• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN WANITA DAN DUKUNGAN SOSIAL SUAMI DENGAN SIKAP WANITA TERHADAP MENOPAUSE PADA WANITA PERIMENOPAUSE SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN WANITA DAN DUKUNGAN SOSIAL SUAMI DENGAN SIKAP WANITA TERHADAP MENOPAUSE PADA WANITA PERIMENOPAUSE SKRIPSI"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN WANITA DAN DUKUNGAN SOSIAL SUAMI DENGAN SIKAP WANITA TERHADAP MENOPAUSE PADA WANITA PERIMENOPAUSE

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Skolastika Meta Wedika Titiani 089114033

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

Kesuskesan lebih diukur dari rintangan yang berhasil diatasi

seseorang saat berusaha untuk sukses daripada posisi yang

telah diraihnya dalam kehidupan (Booker T. Washingtong)

Remember that everyone you meet is afraid of something,

loves something, and has lost something

(Jackson Brown)

Why do we fall Sir? So we can learn to pick

ourselves up”

(Alfred Pennyworth

Batman Begins)

(5)

v

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria

Yang selalu setia membimbingku dalam mengerjakan skripsi ini

Papa, Mama, Sita, Chintya, dan Alfian serta semua orang yang kusayangi

Terima kasih atas segala doa dan dukungan yang tiada henti kalian

(6)
(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN WANITA DAN DUKUNGAN SOSIAL SUAMI DENGAN SIKAP WANITA TERHADAP MENOPAUSE PADA WANITA PERIMENOPAUSE

Skolastika Meta Wedika Titiani

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara tingkat pendidikan wanita dan dukungan sosial suami dengan sikap wanita terhadap menopause pada wanita perimenopause. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita yang berada pada fase perimenopause dengan rentang usia 40-53 tahun, sudah menikah dan memiliki suami, serta tidak pernah menjalani operasi pengangkatan rahim dan kemoterapi. Hipotesis null (H0) dalam

penelitian ini adalah tidak ada hubungan yang positif antara tingkat pendidikan wanita dan dukungan sosial suami dengan sikap wanita terhadap menopause pada wanita perimenopause. Pengumpulan data tingkat pendidikan dilakukan dengan cara subjek mengisi tingkat pendidikan terakhir subjek pada skala yang dibagikan. Pengumpulan data dukungan sosial suami dan sikap wanita terhadap menopause dilakukan dengan penyebaran skala. Koefisien reliabilitas skala dukungan sosial suami adalah 0.920 dan koefisien reliabilitas skala sikap terhadap menopause adalah 0.814. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang positif antara tingkat pendidikan wanita dan dukungan sosial suami dengan sikap wanita terhadap menopause pada wanita perimenopause (F (3,57) = 0.762, p = 0.520). Dengan kata lain, hipotesis null (H0) dalam penelitian ini gagal ditolak.

(8)

viii

CORRELATION BETWEEN WOMEN’S EDUCATION LEVEL

AND HUSBAND’S SOCIAL SUPPORT WITH WOMEN’S ATTITUDE TOWARD MENOPAUSE IN WOMEN PERIMENOPAUSE PHASE

Skolastika Meta Wedika Titiani

ABSTRACT

This research was aimed to investigate the correlation between

women’s education level and husband’s social support with women’s attitude

towards menopause in women experiencing perimenopause phase. The subjects of this research were women in perimenopause phase with age ranged from 40 to 53 years old, married, and never endure an uterine operation and chemotherapy. The null hypotheses (H0) proposed was there were not any positive correlation between women’s education level and

husband’s social support, and women’s attitude towards menopause in

women experiencing perimenopause phase. The data of education level collected by asking the subjects to fill in the required data in the scale. The

data collection of husband’s social support and women’s attitude towards

menopause were conducted through distributing the scale. The reliability of

the husband’s social support scale was 0.920 and the reliability of women’s

attitude toward menopause scale was 0.814. The analysis technique of this research was multiple regression analysis. The result of the data analysis revealed that there were not any positive correlation between women’s

education level and husband’s social support, and women’s attitude towards

menopause in women experiencing perimenopause phase (F (3,57) = 0.762, p = 0.520), which means the null hypotheses (H0) of this research was failed to be rejected.

Keywords: Education level, husband‟s social support, attitude towards

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena rahmat dan bimbingan-Nya, akhirnya penelitian ini dapat selesai pada waktunya. Penulis banyak mendapatkan pengalaman yang berharga dengan adanya penelitian ini. Pengalaman yang didapatkan antara lain: disiplin dan menghargai waktu, keuletan dalam membaca berbagai sumber referensi, dan tetap berusaha meskipun banyak hambatan yang datang silih berganti.

Penelitian ini berjudul “Hubungan antara Tingkat Pendidikan Wanita dan Dukungan Sosial Suami dengan Sikap Wanita terhadap Menopause pada

Wanita Perimenopause”. Penulis berharap agar penelitian ini dapat berguna

bagi masyarakat luas, khususnya bagi para wanita yang hendak menghadapi menopause. Dalam lingkup Psikologi, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Psikologi, khususnya mengenai Psikologi Perkembangan.

Selama penelitian ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu proses penelitian ini. Beberapa pihak tersebut adalah:

1. Dr. Christina Siwi H., M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Dosen Pembimbing Akademik.

(11)

xi

3. Bapak Y. Agung Santoso., M. A., selaku Dosen Pembimbing selama penulisan skripsi ini. Terima kasih Pak atas segala ilmu yang diberikan kepada penulis, kesabaran dan pencerahan ketika penulis berada dalam kebingungan.

4. Ibu Tanti Arini., S. Psi., M. Si. dan Ibu Dra. L. Pratidarmanastiti., M. Si., terima kasih atas berbagai ilmu yang diberikan kepada penulis terkait dengan menopause.

5. Bapak C. Siswa Widyatmoko., S. Psi., M. Psi., terima kasih atas segala bimbingan, saran, dan informasi yang diberikan kepada penulis demi terlaksananya penelitian ini.

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 7. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta, Ibu Nanik, Mas Gandung, Mas Muji, Mas Doni, dan Pak Gie. 8. Papa dan Mama ucapan terima kasih yang tak terhingga untuk kalian yang

tiada hentinya memberikan semangat kepada saya. Terima kasih pula karena telah menyebutkan nama saya dalam setiap doa Papa dan Mama. 9. Sita dan Chintya, adik-adikku tercinta yang selalu memberikan tawa dan

senyuman manis ketika saya pulang ke rumah.

10. Alfiantani Nugroho, terima kasih atas segala sayang dan dukungan yang selalu diberikan kepada saya. Terima kasih sudah mau menunggu saya selama 4 tahun ini. Ayo cepat selesaikan skripsinya!

(12)

xii

12. Bude Hesti, Tante Wahyu, Bu Joko, Tante Endang, Pakde Bowo, Bu Agus, Bude Nandari, Bu Taryono, Tante Heni, Bude Menuk, Tante Wiwin, Bude Lusi, Mama, yang telah membantu menyebarkan skala penelitian.

13. Ines, Nina, Anita, Martha, Anggun, Mas Papenk, Kika, yang telah membantu menyebarkan skala try out penelitian ini.

14. Teman-teman yang penulis kasihi Lusi, Monica, Puput, Mila, Agnes, Anita, Noni, Risa, Anggun, Ines, Ayu, Dewi, Celly, Heni, Wawan, Aix, Anis, Kika, Juwita, Flavia, Cike, Winas dan seluruh teman-teman Psikologi 2008. Terima kasih atas kebersamaan kalian selama 4 tahun ini.

15. Lusi yang selalu mendengarkan semua keluh kesah saya dengan sabar. Terima kasih karena selalu memberikan energi yang positif.

16. Seluruh partisipan yang telah terlibat dalam penelitian ini. Terima kasih karena telah meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukan kalian untuk menjadi subjek dalam penelitian ini.

17. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih karena telah membantu penelitian ini, sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, penulis terbuka pada setiap saran dan kritik yang diberikan demi kesempurnaan penelitian ini.

