• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sikap Keberagamaan Siswa a.Pengertian Sikap a.Pengertian Sikap

Sikap menurut J. P. Chaplin yang diterjemahkan oleh Kartini Kartono adalah satu predisposisi atau kecenderungan yang relative stabil dan berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku atau mereaksi dengan satu cara tertentu terhadap pribadi lain, obyek, lembaga atau persoalan tertentu. Di lihat dari satu yang sedikit berbeda, sikap merupakan kecenderungan untuk mereaksi terhadap orang, institusi atau kejadian baik secara positif maupun negatif.

Sikap merupakan reaksi seseorang terhadap obyek atau institusi yang dihadapinya baik berupa reaksi positif maupun negatif. Sikap memiliki kecenderungan yang stabil bila dimiliki oleh orang-orang yang berkepribadian kuat, konsisten dengan segala tindakan yang telah diperbuatnya. Sedangkan sikap yang cenderung berubah-ubah terdapat pada orang-orang yang berkepribadian lemah karena dipengaruhi oleh lingkungannya.

Dari pendapat di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa sikap adalah suatu predisposisi yang stabil dari seseorang terhadap suatu obyek yang dihadapinya. Misalnya, seorang guru mempunyai anak didik yang kurang dapat bersosialisasi dengan temannya disebabkan anak tersebut baru pindah dari daerah, sehingga dalam berkomunikasi sering menggunakan dialek daerah. Guru tersebut harus dapat memahami keadaan anak tersebut dan berusaha membantu anak tersebut.

Dalam arti yang sempit, sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental. Menurut Frank J. Bruno, sikap (attitude) dapat dikatakan sebagai predisposisi untuk bertindak secara positif atau negatif terhadap kategori atau obyek tertentu. Dengan demikian pada prinsipnya sikap itu dapat

dianggap sebagai suatu kecenderungan siswa untuk bertindak dengan cara tertentu. Dalam hal ini perwujudan prilaku belajar siswa aka ditandai dengan munculnya kecenderungan-kecenderungan baru yang telah berubah (lebih maju dan lugas) terhadap suatu obyek, tata nilai , peristiwa dan sebagainya.1

Untuk membedakannya dengan aspek-aspek yang lain (seperti motif, kebiasaan, pengetahuan dan lain-lain) perlu dikemukakan ciri-ciri sikap sebagai berikut:

1) Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan itu dalam hubungan dengan obyeknya. Sifat ini membedakannnya dengan sifat motif-motif biogenis seperti lapar, haus, kebutuhan akan istirahat.

2) Sikap dapat berubah-ubah karena itu sikap dapat dipelajari dan sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.

3) Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu objek dengan kata lain, sikap itu terbentuk, dipelajari atau berubah senantiasa berkenaan dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas.

4) Objek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut.

5) Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah yang membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.

b. Proses Pembentukan dan Perubahan sikap

Sikap dapat terbentuk atau berubah melalui empat macam cara:

1) Adopsi: kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang terjadi berulang-ulang dan terus menerus, lama kelamaan secara bertahap

1

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, suatu Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosyda Karya, 1996), H. 126

diserap kedalam diri individu dan memepengaruhi terbentuknya suatu sikap. Misalnya, seseorang yang sejak lahir sampai ia dewasa tinggal di lingkungan yang fanatic Islam, ia akan mempunyai sikap negative terhadap daging babi.

2) Diferensiasi: dengan berkembangnya intelegensi, bertambahnya pengalaman, sejalan dengan bertambahnya usia, maka ada hal yang tadinya dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri lepas dari jenisnya. Terhadap obyek tersebut dapat terbentuk sikap tersendiri pula. Misalnya, seorang anak kecil mula-mula takut pada setiap orang dewasa yang bukan ibunya, tetapi lama kelamaan ia dapat membeda-bedakan antara ayah, paman, bibi, kakak, yang disukainya dan orang asing yang tidak disukainya.

