• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

6.3.2 Sikap Pedagang Pangan Jajanan

Sikap adalah istilah yang mencerminkan rasa seperti senang, tidak senang atau biasa-biasa saja (netral) dari seseorang terhadap sesuatu (Sarwono, 2009). Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.3 dari 30 responden diketahui bahwa 56,7% dari pedagang

pangan jajanan di sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda memiliki sikap dalam kategori baik terhadap penggunaan pewarna. Hal yang sama ditunjukan Pertiwi dkk (2014) bahwa 100% penjual pangan jajanan memiliki sikap yang positif terhadap penggunaan pewarna pada pangan. Begitu pula Pujiasuti (2002) yang menyatakan 50% responden memiliki sikap dalam kategori baik tentang pemakaian bahan tambahan pangan. Berbeda dengan Sugiyatmi (2006) yang menyatakan 68,8% dari pembuat pangan jajanan memiliki sikap dalam kategori kurang terhadap penggunaan pewarna terlarang.

Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai hubungan sikap pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.11 diperoleh pValue = 0,698 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap pedagang jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Damayanthi dkk (2013) juga berpendapat bahwa tidak terdapat hubungan antara sikap terhadap gizi dan keamanan pangan dengan praktek keamanan pangan dan Pujiasuti (2002) mengatakan tidak ada hubungan antara sikap produsen dengan pemakaian bahan tambahan pangan. Namun Sugiyatmi (2006) menyatakan ada hubungan yang signifikan antara sikap tentang penggunaan pewarna terlarang dengan praktek pembuatan pangan jajanan.

Menurut Maulana (2007), sikap tidak sama dengan perilaku dan perilaku tidak selalu mencerminkan sikap seseorang. Individu

sering memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tertentu melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya. Oleh karena itu sikap yang baik belum tentu dapat diiringi dengan perilaku yang baik pula, terdapat hal-hal lain yang dapat memperngaruhi perilaku seseorang. Akan tetapi sikap dapat menimbulkan pola-pola cara berpikir yang dapat mempengaruhi tindakan.

Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau afektif, pengetahuan tentang objek atau kognitif dan kecenderungan bertindak atau konatif (Maulana, 2007). Dalam hal ini responden yang memiliki sikap yang baik dapat dikarenakan sisi afektifnya atau dimensi emosional responden terhadap pewarna pangan yang bersifat positif dan pewarna bukan untuk pangan yang bersifat negatif sehingga menghasilkan sikap yang baik namun tidak memiliki kecendurungan bertindak positif terhadap objek yang dihadapinya. Selain itu sebagian besar pedagang pangan menjual pangan jajanan atau menggunakan bahan pelengkap yang sudah jadi sehingga kurang dapat dilihat korelasi antara sikap dan perilakunya.

Meskipun dalam penelitian ini 56,7% pedagang pangan jajanan memiliki sikap dalam kategori baik namun jika diteliti jawaban pedagang pangan jajanan satu per satu maka akan ditemukan adanya sikap kurang baik seperti penggunaan pewarna kain pada pangan

bukanlah masalah, penggunaan pewarna terlarang pada pangan tidak berbahaya pada kesehatan, penggunaan pewarna yang berlebihan boleh digunakan saat pembuatan pangan. Dalam variabel sikap ini dapat terlihat pula nilai yang dimiliki oleh pedagang seperti pedagang memilih bahwa dalam pembuatan pangan boleh menggunakan pewarna apa saja asalkan dapat membantu meningkatkan keuntungan penjualan.

Beragamnya sikap pedagang pangan jajanan dalam menanggapi penggunaan pewarna sintetik dapat dikarena pengetahuan yang mereka miliki dan sikap yang mereka paksakan sebagai pembenaran meskipun mereka tahu hal tersebut salah oleh karena itu pemerintah maupun pihak sekolah diharapkan dapat meningkatkan program keamanan pangan jajanan anak sekolah dengan melakukan Training of Trainer

(TOT) kepada penyedia PJAS (pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS) mengenai keamanan pangan, melakukan pembinaan penyedia PJAS tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta praktek penggunaan BTP (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009).

6.3.3 Keterampilan Pedagang Pangan Jajanan

Keterampilan pedagang pangan jajanan adalah kemampuan pedagang dalam mengolah atau membuat sendiri pangan jajanan yang dijualnya. Berdasarkan hasil analisis univariat pada tabel 5.4 dari 30 responden diketahui bahwa 76,7% dari pedagang pangan jajanan di

sekitar SDN Sekelurahan Pondok Benda tidak membuat sendiri pangan jajanan yang dijualnya, umumnya mereka menjual pangan jajanan yang sudah siap santap atau bisa disebut sebagai penjaja.

Hasil analisis bivariat dengan pengujian Chi-square mengenai hubungan keterampilan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B pada tabel 5.12 diperoleh pValue = 0,638 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara keterampilan pedagang pangan jajanan dengan penggunaan Eritrosin dan Rhodamin B. Tidak berhubungan penelitian ini dapat dikarenakan umumnya pedagang hanya menjajakan pangan jajanan siap santap, tidak membuat sendiri pangan jajanan yang dijualnya.

Keterampilan atau kemampuan seseorang dalam

mempersiapkan pangan dan memasak memiliki potensi untuk mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan (EUFIC, 2005). Oleh karena itu peningkatan keterampilan pedagang pangan jajanan perlu dilakukan. Menurut Rahayu dkk (2012), indsutri kecil perlu memiliki keterampilan dalam proses produksi pangan yang aman dan bermutu, yang diimbangi dengan akhlak dan budi pekerti untuk tidak mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan mengorbankan orang lain. Serta terdapat pula produsen yang mempunyai kemauan untuk tidak menggunakan bahan tambahan yang dilarang untuk pangan namun tidak punya kemampuan yang ditunjukan dengan tingkat

pengetahuan (Pujiasuti, 2002). Dengan demikian perlu dikembangkan pelatihan terstruktur bagi indsutri kecil.

Umumnya pedagang yang mengolah sendiri pangan jajanannya mendapatkan keahliannya dengan belajar sendiri atau otodidak dan biasanya kurang memperhatikan keamanan dalam praktek pengolahan pangan oleh karena itu pemerintah maupun pihak sekolah diharapkan dapat meningkatkan program keamanan pangan jajanan anak sekolah

dengan melakukan Training of Trainer (TOT) kepada penyedia PJAS

(pengelola kantin, penjaja PJAS, IRTP produsen PJAS) mengenai keamanan pangan, melakukan pembinaan penyedia PJAS tentang Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) serta praktek penggunaan BTP. Pedagang pangan jajanan anak sekolah hanya boleh menggunakan BTP yang berlabel “BTP” serta tidak menggunakan pewarna dan bahan berbahaya yang dilarang penggunaannya pada pangan seperti Rhodamin B dan Methanyl Yellow (BPOM RI & 30 Balai Besar/Balai POM, 2009).

Dokumen terkait