Penulis

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... . i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... . iii

HALAMAN MOTTO ... ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK ... ... vii

ABSTRACT ... ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... ... x

DAFTAR ISI ... ... xiii

DAFTAR TABEL ... ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoretis ... 8

(14)

xiv

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Menopause ... 16

4. Tahapan Menopause ... 18

5. Teori Pembentukan dan Perubahan Sikap ... 28

(15)

xv

E. Dukungan Sosial Suami ... 37

1. Definisi Dukungan Sosial Suami ... 37

2. Aspek-aspek Dukungan Sosial Suami ... 38

3. Dampak Dukungan Sosial Suami ... 41

F. Dinamika Hubungan antara Tingkat Pendidikan Wanita dan Dukungan Sosial Suami dengan Sikap Wanita terhadap Menopause Pada Wanita Perimenopause... ... 43

G. Hipotesis Penelitian ... 47

3. Sikap Wanita terhadap Menopause ... 52

D. Subjek Penelitian ... 52

E. Metode Pengambilan Data ... 54

1. Skala Dukungan Sosial Suami ... 54

2. Skala Sikap Wanita terhadap Menopause ... 57

F. Analisis Data ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... .... 61

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 61

(16)

xvi

2. Pelaksanaan Penelitian ... 61

B. Data Demografi ... 62

1.Data Demografi Subjek ... 62

2. Data Siklus Menstruasi Subjek ... 63

C. Data Deskriptif ... 64

1. Data Deskriptif Skor Total Dukungan Sosial Suami ... 64

2. Data Deskriptif Skor Total Sikap Wanita terhadap Menopause ... 65

D. Analisis Data ... 66

1.Uji Asumsi ... 66

2.Uji Hipotesis ... 69

E. Pembahasan ... 71

BAB V PENUTUP ... . 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Dukungan Sosial Suami Sebelum Uji Coba... 56

Tabel 2. Blue Print Skala Dukungan Sosial Suami Setelah Uji Coba... 56

Tabel 3. Blue Print Skala Sikap terhadap Menopause Sebelum Uji Coba.. 59

Tabel 4. Blue Print Skala Sikap terhadap Menopause Setelah Uji Coba.... 59

Tabel 5. Statistik Deskriptif Usia Subjek Dalam Satuan Tahun... 62

Tabel 6. Data Demografi Tingkat Pendidikan Subjek... 62

Tabel 7. Data Siklus Menstruasi Subjek... 63

Tabel 8. Hasil Uji Normalitas Residu... 66

Tabel 9. Hasil Uji Multikolinearitas... 68

Tabel 10. Hasil Analisis untuk R Kuadrat... 69

Tabel 11. Hasil Uji F Analisis Regresi... 70

(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Hubungan antara Tingkat Pendidikan Wanita

dengan Sikap Wanita terhadap Menopause... 48 Gambar 2. Skema Hubungan antara Dukungan Sosial Suami

dengan Sikap Wanita terhadap Menopause... 49 Gambar 3. Histogram Penyebaran Nilai Skor Total

Dukungan Sosial Suami... 64 Gambar 4. Histogram Penyebaran Nilai Skor Total

Sikap Wanita terhadap Menopause... 65 Gambar 5. Scatterplot Uji Linearitas Hubungan dan

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Penelitian ... 85

Lampiran 2. Skala Sikap Wanita terhadap Menopause ... 97

Lampiran 3. Reliabilitas Skala Penelitian ... 113

Lampiran 4. Data Demografi Subjek ... 133

Lampiran 5. Histogram Penyebaran Skor Total ... 136

Lampiran 6. Data Deskriptif ... 138

Lampiran 7. Uji Asumsi ... 140

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menopause merupakan awal dari berakhirnya masa reproduksi wanita (Purwoastuti, 2008). Hal tersebut ditandai dengan wanita tidak lagi mengalami menstruasi selama lebih dari 1 tahun (Purwoastuti, 2008; Veras, Rassi, Valenca, & Nardi, 2006). Fase menopause terdiri dari beberapa tahap yaitu premenopause, yakni suatu fase ketika wanita masih mengalami siklus menstruasi yang teratur, perimenopause, yakni suatu fase ketika wanita mengalami siklus mestruasi yang tidak teratur, dan postmenopause, yakni suatu fase setelah wanita tidak mengalami menstruasi selama lebih dari 12 bulan. (Rees et al. dalam Abernethy, Hillard, McFall, Holloway, Robinson, Norman et al., 2010). Wanita biasanya mengalami fase menopause rata-rata pada 51 tahun atau lebih (Abernethy et al., 2010; Greendale, Lee, & Arriola, 1999). Usia menopause pada wanita yang satu dengan wanita yang lain berbeda. Hal terserbut bergantung pada Body Mass Index (BMI) atau kegemukan,

merokok, status nutrisi, dan faktor keturunan (Ramaiah, 2003).

(21)

menopause (Majalah Farmacia, 2008). Hal tersebut membuktikan bahwa banyak wanita yang mengalami gejala menopause selama fase menopause, yakni dengan persentase sebesar 68%.

Wanita dalam fase menopause mengalami beberapa gejala psikis dan fisik. Gejala psikis yang dirasakan meliputi: depresi, mudah tesinggung, mudah curiga, kecemasan, mudah lupa, sulit berkonsentrasi, perubahan mood, kehilangan kepercayaan diri, mudah lupa, iritabilitas, dan panik. Sementara itu, gejala fisik yang dirasakan antara lain: gejala vasomotor berupa hot flash, rasa panas pada wajah, berkeringat di malam hari, vagina menjadi kering, perubahan bentuk payudara dan kulit pada wanita, dan lain sebagainya. Berbagai gejala tersebut terjadi karena penurunan hormon estrogen pada wanita. (Abernethy et al., 2010; Kartono, 1992; Osarenren, Ubangha, Nwadinigwe, & Ogunleye, 2009; Proverawati, 2010).

(22)

banyaknya gejala yang muncul pada fase tersebut dapat menimbulkan perasaan yang tidak nyaman bagi wanita.

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sebesar 75% wanita menganggap menopause sebagai hal yang mengganggu hidup mereka. Sementara itu, wanita yang menganggap menopause sebagai proses yang wajar sebesar 25% (Achadiat dalam Sumanto, 2009). Hal tersebut membuktikan bahwa wanita memiliki sikap tersendiri terhadap menopause karena adanya berbagai gejala menopause. Sikap wanita terhadap menopause pun berbeda-beda. Wanita berkulit putih bersikap lebih negatif terhadap menopause dibandingkan wanita yang tidak berkulit putih (Ayers, Forshaw, & Hunter, 2010).

Berbagai gejala menopause yang muncul disikapi wanita dengan cara yang berbeda-beda baik secara positif maupun negatif. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap wanita terhadap menopause berkaitan dengan pengalaman pada fase menopause (Ayers et al., 2010). Wanita yang bersikap positif terhadap menopause cenderung lebih tenang dalam menghadapi menopause. Mereka juga dapat menggunakan coping

(23)

Perbedaan sikap wanita terhadap menoapuse dipengaruhi oleh faktor internal, yang berarti individu cenderung menyeleksi stimulus yang sesuai dan tidak sesuai dengan dirinya (Adi, 1994; Dayakisni & Hudaniah, 2003). Sejauh ini, penelitian tentang sikap wanita terhadap menopause dengan melibatkan beberapa faktor internal sudah dilakukan. Misalnya saja review hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan wanita berperan penting dalam pembentukan sikap positif terhadap menopause (Ayers et al., 2010). Penelitian lain yang dilakukan oleh Norati dan Maritoh (2010) kepada para ibu di Desa Peganjaran Kabupaten Kudus, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan para ibu di daerah tersebut tidak berhubungan dengan sikap ibu terhadap menopause. Namun penelitian tersebut memiliki beberapa kelemahan yakni jumlah subjek yang sedikit dengan jumlah 22 orang dan range tingkat pendidikan yang tergolong pendek yakni SD sampai dengan Pendidikan Tinggi. Hal tersebut membuat hasil penelitian tidak dapat digeneralisasikan untuk masyarakat yang lebih luas.

(24)

membantu individu untuk menggunakan coping yang kreatif dalam mengatasi berbagai gejala menopause.

Selain penelitian mengenai faktor internal, terdapat pula penelitian lain yang menghubungkan faktor eksternal dengan sikap wanita terhadap menopause. Penelitian tersebut antara lain: budaya, pengetahuan, life events dan mitos tentang menopause. Penelitian yang dilakukan oleh Sommer, Avis, Meyer, Ory, Madden, Singer et al. (1999) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap terhadap menopause antara wanita Cina, Afrika-Amerika, Jepang, dan Amerika. Wanita Afrika Amerika, memiliki sikap paling positif terhadap menopause dibandingkan wanita Cina-Amerika, Jepang-Cina-Amerika, dan Spanyol. Hal ini membuktikan bahwa budaya tempat individu tinggal turut mempengaruhi cara mereka bersikap terhadap menopause. Penelitian yang dilakukan oleh Aprillia dan Puspitasari (2007) menunjukkan bahwa sikap wanita terhadap menopause ditentukan oleh pengetahuan terhadap menopause. Life events seperti: jumlah anak, relasi sosial, dan kehidupan rumah tangga (Deeks, 2004) serta mitos yang berkembang di masyarakat (Matthews, 1992) juga turut mempengaruhi sikap wanita terhadap menopause.