3) Integrasi: pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap, dimulai dengan berbagai pengalaman yang berhubungan dengan suatu hal tertentu, sehingga akhirnya terbentuk sikap mengenai suatu hal tersebut. Misalnya, seorang dewasa sering mendengar kehidupan kota, ia pun sering membaca surat kabar yang diterbitkan di kota, kawan-kawan yang datang dari kota membawa barang-barang yang bagus dan bercerita tentang keindahan kota. Setelah beberapa waktu, maka dalam diri orang dewasa tersebut timbul sikap positif terhadap kota dan hal-hal yang berhubungan dengan kota, sehingga pada akhirnya ia pun terdorong untuk pergi ke kota.

4) Trauma: trauma adalah pengalaman yang tiba-tiba, mengejutkan meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap

Pembentukan sikap tidak terjadi demikian saja, melainkan melalui suatu proses tertentu, melalui kontak social terus menerus antara individu dengan individu lain di sekitarnya. Dalam hubungan ini, factor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap adalah:

1). Pengalaman Pribadi

Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.

2). Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

3). Pengaruh Kebudayaan

Tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.

4). Media Massa

Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyekstif cenderung dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya.

5). Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan tidaklah mengherankan jika kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.

6). Faktor Emosional

Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. (Azwar, 2005).

d. Pengertian Sikap Keberagamaan

Secara historis, sikap (attitude) pertama kali digunakan Spencer pada tahun 1862 yang pada saat itu diartikan olehnya sebagai status mental seseorang. Dimasa-masa awal itu pula penggunaan konsep sikap sering dikaitkan dengan konsep mengenai postur fisik atau posisi tubuh seseorang.2 Misalnya sikap hormat dengan membungkukkan badan sikap takut diekspresikan dalam perubahan wajah dan lain sebagainya. Proses kemapanan sikap bersumber pada perasaan yang dimunculkan pada fisik maupun perilaku, sehingga studi sikap pada awalnya lebih cenderung pada pengamatan perilaku fisik.

Sikap dalam arti yang sempit adalah pandangan atau kecenderungan mental. Menurut Bruno sikap (attitude) adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu.3 Sejalan dengan pendapat Bruno, Louis Thurstone, Rensis Likert, dan Charles Osgood menurut mereka, sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tertentu, secara lebih spesifik, Thurshtone sendiri memformulasikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis.4

Sudibyo mendefinisikan sikap sebagai keyakinan-keyakinan yang mengandung aspek kognitif, afektif, dan konatif yang merupakan kesiapan mental psokologis untuk bereaksi dan bertindak secara positif atau negatif terhadap objek tertentu.

Dari berbagai definisi dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap adalah keyakinan seseorang menanggapi objek tertentu dengan perasaan mendukung atau tidak mendukung yang mengandung tiga komponen

2

Saifuddin Azwar, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. ke-6, h. 3.

3

Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Offset, 2003), h. 120.

4

psikologis, yaitu komponen kognitif, afektif, dan komponen konatif (psikomotorik) dengan sitem kerja yang sangat kompleks.

Sikap yang mengandung tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif (psikomotorik), akan terbentuk dari suatu objek, yang disertai perasaan positif atau negatif. Orang yang mempunyai sikap positif terhadap suatu objek, yang bernilai pada pandangannya, dan ia akan bersikap negatif terhadap objek yang dianggapnya tidak bernilai atau merugikan. Sikap ini kemudian mendasari dan mendorong kearah sejumlah perbuatan yang satu sama lainnya berhubungan. Informasi merupakan kondisi pertama untuk suatu sikap. Jika berdasarkan informasi itu timbul perasaan positif atau negatif terhadap objek dan menimbulkan kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu, maka terjadilah sikap.

