• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIMPULAN... 127 SARAN... 129

DAFTAR PUSTAKA………... 131

xiv

1 Pengaruh metode inokulasi F. oxysporum f.sp. cubense

isolat Banyuwangi (Bw), Bojonegoro (Bn) atau Malang (Ml) terhadap persentase tanaman bergejala, rataan skor gejala kelayuan dan intensitas penyakit pada bibit abaka klon Tangongon, pada 30 hari sesudah inokulasi.

32

2 Pengaruh kerapatan konidia F. oxysporum f.sp. cubense

isolat Banyuwangi yang digunakan untuk menginokulasi bibit abaka klon Tangongon (Tg), Sangihe-1 (Sh), atau UB-3 (Ub) terhadap persentase bibit bergejala, rataan skor gejala kelayuan (SGK), dan intensitas penyakit (IP).

32

3 Pengaruh kerapatan konidia F. oxysporum f.sp. cubense

isolat Banyuwangi yang digunakan untuk menginokulasi bibit abaka klon Tangongon (Tg), Sangihe-1 (Sh), atau UB-3 (Ub) abaka klon Tangongon (Tg), Sangihe-1 (Sh), atau UB-3 (Ub) terhadap persentase bibit bergejala, rataan skor gejala nekrosis(SGN) pada bonggol bibit, dan intensitas penyakit (IP), pada 60 hari sesudah inokulasi.

33

4 Respons 10 klon abaka terhadap infeksi Fusarium oxysporum f.sp. Cubense isolat Banyuwangi. Pengamatan dilakukan pada 60 hari sesudah inokulasi.

34

5 Pengaruh perlakuan berbagai konsentrasi larutan mutagen EMS pada eksplan kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 terhadap persentase eksplan bertunas, jumlah tunas per eksplan, dan penurunan jumlah total tunas. Pengamatan dilakukan 5 bulan setelah perlakuan EMS.

46

6 Tipe dan persentase keragaman karakter kualitatif diantara populasi bibit abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen setelah diberi perlakuan berbagai konsentrasi EMS pada 3 bulan setelah aklimatisasi.

47

7 Rataan berbagai karakter kuantitatif pada populasi bibit abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen setelah diberi perlakuan berbagai konsentrasi EMS pada 3 bulan setelah aklimatisasi.

xv

8 Tipe karakter kualitatif varian dan frekuensinya diantara populasi abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS. Pengamatan dilakukan di lapangan hingga 16 bulan.

62

9 Rataan karakter kuantitatif tanaman pada populasi abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS. Pengamatan dilakukan di lapangan hingga 16 bulan.

63

10 Karakter kuantitatif tanaman abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 varian dengan hasil serat per tanaman tertinggi untuk masing- masing perlakuan EMS 0.3%, 0.4%, 0.5% dan 0.6% dan perlakuan standar (EMS 0%).

65

11 Daya hambat filtrat kultur Fusarium oxysporum f.sp.

cubense (Foc isolat Banyuwangi [Bw], Malang [Ml],

Bojonegoro [Bn]) terhadap pertumbuhan tunas abaka klon Tangongon dan Sangihe-1. Pengamatan dilakukan 3 bulan setelah penanaman tunas abaka dalam media selektif.

79

12 Hasil seleksi in vitro kalus embriogen abaka yang telah diberi perlakuan EMS dalam filtrat kultur (FK) Fusarium

oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi dengan

konsentrasi 40% v/v (sub- letal), pada 6 bulan setelah tanam.

80

13 Persentase daun bergejala (DB), rataan skor gejala kerusakan (SGK), intensitas penyakit (IP), dan ketahanan klon varian abaka klon Tangongon (Tg) dan Sangihe-1 (Sh) hasil seleksi in vitro dalam media dengan penambahan filtrat kultur Fusarium oxysporum f. sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi, yang ditentukan berdasarkan hasil uji inokulasi daun dengan Foc isolat Banyuwangi dengan teknik detached leaf dual cultures.