(25)

membentuk sikap positif wanita terhadap menopause. Namun, penelitian tersebut memiliki kelemahan yaitu subjek hanya diminta menulis berapa banyak teman dan keluarga yang dapat diajak berdiskusi tentang menopause dan subjek merating sejauh mana subjek merasa nyaman berdiskusi dengan mereka (Theisen et al., 1995). Padahal dukungan sosial terdiri dari beberapa aspek yang dapat mengukur adanya dukungan sosial pada individu (Cohen & McKay, 1984; Lyons & Chamberlain, 2006; Weiss dalam Cutrona & Russel, 1987). Dengan demikian, penelitian ini ingin memperbaiki pengukuran dukungan sosial sebelumnya melalui penggunaan skala.

(26)

pada relasi suami dan isteri. Oleh sebab itu, pengertian dari pasangan khususnya suami sangat dibutuhkan oleh wanita.

Dengan demikian dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat hubungan antara dukungan sosial suami dengan sikap wanita terhadap menopause. Hal tersebut dikarenakan berdasarkan teori sikap, faktor eksternal dapat membentuk dan mengubah sikap individu terhadap suatu objek atau situasi tertentu (Adi, 1994). Kehadiran orang lain khususnya

significant other dapat membentuk dan mengubah sikap individu (Azwar, 2010). Dengan demikian, peneliti menduga bahwa kehadiran orang lain berupa dukungan sosial suami berpotensi membentuk dan mengubah sikap wanita terhadap menopause.

Berdasarkan paparan tersebut, peneliti mengajukan pertanyaan yang ingin diteliti yaitu apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan wanita dan dukungan sosial suami dengan sikap wanita terhadap menopause pada wanita perimenopause.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

(27)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

Mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan wanita dan dukungan sosial suami dengan sikap wanita terhadap menopause pada wanita perimenopause.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat yaitu berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Memberikan informasi mengenai hubungan antara tingkat pendidikan wanita dan dukungan sosial suami dengan sikap wanita terhadap menopause pada wanita perimenopause.

2. Manfaat Praktis

(28)

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Wanita Dewasa Madya

1. Definisi Wanita Dewasa Madya

Wanita dewasa madya adalah wanita dengan rentang usia 30 tahun sampai dengan 50 tahun (Havighurst, 1972). Sementara itu menurut Santrock (2002), rentang usia dewasa madya berkisar 30 tahun atau 45 tahun sampai dengan awal 60 tahunan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wanita dewasa madya adalah wanita dengan rentang usia 30 tahun sampai dengan 50 tahun atau awal 60 tahunan.

2. Perubahan pada Masa Dewasa Madya

Wanita dewasa madya mulai mengalami penurunan biologis, perubahan fisiologis, dan perubahan psikologis.

a. Perubahan Biologis

(29)

tubuh, masalah seksual, kekeringan vagina, masalah pada saluran kencing, dan lain sebagainya. Gejala psikis yang dirasakan antara lain: mudah tersinggung, cemas, depresi, dan lain-lain (Papalia, Old, & Feldman, 2008; Santrock, 2002).

b. Perubahan Fisiologis

Kemampuan dewasa madya pada indera pendengaran, penglihatan, peraba, penciuman, dan perasa mulai mengalami penurunan. Dewasa madya akan merasa kesulitan untuk melihat objek dekat, suara bernada tinggi, dan kehilangan kepekaan terhadap rasa, bau, dan sentuhan. Kondisi fisik pada masa ini juga tidak sebaik pada masa-masa sebelumnya. Namun, penurunan fisiologis bergantung pada aktivitas yang dilakukan individu pada masa muda. Jika individu di usia muda sering berolahraga, memiliki pola hidup sehat, dan melakukan banyak aktivitas, maka kelenturan otot mereka tidak menemukan penurunan yang signifikan (Papalia et al., 2008; Santrock, 2002).

c. Perubahan Psikologis

(30)

yang mempengaruhi cara pandang wanita terhadap masa tuanya. Wanita yang status sosial ekonominya tinggi, bahagia, dan memiliki kepuasan seksual, tentunya akan merasa tenang dalam menghadapi masa tua. Sementara itu, wanita yang banyak mengalami kekecewaan dan frustasi di masa muda, maka mereka akan merasa cemas bahkan depresi dalam menghadapi masa tua (Kartono, 1992).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wanita dewasa madya akan mengalami beberapa perubahan yaitu: perubahan biologis, fisiologis, dan psikologis. Perubahan biologis lebih menenakan pada perubahan organ-organ biologis wanita terkait dengan menopause, perubahan fisiologis menekankan pada perubahan panca indera dan kekuatan fisik seperti otot-otot. Sementara itu, perubahan psikologis lebih menekankan pada kondisi kejiwaan wanita karena akan memasuki usia lanjut.

3. Tugas Perkembangan Wanita Dewasa Madya

Wanita dewasa madya memiliki tugas perkembangan pada masa ini. Havighusrt (1972) menyebutkan bahwa tugas perkembangan tersebut antara lain:

a. Memiliki tanggung jawab sosial sebagai warga negara

(31)

b. Mencapai dan mempertahankan kondisi ekonomi

Pria dan wanita yang bekerja akan menjelang pensiun pada usia ini. Oleh sebab itu, wanita pada masa ini perlu melakukan perhitungan dan perencanaan terhadap keuangan mereka sebagai jaminan masa tua.

c. Mendidik anak-anak menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab Wanita sebagai seorang ibu dan isteri di dalam keluarga, perlu memberikan contoh yang baik bagi anak-anak mereka. Contoh tersebut antara lain: peran sebagai seorang ibu dan istri yang baik, mengatur keuangan keluarga, mempersiapkan pendidikan anak, dan sebagainya.

d. Mencari kegiatan lain di waktu senggang

Beban kerja wanita pada masa ini sudah mulai berkurang. Oleh sebab itu, wanita memiliki banyak waktu luang untuk mengikuti organisasi sosial di masyarakat untuk membina relasi sosial yang baik.

e. Menghubungkan diri sendiri kepada suami dan isteri sebagai suatu pribadi

(32)

memberikan perhatian dan perlindungan pada suami serta menjaga kecantikan dan penampilannya agar tetap menarik bagi suami. f. Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis

Pada masa ini, wanita akan mengalami perubahan fisiologis seperti: penurunan fungsi kelima indera dan kemampuan otot untuk bekerja berat. Dengan demikian, berbagai aktivitas pada usia dewasa madya mulai berkurang. Bagi wanita, perubahan fisiologis disebabkan karena penurunan hormon estrogen dan progesteron. Wanita pada masa ini mulai merasa ketertarikan seksual yang tinggi dengan suami sebelum menopause. Wanita juga mulai berdandan dan berpakaian rapi untuk tetap menjaga daya tariknya sebagai wanita. Perubahan fisiologis disertai dengan perubahan psikologis. Oleh sebab itu, pengetahuan yang memadai tentang psikologi usia lanjut sangat penting agar wanita mempersiapkan diri pada masa tuanya.

g. Menyesuaikan diri dengan orang lanjut usia

(33)

antara orang tua yang sangat tua dengan dewasa madya sangat berperan penting untuk kelangsungan hidup para dewasa madya. Berdasarkan tugas perkembangan dewasa madya, penelitian ini mengkhususkan pada point e dan f. Dalam penelitian ini, point e membahas tentang dukungan sosial suami sebagai pendamping istri terhadap perubahan psikologis dan fisiologis terkait dengan menopause. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita perimenopause yang berada pada masa-masa sulit terkait dengan perubahan hormon. Dengan demikian, sejumlah gejala fisik dan psikis mulai muncul pada masa ini (Ayers et al., 2010; Papalia et al., 2008). Wanita perimenopause biasanya dialami oleh wanita dewasa madya. Dengan demikian, point f berkaitan dengan kondisi wanita perimenopause yang mulai mengalami berbagai perubahan fisiologis dan psikologis terkait menopause. Oleh sebab itu, peneliti ingin melihat sikap wanita perimenopause terhadap menopause.

