• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.3 Sikap Ibu terhadap Rawat Gabung

Berdasarkan hasil penelitian didapat bahwa mayoritas ibu hamil memiliki sikap yang positif terhadap rawat gabung yaitu 38 orang (95.0%), dan hanya 2 orang (5%) yang bersikap negatif terhadap rawat gabung.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi dan Persentase Sikap Ibu Hamil terhadap Rawat Gabung

Sikap Frekuensi Persentase (%)

Positif 38 95.0

Negatif 2 5.00

Meskipun sikap ibu hamil pada penelitian ini mayoritas positif tetapi tidak semua ibu hamil mendukung setiap pernyataan sikap tentang rawat gabung. Hal ini dapat dilihat dari hasil tiap item pernyataan sikap ibu tersebut (pada lampiran 8) yaitu pernyataan yang menyebutkan bahwa ibu merasa ragu untuk rawa gabung apabila nanti baynya dilahirkan melalui operasi sesar, pernyataan ini merupakan pernyataan negatif dan mayoritas ibu bersikap positif terhadap pernyataan ini (85%) artinya ibu mendukung bahwa ia ragu untuk rawat gabung apabila nantinya bayinya dilahirkan secara sesar. Seharusnya ibu tidak perlu ragu untuk melakukan rawat gabung meskipun bayi dilahirkan secara sesar karena rawat gabung pada bayi yang dilahirkan melalui operasi sesar dilakukan setelah bayi dan ibunya telah cukup sehat.

5.2 Pembahasan

Hasil dari penelitian didapatkan bahwa mayoritas responden berada pada rentang usia ibu yang aman untuk hamil yaitu 20-35 tahun dan hanya sebagian kecil responden yang berada pada rentang usia beresiko yaitu >35 tahun, dan pengetahuan responden pada penelitian ini mayoritas adalah baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wijayanti (2009) yang respondennya juga berada pada rentang usia 20-35 tahun dan dalam penelitian tersebut juga didapat bahwa pengetahuan mayoritas respondennya adalah dalam kategori baik.

Dilihat dari pekerjaan, mayoritas responden adalah ibu rumah tangga (tidak bekerja), menurut Notoatmodjo (2003) pekerjaan secara tidak langsung dapat menpengaruhi tingkat pengetahuan karena berkaitan erat dengan faktor interaksi sosial. Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian ini karena pada penelitian ini mayoritas responden adalah ibu yang tidak bekerja dan pengetahuan mayoritas responden dikategorikan baik, hal tersebut juga sejalan dengan Arasta (2010) yang mendapatkan tingkat pengetahuan yang baik tentang rawat gabung dengan mayoritas responden ibu post partum yang tidak bekerja.

Bila dilihat dari pendidikan, mayoritas responden memiliki tingkat pendidikan menengah yaitu SMA. Hal tersebut dikaitkan dengan penellitian Arasta (2010) yang mendapatkan bahwa respopnden yang telah melewati pendidikan dasar (SMA) mempunyai pola pikir yang lebih baik dalam menerima pemahaman mengenai rawat gabung. Berdasarkan hasil penelitian tersebut

peneliti berasusmsi bahwa tingkat pendidikan dapat mempenaruhi pengetahuan tentang rawat gabung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya sedikit responden yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang rawat gabung, sedangkan hampir enam kalli lipatnya ialah memiliki pengetahuan yang baik tentang rawat gabung, dan tidak ada responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang kurang tentang rawat gabung. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Wulandari, dkk (2007) yang mendapatkan pengetahuan yang baik tentang rawat gabung pada mayoritas respondennya, tetapi pada penelitian ini respondennya ialah ibu post partum.

Bila dilihat secara rinci dari keseluruhan pertanyaan tentang rawat gabung, maka pertanyaaan tentang tujuan rawat gabung dalam hal bantuan emosional yang mayoritas dijawab benar oleh responden, dalam hal bantuan emosional rawat gabung bertujuan untuk terciptanya hubungan antara ibu dan bayinya (bounding attachment). Notoatmodjo (2003) mengatakan bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk membentuk tindakan seseorang. Pernyataan dan hasil penelitian tersebut didukung dengan hasil penelitian Mutiara (2013) bahwa terdapat hungungan yang signifikan antara pengetahuan dengan tindakan

bounding attachment.