81

14 Persentase kalus bertunas, jumlah tunas per eksplan, total tunas dan persentase penurunan tunas abaka klon Tangongon (Tg) dan Sangihe-1 (Sh) yang dipanen setelah ditanam dalam media selektif dengan penambahan berbagai konsentrasi asam fusarat. Pengamatan dilakukan 5 bulan setelah tanam.

xvi

15 Persentase kematian tunas dan rataan skor kerusakan tunas abaka klon Tangongon yang ditanam dalam media selektif dengan penambahan berbagai konsentrasi asam fusarat (AF), pada 30, 60, dan 90 hari sesudah tanam.

95

16 Penghambatan pertumbuhan kalus embriogen dua klon abaka yang ditanam dalam media proliferasi tunas dengan atau tanpa penambahan asam fusarat (AF). Pengamatan dilakukan 6 bulan setelah tanam.

95

17 Persentase daun bergejala (PDB), rataan skor gejala kerusakan (SGK), intensitas penyakit (IP), dan ketahanan abaka klon Tango ngon (Tg) dari lapang dan klon hasil seleksi in vitro dalam media dengan penambahan asam fusarat. Respons ketahanan ditentukan berdasarkan hasil uji inokulasi daun dengan F. oxysporum f. sp. cubense

isolat Banyuwangi.

97

18 Respons bibit abaka yang diregenerasikan dari kalus embriogen (Populasi KJ), dari kalus embriogen dengan perlakuan EMS (Populasi EMS), dari EMS diikuti seleksi in vitro dalam filtrat kultur F. oxysporum f.sp. cubense

(Populasi EMS+FK) atau dalam asam fusarat (Populasi EMS+AF) terhadap infeksi F. oxysporum f.sp. cubense

isolat Banyuwangi. Pengamatan dilakukan 60 hari sesudah inokulasi.

108

19 Hubungan antara panjang akar dan tinggi bibit abaka awal dengan skor kerusakan bibit dan hari bibit mati setelah perlakuan inokulasi bibit abaka klon Tangongon dengan F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi di rumah kaca.

109

20 Hubungan antara panjang akar dan tinggi bibit abaka awal dengan skor kerusakan bibit (SKB) yang diamati 60 hari sesudah inokulasi dan hari bibit mati setelah perlakuan inokulasi bibit abaka klon Sangihe-1 dengan F. oxysporum

f.sp. cubense isolat Banyuwangi di rumah kaca.

111

21 Keragaman respons terhadap infeksi F. oxysporum f.sp.

cubense diantara bibit abaka klon Tangongon dan Sangihe- 1 yang diregenerasikan dari satu kalus embriogen. Pengamatan skor kerusakan bibit (SKB) dilakukan 60 hari sesudah inokulasi Foc Bw pada bibit yang diuji.

xvii

1 Diagram alir strategi penelitian dan keterkaitan antar percobaan.

13

2 (a) Biakan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) dalam media PDB; (b) Bibit abaka umur 2 bulan yang digunakan dalam penelitian dan siap diinokulasi dengan Foc; (c) Fenotipe bibit dengan gejala layu skor 0, (d) skor 1, (e) skor 2, (f) skor 3, dan (g) skor 4, sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh Epp (1986); (h) Fotomikrograf penampang melintang akar abaka pada 30 hari sesudah inokulasi dengan Foc (perbesaran 200x) menunjukan adanya kerusakan jaringan penyusun akar yang ditunjukkan oleh warna coklat kehitaman pada jaringan epidermis dan korteks; (i) penampang melintang akar abaka sehat, yang tidak diinokulasi dengan Foc.

38

3 Eksplan kalus embriogen dan perkembangan embrio somatik abaka dengan atau tanpa perlakuan EMS. (a) Close up eksplan kalus embriogen dengan ukuran 3x3x3 mm3, (b) Embrio somatik abaka klon Tangongon (pembesaran 20x) berbentuk jantung (heart shape), (c) Embrio somatik abaka klon Sangihe-1 berbentuk globular (globular shape) pada fase polarisasi (pembesaran 10x), (d) proliferasi kalus embriogen tanpa perlakuan EMS menjadi tunas, (e) penghambatan proliferasi kalus embriogen yang diberi perlakuan EMS 0.3% dan (f) yang diberi perlakuan EMS 0.5% - setelah 3 bulan dalam media proliferasi tunas.

