• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

C. Sikap Wanita terhadap Menopause

Beberapa ahli menekankan sikap individu dengan melibatkan komponen sikap yaitu: komponen kognitif berupa pandangan, komponen konatif berupa perasaan, dan konatif untuk bereaksi terhadap objek sikap (Gerungan, 2009; Secord & Backman dalam Azwar, 2010; Soetarno, 1994). Sementara itu, ahli lain mendefinisikan sikap sebagai cara individu untuk cenderung bereaksi terhadap objek sikap, baik secara positif atau pun negatif (Chaplin, 2008). Beberapa definisi tersebut mengungkapkan hal yang sama yakni menekankan pada kecenderungan individu untuk bereaksi terhadap objek sikap. Reaksi tersebut muncul dengan melibatkan komponen-komponen sikap. Dengan demikian, sikap didefinisikan sebagai kecenderungan individu untuk bereaksi secara positif atau negatif terhadap objek sikap di lingkungan sosial.

Beberapa ahli membagi sikap menjadi 2 jenis yaitu: sikap individual, yakni respon atau reaksi individu itu sendiri terhadap objek spesifik, dan sikap sosial yaitu respon atau reaksi yang dimiliki masyarakat tertentu terhadap objek sosial seperti: norma, kepercayaan masyarakat tertentu, dan lain-lain (Adi, 1994; Gerungan, 2009; Soetarno, 1994).

2. Komponen-komponen Sikap

Sikap terbentuk karena adanya interaksi antara 3 komponen. Tiga komponen sikap yaitu:

a. Komponen Kognitif

Komponen kognitif berisis tentang kepercayaan atau keyakinan individu mengenai objek sikap, yang terbentuk dari informasi atau pengetahuan yang dimiliki individu terkait objek sikap (Azwar, 2010; Dayakisni & Hudaniah, 2003). Seiring berjalannya waktu, keyakinan dapat berkembang menjadi pengetahuan dasar dalam diri individu (Azwar, 2010).

b. Komponen Afektif

Komponen afektif merupakan komponen paling kuat karena mengandung unsur emosional. Komponen afektif dapat berupa perasaan positif atau negatif, baik atau buruk, suka atau tidak suka,

favorable dan unfavorable (Adi, 1994; Azwar, 2010). Keyakinan yang dimiliki individu membentuk perasaan tertentu bagi individu untuk bersikap terhadap objek sikap (Azwar, 2010).

c. Komponen Konatif (Komponen Perilaku)

Komponen konatif atau komponen perilaku adalah kecenderungan individu untuk melakukan suatu tindakan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan maupun tindakan individu terhadap objek sikap (Adi, 1994; Azwar, 2010; Dayakisni & Hudaniah, 2003). Keyakinan dan perasaan yang dimiliki individu mendorong individu untuk berperilaku tertentu (Azwar, 2010). Meskipun perilaku merupakan salah satu komponen sikap, namun perilaku tidak selamanya mencerminkan sikap individu yang sesungguhnya. Hal tersebut bergantung pada situasi di lingkungan sekitar (Azwar, 2010; Sears, Freedman, & Peplau, 2009).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sikap memiliki 3 komponen yaitu: kognitif berisi tentang keyakinan terhadap objek sikap, afektif memuat unsur emosional terhadap objek sikap, dan konatif berupa tindakan terhadap objek sikap. Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi, sehingga terbentuklah sikap individu. 3. Ciri-ciri Sikap

Beberapa ahli menyebutkan bahwa sikap memiliki beberapa ciri yaitu: a. Sikap dapat dibentuk dan diubah melalui interaksi sosial yakni dengan

proses belajar di lingkungan (Brigham dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003; Gerungan, 2009; Soetarno, 1994).

b. Sikap bukan bawaan dari lahir tetapi berkembang sepanjang hidup individu (Gerungan, 2009; Soetarno, 1994; Walgito, 1978).