Meskipun hasil yang didapat adalah mayoritas responden memiliki pengetahuan yang baik tentang konsep rawat gabung, tetapi tidak semua konsep tersebut dikuasai oleh responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil responden yang mengetahui usia kehamilan yang nantinya boleh

melakukan rawat gabung, usia kehamilan yang diperbolehkan ialah usia kehamilan 37 minggu atau lebih Hal ini terlihat pada hasil penelitian yang menjunjukkan bahwa lebih dari dua kali lipat jumlah responden yang tidak memahami apakah bayi dapat diletakkan di dalam box bayi atau bersama ibu dalam satu tempat tidur. Pertanyaan nomor 18 berisi tentang apakah dalam rawat gabung bayi diperbolehkan tidur pada satu tempat tidur denga ibunya, seharusnya jawaban dari pertanyaan ini adalah diperbolehkan, namun hanya sedikit responden yang menjawab pertanyaan ini dengan benar, dan lebih dari setengah dari responden yang menjawab pertanyaan ini dengan salah ialah memilih pilihan jawaban yang menyebutkan bahwa bayi dapat diletakkan bersama ibu pada satu tempat tidur apabila sesuai dengan ketentuan perawat. hal ini dimungkinkan bahwa ibu masih memilliki persepsi bahwa ketentuan perawatlah yang harus dijalankan, asumsi ini didukung oleh penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Rice (2000) yang mendapatkan bahwa sebagian besar ibu menjalankan rooming-in karena diminta oleh perawat tanpa mereka tahu mengapa harus melakukan rawat gabung.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mayoritas responden tidak mengetahui tentang kontraindikasi rawat gabung pada bayi maupun pada ibu yaitu bayi dengan berat badan lahir rendah dan kontraindikasi ibu kanker payudara melakukan rawat gabung. Bayi dengan berat lahir rendah dilarang melakukan rawat gabung karena bayi tersebut kurang mampu mengisap air susu ibu (Wiknjosastro, 2005) selain itu juga ibu yang mengalami kanker payudara tidak dianjurkan untuk menyusui bayinya (Brunner & Suddarth, 2002), sedangkan pada

rawat gabung yang diutamakan ialah proses menyusui unuk meningkatkan produksi ASI. Peneliti berasumsi apabila dalam hal konsep bahwa rawat gabung yang terutama adalah proses menyusui, ibu tidak memahaminya maka tidak akan ada hasil yang baik dalam produksi ASI meskipun ibu melakukan rawat gabung, asumsi ini sejalan dengan penelitian Tamba (2010) tentang pengaruh perawatan

rooming-in terhadap produksi Asi pada ibu post partum yang menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara perawatan rooming-in terhadap produksi ASI.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa mayoritas responden memiliki sikap yang positif terhadap rawat gabung, hasil tersebut sama seperti yang didapat Wijayanti (2009) yang dalam penelitiannya mendapatkan bahwa mayoritas responden memiliki sikap yang mendukung terhadapa rawat gabung, hanya saja responden dalam penelitiannya adalah ibu post partum. Bennett dan Sheridan (2005) juga mendapatkan hasil bahwa secara umum ibu yang mendapatkan perawattan rooming in menganggap hal tersebut merupakan pengalaman yang positif.

Meskipun mayoritas responden memiliki sikap yang positif terhadap rawat gabung, tetapi bila dilihat lebih rinci pada setiap item pernyataan sikap, maka didapat bahwa mayoritas ibu mendukung pernyataan yang menyebutkan bahwa ibu ragu untuk melakukan rawat gabung apabila nantinya bayinya dilahirkan melalui operasi sesar, seharusnya ibu tidak perlu ragu lagi untuk melakukan rawat gabung karena rawat gabung pada bayi yang lahir melalui operasi sesar dilakukan setelah ibu dan bayi cukup sehat. Peneliti berasumsi sikap ibu tersebut timbul karena ibu belum benar-benar memahami konsep rawat gabung, hal ini didukung

dari hasil penelitian yang juga menyebutkan bahwa ibu belum benar memahami kontraindikasi untuk melakukan rawat gabung dan Osgood dalam Azwar (2013) juga menyatakan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan yang memiliki fungsi pengetahuan dan digunakan untuk dapat mengevaluasi fenomena luar dan mengorganisasikannya.

BAB 6

Dokumen terkait