B. Menopause

1. Definisi Menopause

(34)

perspektif fisiologis menjelaskan menopause sebagai hilangnya kemampuan wanita untuk bereproduksi karena terjadi penurunan hormon estrogen (Abernethy et al., 2010; Purwoastuti, 2008). Wanita di negara berbeda mengalami menopause pada usia yang berbeda pula, yakni antara usia 49 tahun sampai dengan 52 tahun (Melby, Lock, & Kaufert, 2005). Namun, usia menopause rata-rata terjadi pada usia 51 tahun (Abernethy et al., 2010; Greendale et al., 1999). Perbedaan usia tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: Body Mass Index

(BMI) atau kegemukan, merokok, status nutrisi, dan keturunan (Ramaiah, 2003).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menopause adalah berhentinya siklus menstruasi wanita terkait dengan perubahan hormon. Penurunan hormon tersebut sangat berdampak bagi kondisi fisik dan psikologis wanita. Oleh sebab itu, penting bagi wanita untuk mempersiapkan diri dengan baik sebelum memasuki fase menopause. 2. Jenis Menopause

Ramaiah (2003) mengklasifikasikan menopause menjadi 2 jenis yaitu: a. Menopause alami adalah menopause yang terjadi secara alami karena

faktor usia, yang ditandai dengan penurunan hormon estrogen dan progesteron pada tubuh wanita.

(35)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menopause terdiri dari 2 jenis yakni menopause alami yang terjadi karena faktor usia atau penuaan dan menopause induksi atau buatan yang terjadi karena adanya intervensi klinis. Namun dalam penelitian ini, peneliti memilih subjek yang akan mengalami menopause alami. Hal tersebut dikarenakan wanita tersebut akan melewati fase perimenopause dan mulai mengalami beberapa gejala menopause baik fisik maupun psikis.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Menopause

Menopause merupakan peristiwa hidup yang akan dialami oleh seluruh wanita di dunia. Menopause dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu:

a. Merokok

Zat-zat bahaya yang terkandung dalam rokok dapat membahayakan kesehatan wanita, seperti: gangguan kehamilan dan janin. Wanita yang merokok akan memiliki BMI yang tinggi (Freeman & Sherif, 2007), sehingga wanita merokok akan mengalami menopause lebih awal (Ramaiah, 2003).

b. Status Nutrisi

(36)

vasomotor lebih rendah dibandingkan di negara lain. Hal ini dikarenakan wanita Jepang lebih banyak mengkonsumsi makanan dari bahan kedelai (Freeman & Sherif, 2007).

c. Kegemukan (Obesitas)

Wanita gemuk biasanya memiliki Body Mass Index (BMI) yang tinggi pula. Kondisi ini dapat memperlemah sistem metabolisme tubuh. Wanita obesitas biasanya lebih cepat mengalami menopause (Ramaiah, 2003).

d. Keturunan

Faktor keturunan adalah faktor genetika yang diwariskan secara turun temurun. Apabila wanita memiliki faktor keturunan mengalami menopause lebih cepat atau lebih lambat, maka wanita tersebut cenderung mengalami menopause pada usia yang hampir sama (Ramaiah, 2003).

e. Iklim

Di beberapa negara, iklim sangat mempengaruhi gejala hot flash pada wanita. Beberapa wanita merasakan gejala hot flash pada musim hangat. Namun, wanita lain merasakan gejala hot flash pada musim dingin (Freeman & Sherif, 2007). Selain itu, gejala menopause sangat bergantung pada kurangnya aktivitas fisik, sikap dan keyakinan terhadap menopause (Collins, 2002).

(37)

nutrisi, kegemukan, keturunan, dan iklim. Tiga faktor berupa merokok, status nutrisi, dan kegemukan sangat mempengaruhi BMI wanita. Body Mass Index (BMI) turut mempengaruhi cepat atau lambatnya usia menopause seorang wanita. Oleh sebab itu, pola hidup sehat dan mengkonsumsi makanan bergizi sangat penting dilakukan untuk menjaga kondisi tubuh wanita. Sementara itu, faktor keturunan lebih menekankan pada faktor genetis terbawa sejak lahir dan faktor iklim lebih menekankan pada terjadinya gejala menopause.

4. Tahapan Menopause

Rees et al. (dalam Abernethy et al., 2010) mengklasifikasikan tahapan menopause menjadi 3 yaitu:

a. Premenopause adalah fase ketika wanita berada pada masa reproduksi atau subur.

b. Perimenopause adalah fase ketika wanita mengalami siklus menstruasi yang tidak teratur. Fase ini merupakan fase paling sulit bagi wanita terkait dengan perubahan hormon dalam tubuh wanita. Oleh sebab itu, sejumlah gejala fisik dan psikis mulai muncul pada fase ini (Ayers et al., 2010; Papalia et al, 2008). Fase perimenopause biasanya terjadi selama 2-8 tahun (Greendale et al., 1999).

c. Postmenopause terjadi setelah wanita tidak mendapat menstruasi lebih dari 12 bulan.

(38)

dalam penelitian ini adalah wanita yang berada pada fase perimenopause. Hal ini dikarenakan fase perimenopause merupakan masa transisi dan masa paling sulit bagi wanita. Berbagai gejala fisik dan psikis mulai muncul pada fase ini terkait dengan terjadinya perubahan hormon dalam tubuh wanita.

5. Gejala Menopause

Pada fase menopause, wanita mengalami beberapa gejala. Gejala yang dirasakan wanita pada fase menopause antara lain:

a. Gejala Fisik

1) Gejala Hot Flash

Gejala hot flash dirasakan secara subyektif dan bervariasi pada wanita. Hot flash adalah gejala menopause yang ditandai dengan rasa panas dan merah pada wajah dan beberapa anggota tubuh lain, misalnya: dada, lengan, dan sebagainya (Abernethy et al., 2010; Papalia et al., 2008; Proverawati, 2010). Biasanya, gejala ini dirasakan dalam frekuensi dan intensitas yang berbeda-beda (McKinlay & Jefferys, 1974).

(39)

2) Keringat di malam hari

Keringat dingin biasanya terjadi pada malam hari namun dalam waktu singkat (Abernethy et al., 2010; Proverawati, 2010; Purwoastuti, 2008).

3) Sulit tidur (Insomnia)

Gejala vasomotoris berupa hot flash dan keringat dingin pada malam hari membuat perasaan tidak nyaman bagi wanita yang mengalaminya. Oleh sebab itu, wanita akan mengalami sulit tidur pada malam hari (Madjid, 2009; Purwoastuti, 2008).

4) Perubahan pada Payudara

Penurunan hormon estrogen pada fase menopause mempengaruhi bentuk payudara wanita. Dengan demikian payudara wanita akan mengalami penyusutan, sehingga terlihat tidak menarik (Purwoastuti, 2008; Ramaiah, 2003).

5) Perubahan pada Kulit

Penurunan hormon estrogen juga mengakibatkan kulit wanita menjadi tipis dan tidak elastis. Hal tersebut mengakibatkan kulit wanita menjadi keriput dan kusam (Abernethy et al., 2010). 6) Perubahan pada Vagina

(40)

2003). Dengan demikian, wanita akan mengalami rasa sakit apabila berhubungan seksual dengan pasangan dan menyebabkan gairah seksual wanita menurun (Nugraha, 2011).

7) Perubahan pada Kandung Kemih

Gejala ini juga ditandai dengan penurunan fungsi kandung kemih wanita. Dengan demikian, wanita mengalami kesulitan untuk menahan buang air kecil (Purwoastuti, 2008).

8) Dalam jangka panjang keluhan fisik akibat menopause adalah osteoporosis, hipertensi, penyakit jantung koroner, pengapuran dinding pembuluh darah atau aterosklerosis, penimbunan lemak atau adipasitas, dan kolestrol darah tinggi atau hiperkolesterolemia

(Proverawati, 2010; Purwoastuti, 2008; Ramaiah, 2008). b. Gejala Psikis

Gejala psikis yang dirasakan pada fase menopause antara lain: perubahan suasana hati, menurunnya rasa percaya diri, iritabilitas, depresi, cemas, mudah tersinggung, panik, dan mudah marah (Abernethy et al., 2010; Kartono, 1992; Purwoastuti, 2008).

