• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saran ...

56

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komposisi kimia rumput laut K. alvarezii. ...

6

2 Klasifikasi kriteria lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii ...

8

3 Parameter, alat dan satuan pengukuran ...

21

4 Rata-rata parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah

barat dan utara pulau Pari ...

28

5 Perbandingan kualitas perairan di pulau Pari tahun 1997 dan 2002 ...

38

6 Pertumbuhan mutlak, relatif dan sesaat rump ut laut di sebelah barat

dan utara pulau Pari ...

46

7 Bobot dan penyusutan K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Alur pikir pendekatan masalah ...

4

2

Peta lokasi penelitian pulau Pari Kepulauan Seribu ...

18

3

Disain rakit dan pemasangan bibit rumput laut ...

20

4

Bagan alir analisis karaginan ...

23

5

Rata-rata kecepatan arus di lokasi budidaya sebelah barat dan utara

Pulau Pari ...

29

6

Rata-rata kecerahan di lokasi budidaya sebelah barat dan utara

pulau Pari ...

30

7

Rata-rata suhu perairan di lokasi sebelah barat dan utara pulau

Pari ...

31

8

Rata-rata pH di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ....

32

9

Rata-rata kandungan oksigen terlarut di lokasi budidaya sebelah

barat dan utara.pulau Pari ...

33

10

Rata-rata nitrat, nitrit dan amonia di lokasi budidaya sebelah

barat dan utara pulau Pari ...

35

11

Rata-rata kandungan total pospat dan ortho pospat di lokasi

budidaya sebelah barat dan utara pulau pari ...

36

12

Luka bekas gigitan ikan pada tanaman uji ...

37

13

Kotoran dan algae penempel pada tanaman uji yang menghalangi

Penyerapan ...

37

14

Sampah dan tumbuhan pengganggu di lokasi budidaya sebelah

barat dan utara pulau Pari ...

38

15

Pertumbuhan rumput laut minggu 1-4 dan minggu ke5-8 dilokasi

budidaya barat pulau Pari ...

40

17

Laju pengeroposan rumput laut tahap pertama (a) dan kedua (b)

di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari ...

41

18

Permukaan thallus rumput laut yang kasar ...

43

19

Rumput laut yang terkena penyakit di lokasi budidaya sebelah

barat dan utara pulau Pari ...

43

20

Beberapa cara terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice ...

44

21

Pertumbuhan rumput laut normal di lokasi budidaya Halmahera

(Kusdi 2005) ...

45

22

Rata-rata kandungan karaginan di lokasi budidaya sebelah barat

23

Rata-rata kadar air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara

pulau Pari ...

51

24

Rata-rata kadar abu di lokasi budidaya sebelah barat dan

utara pulau Pari ...

52

25

Hubungan kand ungan karaginan dengan waktu pengamatan

di lokasi Budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ...

54

26

Hubungan kandungan karaginan dengan waktu pengamatan

di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari ...

55

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi budidaya

sebelah barat pulau Pari ...

64

2

Hasil Pengukuran Kualitas Air di Lokasi Budidaya Sebelah Utara

Pulau Pari ...

65

3

Hasil uji t terhadap parameter kualitas air di lokasi budidaya

sebelah barat dan utara pulau Pari periode April sampai Mei 2005 ....

66

4

Hasil pengukuran bobot basah K. alvarezii di lokasi budidaya

sebelah barat ...

67

5

Hasil pengukuran bobot Basah K. alvarezii di lokasi budidaya

sebelah utarab ...

68

6

Hasil uji t terhadap pertumbuhan, kandungan karaginan, kadar abu

dan kadar air di lokasi sebelah barat dan utara pulau Pari periode

April sampai Mei 2005 ...

69

7

Laju pertumbuhan harian K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah

barat (a) dan utara (b) pulau Pari ...

70

8

Kandungan karaginan, kadar air dan kadar abu di lokasi

sebelah barat (a) dan utara (b) pulau Pari ...