c. Sikap individu tidak pernah lepas dari objek sikap, sehingga seluruh respon individu mengarah pada objek sikap (Brigham dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003; Gerungan, 2009; Soetarno, 1994; Walgito, 1978). d. Sikap dapat mengarah pada objek tunggal, yakni mengarah pada satu

objek saja dan objek jamak, yakni mengarah pada sekelompok objek (Adi, 1994; Gerungan, 2009; Soetarno, 1994; Walgito, 1978).

e. Sikap mendorong individu untuk berperilaku, meskipun pada kenyataannya tidak semua perilaku mencerminkan sikap individu yang sesungguhnya (Brigham dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003; Gerungan, 2009; Soetarno, 1994; Walgito, 1978).

f. Sikap tampak dari perilaku individu (Brigham dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003).

g. Sikap dapat bertahan lama namun dapat juga bertahan singkat dalam diri individu (Walgito, 1978).

Dari ciri-ciri sikap di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap individu terbentuk melalui proses belajar semasa hidup, sehingga sikap bukan bawaan sejak lahir. Hal tersebut menunjukkan bahwa lingkungan sosial berperan penting dalam pembentukan dan perubahan sikap individu. Namun, perubahan sikap tergantung dari seberapa dalam sikap tersebut melekat dalam diri individu. Sikap individu selalu merespon atau bereaksi terhadap objek sikap baik itu objek tunggal maupun objek jamak. Sikap juga mendorong individu untuk berperilaku tertentu, sehingga banyak orang beranggapan bahwa perilaku individu mencerminkan sikap individu.

4. Pembentukan Sikap

Secara umum pembentukan dan perubahan sikap dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: faktor internal, artinya indvidu cenderung menyeleksi stimulus sosial sesuai dengan apa yang ada di dalam dirinya seperti: kebutuhan individu, kepribadian, sistem nilai yang dianut, dan lain-lain. Sementar itu, faktor eksternal artinya stimulus yang berasal di luar diri individu (Adi, 1994; Dayakisni & Hudaniah, 2003).

Azwar (2010) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang membentuk sikap individu antara lain:

a. Pengalaman Pribadi

Individu memiliki banyak pengalaman dalam hidup. Namun, tidak semua pengalaman dapat diingat individu. Pengalaman yang mudah diingat adalah pengalaman yang memuat unsur emosional tertentu, sehingga dapat mempengaruhi sikap individu.

b. Pengaruh Orang Lain

Individu seringkali dipengaruhi oleh sikap yang dimiliki orang lain. Hal tersebut dilakukan agar terjalin hubungan yang baik antara individu dengan orang lain. Namun, orang yang dapat mempengaruhi sikap individu adalah significant other misalnya ayah, ibu, adik, kakak, paman, bibi, sahabat, dan sebagainya.

c. Budaya

Budaya tempat individu tinggal dapat mempengaruhi sikap individu. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa budaya dapat mempengaruhi sikap individu terhadap objek atau situasi tertentu. d. Media Massa

Media massa dapat berupa media cetak dan media elektronik. Pesan dalam media massa bersifat persuasif, yang bertujuan untuk membujuk dan mensugesti individu. Dengan demikian, media massa berpotensi mempengaruhi sikap individu.

e. Lembaga Pendidikan atau Agama

Indonesia adalah negara beragama. Agama dan lembaga pendidikan mengajarkan tentang pesan moral, yang menekankan pada baik dan buruknya sesuatu. Apabila individu melanggar hal tersebut, maka individu akan menerima hukuman berupa sanksi moral.

f. Faktor emosional

Faktor emosional dapat membentuk sikap individu terhadap objek sikap, misalnya prasangka terhadap kelompok tertentu. Prasangka tersebut muncul sebagai wujud dari kecemasan berupa frustasi.