52

4 Populasi bibit abaka varian, diregenerasikan dari kalus embriogen yang telah diberi perlakuan larutan mutagen EMS. (a) Representatif bibit abaka yang dievaluasi keragaman somaklonalnya, (b) Bibit varian dengan fenotipe kate (kerdil) dibandingkan dengan bibit normal hasil kultur jaringan (tanpa perlakuan EMS), (c) Bibit varian dengan fenotipe daun variegata (dv), (d) Bibit varian dengan fenotipe batang semu yang ramping (br), dan (e) bibit varian dengan pelepah berwarna ungu- kehitaman (ph). Pengamatan dilakukan pada saat bibit berumur 2 bulan sesudah aklimatisasi.

xviii

5 Jumlah klon bibit varian, diregenerasikan dari kalus embriogen abaka klon Tangongon yang telah diberi perlakuan EMS, berdasarkan nilai panjang, lebar, rasio panjang/lebar daun (rasio P/L), dan tinggi bibit abaka yang ditumbuhkan di rumah kaca. Tanda panah menunjukkan bibit varian untuk masing- masing fenotipe.

53

6 Jumlah klon bibit varian, diregenerasikan dari kalus embriogen abaka klon Sangihe-1 yang telah diberi perlakuan EMS, berdasarkan nilai panjang, lebar, rasio panjang/lebar daun (rasio P/L), dan tinggi bibit abaka yang ditumbuhkan di rumah kaca.

54

7 (a) Populasi tanaman abaka yang ditumbuhkan di lapangan, (b) daun variegata pada tanaman induk dan anakannya, (c) Tanaman abaka varian dengan fenotipe kate (kerdil), (d) daun berkerut dan tepi daun menggulung, (e) daun berkerut, (f) duduk daun berhadapan, seperti kipas, (g) Perbedaan warna serat antara klon Sangihe-1 dan Tangongon, (h) sel getah (gt) yang diamati diantara sel-sel dari jaringan kalus embriogen abaka klon Sangihe-1

68

8 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah panjang serat, bobot serat dan bobot pelepah per tanaman serta tinggi batang semu tanaman di lapangan diantara populasi tanaman abaka klon Tangongon varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%).

69

9 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah bobot dan kekuatan serat, jumlah pelepah per tanaman serta tinggi batang semu tanaman di lapangan diantara populasi tanaman abaka klon Sangihe-1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%).

xix

10 Representasi tunas abaka dengan skoring gejala kerusakan tunas 0 hingga 4 (berdasarkan kriteria yang dikembangkan oleh Epp 1987) setelah ditanam dalam media selektif dengan penambahan filtrat kultur kultur

Fusarium oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi. (FK 0%) atau dalam media selektif dengan FK Foc 10%, 20%, 30%,40%, 50%, atau 60%.

84

11 Daya hambat filtrat kultur (FK) Fusarium oxysporum

f.sp. cubense (Foc) isolat Banyuwangi terhadap pertumbuhan dan proliferasi tunas abaka klon Tangongon. Perkembangan tunas dalam media tanpa FK

84

12 Seleksi in vitro kalus embriogen abaka dalam media yang mengandung FK Foc isolat Banyuwangi. Kalus embriogen abaka klon Tangongon (a) mengalami proliferasi tunas dalam media tanpa FK, (b) sebagian besar membusuk dan dorman, atau membusuk dan memproliferasikan (c) tunas, (d) tunas roset, serta (e) kalus embriogen yang insensitif FK dalam media selektif dengan penambahan 40% FK Foc isolat Bw.

85

13 Representasi tunas abaka dengan skoring gejala kerusakan tunas 0 hingga 4 (berdasarkan kriteria yang dikembangkan oleh Epp 1987) setelah ditanam dalam media selektif dengan penambahan AF.