(41)

sebagainya. Dalam jangka panjang, penurunan hormon estrogen menyebabkan wanita mengalami beberapa keluhan fisik seperti: osteoporosis, alzheimer, penimbunan lemak, kolestrol darah tinggi, tekanan darah tinggi, penyakit jantung koroner, dan pengapuran dinding pembuluh darah. Berbagai gejala tersebut dapat menimbulkan sikap tersendiri bagi wanita terhadap menopause.

C. Sikap Wanita terhadap Menopause 1. Definisi Sikap

(42)

Beberapa ahli membagi sikap menjadi 2 jenis yaitu: sikap individual, yakni respon atau reaksi individu itu sendiri terhadap objek spesifik, dan sikap sosial yaitu respon atau reaksi yang dimiliki masyarakat tertentu terhadap objek sosial seperti: norma, kepercayaan masyarakat tertentu, dan lain-lain (Adi, 1994; Gerungan, 2009; Soetarno, 1994).

2. Komponen-komponen Sikap

Sikap terbentuk karena adanya interaksi antara 3 komponen. Tiga komponen sikap yaitu:

a. Komponen Kognitif

Komponen kognitif berisis tentang kepercayaan atau keyakinan individu mengenai objek sikap, yang terbentuk dari informasi atau pengetahuan yang dimiliki individu terkait objek sikap (Azwar, 2010; Dayakisni & Hudaniah, 2003). Seiring berjalannya waktu, keyakinan dapat berkembang menjadi pengetahuan dasar dalam diri individu (Azwar, 2010).

b. Komponen Afektif

Komponen afektif merupakan komponen paling kuat karena mengandung unsur emosional. Komponen afektif dapat berupa perasaan positif atau negatif, baik atau buruk, suka atau tidak suka,

(43)

c. Komponen Konatif (Komponen Perilaku)

Komponen konatif atau komponen perilaku adalah kecenderungan individu untuk melakukan suatu tindakan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan maupun tindakan individu terhadap objek sikap (Adi, 1994; Azwar, 2010; Dayakisni & Hudaniah, 2003). Keyakinan dan perasaan yang dimiliki individu mendorong individu untuk berperilaku tertentu (Azwar, 2010). Meskipun perilaku merupakan salah satu komponen sikap, namun perilaku tidak selamanya mencerminkan sikap individu yang sesungguhnya. Hal tersebut bergantung pada situasi di lingkungan sekitar (Azwar, 2010; Sears, Freedman, & Peplau, 2009).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sikap memiliki 3 komponen yaitu: kognitif berisi tentang keyakinan terhadap objek sikap, afektif memuat unsur emosional terhadap objek sikap, dan konatif berupa tindakan terhadap objek sikap. Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi, sehingga terbentuklah sikap individu. 3. Ciri-ciri Sikap

Beberapa ahli menyebutkan bahwa sikap memiliki beberapa ciri yaitu: a. Sikap dapat dibentuk dan diubah melalui interaksi sosial yakni dengan

proses belajar di lingkungan (Brigham dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003; Gerungan, 2009; Soetarno, 1994).

(44)

c. Sikap individu tidak pernah lepas dari objek sikap, sehingga seluruh respon individu mengarah pada objek sikap (Brigham dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003; Gerungan, 2009; Soetarno, 1994; Walgito, 1978). d. Sikap dapat mengarah pada objek tunggal, yakni mengarah pada satu

objek saja dan objek jamak, yakni mengarah pada sekelompok objek (Adi, 1994; Gerungan, 2009; Soetarno, 1994; Walgito, 1978).

e. Sikap mendorong individu untuk berperilaku, meskipun pada kenyataannya tidak semua perilaku mencerminkan sikap individu yang sesungguhnya (Brigham dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003; Gerungan, 2009; Soetarno, 1994; Walgito, 1978).

f. Sikap tampak dari perilaku individu (Brigham dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003).

g. Sikap dapat bertahan lama namun dapat juga bertahan singkat dalam diri individu (Walgito, 1978).

(45)

4. Pembentukan Sikap

Secara umum pembentukan dan perubahan sikap dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: faktor internal, artinya indvidu cenderung menyeleksi stimulus sosial sesuai dengan apa yang ada di dalam dirinya seperti: kebutuhan individu, kepribadian, sistem nilai yang dianut, dan lain-lain. Sementar itu, faktor eksternal artinya stimulus yang berasal di luar diri individu (Adi, 1994; Dayakisni & Hudaniah, 2003).

Azwar (2010) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang membentuk sikap individu antara lain:

a. Pengalaman Pribadi

Individu memiliki banyak pengalaman dalam hidup. Namun, tidak semua pengalaman dapat diingat individu. Pengalaman yang mudah diingat adalah pengalaman yang memuat unsur emosional tertentu, sehingga dapat mempengaruhi sikap individu.

b. Pengaruh Orang Lain

(46)

c. Budaya

Budaya tempat individu tinggal dapat mempengaruhi sikap individu. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa budaya dapat mempengaruhi sikap individu terhadap objek atau situasi tertentu. d. Media Massa

Media massa dapat berupa media cetak dan media elektronik. Pesan dalam media massa bersifat persuasif, yang bertujuan untuk membujuk dan mensugesti individu. Dengan demikian, media massa berpotensi mempengaruhi sikap individu.

e. Lembaga Pendidikan atau Agama

Indonesia adalah negara beragama. Agama dan lembaga pendidikan mengajarkan tentang pesan moral, yang menekankan pada baik dan buruknya sesuatu. Apabila individu melanggar hal tersebut, maka individu akan menerima hukuman berupa sanksi moral.

f. Faktor emosional

Faktor emosional dapat membentuk sikap individu terhadap objek sikap, misalnya prasangka terhadap kelompok tertentu. Prasangka tersebut muncul sebagai wujud dari kecemasan berupa frustasi.

(47)

berupa: pengalaman pribadi, faktor emosional, kepribadian, dan konsep diri, serta faktor eskternal berupa: pengaruh orang lain, budaya, media massa, dan lembaga pendidikan atau agama. Adanya berbagai faktor tersebut menunjukkan bahwa sikap dapat dipelajari di lingkungan. Oleh sebab itu, proses pembentukan sikap dapat dijelaskan melalui teori belajar. 5. Teori Pembentukan dan Perubahan Sikap

Berdasarkan ciri sikap, sikap dapat dibentuk dan dipelajari melalui proses belajar. Dengan demikian, sikap terbentuk karena adanya interaksi individu dengan lingkungan (Brigham dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003; Gerungan, 2009; Soetarno, 1994). Oleh sebab itu, pembentukan dan perubahan sikap tidak lepas dari:

a. Teori Belajar

Teori belajar terdiri dari: operant conditioning dan modelling.

1) Operant Conditioning

Proses pembentukan sikap melalui teori ini menekankan pada pemberian reinforcement dan punsihment. Pemberian reinforcement bertujuan untuk meningkatkan perilaku individu. Sebaliknya, pemberian punishment bertujuan untuk mencegah perilaku individu (Dayakisni & Hudaniah, 2003; Sears et al., 2009). 2) Modelling

(48)

dekat dengan individu dipelajari (Azwar, 2010; Dayakisni & Hudaniah, 2003; Sears et al., 2009).

b. Teori Konsistensi Afektif-Kognitif Rosenberg

Teori ini menjelaskan bahwa individu berusaha mencari keseimbangan antara unsur kognitif dan afektif yang dimilikinya. Apabila unsur kognitif dan afektif individu seimbang, maka sikap yang muncul bersifat stabil. Namun, apabila terjadi ketidakseimbangan antara unsur kognitif dan afektif individu, maka individu akan berusaha mencari fakta, pengetahuan, dan informasi untuk mendukung perasaannya (Rosenberg dalam Secord & Backman, 1964 dalam Azwar, 2010).

c. Teori Tiga Proses Perubahan (Kelman)

Kelman (dalam Brigham, dalam Azwar, 2010) menyatakan bahwa ada 3 proses untuk mengubah sikap individu, yaitu:

1) Compliance

Compliance atau kepatuhan adalah individu yang mengikuti sikap atau perilaku orang lain. Proses ini tidak mencerminkan sikap atau perilaku individu yang sesungguhnya, karena hanya bertujuan untuk memperoleh penerimaan positif dari orang lain.

2) Identification

(49)

3) Internalization

Internalization adalah individu mengadopsi sistem nilai yang dimiliki orang lain ke dalam dirinya untuk bersikap tertentu. Orang lain dalam hal ini adalah significant other yang berperan penting dalam kehidupan individu. Proses ini dapat berlangsung lama dalam diri individu tergantung seberapa besar sistem nilai tersebut tertanam di dalam dirinya.

