar kewenangannya maka tindakan hukum dalam perjanjian yang dilakukannya batal demi hukum, dan organ yang melakukannya wajib mempertanggungjawabkannya secara pribadi kecuali organ yang lebih tinggi dalam rapat yang dilakukan untuk itu menyatakan menerima semua tindakan hukum organ-organ tersebut meskipun lewat batas waktu dan tidak ada kewenangannya. Jika perjanjian dibuat dalam bentuk akta otentik dan akta Notaris yang menyebutkan tindakan hukum seperti itu batal demi hukum dan kepada Notarisnya dapat dituntut ganti rugi oleh pihak yang merasa dirugikan karena Notaris telah bertindak tanpa melihat batas waktu dan kewenangan organ-organ tersebut.61

Pada dasarnya badan hukum adalah suatu badan yang dapat memiliki hak-hak dan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan seperti manusia karena badan hukum adalah rekayasa manusia untuk membentuk suatu badan yang memiliki status, kedudukan, kewenangan yang sama seperti manusia karena badan ini hasil dari rekayasa manusia maka badan

61 Ibid, hal 91

ini disebut sebagai artificial person.62 Di dalam hukum istilah person (orang) mencakup mahluk pribadi yakni manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (persona moralis, legal person, legal entity, rechtspersoon), keduanya adalah subjek hukum sehingga keduanya menyandang hak dan kewajiban hukum.63 Menurut J. satrio, mereka ia memiliki hak/dan atau kewajiban yang diakui hukum.64

Oleh karena badan hukum adalah subjek, maka ia merupakan badan yang independen atau mandiri dari pendiri, anggota, atau penanam modal badan tersebut, badan ini dapat melakukan kegiatan bisnis atas nama dirinya sendiri seperti manusia. Bisnis yang dijalankannya, kekayaan yang dikuasainya, kontrak yang dibuat semua atas nama badan itu sendiri, badan ini seperti halnya manusia memiliki kewajiban-kewajiban hukum seperti membayar pajak dan mengajukan izin kegiatan bisnis atas nama dirinya sendiri.65

Perjanjian transportasi angkutan BBM Moda Mobil Tangki yang dilakukan PT. PERTAMINA (Persero) dengan PT. Mitra Wahyu Prakasa

62 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas Doktrin Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi, (Yogyakarta : Total Media, 2009), hal 4

63 Ibid

64 J. Satrio, Hukum Pribadi, Bagian I Persoon Alamiah, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990, hal 13

65 Robert W. Hamilton, The Law Of Corporation, (Minn, West Publishing Co, St Paul, 1996), hal 1

yang dijadikan objek penelitian di atas, dibuat secara tertulis disebutkan para pihak yang melakukan perjanjian keduanya adalah badan hukum sehingga yang mewakilinya adalah direkturnya masing-masing.

c. Suatu hal tertentu.

Artinya suatu perjanjian harus mempunyai sesuatu yang dijadikan sebagai objek dalam perjanjian tersebut. Artinya mengenai apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya, bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada ditangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat. Tidak diharuskan oleh Undang-Undang.66

Mengenai suatu hal tertentu diatur di dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata.

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, apa yang diperjanjikan atau barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya dan tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barangnya tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

66Subekti, Hukum Perjanjian Cetakan ke XII, (Jakarta: Intermasa, 1990), hal 19

Seperti dalam Perjanjian antara PT. Mitra Wahyu Prakasa dan PT.

PERTAMINA (Persero) maka objek yang diperjanjikan adalah minyak yang dibutuhkan industri (BBM) yang jenisnya telah ditentukan yaitu bensin dan solar.

d. Suatu sebab yang halal.

Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata adalah mengenai suatu sebab yang halal. Terkait dengan hal ini, Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa “tidak mungkin ada suatu persetujuan yang tidak memiliki sebab atau causa, oleh karena causa sebetulnya adalah isi dari persetujuan dan tiap-tiap persetujuan tentu mempunyai isi”

Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Para pihak yang saling mengikatkan diri untuk melakukan atau tidak melakukan hal-hal tertentu sebenarnya menciptakan hukum yang akan berlaku terbatas bagi para pihak, dari ketentuan diatas berarti bahwa perjanjian berlaku bagi para pihak sebagai Undang-Undang, perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan sepakat para pihak,

atau Undang-Undang menyatakannya berakhir dan perjanjian harus ditaati oleh para pihak yang membuatnya.67

Pada dasarnya perjanjian yang dibuat antara PT Mitra Wahyu Prakasa dengan PT. PERTAMINA (Persero) disebabkan masing-masing pihak saling membutuhkan dan mengharapkan terjadinya kelancaran hubungan industri, untuk itu perjanjian yang dibuat seharusnya dibuat dengan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban dan kesusilaan. Artinya apa yang diperjanjikan antara PT Mitra Wahyu Prakasa dengan PT. PERTAMINA (Persero) mengenai hak dan kewajiban dan objek yang diperjanjikan harus memenuhi syarat keseimbangan dan

Pada dasarnya perjanjian yang dibuat antara PT Mitra Wahyu Prakasa dengan PT. PERTAMINA (Persero) disebabkan masing-masing pihak saling membutuhkan dan mengharapkan terjadinya kelancaran hubungan industri, untuk itu perjanjian yang dibuat seharusnya dibuat dengan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban dan kesusilaan. Artinya apa yang diperjanjikan antara PT Mitra Wahyu Prakasa dengan PT. PERTAMINA (Persero) mengenai hak dan kewajiban dan objek yang diperjanjikan harus memenuhi syarat keseimbangan dan

Dalam dokumen HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN (Halaman 48-0)

Dokumen terkait