99

14 Daya hambat berbagai konsentrasi asam fusarat (AF) terhadap pertumbuhan dan proliferasi kalus embriogen abaka klon Tangongon (atas) dan Sangihe-1 (bawah). Foto diambil saat 5 bulan setelah penanaman ke dalam media selektif dengan penambahan AF

100

15 Daya hambat berbagai konsentrasi asam fusarat (AF) terhadap pertumbuhan dan proliferasi tunas klon Tangongon, pada saat 3 bulan setelah penanaman ke dalam media selektif dengan penambahan AF.

100

16 Perkembangan eksplan kalus embriogen abaka setelah periode seleksi in vitro dalam media yang mengandung asam fusarat (AF). Kalus embriogen abaka (a) mengalami proliferasi tunas dalam media tanpa AF, (b) membusuk, (c) membusuk dan memproliferasikan kalus embriogen yang insensitif AF, dan (d) memproliferasi- kan tunas ruset yang insensitif AF, dalam media selektif dengan penambahan AF 50 mg/l.

xx

(b) skor 1, (c) skor 2, (d) skor 3, dan (e) skor 4, sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh Epp (1987). (f) Representatif populasi bibit abaka yang dievaluasi responsnya terhadap infeksi F. oxysporum f.sp. cubense

isolat Banyuwangi di rumah kaca. (g) bibit abaka yang mati dan yang tetap bertahan hidup setelah diinokulasi dengan Foc. (h) variasi respons bibit abaka yang diregenerasikan dari satu kalus embriogen hasil seleksi in vitro terhadap infeksi Foc: fenotipe tidak mengalami kerusakan, sebagian mengering, hingga bibit mati.

18 Sebaran respons berdasarkan skor kerusakan bibit pada pengamatan 60 hari setelah diinokulasi dengan F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi. Bibit abaka Populasi KJ (kultur jaringan) diregenerasikan dari kalus embriogen, Populasi EMS – kalus embriogen dengan perlakuan EMS, Populasi EMS+FK – kalus embriogen dengan perlakuan EMS dan diikuti dengan seleksi in vitro dalam filtrat kultur Foc dan Populasi EMS+AF – kalus embriogen dengan perlakuan EMS dan diikuti dengan seleksi in vitro dalam asam fusarat.

117

19 Pengaruh tinggi bibit awal (TBA) dan panjang akar awal (PAA) terhadap skor kerusakan bibit (SKB) pada pengamatan 30 dan 60 hari sesudah inokulasi (hsi) bibit abaka dengan F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi. Total bibit yang dievaluasi sebanyak 99 bibit yang terdiri atas gabungan populasi kultur jaringan, EMS, EMS+FK, dan EMS+AF dari abaka klon Tangongon dan Sangihe-1.

xxi

Nomor J u d u l Halaman

1 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah panjang daun, lebar daun dan rasio panjang/lebar daun tanaman di lapangan diantara populasi abaka klon Tangongon varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%), pada 16 bulan setelah tanam.

140

2 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah diameter batang, bobot batang dan jumlah anakan tanaman di lapangan diantara populasi abaka klon Tangongon varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%), pada 16 bulan setela h tanam.

141

3 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah jumlah pelepah, kekuatan serat, rendemen serat dari batang, dan dari pelepah tanaman di lapangan diantara populasi abaka klon Tangongon varian yang diregenerasikan dari kalus embrio gen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%), pada 16 bulan setelah tanam.

142

4 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah panjang daun, lebar daun, dan rasio panjang/lebar daun tanaman di lapangan diantara populasi abaka klon Sangihe -1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%), pada 16 bulan setelah tanam

143

5 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah diameter dan bobot batang, serta jumlah anakan tanaman di lapangan diantara populasi abaka klon Sangihe -1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%), pada 16 bulan setelah tanam

144

6 Sebaran nilai dan jumlah klon berdasarkan peubah bobot pelepah, panjang serat, rendemen serat dari batang dan dari pelepah tanaman di lapangan diantara populasi abaka klon Sangihe -1 varian yang diregenerasikan dari kalus embriogen dengan perlakuan berbagai konsentrasi EMS (0%, 0.3%, 0.4%, 0.5%, dan 0.6%), pada 16 bulan setelah tanam.