Berdasarkan teori pengubahan dan pembentukan sikap di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses teori belajar, teori konsistensi kognitif afektif, dan teori tiga proses perubahan (Kelman) dapat mempengaruhi sikap individu menjadi lebih positif atau negatif. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lingkungan sosial dan

significant other sangat berperan penting dalam pembentukan dan perubahan sikap individu.

6. Sikap Wanita terhadap Menopause

(50)

wanita mengalami pengalaman yang negatif selama menopause. Sebaliknya, wanita yang bersikap positif terhadap menopause dapat mengatasi berbagai gejala menopause dan memiliki pengalaman yang lebih positif selama menopause (Ayers et al., 2010). Sikap terhadap menopause dapat disebabkan oleh: budaya (Ayers et al., 2010), mitos di masyarakat (Matthews, 1992), life events seperti: jumlah anak, kehidupan rumah tangga, dan relasi sosial (Deeks, 2004), dan pengetahuan tentang menopause (Aprillia dan Puspitasari, 2007).

Pengukuran sikap terhadap menopause sudah pernah dibuat oleh Neugarten, Wood, Kraines, & Loomis (Neugarten, 1996) berupa skala

Attitude Toward Menopause (ATM). Dalam penelitiannya, Neugarten et al melakukan wawancara terhadap para wanita mengenai penilaian, perasaan, dan antisipasi gejala yang mereka lakukan terkait dengan menopause. Hasil wawancara tersebut menjadi dasar bagi penulisan item-item skala ATM. Peneliti melakukan analisis faktor dengan rotasi orthogonal

terhadap item-item tersebut, sehingga menghasilkan 7 aspek yang tidak saling overlap satu sama lain. Ketujuh aspek alat ukur ATM yaitu:

a. Negative affect lebih menekankan pada perasaan-perasaan negatif terkait dengan menopause seperti: depresi, tidak bahagia, menopause merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan, munculnya beberapa masalah saat menopause, dan lain-lain.

(51)

misalnya: lebih bahagia, pecaya diri, tenang, pandangan menjadi lebih luas, dan hidup menjadi lebih menarik.

c. Extent of continuity lebih menekankan pada penilaian wanita terkait perubahan-perubahan pada tubuh wanita ketika menopause.

d. Control of symptoms lebih menekankan pada cara wanita untuk mengatasi berbagai gejala menopause yang dialami.

e. Psychological loss lebih menekankan pada masalah psikologis yang dialami wanita pada saat menopause misalnya: merasa tidak berharga, takut kehilangan akal sehat, menggunakan menopause sebagai alasan untuk mendapat perhatian, wanita menjadi lebih egois pada saat menopause, dan lain-lain.

f. Unpredictability. Menopause menyebabkan wanita mengalami berbagai perubahan hidup yang tidak bisa diprediksikan.

g. Sexuality lebih menekankan pada masalah seksualitas wanita terkait dengan adanya menopause.

(52)

(Criterion group) usia 45-55 tahun sebayak 100 orang , dan kelompok D usia 56-65 tahun sebanyak 65 orang. Seluruh subjek penelitian adalah seorang ibu, telah menikah, sehat fisik dan mental, serta tidak pernah menjalani operasi (Neugarten, 1996).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap terhadap menopause adalah pandangan dan perasaan wanita terkait dengan menopause. Dalam penelitian ini, pengukuran sikap terhadap menopause akan menggunakan skala ATM yang dikembangkan oleh Neugarten et al. (1996).

D. Pendidikan

1. Definisi Pendidikan

Beberapa ahli mendefinisikan pendidikan dengan menekankan pada pengembangan kualitas diri individu melalui pengembangan pengetahuan dan keterampilan individu. Pendidikan dianggap sebagai proses belajar seumur hidup dengan bantuan pendidik yaitu: orangtua, guru, ataupun masyarakat (Idris & Jamal, 1992; Suwarno, 2009).

(53)

2. Tujuan Pendidikan di Indonesia

Secara umum pendidikan nasional di Indonesia memiliki tujuan berupa mengembangkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik, membentuk pribadi yang lebih baik, mengembangkan kreatifitas, kemandirian, kematangan dalam proses berpikir, kecerdasan, dan kecakapan pada diri peserta didik. Tujuan pendidikan hendaknya dirumuskan secara jelas dan realistis, agar dapat dicapai oleh peserta didik (Idris & Jamal, 1992).

Dengan demikian, pendidikan memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas diri individu dengan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, cakap, cerdas, kreatif, dan mandiri. 3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan yang ditempuh oleh peserta didik semasa hidup. Setiap tingkat pendidikan memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh peserta didik (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1, ayat 28). Tingkat pedidikan dibagi menjadi 4 yaitu:

a. Taman Kanak-kanak (TK)

(54)

b. Sekolah Dasar (SD)

Pendidikan Sekolah Dasar memberikan materi spesifik kepada peseta didik melalui media pengajaran. Di sekolah dasar, peserta didik diharapkan memiliki pengetahuan yang memadai, memahami dan menggunakan teknologi, lebih kreatif, serta mengembangkan jiwa solidaritas kepada sesama (Suwarno, 2009). c. Sekolah Menengah (SMA/SMP/SMK)

Sekolah menengah membantu peserta didik untuk lebih mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Peserta didik juga diharapkan lebih kreatif, cakap, dan menjadi pribadi yang lebih matang. Hal tersebut dilakukan untuk mempersiapkan individu memasuki dunia kerja dan melanjutkan ke tingkat pendidikan selanjutnya (Suwarno, 2009).

d. Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan paling tinggi. Oleh sebab itu, tuntutan yang diberikan tingkat pendidikan ini juga cukup besar seperti: melakukan penelitian ilmiah. Berbagai gelar dapat diperoleh di tingkat pendidikan ini seperti: gelar diploma, sarjana, magister, doktor, dan lain sebagainya (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 19, ayat 1).

(55)

Dasar, Sekolah Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Setiap tingkat pendidikan memiliki tujuan tersendiri yang hendak dicapai oleh peserta didik melalui lembaga pendidikan di Indonesia. Tujuan di setiap jenjang pendidikan selalu menekankan pada pengembangan kualitas diri individu.

4. Manfaat Pendidikan

Manfaat pendidikan bagi peserta didik antara lain:

a. Pendidikan dapat mengembangkan kemampuan kognitif peserta didik melalui proses mengetahui materi baru, memahami suatu materi, menerapkan ilmu yang dimiliki, menganalisis sesuatu berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, menggabungkan berbagai pengetahuan, dan menilai sesuatu berdasarkan apa yang diketahui. Dengan demikian, individu memiliki kematangan dalam proses berpikir (Idris & Jamal, 1992).

b. Pendidikan dapat melatih kreatifitas peserta didik melalui berbagai program kegiatan yang diikuti. Di sekolah atau di perguruan tinggi, peserta didik dapat mengembangkan keterampilan sosialisasi mereka dengan teman sebayanya. Dengan demikian, mereka dapat belajar bekerja sama, bertenggang rasa, dan saling tolong menolong (Suwarno, 2009).

(56)

Pendidikan juga mengajarkan tentang konsep moral bagi peserta didik tentang baik buruknya sesuatu (Suwarno, 2009).

Berdasarkan uraian di atas, pendidikan memiliki beberapa manfaat untuk individu antara lain: mengembangkan kemampuan kognitif individu terhadap materi yang sudah dipelajari, peserta didik juga dapat mengembangkan kreatifitas dan kemandiriannya untuk terus mengembangkan pengetahuannya. Dalam penelitian ini, fokus manfaat pendidikan terletak pada point a, b, dan c. Kemampuan kognitif menunjukkan bahwa wanita memiliki pengetahuan yang luas mengenai menopause dan memiliki pola berpikir yang matang dan bijak untuk mengatasi berbagai mitos negatif tentang menopause. Kreatifitas menunjukkan bahwa pendidikan mendorong wanita untuk semakin kreatif dalam menggunakan coping untuk mengatasi berbagai masalah menopause. Kemandirian menunjukkan bahwa wanita memiliki inisiatif untuk mencari informasi terkait dengan menopause dan mengembangkan pengetahuannya secara mandiri.

E. Dukungan Sosial Suami

1. Definisi Dukungan Sosial Suami

(57)

dukungan sosial sebagai dukungan yang diterima individu dari orang lain agar dapat berperilaku efektif di lingkungan sosial (Helgeson, 2003). Dukungan sosial yang diberikan kepada individu dapat menumbuhkan perasaan positif bagi individu seperti: perasaan diperhatikan, dicintai, dan berharga (Cohen, 1992; Wills dalam Taylor, Sherman, & Kim, 2004).

