• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA TEORI

A. Tinjauan Pustaka

2. Sikap Keberagamaan

a. Pengertian

Menurut bahasa, sikap adalah perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada pendirian, pendapat atau keyakinan (Poerwadarminta, 2006: 896). Sikap atau dalam bahasa Inggris disebut attitude menurut Ngalim Purwanto adalah perbuatan atau tingkah laku sebagai respon atau reaksi terhadap suatu rangsangan atau stimulus (1988: 141). Menurut Gerungan (1981: 149) manusia tidak dilahirkan dengan sikap-sikap tertentu, akan tetapi sikap tersebut dibentuk oleh seorang individu sepanjang perkembangan hidupnya. Sikap inilah yang berperan besar dalam kehidupan manusia karena sikap yang telah terbentuk dalam diri manusia turut menentukan cara-cara manusia itu memunculkan tingkah laku terhadap suatu obyek. Atau dengan kata lain sikap menyebabkan manusia bertindak secara khas terhadap obyeknya.

Menurut Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Munandar, 2008: 49), sikap merupakan masalah yang lebih banyak bersifat afektif. Sikap

15

menunjukkan penilaian kita (baik positif maupun negatif) terhadap bermacam-macam entinitas, misalnya: individu-individu, kelompok-kelompok, obyek-obyek, maupun lembaga-lembaga. Secara umum, sikap seseorang dianggap mempunyai perilakunya, namun hubungan antara keduanya sangat lemah karena pada kenyataannya acap kali perilaku seseorang tergantung pada faktor-faktor situasional yang mempengaruhi pilihan yang diambil seseorang.

Keseluruhan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan kesimpulan atau kecenderungan individu untuk bertindak terhadap obyek tertentu dengan didasari oleh pandangan, perasaan dan keyakinannya. Hal inilah yang menyebabkan sikap orang terhadap sesuatu hal berbeda satu dengan yang lainnya meskipun menghadapi obyek yang sama.

Keberagamaan berasal dari kata agama. Menurut asal katanya, kata agama dalam bahasa sansakerta, terdiri dari kata a dan gam. "A" berarti tidak dan "gam" berarti pergi. Jadi kata agama artinya tidak pergi tetap ditempat, langgeng, diwariskan secara turun-temurun (Manaf, 1996:2). Dalam bahasa Arab agama disebut Al Din artinya kepercayaan, paksaan, pembalasan, dan keputusan (Munawir, 2002:437). Ada lagi yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci (Nasution, 1985:9).

Secara definitif pengertian agama adalah ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul (Nasution, 1985:10). Khadijah Salim sebagaimana dikutip oleh Mujahid Abdul

16

Manaf, mendefinisikan agama adalah peraturan Allah SWT yang diturunkanNya kepada Rasul-RasulNya yang telah lalu yang berisi suruhan, larangan, dan sebagainya yang wajib ditaati oleh umat manusia dan menjadi pedoman serta pegangan hidup agar selamat dunia akhirat (Manaf, 1996:4). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan agama adalah suatu peraturan hidup yang lengkap dengan segala aspeknya bersumber dari Tuhan untuk ditaati oleh manusia.

Keberagamaan menurut Jalaludin (2000:197) adalah suatu keadaan yang ada pada diri seseorang yang mendorong untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Keberagamaan tersebut konsisten antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsur efektif dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif. Perilaku keberagamaan merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang merefleksikan ke dalam peribadatan kepadaNya baik yang bersifat hablumminallah maupun hablumminannas.

Sikap keberagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama.

b. Dimensi keberagamaan

Keberagamaan manusia dapat diwujudkan dalam berbagai dimensi. Aktivitas beragama tidak hanya terjadi saat seseorang melakukan ibadah ritual, aktivitas yang tampak dilihat oleh mata,

17

namun juga aktivitas yang tidak tampak dan terjadi di dalam hati. Menurut Glock dan Stark ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu: dimensi keyakinan (ideologi), dimensi peribadatan (ritualistik), dimensi penghayatan (eksperiensial), dimensi pengamalan (konsekuensial), dan dimensi pengetahuan (intelektual) (Ancok, 1994:77).

1. Dimensi Keyakinan merupakan tingkatan seseorang dalam berpegang teguh terhadap agama yang dipeluknya dan mengakui kebenaran-kebenaran yang diajarkan agamanya.

2. Dimensi Praktik Agama adalah perilaku pemujaan, ketaatan yang dilakukan sebagai komitmen terhadap ajaran agamanya.

3. Dimensi Pengalaman yaitu persepsi-persepsi, perasaan, dan sensasi seseorang saat memeluk dan melakukan ritual agama contohnya merasakan kehadiran Tuhan, merasa Tuhan mengabulkan doanya. 4. Dimensi Pengetahuan Agama: dalam beragama setidaknya

seseorang mengetahui dasar-dasar meyakini agama, tata cara ritual, kitab suci maupun tradisi agama.

5. Dimensi Pengamalan atau Konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari (Ancok, 1994:78).

Menurut pendapat Djamaludin Ancok, dimensi keberagamaan di atas memiliki kesamaan dengan Islam. Walaupun tidak sepenuhnya

18

sama, dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan akidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah, dan dimensi pengamalan disejajarkan dengan akhlak (Ancok, 1994:80).

Dimensi keyakinan atau akidah Islam adalah tingkatan keyakinan Muslim terhadap kebenaran dan dogma-dogma agamanya. Dimensi ini meliputi enam rukun Iman: iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, hari akhir, dan iman kepada qada dan qadar. Selain itu ada yang harus diimani yaitu sesuatu yang berhubungan dengan yang ghaib, seperti adanya roh dalam jasad, adanya jin dan syetan serta iman akan adanya alam ghaib.