71

9

Hasil analisis komponen utama di lokasi budidaya sebelah barat

Pulau Pari ...

72

10

Hasil analisis komponen utama di lokasi budidaya sebelah utara

pulau Pari ...

73

11

Analysis of Variance hubungan pertumbuhan dan unsur hara

di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ...

74

12

Analysis of Variance hubungan karaginan dan Unsur hara

Latar Belakang

Rumput laut atau algae merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang diandalkan untuk pemasukkan devisa negara. Komoditas ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi sebagai bahan makanan dan keperluan industri. Produksi rumput laut untuk kebutuhan ekspor umumnya berasal dari algae merah (Rhodophyceae).

Salah satu jenis rumput laut yang mempunyai potensi untuk dibudidayakan di Indonesia adalah Kappaphycus alvarezii yang dulu dikenal sebagai Eucheuma

cottonii. Masyarakat pulau pari mengenal dan menyebut jenis rumput laut ini

dengan nama Eucheuma. Jenis ini menjadi komoditas ekspor karena permintaan pasar sekitar 8 kali lebih banyak dari jenis lainnya (Sulistijo 2002). Bahkan menurut Doty (1973) kebutuhan rumput laut jenis K. alvarezii adalah 10 kali lipat dari persediaan alami di dunia. K. alvarezii adalah jenis rumput laut yang diperlukan untuk usaha industri karena kandungan kappa karaginannya sangat diperlukan sebagai bahan stabilisator, bahan pengental, pembentuk jel, dan pengemulsi (Winarno 1996).

Komoditas rumput laut K. alvarezii mempunyai prospek yang cerah dalam perdagangan untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan permintaan pasar dunia terhadap jenis ini memacu perkembangan budidaya. Negara Filipina merupakan negara pertama yang dapat meningkatkan produksi

K. alvarezii melalui budidaya. Perkembangan budidaya di Indonesia mulai

tampak dapat memenuhi permintaan pasar sejak tahun 1980 setelah keberhasilan budidaya di perairan Selatan Bali (Nusa Penida) dan terus meluas hampir keseluruh perairan Indonesia termasuk pulau Pari.

Rumput laut K. alvarezii dewasa ini sedang giat dikembangkan oleh pemerintah melalui usaha budidaya karena selain dapat meningkatkan pendapatan nelayan juga menjadi sumber devisa negara. Rumput laut yang dibudidayakan bertujuan untuk meningkatkan hasil dalam jumlah yang cukup besar dan kontinyu dengan kualitas yang baik terutama untuk kebutuhan ekspor. Namun usaha budidaya tersebut jika tidak ada pengelolaan yang baik dan tidak memperhatikan

kelestarian serta daya dukung lingkungan, maka dapat menurunkan kuantitas dan kualitas hasil yang diperoleh.

Rumput laut yang dibudidayakan pada tahun 2000 mulai memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan hasil panen baik kuantitas maupun kualitas dan menjadi permasalahan sampai sekarang. Masalah serius yang menimbulkan kerugian cukup besar dalam budidaya rumput laut di pulau Pari adalah penyakit ice ice (bercak putih). Penyakit ice ice merupakan penyakit yang timbul pada musim laut tenang dan arus lemah dan berlangsung selama 1-2 bulan, setelah itu areal dapat ditanami kembali bila kondisi lingkungan sudah normal (Sulistijo 2002). Namun apabila lahan ditanami terus tanpa memperhatikan kondisi lingkungan, maka akan terjadi kerugian yang berkelanjutan. Hal seperti ini terlihat di pulau Pari yakni para pembudidaya terus menerus menggantikan tanaman yang rusak tanpa memperhatikan kerugian dan kondisi kualitas lingkungan budidaya.

Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pertumbuhan dan kandungan karaginan pada saat rumput laut terkena penyakit ice ice.

Perumusan Masalah

Musim barat tahun 2005 usaha budidaya rumput laut K. alvarezii di pulau Pari menghadapi masalah penurunan produksi dan kualitas yang tidak dapat diterima oleh pasar.