Menurut Ellis, sebagaimana yang dikutif oleh Purwanto, menyatakan bahwa yang memegang peranan penting dalam sikap adalah faktor perasaan atau emosi, dan faktor reaksi/respon, atau kecenderungan untuk bereaksi. Dalam beberapa hal sikap merupakan penentu yang penting dalam tingkah laku manusia, sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senag (dislike), menurut dan melaksanakannya atau menjauhinya.5

Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Agama dalam kehidupan sehari-hari, di kenal dengan istilah religi (religio, bahasa Latin; religion, bahasa Inggris), agama, dan din (al-diin, bahasa Arab). Religi berakar kata religare berarti mengikat, yaitu sesuatu yang dirasakan sangat dalam, yang bersentuhan dengan keinginan seseorang membutuhkan ketaatan dan memberikan imbalan atau mengikat seseorang dalam suatu masyarakat. Menurut Quraish Shihab, agama berasal dari

5

Ngalim Purwanto. Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), cet-18, h. 141.

diin adalah ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia, dan karakteristik agama adalah hubungan makhluk dengan Sang Pencipta, yang terwujud dalam sikap batinnya, tampak dalam ibadah yang dilakukannya, serta tercermin dalam perilaku kesehariannya. Agama juga meliputi tiga persoalan pokok, yaitu tata keyakinan (atas adanya kekuatan supranatural), tata peribadatan (perbuatan yang berkaitan dengan dzat yang diyakini sebagai konsekuensi keyakinan), dan tata kaidah (yang mengatur hubungan antar manusia dengan manusia dan dengan alam sekitar.

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, al-Qur’an dan hadist, nampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, eglifer, kemitraan, anti peodalistik, mencintai kebersihan mengutamakan persaudaraan berakhlak mulia dan sikap-sikap positif lainnya.6

Dari definisi di atas dapat disimpulkan agama adalah peraturan Allah yang diberikan untuk manusia yang berisi sistem keyakinan, sistem peribadatan tampak dalam ibadahnya, dan sistem kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan alam sekitar yang tercermin dalam tingkah laku kesehariannya. Semua itu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak.

Keberagamaan sering disebut juga religiusitas. Religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa

6

Abuddin Nata, Metodologi Study Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2001). Cet. Ke-6, h. 1.

pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianut. Untuk penelitian ini dibatasi pada orang Muslim, religiusitas dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuanm keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan atas agama Islam. Sikap keberagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorag yang mendorong sisi orang untuk bertingkah laku yang berkaitan dengan agama.7 Sikap keberagamaan juga dapat dipahami sebagai suatu tindakan yang didasari oleh dasar kepercayaan terhadap nilai kebenaran yang diyakininya. Sikap keberagamaan terbentuk karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai komponen kognitif serta perasaan terhadap agama sebagai komponen apektif dan perilaku terhadap agama sebagai komponen konatif (psikomotorik).

Agama menyangkut kehidupan batin manusia, kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang menggambarkan sisi batin dalam kehidupan beragama seseorang. Dari kesadaran dan pengalaman inilah timbulnya sikap keberagamaan yang ditampilkan seseorang.

Untuk mengukur dan melihat bahwa sesuatu itu menunjukan sikap keberagamaan dilihat dari karakteristik sikap religiusitas, terdiri lima indikator yang sesuai dengan pendapat Glock dan Stark, yaitu keyakinan (the ideological dimension, religious belief), peribadatan atau praktik agama (the ritualistic dimension, religious practice), penghayatan (the experiential dimension,religious feeling), pengamalan (the consequential dimension, religious effect), dan pengetahuan agama (the intellectual dimension, religious knowledge).