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Abaka (Musa textilis Nee) merupakan tanaman sejenis pisang penghasil serat. Abaka memiliki daun dan batang yang lebih ramping, dan ujung daunnya lebih runcing dibandingkan pisang. Pangkal daun membulat dan salah satu sisi lamina lebih pendek dibandingkan sisi lainnya (Berger 1969; Tabora dan Carlos 1978).Tepi lamina daun berwarna hitam sehingga mudah dibedakan dengan daun pisang. Tinggi tanaman berkisar antara 3-7.5 meter, buahnya berisi biji kecil- kecil, buah berwarna hijau saat masak tetapi kemudian berubah menjadi kuning pucat dan akhirnya hitam (Dempsey 1963; Tabora dan Carlos 1978).

Serat abaka dihasilkan dari pelepah daun yang membentuk batang semu, serat tersebut memiliki nilai ekonomis, karena dapat digunakan sebagai bahan pembuatan tali-temali dan bahan baku kertas berkualitas tinggi (Hilman dan Toruan-Mathius 2001). Pulp abaka sangat baik digunakan untuk bahan baku kertas tipis seperti kertas saring, kertas dasar stensil, kertas sigaret, kantong teh celup, kertas pembungkus, kertas dinding, kertas dokumen dan kertas uang. Selain itu serat abaka juga digunakan sebagai bahan tekstil, kain jok, pembungkus kabel, popok bayi (pampers) dan bahan peredam suara pada pesawat terbang (Triyanto et al. 1982; Wardiyati 1999).

Kebutuhan serat abaka di pasar dunia untuk berbagai industri cukup tinggi, terutama untuk memenuhi permintaan negara-negara maju seperti: Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Italia. Potensi pasar internasional tercatat sebesar 600 000 ton serat abaka per tahun. Philippina sebagai negara terbesar penghasil serat, baru dapat menghasilkan sekitar 80 000 ton atau 13% dan diikuti oleh Equador sekitar 10 000 ton atau 2% dari kebutuhan serat dunia (BI 2003; Aragon 2000). Keadaan ini memberikan peluang untuk mengembangkan abaka di Indonesia, dan secara agronomis penanaman abaka di Indonesia sangat sesuai karena abaka adalah tanaman yang berasal dari daerah tropis. Namun menurut Heliyanto et al. (1995) tersedianya varietas unggul, paket budidaya yang tepat

guna, dan teknik pasca panen yang efisien diperlukan untuk mendukung pengembangan industri abaka.

Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan abaka di daerah tropis adalah adanya serangan penyakit layu yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. cubense. Penyakit layu Fusarium, yang juga dikenal sebagai

Panama disease, merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan pada tanaman pisang, termasuk abaka yang ditanam di daerah tropika. Penyakit yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht.f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyd & Hans ini telah menginfeksi pertanaman pisang di Asia, Afrika, Australia, dan daerah tropika di Amerika sejak 50 tahun yang lalu (Hwang & Ko 2004). Di Leyte-Filipina F. oxysporum f.sp. cubense (Foc) dilaporkan telah menimbulkan kerusakan antara 5-65% dari pertanaman abaka di lapangan (Bastasa & Baliad 2005). Di Indonesia, Foc diketahui telah menyerang tanaman pisang hingga seluas 3 300 ha di 3 provinsi di Sumatera (Nasir & Jumjunidang 2003). Hal tersebut menjadi kendala pengembangan abaka, tanaman serat untuk pembuatan kertas berkualitas tinggi, bahan industri, dan kerajinan tangan (Hilario 2006) di Indonesia, mengingat genotipe abaka yang resisten terhadap cendawan

Foc belum tersedia.