Permasalahan tersebut terjadi karena kekeroposan thallus rumput laut. Proses kekeroposan thallus yang merupakan ciri dari penyakit ice ice sangat cepat, sehingga sebagian besar produk tidak dapat dipanen.

Sumber penyebab timbulnya penyakit ice ice yaitu penurunan kualitas lingkungan perairan. Munurunnya kualitas lingkungan perairan di pulau Pari menyebabkan penurunan produksi, namun diperkirakan beberapa lokasi masih mampu menunjang perkembangan budidaya rumput laut tersebut.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian usaha budidaya rumput laut di lokasi budidaya sebelah barat yang merupakan perairan terbuka (luar gobah) dan utara yang merupakan perairan

tertutup (gobah), apakah masih mampu menghasilkan produksi yang diharapkan. Alur pikir pendekatan masalah disajikan pada gambar 1.

Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pertumbuhan dan kandungan karaginan dari rumput laut K. alvarezii pada kondisi terkena penyakit ice ice di lokasi budidaya sebelah barat yang merupakan perairan terbuka (luar gobah) dan utara yang merupakan perairan tertutup (gobah) pulau Pari.

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi dasar dalam upaya penanggulangan penyakit ice ice untuk pengembangan budidaya rumput laut K. alvarezii di masa yang akan datang.

Hipotesis

Produksi dan kualitas hasil budidaya rumput laut K. Alvarezii yang dibudidayakan akan lebih baik di lokasi budidaya sebelah barat (luar gobah) daripada di sebelah utara (gobah) pulau Pari walaupun terkena penyakit ice ice.

Gambar 1 Alur pikir pendekatan masalah.

Intensitas

Suhu

Rumput Laut

Oksigen

Arus

Bakteri

Ice ice

Produksi

Primer

Unsur

Hara

Laju

Pertumbuhan

Rumput Laut

Intensitas

Serangan

Tingkat

perkembangan

bakteri

Biomassa

Keropos

Z < G

Produksi

Rumput

Laut

Rumput Laut K. alvarezii

Jenis dan habitat

Rumput laut K. alvarezii bila diklasifikasikan berdasarkan pigmentasi termasuk jenis alga merah (Rhodophyceae). Ganggang merah yang hidup di laut dan tergolong dalam Thallophyta ini tidak memperlihatkan perbedaan akar, batang dan daun seperti tanaman tingkat tinggi. Keseluruhan tanaman merupakan batang yang dikenal sebagai thallus. Berdasarkan pada bentuk dan anatomi serta karakter biokimia, dimana derivat kappa carageenan yang lebih dominan dari pada iota dan beta carageenan yang ditemukan oleh seorang ahli dari Filipina bernama alvarez, maka nama ilmiah dari E. cottonii berubah menjadi K. alvareezii (Atmadja et al. 1996 & Silva et al. 1996). Kappaphycus merupakan jenis rumput laut yang banyak dicari untuk kepentingan industri makanan, obat - obatan dan kosmetika di dunia karena mengandung zat karaginan yang merupakan bahan campuran (additives). Kadar karaginan dalam setiap species Kappaphycus berkisar anatara 54%-73% sedangkan di Indonesia berkisar antara 61,5%-67,5%.

Sistimatika klasifikasi botani menurut Dawes (1981), Bold dan Wynne (1985), Lewis et al. (1987) & Kadi dan Atmadja (1988) adalah sebagai berikut :

Devisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Family : Solieriaceae Genus : Kappaphycus

Species : Kappaphycus alvarezii

Ciri umum dari genus Kappaphycus : thallus atau kerangka tubuh bulat silindris, berduri tidak teratur dan melingkari thalus, duri-duri pada thallus runcing memanjang dan agak jarang, permukaan thallus licin, warna hijau kekuningan, abu-abu dan merah. Tinggi tanaman dapat mencapai 40 cm, cabang tidak beraturan tumbuh di bagian yang muda maupun yang tua dan diameter thallus kearah ujung sedikit lebih kecil dibandingkan dengan pangkalnya (Doty, 1973).