Pertama, dimensi keyakinan, dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut, dan diharapkan akan taat. Kedua, dimensi praktik agama, dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Ketiga,

7

dimensi pengalaman, dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta-fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengaharapan tertentu, dan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang. Keempat, dimensi pengetahuan agama dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. Kelima, dimensi pengamalan atau konsekuensi, dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.8

Faktor-faktor yang memepengaruhi sikap keberagamaan bersumber dari kejiwaan pada seseorang, yaitu berfikir, sesuai pendapat Teori Monistik, bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah satu sumber kejiwaan. Menurut Thomas Van Aquino yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah berfikir. Manusia bertuhan karena manusia menggunakan kemampuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri. Menurut Fredrick Schleimacher bahwa yang menjadi sumber keagamaan itu adalah ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Dengan adanya ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah. Kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya. Menurut Rudolf Otto sumber kejiwaan agama adalah rasa kagum yang berasal dari the wholly other (yang sama sekali lain). Bila seseorang dipengaruhi rasa kagum terhadap sesuatu yang dianggap lain.9

Teori Fakulti berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal tetapi terdiri atas unsur, antara lain yang diaggap memegang peranan penting adalah fungsi cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will).

8

Djamaludin Ancok, et al, Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. Ke-6, h. 77.

9

a. Cipta (reason) berperan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama berdasarkan pertimbangan intelek seseorang.

b. Rasa (emotion) menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama.

c. Karsa (will) menimbulkan amalan-amalan atau doktrin keagamaan yang benar dan logis.

Kemantapan jiwa seseorang setidaknya memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan pada orang itu. Jika nilai-nilai agama yang mereka pilih dijadikan pandangan hidup, maka sikap keberagamaan akan terlihat pula dalam pola kehidupannya. Sikap keberagamaan ini dapat membawa seseorang secara mantap menjalankan ajaran agama yang mereka anut.

Sikap keberagaman merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Sikap keberagaman tersebut dipengaruhi oleh adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif. Jadi sikap keberagaman merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama dan tindak keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa sikap keberagaman menyangkut atau berhubungan erat dengan gejala kejiwaan.10

Dari beberapa definisi yang diungkapkan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap keberagamaan adalah kemantapan perilaku seseorang (siswa) yang terlihat dalam pola kehidupannya dalam melaksanakan ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya sebagai pedoman hidup, meliputi: keyakinan, peribadatan atau praktik agama, penghayatan, pengamalan dan pengetahuan agama.

10

Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. Ke-7, h.225

e. Indikator Sikap Keberagamaan

Menurut pendapat Glock dan Stark, untuk mengukur tingkat keberagaman seseorang dapat dipakai kerangka sebagai berikut:

1). Keterlibatan tingkat ritual (ritual involvement), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual agama mereka.

2) Keterlibatan ideologis (ideological involvement), yaitu tingkatan sejauh mana orang menerima hal-hal yang dogmatis dalam agama mereka.

3) Keterlibatan intelektual (intelektual involvement), yaitu menggambarkan sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya, seberapa jauh aktivitasnya dalam menambah pengetahuan agama.

4) Keterlibatan pengalaman (eksperimental involvement), yang menunjukan apakah seseorang pernah mengalami pengalaman yang spektakuler yang merupakan keajaiban yang datang dari Tuhan. 5) Keterlibatan secara konsekuen (consequential involvement), yaitu

tingkatan sejauh mana perilaku seseorang konsekuen dengan ajaran agamanya.

f. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Keberagamaan

Pembentukan atau perubahan sikap beragama pada dasarnya ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.

1). Faktor intern yaitu faktor yang terdapat dalam pribadi manusia itu sendiri. Antara lain:

a) Kebutuhan manusia akan agama (naluri untuk beragama), yaitu kebutuhan manusia akan pedoman hidup yang dapat menunjukkan jalan kearah kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dalam buku Psikologi Agama, Robert Nuttin mengatakan bahwa: dorongan beragama merupakan salah satu dorongan yang bekerja dalam diri manusia sebagaimana dorongan-dorongan

lainnya, seperti makan, minum, intelek dan lain sebagainya. Sejalan dengan itu maka dorongan beragama pun menuntut untuk dipenuhi sehingga pribadi manusia itu mendapat kepuasan dan ketenangan. Selain itu dorongan beragama juga merupakan kebutuhan insaniah tumbuhnya dari berbagai faktor penyebab yang bersumber dari rasa keagamaan.