Pengendalian Foc di lapangan diketahui sulit dilakukan karena cendawan ini mampu bertahan dalam waktu yang lama diantara sisa-sisa tanaman yang terinfeksi dalam bentuk miselia atau di tanah dalam bentuk klamidospora (Agrios 1997). Dengan demikian, pengendalian penyakit layu Fusarium sebaiknya dilakukan secara terpadu dengan penggunaan bibit sehat dari genotipe abaka yang resisten, penggunaan mikroba antagonis, penanaman gulma berguna dan penggunaan pestisida nabati (Djatnika et al. 2003; Di Pietro et al. 2003). Meskipun telah diuji, efektivitas mikroba antagonis untuk pengendalian Foc

masih terbatas, efektivitasnya di lapang masih belum diketahui, dan belum ada mikroba antagonis yang dapat diandalkan untuk secara tuntas mengendalikan Foc

(Bastasa & Baliad 2005). Sejauh ini, penggunaan kultivar abaka yang resisten merupakan metode alternatif pengendalian Foc yang efektif (Ploetz 2000).

Berbagai teknik dapat digunakan untuk memperoleh kultivar yang resisten terhadap penyakit yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. cubense

antara lain dengan hibridisasi, seleksi, mutasi dan lain- lain. Penggunaan teknik seleksi in vitro merupakan salah satu cara yang efisien untuk memperoleh kultivar abaka resisten terhadap penyakit layu Fusarium tersebut. Namun sebelum dilakukan seleksi in vitro, keragaman genetika abaka perlu ditingkatkan lebih dulu karena abaka termasuk dalam genus Musa spp. yang diperbanyak secara vegetatif sehingga mempunyai keragaman genetika rendah sebagai akibat tidak terjadinya hibridisasi seksual (Roux 2004). Tanaman dengan karakteristik seperti Musa spp. dapat ditingkatkan keragaman genetikanya melalui induksi variasi somaklonal, sebagaimana yang telah dilakukan pada tanaman apel, nanas, kentang, ubi jalar, ubi kayu, bunga mawar, tulip, krisan, dan anyelir (Ahloowalia & Maluszynski 2001). Induksi varian somaklonal dapat menghasilkan karakter varian defisiensi klorofil, peningkatan atau penurunan kuantitas dan kualitas hasil, serta ketahanan penyakit sebagai akibat perubahan gen tunggal atau perubahan (penggandaan dan

rearrangement) di tingkat kromosom (Ahloowalia 1986).

Pendekatan induksi mutan/varian dengan menggunakan kombinasi perlakuan mutagenesis dan perbanyakan tanaman secara in vitro merupakan metode yang dapat diterapkan untuk tanaman yang keragaman genetiknya rendah dan diperbanyakan secara vegetatif (klonal) seperti abaka. Perlakuan mutagenesis secara fisik (dengan menggunakan sinar UV, sinar X dan sinar γ) atau secara kimiawi (menggunakan senyawa mutagen colchicine, dietil sulfat [DES], etilenimin [EI], nitroso etil- [NEU] atau nitroso metil urea [NMU|, serta etil metansulfonat [EMS]) telah digunakan untuk meningkatkan frekuensi terjadinya mutasi. Senyawa EMS paling banyak digunakan sebagai mutagen kimia karena mudah dibeli dan tidak bersifat mutagenik setelah dihidrolisis, serta terbukti merupakan mutagen yang efektif untuk berbagai jenis tanaman (van Harten 1998). Senyawa EMS telah berhasil digunakan untuk menginduksi mutan pada tanaman tembakau (Gichner et al. 2001), kubis-kubisan (Sakamoto et al. 2002, Spasibionek 2006), pisang (Roux 2004), dan kenaf (Arumingtyas & Indriyani 2005).