Kappaphycus tumbuh pada daerah yang selalu terendam air (subtidal) atau pada daerah surut (intertidal). Jenis ini sangat baik tumbuh pada daerah terumbu karang (coral reef), sebab pada daerah inilah terdapat beberapa syarat untuk pertumbuhan yaitu kedalaman perairan, cahaya, subsrat dan pergerakan air. Selanjutnya Lobban dan Harison (1994) mengatakan bahwa alga tersebut tumbuh dengan baik pada perairan terbuka dengan tingkat pergerakan arus yang tinggi. Di alam bebas Kappaphycus tumbuh dan berkembang dengan baik pada salinitas yang tinggi.

Komposisi kimia

Komposisi kimia rumput laut sebagian besar terdiri dari karbohidrat, juga mengandung protein, lemak dan mineral (Hansen et al. 1981). Karbohidrat merupakan komponen terbesar, terutama sebagai dinding sel dan sebagai jaringan intraseluler. Menurut Kuntoro (1985) dalam Suryaningrum (1988) rumput laut mengandung air 12,95-27,50%, protein 1,60-10,00%, karbohidrat 32,25-63,2%, lemak 4,50-11,00%, serat kasar 3,00-11,40% dan abu 11,50-23%. Komposisi kimia menurut Soegiarto dan Sulistijo (1985) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia rumput laut K. alvareezii.

Komponen Kandungan (% berat kering)

Kadar air (%) Protein (%) Karbohidrat (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Abu (%) Mineral Ca (ppm) Mineral Fe (ppm) Mineral Pb (ppm) Thiamin (mg/100g) Riboflavin (mg/100g) Vitamin C (mg/100g) Karaginan (%) 13,90 2,67 0,27 5,70 0,90 17,09 29,92 0,12 0,04 0,14 2,70 12,00 61,52

Team Rumput Laut BPPT dan Pusat Pengembangan Teknologi Pangan IPB (Soegiarto dan Sulistijo, 1985).

Kandungan kimiawi rumput laut umumnya yang tertinggi adalah karbohidrat sekitar 60-80%, mineral 10-14%, sedangkan lemak dan proteinnya

rendah hanya 1-2% saja. Selanjutnya dilaporkan juga kandungan vitamin seperti vitamin A, B1, B2, B6, B12 dan C serta mengandung mineral seperti kalium, kalsium, pospat, natrium, zat besi dan iodium (Araksi et al. 1984 dalam Anggadireja et al. 1996). Rumput laut merupakan sumber koloid untuk agar-agar, karaginan, algin, laminarin, fukoidin dll. Durant and Sanford (1970) membagi koloid menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang bernilai ekonomis tinggi yaitu agar-agar, karaginan, algin dan ekonomis rendah yaitu laminarin, fukoidin dan lainnya. Menurut Wei and Chin (1983) secara kimia karaginan mirip dengan agar-agar, hanya karaginan mempunyai kandungan abu tinggi dan memerlukan konsentrasi tinggi untuk membentuk larutan kental. Selajutnya menurut Food chemical codex USA (1974) dalam Suryaningrum (1988) membedakan agar-agar dan karaginan berdasarkan kandungan sulfatnya dimana karaginan minimal mengandung 18% sedangkan agar-agar hanya mengandung sulfat sekitar 3-4%.

Budidaya K. alvarezii

Usaha budidaya terhadap beberapa jenis rumput laut telah berhasil dikembangkan di beberapa negara. Di Indonesia baru jenis Eucheuma dan Gracilaria saja yang dapat dibudidayakan. Percobaan budidaya rumput laut di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Soerjodinoto (1968) dari LON-LIPI terhadap rumput laut jenis Eucheuma di perairan gugusan pulau Pari Kepulauan Seribu (pulau Tikus) dengan menggunakan rakit dan substrat batu karang. Kemudian sejak tahun 1974 LON-LIPI melanjutkan percobaan budidaya rumput laut jenis Eucheuma di pulau Pari dengan mengikat bibit rumput laut pada tali nilon dikerangka rakit bambu dan kerangka lepas dasar seperti yang telah dilakukan di Philipina (Sulistijo 2002).