Dukungan sosial dapat diperoleh melalui keluarga, sahabat, teman-teman dalam komunitas formal maupun informal, rekan kerja, dan lain sebagainya (Kuntjoro, 2002; Lakey & Cohen, 2000; Lyons & Chamberlain, 2006; Weiss dalam Cutrona & Russel, 1987).

Berdasarkan definisi di atas, suami merupakan salah satu sumber dukungan sosial bagi wanita. Mengacu pada definisi dukungan sosial di atas, maka dukungan sosial suami adalah dukungan dalam bentuk bimbingan, perhatian, dan penghargaan dari suami kepada individu dalam hal ini wanita perimenopause.

2. Aspek-aspek Dukungan Sosial Suami

Weiss (dalam Cutrona & Russel, 1987) mengklasifikasikan aspek dukungan sosial dalam 6 aspek yaitu:

a. Guidance

(58)

b. Reassurance of Worth

Dukungan ini berupa pengakuan atau penghargaan atas kemampuan dan keterampilan individu yang biasanya diberikan oleh rekan kerja. Komponen ini membuat individu merasa berharga, sehingga mampu meningkatkan harga diri dan keyakinan individu. c. Reliable Alliance

Komponen ini menekankan pada keinginan individu untuk mengandalkan bantuan dari orang lain seperti: anggota keluarga. d. Social Integration

Social integration adalah perasaan individu menjadi bagian atau terlibat dalam suatu komunitas tertentu. Dalam komunitas tersebut, individu dapat berbagi karena memiliki minat yang sama. e. Emotional Attachment

Emotional attachment adalah dukungan yang menekankan pada kedekatan emosional dengan pasangan hidup atau teman dekat karena adanya rasa aman dan nyaman.

f. Opportunity for Nurturance

Opportuniy for nutrurance memberi kesempatan pada individu untuk membantu anggota keluarga atau teman dekat. Dengan demikian, individu masih merasa dibutuhkan dan dianggap penting oleh orang lain.

(59)

of worth, reliable alliance, social integration, emotional attachment,

dan opportunity for nurturance. Satu sumber dukungan sosial seperti keluarga dapat memberikan beberapa jenis dukungan seperti: guidance, reliable alliance, emotional attachment, dan opportunity for nurturance. Sementara itu, kerabat atau teman kerja dapat memberikan jenis dukungan sosial berupa guidance, reassurance of Worth, dan

social integration.

Paparan di atas merupakan aspek-aspek dukungan sosial secara umum. Namun, dukungan sosial suami hanya dapat diberikan melalui 5 aspek saja. Hal ini dikarenakan pada aspek social integration jarang didapatkan melalui keluarga atau suami. Dengan demikian, aspek-aspek dukungan sosial suami yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Guidance

Suami memberikan dukungan dalam bentuk bimbingan, nasehat, atau pemberian informasi kepada isteri.

b. Reassurance of Worth

Suami berusaha menghargai kemampuan dan keterampilan isteri untuk meningkatkan keyakinan diri isteri.

c. Reliable Alliance

(60)

d. Eemotional attachment

Suami memberikan kenyamanan dan keamanan bagi isteri agar terciptanya kedekatan emosional antara suami dan isteri. e. Opportunity for nurturance

Suami berusaha memberi kesempatan kepada isteri untuk membantu dirinya, misalnya dengan membantu mencarikan solusi ketika suami menghadapi masalah, memberikan masukan kepada suami dalam pekerjaannya, dan lain sebagainya.

3. Dampak Dukungan Sosial Suami

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dukungan sosial memiliki beberapa dampak diantaranya:

a. Dampak Positif

(61)

b. Dampak Negatif

Dukungan sosial ternyata memiliki dampak negatif antara lain individu merasa tergantung dengan orang lain, sehingga ia tidak mampu berkembang menjadi pribadi yang lebih baik (Rustiana, 2006). Dukungan dari suami memungkinkan membuat wanita merasa tergantung dengan suami, sehingga wanita tidak mampu mengembangkan kemampuannya dengan baik.

Berdasarkan teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial memiliki dampak positif. Misalnya: meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis individu, mengatasi kecemasan, meningkatkan harga diri, dan meningkatkan kemampuan coping

(62)

F. Dinamika Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Wanita dan Dukungan Sosial Suami dengan Sikap Wanita terhadap Menopause Pada Wanita Perimenopause

Tingkat pendidikan merupakan faktor internal dalam diri individu. Semakin tinggi tingkat pendidikan individu, maka ia memiliki pengetahuan yang luas. Begitu juga sebaliknya, pendidikan yang rendah mencerminkan sedikitnya pengetahuan individu. Pendidikan tentu mempengaruhi komponen kognitif individu. Hal tersebut dikarenakan pendidikan dapat membuat individu memiliki pengetahuan terhadap hal-hal baru (Idris & Jamal, 1992).

(63)

pola berpikir yang matang dan bijak termasuk dalam komponen kognitif yang digunakan wanita agar tidak terpengaruh oleh mitos-mitos negatif terkait dengan menopause. Dengan demikian, wanita mampu mengembangkan sikap positif terhadap menopause.

Wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah memiliki pengetahuan yang terbatas tentang menopause. Wanita berpendidikan rendah juga kurang mandiri dalam mencari informasi mengenai menopause, sehingga pengetahuan tentang menopause menjadi terbatas. Hal ini membentuk keyakinan dan perasaan negatif terhadap menopause. Dengan demikian, sikap wanita terhadap menopause menjadi negatif. Wanita berpendidikan rendah juga memiliki alternatif coping yang lebih sedikit untuk mengatasi berbagai masalah pada menopause. Dengan demikian timbullah sikap negatif terhadap menopause. Ketika mitos tentang menopause berkembang di masyarakat, wanita tidak dapat berpikir matang dan bijak, sehingga mudah terpengaruh dengan berbagai mitos tersebut. Dengan demikian, terbentuklah sikap negatif terhadap menopause.

Dukungan sosial merupakan faktor eskternal dari diri individu. Dukungan sosial biasanya diberikan pada individu yang mengalami

(64)

(Ayers et al., 2010; Papalia et al., 2008). Dengan demikian, sejumlah gejala fisik seperti: hot flash, sulit tidur, berkeringat di malam hari, kekeringan pada vagina, serta masalah psikologis, dan lain-lain mulai muncul pada fase ini (Chedraui et al., 2010; McKinlay & Jefferys, 1974; Papalia et al., 2008). Wanita perimenopause juga memiliki masalah psikis seperti: cemas, mudah marah, tegang, suasana hati mudah berubah (Papalia et al., 2008) dan lebih rentan akan depresi karena terkait dengan perubahan hormon (Parry, 2008). Dengan demikian, wanita perimenopause perlu menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis dan psikologis terkait dengan menopause. Para suami pada masa dewasa madya memiliki tugas perkembangan untuk memberikan perhatian dan pendampingan kepada istri terkait dengan perubahan fisiologis dan psikologis karena memasuki fase menopause (Havighurst, 1972). Pendampingan khusus berupa dukungan sosial dari significant other

seperti suamisangat dibutuhkan bagi wanita perimenopause.

(65)

bahwa suaminya selama ini tidak pernah peduli dengannya. Oleh sebab itu, istri akan memiliki berbagai perasaan negatif terkait dengan menopause. Perasaan tersebut muncul berkaitan dengan perubahan fisiologis dan psikologis dari menopause yang akan mempengaruhi aspek kehidupan wanita terutama relasinya dengan suami. Keterkaitan antara dukungan sosial suami dengan sikap wanita terhadap menopause juga dapat dijelaskan dengan teori operant conditioning (Dayakisni & Hudaniah, 2003; Sears et al., 2009). Suami yang selalu mendengarkan keluhan istri, memenuhi kebutuhan istri, selalu ada di saat istri membutuhkan, dan lain-lain, dapat menjadi reinforcement atau penguatan bagi istri bahwa dirinya selalu diperhatikan dan merasa berharga bagi suami.

(66)

tidak memperoleh dukungan sosial dari suami, akan merasa tidak berharga dan tidak dicintai, sehingga terbentuklah konsep diri yang negatif. Hal ini menyebabkan wanita memiliki harga diri rendah dan tidak percaya diri. Wanita menjadi tidak menyadari kemampuan dalam dirinya, tidak yakin diri, memiliki emosi negatif dan regulasi emosinya kurang baik. Ketika

stressful event datang, wanita merasa tidak mampu menghadapi situasi sulit dan lebih fokus pada emosi-emosi negatif. Dengan demikian, wanita tidak berusaha mengembangkan coping yang efektif untuk menghadapi situasi tersebut. Hal tersebut dapat mengembangkan sikap negatif terhadap menopause.

G. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Hipotesis null (H0) adalah tidak ada hubungan yang positif antara tingkat pendidikan wanita dan dukungan sosial suami dengan sikap wanita terhadap menopause pada wanita perimenopause.

(67)

Pendidikan

Alternatiff coping lebih ba-nyak dalam mengatasi ber-bagai masalah menopause

Sikap positif ter-hadap menopause

Alternatif coping lebih sedikit untuk mengatasi berbagai masalah meno-pause

Kurang mandiri men-cari informasi tentang menopause

Pengetahuan menopause terbatas

Sikap negatif ter-hadap menopause Keyakinan dan perasaan positif terhadap meno-pause

Keyakinan dan perasaan negatif terhadap meno-pause

Dapat berpikir matang dan bijak, agar tidak terpengaruh mitos menopause

Tidak dapat berpikir matang dan bijak, sehingga mudah terpengaruh mitos menopause

(68)

Gambar 2. Skema Hubungan antara Dukungan Sosial Suami dengan Sikap Wanita

(69)

ti-50

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kuantitatif dengan rancangan penelitian korelasional. Hal tersebut dikarenakan penelitian ingin menguji hubungan antara tingkat pendidikan wanita dan dukungan sosial suami dengan sikap wanita terhadap menopause pada wanita perimenopause.

B. Identifikasi Variabel

Penelitian ini melibatkan 3 variabel yaitu: 1. Variabel bebas: a. Tingkat pendidikan

b. Dukungan sosial dari suami 2. Variabel tergantung: Sikap wanita terhadap menopause

C. Definisi Operasional 1. Tingkat pendidikan

(70)

mengisi data tingkat pendidikan terakhir subjek pada tempat yang disediakan peneliti dalam skala yang dibagikan.

2. Dukungan Sosial Suami

Dukungan sosial adalah bantuan dalam bentuk bimbingan atau perhatian dari orang lain bagi individu dalam situasi sulit, sehingga individu dapat mengatur emosi dan perilakunya di lingkungan (Kuntjoro, 2002). Dalam penelitian ini, pengukuran dukungan sosial suami dilakukan dengan menggunakan skala dukungan sosial suami yang melibatkan aspek-aspek dukungan sosial yang disusun oleh Weiss.

Keenam aspek tersebut dikenal dengan social provisions untuk mengukur dukungan sosial yang diperoleh individu melalui relasi sosial (Weiss dalam Cutrona & Russel, 1987). Aspek-aspek tersebut yaitu guidance, reassurance of worth, reliable alliance, social integration, emotion attahcment, dan opportunity for nurturance

(71)

Semakin tinggi skor total pada skala dukungan sosial suami menunjukkan bahwa wanita mendapatkan dukungan sosial yang tinggi dari suami. Sebaliknya semakin rendah skor total skala dukungan sosial suami, menunjukkan bahwa dukungan sosial suami yang diterima wanita rendah.

3. Sikap Wanita terhadap Menopause

Sikap terhadap menopause adalah hasil evaluasi berupa pandangan dan perasaan wanita terkait dengan menopause (Hunter dalam Dewi, 2004). Sikap wanita terhadap menopause diukur dengan menggunakan skala sikap terhadap menopause yang diadaptasi dari skala ATM milik Neugarten et al. (Neugarten, 1996). Semakin tinggi skor total pada skala sikap wanita terhadap menopause, menunjukkan bahwa subjek memiliki sikap positif terhadap menopause. Semakin rendah skor total skala sikap wanita terhadap menopause, menunjukkan bahwa subjek memiliki sikap negatif terhadap menopause.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah:

(72)

tersebut, wanita sudah mengalami penurunan jumlah sel telur dari 733.000-755.000 menjadi 8.300. Hal ini tentunya akan mempengaruhi jumlah hormon estrogen pada tubuh wanita dan berdampak pada siklus menstruasi wanita (Purwoastuti, 2008). Penurunan sel telur itu akan terus terjadi seiring bertambahnya usia wanita. Habisnya sel telur menandakan bahwa wanita tidak mengalami menstruasi lagi (Purwoastuti, 2008). Namun, fase perimenopause terjadi pada usia yang berbeda-beda Pemilihan subjek wanita perimenopause dilakukan dengan cara peneliti memberikan pilihan jawaban terkait dengan kondisi siklus menstruasi subjek dan berbagai keluhan fisik dan psikis yang dialami subjek terkait dengan menopause. Subjek diminta untuk memberikan tanda centang pada pilihan jawaban yang disediakan. 2. Wanita tidak pernah menjalani operasi pengangkatan rahim dan

kemoterapi. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa subjek penelitian akan mengalami menopause alami.

(73)

Populasi dalam penelitian adalah seluruh wanita perimenopause di Indonesia. Namun karena keterbatasan peneliti, peneliti menggunakan teknik accidental sampling. Accidental sampling didasarkan pengambilan sampel penelitian secara kebetulan sesuai dengan kriteria subjek penelitian (Sugiyono, 2011). Penelitian dilaksanakan di daerah Yogyakarta dan sekitarnya, dengan alasan kemudahan mengingat peneliti berdomisili di daerah Yogyakarta. Subjek yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 61 orang yang berada pada fase perimenopause.

E. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Skala Dukungan Sosial Suami

Skala dukungan sosial suami terdiri 40 item yang terdiri dari item favorable dan unfavorable, dengan pilihan jawaban menggunakan skala Likert yakni Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Item favorable

(74)

Skala dukungan sosial telah diuji coba untuk mengetahui reliabilitas dari alat ukur tersebut. Berdasarkan hasil uji coba terhadap 40 item, angka reliabilitas skala dukungan sosial adalah 0,907. Namun berdasarkan hasil uji coba, ada beberapa item yang gugur yakni item 4 dan 37. Reliabilitas skala ini sudah tinggi, sehingga peneliti hanya membuang item-item dengan daya diskriminasi negatif, sebab item tersebut merupakan item yang menyesatkan. Setelah item tersebut digugurkan, angka reliabilitasnya meningkat menjadi 0,920.

Validitas yang digunakan dalam skala ini adalah validitas isi. Validitas isi adalah proses pengujian isi alat ukur dilakukan oleh

(75)

Tabel 1.

Blue Print Skala Dukungan Sosial Suami Sebelum Uji Coba Komponen

Reliable Alliance 3, 13, 18, 21, 38

Blue Print Skala Dukungan Sosial Suami Setelah Uji Coba Komponen

Gambar

Gambar 2. Skema Hubungan antara Dukungan Sosial Suami
Gambar 1. Skema Hubungan antara Tingkat Pendidikan Wanita dengan Sikap Wanita terhadap Menopause
Gambar 2. Skema Hubungan antara Dukungan Sosial Suami dengan  Sikap Wanita terhadap Menopause
Tabel 2.  Blue Print Skala Dukungan Sosial Suami Setelah Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

UB105 memiliki keunikan pada bentuk tongkol silindris mengerucut dan warna silking merah muda, UB106 memiliki keunikan pada bentuk ujung daun pertama bulat dan

b.2. Berdasarkan tabel di atas, persentase aktivitas guru dalam proses pembelajaran guling dengan menggunakan media bantu pada siklus II pertemuan ke 2 ini adalah

Strategi pembelajaran Think Pair Share memberikan waktu siswa untuk berpikir dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir

Data morfologi meliputi skor getah kuning pada kulit dan aril buah manggis, sifat fisik buah buah manggis yaitu diameter buah, edible portion, ketebalan kulit

Dalam skripsi ini, pembahasan algoritma yang digunakan pada proses pembentukan kunci digunakan protokol perjanjian kunci Stickel yang perhitungannya didasarkan pada

Memenuhi Dari hasil verifikasi data informasi yang tercantum dalam dokumen packing list sudah sesuai dengan dokumen ekspor lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa

Departemen Biologi Farmasi adalah salah satu unsur pelaksana akademik di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dalam kelompok keilmuan biologi farmasi yang

Dari analisis multivariat, Uji Pillai's Trace pada pengaruh model pembelajaran, menunjukkan signifikansi yang diperoleh sebesar 0,029. Untuk keseluruhan uji tersebut,