• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II URAIAN TEORITIS

2.1.8 Sikap

Sikap merupakan kesiapan atau keadaan siap untuk timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku (Jahja, 2011:67). Sikap juga merupakan organisasi keyakinan-keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif, yang memberi dasar kepada orang untuk membuat respon dalam cara tertentu. Sikap merupakan penentu dalam tingkah laku manusia, sebagai reaksi sikap selalu berhubungan dengan dua hal yaitu “like” atau “dislike” (senang atau tidak senang, suka atau tidak suka). Mengacu pada adanya faktor perbedaan individu (pengalaman, latar belakang, pendidikan dan kecerdasan) maka reaksi yang dimunculkan terhadap suatu objek tertentu akan berbeda pada setiap orang.

Menurut Sarnoff (dalam Sarwono, 2000) mengidentifikasikan sikap sebagai kesediaan untuk bereaksi (disposition to react) secara positif (favorably) atau secara negatif

(unfavorably) terhadap obyek-obyek tertentu. D.Krech dan R.S Crutchfield (dalam Sears, 1999) berpendapat bahwa sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai aspek dunia individu.Sedangkan La Pierre (dalam Azwar, 2003) memberika tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.

Lebih lanjut Soetarno (1994) memberikan definisi sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek tertentu. Sikap senantiasa diarahkan kepada sesuatu artinya tidak ada sikap tanpa obyek. Sikap diarahkan kepada benda-benda, orang, peritiwa, pandangan, lembaga, norma dan lain-lain.Meskipun ada beberapa perbedaan pengertian sikap, tetapi berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu, sikap juga memberikan kesiapan untuk merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau situasi.

Berbagai pengertian sikap dapat dimasukkan kedalam tiga kerangka pemikiran. Pertama adalah kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis Thurstone (1928) salah seorang tokoh terkenal di bidang pengukuran sikap. Rensis Likert (1932) juga seorang pionir di bidang pengukuran sikap dan Charles Osgood, mengatakan bahwa sikap adalah bentuk evaluasi dan reaksi perasaan. Sikpa seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau

memihak pada objek tersebut (Barkowitz, 1972). Secara lebih sepsifik, Thurstone sendiri menformulasikan sikap sebagai derajat efek positif atau efek negatif terhadap suatu objek psikologis (edwars 1957).

Kelompok pemikiran yang kedua diwakili oleh para ahli seperti Chave (1928), Bogardus (1931), LaPieree (1934), Mead (1934), dan Gordon Allport (1935; tokoh terkenal di bidang Psikologi Sosial dan Kepribadian) yang konsepsi mereka mengenai sikap lebih kompleks. Menurut kelompok pemikiran ini, sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecendrungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.

Kelompok pemikiran ketiga adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik

(triadic scheme). Menurut kerangka pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan dan berprilaku terhadap suatu objek. Secord dan Backman (1964), misalnya mendefenisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Katz dan Stotland (1959) dan Smith (1947) menganggap bahwa konsep respon- respon sikap yang bersikap kognitif, afektif dan konatif sebagaimana dalam skema triadik bukan sekedar cara klasifikasi definisi sikap melainkan suatu telaah yang lebih dalam. Sikap merupakan suatu konstrak multidimensional yang terdiri atas kognisi, afeksi dan konasi.

Mengikuti skema triadik, struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu: komponen kognitif (cognitive), komponen afektif (affective) dan komponen konatif (conative). Komponen kognitif merupakan reprentasi apa yang dipercayai indivvidu pemilik sikap, komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkup aspek emosional dan komponen konatif merupakan aspek kecendrungan berprilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang. Kothandapani (dalam Middlebrook, 1974) merumuskan ketiga komponen tersebut sebagai komponen kognitif (kepercayaan atau beliefs), komponen emosional (perasaan), dan komponen perilaku (tindakan).

1. Komponen Kognitif, berhubungan dengan beliefs, ide dan konsep.

Istilah cognitive berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan , penataan dan penggunaan pengetahuan . Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis manusia yang

pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa.

Sebagian besar psikolog terutama kognitifis (ahli psikologi kognitif) berkeyakinan bahwa proses perkembangan kognitif manusia mulai berlangsung sejak ia baru lahir. Pendayagunaan kapasitas ranah kognitif sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendayagunakan kapasitas motor dan sensorinya.

2. Komponen afektif, berhubungan dengan dimensi emosional seseorang.

Emosi merupakan suatu keadaan pada diri organisme atau individu pada suatu waktu tertentu yang diwarnai dengan adanya gradasi efektif mulai dari tingkatan yang lemah sampai pada tingkatan yang kuat (mendalam), seperti tidak terlalu kecewa dan sangat kecewa. Berbagai emosi dapat muncul dalam diri seperti sedih, gembira, kecewa, benci, cinta, marah. Sebutan yang diberikan pada emosi tersebut akan mempengaruhi bagaimana anak berpikir dan bertindak mengenai perasaan tersebut.

Sejak kecil ia telah mulai membedakan antara perasaan yang satu dengan yang lain, karena perbedaan tanggapan yang diberikan orang tua terhadap berbagai perasaan dan tingkah lakunya. Dapatlah dikatakan bahwa berkembangnya emosi anak tidak terlepas dari hubungan sosial dengan sesamanya. Kemampuan untuk membedakan emosi seseorang tidak hanya berkembang sejalan dengan bertambahnya usia, tetapi juga bagaimana emosi orang-orang disekitarnya. Emosi pada umumnya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.

Seseorang yang mengalami emosi pada umumnya tidak lagi memerhatikan keadaan sekitarnya. Suatu aktivitas tidak dilakukan oleh seseorang dalam keadaan normal, tetapi adanya kemungkinan dikerjakan oleh yang bersangkutan apabila sedang mengalami emosi. Oleh karena itu sering dikemukakan bahwa emosi merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh situasi tertentu (khusus) dan emosi cendrung terjadi dalam kaitannya dengan perilaku yang mengarah (approach) atau menyingkiri (avoidance) terhadap sesuatu dan perilaku tersebut pada umumnya disertai adanya ekspresi kejasmanian, sehinga orang lain dapat mengetahui bahwa seseorang sedang mengalami emosi.

3. Konatif, berhubungan dengan kecendrungan atau untuk bertingkah laku.

Aspek konatif kepribadian ditandai dengan tingkah laku yang bertujuan dan impuls untuk berbuat. Konatif berupa bereaksi, berusaha, berkemauan, dan berkehendak (Chaplin,1995).Menurut Freud konatif merupakan wujud dari kognisi dan afeksi dalam bentuk tingkah laku. Pada perkembangan kepribadiannya, Freud memandang bahwa tahun-tahun permulaan masa kanak-kanak merupakan dasar pembentukan kepribadian. Segala sesuatu yang ada dalam pikirannya ia wujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata.

Dokumen terkait