Kajian kriteria lokasi budidaya rumput laut dari segi kondisi tata letak dan kualitas perairan sangat berperan dalam pencapaian hasil usaha budidaya rumput laut. Indriani dan Sumiarsih (1999) mengatakan untuk memperoleh hasil yang memuaskan dari usaha budidaya rumput laut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut sebagai berikut, (1) lokasi budidaya harus bebas dari pengaruh angin topan, (2) tidak mengalami fluktuasi salinitas yang besar, (3) mengandung makanan untuk pertumbuhan, (4) perairan

harus bebas dari predator dan pencemaran industri maupun rumah tangga, (5) lokasi harus mudah dijangkau.

Secara rinci Atmadja et al.(1996) mengadakan klasifikasi penilaian lokasi untuk budidaya hayati rumput laut K. alvareezii dengan kriteria baik dan cukup baik (Tabel 2).

Tabel 2 Klasifikasi kriteria lokasi budidaya rumput laut K. alvareezii

Parameter Kriteria baik Kriteria cukup baik

Keterlindungan Arus (gerakan air) Dasar perairan pH Kecerahan Salinitas Cemaran Hewan herbivora Kemudahan Tenaga kerja Terlindung 20 - 30 cm/detik Pasir berbatu 7 - 9 Lebih dari 5 m 32 - 34 permil Tidak ada Tidak ada Mudah dijangkau Banyak Agak terlindung 30 - 40 cm/detik Pasir berlumpur 6 - 9 3 - 5 m 28 - 32 permil Ada sedikit Ikan dan bulu babi Cukup mudah Cukup

Sumber : Atmadja et al. (1996)

Selanjutnya dikatakan Sulistijo (1996) kondisi ekologis yang meliputi parameter lingkungan fisika, kimia dan biologi sangat menentukan keberhasilan usaha budidaya.

Parameter fisika antara lain : sarana budidaya dan tanaman terhindar dari angin, dasar terdiri dari potongan karang mati bercampur dengan karang pasir, kedalaman pada sistim tali rawe sekitar 200 cm, suhu berkisaran 27-30 oC, kenaikan temptatur membuat rumput laut menjadi pucat kekuningan dan tidak sehat, kondisi air jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 meter termasuk cukup baik dan kecepatan arus yang baik adalah sekitar 20-30 cm/detik.

Parameter kimia antara lain : Salinitas berkisar antara 28-34 o/oo dengan nilai optimum 32 o/oo, pH berkisar antara 6-9 dengan kisaran optimum adalah 7,5 - 8,0, sedangkan pH untuk Kappaphycus adalah 7 - 9 dengan kisaran optimum 7,3 - 8,2, kisaran nitrat 1,0 - 3,2 mg/l dan pospat antara 0,021 - 0,10 mg/l (Zatnika & Angkasa 1994). Sementara hasil penelitian Ngangi et al. (1998) mendapatkan pertumbuhan yang baik di desa Serey, Minahasa mempunyai kisaran nitrat 1,2 - 1,3 mg/l dan pospat 0,03 - 0,06 mg/l.

Parameter biologi antara lainrumput laut atau algae yang dibudidayakan tidak terlepas dari pengaruh biologi perairan seperti hama dan penyakit. Salah satu fungsi ekologi dari rumput laut dimana areal komonitas rumput laut dijadikan spowning area dan nursery area oleh organisme laut yang dapat menjadi hama. Hama rumput laut umumnya adalah organisme laut yang memangsa rumput laut sehingga akan menimbulkan kerusakkan fisik terhadap thallus, dimana thallus akan mudah terkelupas, patah ataupun habis dimakan hama.