b) Adanya dorongan untuk bersyukur, taat, patuh, atau mengabdi kepada Allah, sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Sebagaimana Allah menegaskan tentang tujuan diciptakannya manusia, sesuai dengan firmannya dalam Al-Qur’an surat Adz-Dzaariat ayat 56:

Artinya:. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya merekamengabdi kepada-Ku.

c) Adanya cita-cita untuk memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

2). Faktor ekstern yaitu faktor yang terdapat diluar pribadi seseorang dan merupakan stimulus yang dapat membentuk dan dapat mengubah sikap beragama, dapat dilihat dari:

a). Lingkungan Keluarga

Pengaruh kedua orang tua terhadap sikap beragama dalam pandangan Islam sudah lama disadari. Orang tua telah diberikan tanggung jawab yang besar dalam menentukan sikap beragama pada anak-anaknya, sehingga keluarganya terhindar dari berbagai macam malapetaka di Dunia dan Akhirat. Sebagaimana firman Allah Qur’an surat At-Tahrim ayat 6:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

b). Lingkungan Institusional

Lingkungan institusional yang berpengaruh terhadap sikap beragama antara lain adalah lembaga pendidikan.

Sekolah sebagai institusi formal mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan sikap beragama anak (siswa). Pengaruh tersebut terjadi antara lain karena interaksi kurikulum dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan siswa atau bias saja terjadi karena hubungan siswa dengan sarana atau prasarana ibadah.

Dilihat kaitannya dengan sikap beragama, keempat interaksi tersebut jelas mempengaruhi.

c). Lingkungan Masyarakat

Umumnya siswa SLTP menghabiskan waktunya di luar rumah (sekolah dan masyarakat). Berbeda dengan di sekolah dan di rumah, umumnya pergaulan di masyarakat kurang memperhatikan disisplin atau aturan yang harus dipatuhi secara ketat.

Namun demikian, kehidupan di masyarakat dibatasi oleh norma-norma dan nilai-nilai yang didukung warganya. Dengan demikian setiap warga berkewajiban untuk mamatuhi semua norma-norma tersebut. Norma-norma dalam masyarakat biasanya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama yang dianut.

Disamping itu faktor ekstern ini dapat pula berupa alat-alat komunikasi seperti: surat kabar, majalah, buku dan lain-lain.11 Dengan demikian jelaslah bahwa pembentukan dan perubahan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Sikap dalam perkembangannya banyak dipengaruhi lingkungan, norma-norma, interaksi antar individu, perkembangan sarana komunikasi dan sebagainya.

g. Pembentukan sikap keberagamaan

Pembentukan sikap keberagamaan seseorang dapat dilakukan dengan melalui 3 pendekatan yaitu pendekatan rasional , emosional dan keteladanan.

1). Pendekatan rasional

Pendekatan rasional adalah usaha memberikan peranan pada rasio (akal) peserta didik dalam memahami dan membedakan berbagai bahan ajar dalam standar materi serta kaitannnya dengan prilaku yang buruk dalam kehidupan duniawi

2). Pendekatan emosional

Pendekatan emosional adalah upaya untuk mengugah perasaan emosi peserta didik dalam menghayati prilaku yang sesuai dengan ajaran Islam dan budaya bangsa (serta dapat merasakan mana yang baik dan buruk). Dalam konteks ini terdapat dua metode yaitu:

a) Metode nasehat yang merupakan salah satu metode dalam membentuk sikap keberagamaan anak, mempersiapkannnya secara moral, psikis dan sosial, dikarenakan nasehat sangat berperan dalam menjelaskan kepada anak tentang segala hakekat, menghiasi dengan moral mulia dan mengajari tentang prinsip-prinsip Islam. Dalam menggunakan metode nasehat, hendaknya pendidik menghindari perintah atau larangan secara langsung, sebaiknya menggunakan teknik - teknik tidak langsung

Dokumen terkait