Untuk mengidentifikasi mutan/varian yang resisten terhadap infeksi Foc, kultur in vitro yang telah diberi perlakuan mutagenesis diseleksi secara in vitro

Foc. Salah satu syarat penggunaan seleksi in vitro untuk menapis varian somaklonal dengan sifat unggul tertentu adalah tersedianya metode kultur jaringan yang dapat menghasilkan banyak plantlet dan mampu menginduksi variasi somaklonal diantara populasi plantlet yang diregenerasikan. Metode baku regenerasi plantlet klonal abaka dalam jumlah besar secara in vitro telah tersedia (Mariska & Suk madjaja 2003) tetapi kemampuannya untuk menginduksi variasi somaklonal secara kuantitatif belum dievaluasi.

Dengan tersedianya metode untuk regenerasi plantlet, agens penyeleksi yang sesuai dan metode yang efektif, kegiatan seleksi in vitro dapat dilakukan untuk menghasilkan kultivar yang memiliki keunggulan sifat kuantitatif atau kualitatif tertentu dan resisten terhadap penyakit layu Fusarium.

PENDEKATAN MASALAH

Perbaikan klon abaka yang resisten terhadap penyakit layu yang disebabkan oleh Foc dan berdaya hasil tinggi dapat dilakukan dengan melakukan induksi keragaman genetik yang dilanjutkan dengan seleksi in vitro dengan menggunakan agens penyeleksi tertentu. Evaluasi dan identifikasi terhadap hasil seleksi in vitro tersebut berupa karakter resisten terhadap penyakit layu Fusarium perlu dilakukan untuk pengambilan keputusan selanjutnya.

Hal penting dalam pemuliaan abaka adalah tersedianya keragaman genetika yang luas, sehingga kegiatan penapisan untuk memperoleh genotipe yang diinginkan seperti resisten terhadap Foc dapat dilakukan dengan mudah. Namun abaka termasuk dalam genus Musa spp. yang diperbanyak secara vegetatif sehingga mempunyai keragaman genetika rendah sebagai akibat tidak terjadinya hibridisasi seksual (Roux 2004). Oleh karena itu, sebelum dilakukan penapisan maupun perakitan klon abaka untuk memperoleh klon unggul yang tahan terhadap infeksi Foc, perlu dilakukan kegiatan peningkatan keragaman genetika.

Peningkatan keragaman genetika yang dilakukan dalam penelitian ini adalah induksi keragaman somaklonal karena tanaman dengan karakteristik seperti Musa

spp. dapat ditingkatkan keragaman genetikanya melalui induksi variasi somaklonal, sebagaimana yang telah dilakukan pada tanaman apel, nanas, kentang, ubi jalar, ubi kayu, bunga mawar, tulip, krisan, dan anyelir (Ahloowalia

& Maluszynski 2001). Untuk memperoleh hasil yang maksimal, induksi keragaman somaklonal pada kalus embriogen abaka klon Tangongon dan Sangihe-1 diberi perlakuan mutagen kimia EMS sebelum dikulturkan secara in

vitro. Pendekatan induksi mutan/varian dengan menggunakan kombinasi

perlakuan mutagenesis dan perbanyakan tanaman secara in vitro merupakan metode yang dapat diterapkan untuk tanaman yang keragaman genetikanya rendah dan diperbanyak secara vegetatif (klonal) seperti abaka. Induksi varian somaklonal dengan EMS mampu menghasilkan berbagai karakter varian sebagai akibat perubahan gen tunggal atau perubahan (penggandaan dan rearrangement) di tingkat kromosom (Ahloowalia 1986). Untuk mengidentifikasi mutan/varian yang resisten terhadap infeksi Foc, kultur in vitro yang telah diberi perlakuan mutagenesis diseleksi secara in vitro dalam media selektif dengan penambahan filtrat kultur Foc atau asam fusarat (AF).

Penggunaan filtrat kultur Foc dan asam fusarat untuk seleksi in vitro

berdasarkan laporan bahwa Fusarium oxysporum f.sp. cubense merupakan patoge n yang menyerang abaka dan dalam proses infeksi mensekresikan non-host-

specific toxin yang dapat membantu proses infeksi. Dalam penelitian ini

digunakan dua macam agens penyeleksi tersebut untuk membandingkan mana yang lebih efisien dan efektif. Kalus embriogen abaka klon Tangongon dan

Dokumen terkait