Beberapa referensi teoritik menunjukkan bahwa kepribadian (Sommer et al., 1999) dan konsep diri (Osarenren et al., 2009) dapat mempengaruhi sikap terhadap menopause. Berdasarkan teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap individu dipengaruhi oleh faktor internal

berupa: pengalaman pribadi, faktor emosional, kepribadian, dan konsep diri, serta faktor eskternal berupa: pengaruh orang lain, budaya, media massa, dan lembaga pendidikan atau agama. Adanya berbagai faktor tersebut menunjukkan bahwa sikap dapat dipelajari di lingkungan. Oleh sebab itu, proses pembentukan sikap dapat dijelaskan melalui teori belajar. 5. Teori Pembentukan dan Perubahan Sikap

Berdasarkan ciri sikap, sikap dapat dibentuk dan dipelajari melalui proses belajar. Dengan demikian, sikap terbentuk karena adanya interaksi individu dengan lingkungan (Brigham dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003; Gerungan, 2009; Soetarno, 1994). Oleh sebab itu, pembentukan dan perubahan sikap tidak lepas dari:

a. Teori Belajar

Teori belajar terdiri dari: operant conditioning dan modelling.

1) Operant Conditioning

Proses pembentukan sikap melalui teori ini menekankan pada pemberian reinforcement dan punsihment. Pemberian reinforcement bertujuan untuk meningkatkan perilaku individu. Sebaliknya, pemberian punishment bertujuan untuk mencegah perilaku individu (Dayakisni & Hudaniah, 2003; Sears et al., 2009). 2) Modelling

Teori ini menekankan pada proses imitasi atau peniruan individu terhadap sikap orang lain. Namun, orang lain yang dapat mempengaruhi sikap individu adalah significant other yang sangat

dekat dengan individu dipelajari (Azwar, 2010; Dayakisni & Hudaniah, 2003; Sears et al., 2009).

b. Teori Konsistensi Afektif-Kognitif Rosenberg

Teori ini menjelaskan bahwa individu berusaha mencari keseimbangan antara unsur kognitif dan afektif yang dimilikinya. Apabila unsur kognitif dan afektif individu seimbang, maka sikap yang muncul bersifat stabil. Namun, apabila terjadi ketidakseimbangan antara unsur kognitif dan afektif individu, maka individu akan berusaha mencari fakta, pengetahuan, dan informasi untuk mendukung perasaannya (Rosenberg dalam Secord & Backman, 1964 dalam Azwar, 2010).

c. Teori Tiga Proses Perubahan (Kelman)

Kelman (dalam Brigham, dalam Azwar, 2010) menyatakan bahwa ada 3 proses untuk mengubah sikap individu, yaitu:

1) Compliance

Compliance atau kepatuhan adalah individu yang mengikuti sikap atau perilaku orang lain. Proses ini tidak mencerminkan sikap atau perilaku individu yang sesungguhnya, karena hanya bertujuan untuk memperoleh penerimaan positif dari orang lain.

2) Identification

Proses ini terjadi ketika individu mengidentifikasi sikap atau perilaku orang lain. Hal ini bertujuan untuk membina hubungan baik dengan orang lain.

3) Internalization

Internalization adalah individu mengadopsi sistem nilai yang dimiliki orang lain ke dalam dirinya untuk bersikap tertentu. Orang lain dalam hal ini adalah significant other yang berperan penting dalam kehidupan individu. Proses ini dapat berlangsung lama dalam diri individu tergantung seberapa besar sistem nilai tersebut tertanam di dalam dirinya.

Berdasarkan teori pengubahan dan pembentukan sikap di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses teori belajar, teori konsistensi kognitif afektif, dan teori tiga proses perubahan (Kelman) dapat mempengaruhi sikap individu menjadi lebih positif atau negatif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lingkungan sosial dan

significant other sangat berperan penting dalam pembentukan dan perubahan sikap individu.