Dimensi Syari’ah atau praktik agama adalah kepatuhan dan pelaksanaan ibadah atau kegiatan ritual seperti shalat, zakat, puasa, haji, zikir, ibadah qurban, membaca Al Qur’an dan lain-lain.

Dimensi pengamalan atau akhlak adalah perilaku muslim dalam kehidupan sosialnya yang dimotivasi oleh ajaran agamanya. Seperti menolong orang lain, memafkan kesalahan orang lain, berjuang untuk hidup sukses, berkomunikasi dan menjalin tali silaturrahim, bekerja sama dengan orang lain dan sebagainya.

c. Perkembangan Jiwa Keagamaan pada Remaja

Mahasiswa umumnya amat rentan terhadap pengaruh-pengaruh eksternal. Hal ini disebabkan karena sebagian besar mahasiswa khususnya mahasiswa baru, masuk ke dalam kategori remaja akhir yang berusia sekitar 18 – 21 tahun (Monks, 2001: 262). Mereka mudah sekali

berubah-19

ubah karena proses pencarian jati diri mereka. Selain itu, mahasiswa juga cenderung mencari sosok panutan yang sesuai dengan diri mereka. Mereka mudah terpengaruh oleh gaya hidup umum di sekitarnya karena kondisi kejiwaan yang labil. Mereka juga cenderung mengambil jalan pintas dan tidak mau memikirkan dampak negatifnya (Suyanto, 2005). Subjek dalam penelitian ini juga akan fokus pada mahasiswa yang berusia 18-21 tahun. Oleh sebab itu penulis membahas perkembangan jiwa keagamaan pada remaja.

Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki tahap progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja mencakup masa Juvenilitas (adolescantium), pubertas, dan nubilitas.

Sejalan dengan perkembangan jasmani dan ruhaninya, maka agama pada para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.

Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W. Starbuck adalah:

1. Perkembangan pikiran dan mental

Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat

20

kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.

Hasil penelitian Allport, Gillesphy, dan Young menunjukkan:

1) 85% remaja Katolik Romawi tetap taat menganut ajaran agamanya. 2) 40% remaja Protestan tetap taat terhadap ajaran agamanya.

Dari hasil ini dinyatakan selanjutnya, bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya.

Sebaliknya, agama yang ajarannya kurang konservatif-dogmatis dan agak liberal akan mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja, sehingga mereka banyak meninggalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka.

2. Perkembangan Perasaan

Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual.

21

Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, remaja lebih mudah terperosok kea rah tindakan seksual yang negatif.

Dalam penyelidikannya sekitar tahun 1950-an, Dr. Kinsey mengungkapkan, bahwa 90% pemuda Amerika telah mengenal masturbasi, homoseks, dan onani.

3. Pertimbangan sosial

Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis. Hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1.789 remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukkan, bahwa 70% pemikiran remaja ditujukan bagi kepentingan: keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan diri, dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah akhirat dan keagamaan hanya sekitar 3,6%, masalah sosial 5,8%

4. Perkembangan Moral

Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga mencakupi:

1) Self-directive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.

22

2) Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik. 3) Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan

agama.

4) Unadjusted, belum meyakini akan kebenaran ajaran agama dan moral.

5) Deviant, menolak dasar dan hokum keagamaan serta tatanan moral masyarakat.

5. Sikap dan Minat

Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).

Howard Bell dan Ross, berdasarkan penelitiannya terhadap 13.000 remaja di Maryland terungkap hasil sebagai berikut:

1) Remaja yang taat (ke gereja secara teratur)….45% 2) Remaja yang sesekali dan tidak sama sekali…..35%

3) Minat terhadap: Ekonomi, keuangan, materiil, dan sukses pribadi……..73%

4) Minat terhadap masalah ideal, keagamaan, dan sosial 21% 6. Ibadah

1) Pandangan para remaja terhadap ajaran agma, ibadah, dan masalah doa sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar Kupky menunjukkan:

23

a) Seratus empat puluh delapan siswi dinyatakan bahwa 20 orang di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman keagamaan sedangan sisanya (128) mempunyai pengalaman keagamaan yang 68 di antaranya secara alami (tidak melalui pengajaran resmi).

b) Tiga puluh satu orang di antara yang mendapat pengalaman keagamaan melalui proses alami, mengungkapkan adanya perhatian mereka terhadap keajaiban yang menakjubkan di balik keindahan alam yang mereka alami.

2) Selanjutnya mengenai pandangan mereka tentang ibadah diungkapkan sebagai berikut:

a) Empat puluh dua persen tak pernah mengerjakan ibadah sama sekali.

b) Tiga puluh tiga persen mengatakan mereka sembahyang karena mereka yakin Tuhan mendengar dan akan mengabulkan doa mereka.

c) Dua puluh tujuh persen beranggapan bahwa sembahyang dapat menolong mereka meredakan kesusahan yang mereka derita. d) Delapan belas persen mengatakan bahwa sembahyang

menyebabkan mereka menjadi senang sesudah menunaikannya. e) Sebelas persen mengatakan bahwa sembahyang mengingatkan

24

f) Empat persen mengatakan bahwa sembahyang merupakan kebiasaan yang mengandung arti penting.

Jadi, hanya 17% mengatakan bahwa sembahyang bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% di antaranya menganggap bahwa sembahyang merupakan media untuk bermeditasi (Jalaluddin, 2012: 74-77).

Dokumen terkait