6. Sikap Wanita terhadap Menopause

Sikap terhadap menopause merupakan hasil evaluasi dari berbagai komponen sikap terhadap objek sikap (Eagly dan Chaiken dalam Ramadhani, tanpa tahun) dalam hal ini menopause. Hasil evaluasi terhadap menopause dapat berupa pandangan dan perasaan wanita terhadap menopause (Hunter dalam Dewi, 2004). Sikap terhadap menopause mempengaruhi pengalaman wanita terhadap menopause (Ayers et al., 2010). Wanita yang bersikap negatif terhadap menopause, tidak mampu mengatasi gejala menopause yang mereka rasakan. Dengan demikian,

wanita mengalami pengalaman yang negatif selama menopause. Sebaliknya, wanita yang bersikap positif terhadap menopause dapat mengatasi berbagai gejala menopause dan memiliki pengalaman yang lebih positif selama menopause (Ayers et al., 2010). Sikap terhadap menopause dapat disebabkan oleh: budaya (Ayers et al., 2010), mitos di masyarakat (Matthews, 1992), life events seperti: jumlah anak, kehidupan rumah tangga, dan relasi sosial (Deeks, 2004), dan pengetahuan tentang menopause (Aprillia dan Puspitasari, 2007).

Pengukuran sikap terhadap menopause sudah pernah dibuat oleh Neugarten, Wood, Kraines, & Loomis (Neugarten, 1996) berupa skala

Attitude Toward Menopause (ATM). Dalam penelitiannya, Neugarten et al melakukan wawancara terhadap para wanita mengenai penilaian, perasaan, dan antisipasi gejala yang mereka lakukan terkait dengan menopause. Hasil wawancara tersebut menjadi dasar bagi penulisan item-item skala ATM. Peneliti melakukan analisis faktor dengan rotasi orthogonal

terhadap item-item tersebut, sehingga menghasilkan 7 aspek yang tidak saling overlap satu sama lain. Ketujuh aspek alat ukur ATM yaitu:

a. Negative affect lebih menekankan pada perasaan-perasaan negatif terkait dengan menopause seperti: depresi, tidak bahagia, menopause merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan, munculnya beberapa masalah saat menopause, dan lain-lain.

b. Postmenopausal recovery lebih menekankan pada penyesuaian diri wanita yang menjadi lebih baik setelah mengalami menopause.

misalnya: lebih bahagia, pecaya diri, tenang, pandangan menjadi lebih luas, dan hidup menjadi lebih menarik.

c. Extent of continuity lebih menekankan pada penilaian wanita terkait perubahan-perubahan pada tubuh wanita ketika menopause.

d. Control of symptoms lebih menekankan pada cara wanita untuk mengatasi berbagai gejala menopause yang dialami.

e. Psychological loss lebih menekankan pada masalah psikologis yang dialami wanita pada saat menopause misalnya: merasa tidak berharga, takut kehilangan akal sehat, menggunakan menopause sebagai alasan untuk mendapat perhatian, wanita menjadi lebih egois pada saat menopause, dan lain-lain.

f. Unpredictability. Menopause menyebabkan wanita mengalami berbagai perubahan hidup yang tidak bisa diprediksikan.

g. Sexuality lebih menekankan pada masalah seksualitas wanita terkait dengan adanya menopause.

Skala ATM terdiri dari 7 aspek dan 35 item. Namun, ada beberapa item tambahan yang tidak tergolong dalam aspek-aspek tersebut. Setiap item memiliki pilihan jawaban Sangat Setuju, Setuju, Tidak Setuju, dan Sangat Tidak Setuju. Alat ukur tersebut telah diujicobakan pada 267 wanita di Chicago Amerika dengan kelompok usia yang berbeda-beda dan tingkat pendidikan yang berbeda pula. Subjek penelitian tersebut terbagi menjadi 4 kelompok yakni kelompok A usia 21-30 tahun sebanyak 50 orang, kelompok B usia 31-44 tahun sebanyak 52 orang, kelompok C

(Criterion group) usia 45-55 tahun sebayak 100 orang , dan kelompok D usia 56-65 tahun sebanyak 65 orang. Seluruh subjek penelitian adalah seorang ibu, telah menikah, sehat fisik dan mental, serta tidak pernah menjalani operasi (Neugarten, 1996).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap terhadap menopause adalah pandangan dan perasaan wanita terkait dengan menopause. Dalam penelitian ini, pengukuran sikap terhadap menopause akan menggunakan skala ATM yang dikembangkan oleh Neugarten et al. (1996).

Dokumen terkait