Hama penyerang rumput laut dibagi menjadi dua menurut ukuran hama, yaitu hama mikro merupakan organisme laut yang umumnya mempunyai panjang kurang dari 2 cm dan hama makro yang terdapat dilokasi budidaya dan sudah dalam bentuk ukuran besar atau dewasa. Hama mikro hidup menumpang pada thallus rumput laut, misalnya larva bulu babi (Tripneustes sp.) yang bersifat planktonik, melayang-layang di dalam air dan kemudian menempel pada tanaman rumput laut. Beberapa hama makro yang sering dijumpai pada budidaya rumput laut adalah ikan Beronang (Siganussp.) bintang laut (Protoreaster nodosus), bulu babi (Diademasetosum sp.), bulu babi duri pendek (Tripneustes sp.), Penyu Hijau (Chelonia mydas), dan ikan Kerapu (Epinephellussp.) (Ditjen Perikanan 2004).

Tumbuhan penempel dalam koloni yang cukup besar akan mengganggu pertumbuhan rumput laut. Tumbuhan penempel tersebut antara lain adalah Hipnea, Dictyota, Acanthopora, Laurensia, Padina, Amphiroa dan filamen seperti Chaetomorpha, Lyngbya dan symploca (Atmadja dan Sulistijo 1977).

Metode budidaya

Metode yang akan digunakan tergantung pada kondisi lingkungan (lahan) yang kita gunakan. Metode budidaya rumput laut dapat dilakukan dengan tiga macam metode berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan yaitu : (1) lepas dasar, (2) lepas dasar dan (3) metode rakit apung. Dari ketiga metode tersebut yang sudah direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Perikanan (1997) adalah metode lepas dasar dan metode rakit apung. Selanjutnya dikatakan metode budidaya rumput laut jenis Eucheuma sp yang sudah memasyarakat di Indonesia adalah :

1. Metode lepas dasar (off bottom method)

K. alvarezii yang ditanam dengan menggunakan metode lepas dasar biasanya

untuk dasar perairan karang berpasir tidak berlumpur tujuannya untuk menancapkan patok atau pancang. Kedalaman air sekitar 30-50 cm pada waktu surut terendah dan arus yang cukup baik. Bila ditinjau dari segi biaya lebih murah dan kualitas rumput laut yang dihasilkan relatif baik tetapi pertumbuhan tanaman lebih kecil.

2. Metode rakit apung

Metode ini menggunakan sebuah rakit apung dan agar rakit tidak hanyut terbawa arus digunakan jangkar di dasar perairan. Secara teknis metode rakit apung ini dianggap lebih aman, terutma dari ancaman kekeringan karena pasang surut air laut. Soegiarto et al. (1978) mengatakan dengan metode rakit apung tanaman cepat tumbuh dan akan menjadi sepuluh kali lipat dari berat semula dalam waktu 4-6 minggu. Di wilayah Kepulauan Seribu metode apung dimodifikasi dengan menggunakan tali nylon sebagai pengganti bambu sehingga dapat menghemat biaya untuk pembuatan kerangka rakit bambu.

Penyediaan bibit dan pemeliharaan

Hasil panenan budidaya rumput laut baik kualitas maupun kuantitas ditentukan dari bibit yang digunakan, sehingga kegiatan penyediaan bibit dari alam maupun dari hasil budidaya perlu direncanakan. Dalam penyediaan bibit perlu diperhatikan sumber perolehan, cara penyimpanan dan pengangkutan bibit serta mutu yang baik dan tersedia dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan petani. Aslan (1998) mengatakan untuk keberhasilan budidaya Eucheuma perlu diperhatikan kesehatan dari bibit tersebut dengan ciri-ciri bila dipegang terasa elastis, bercabang yang banyak dengan ujungnya berwarna kuning kemerah- merahan dan mempunyai batang yang tebal. Dijelaskan lagi oleh Sulistijo (2002) bahwa rumpun yang baik adalah yang bercabang banyak dan rimbun, tidak terdapat penyakit bercak putih dan mulus tanpa ada cacat terkelupas. Bibit rumput laut yang terpilih tidak lebih dari 24 jam penyimpanan di tempat kering dan harus terlindung dari sinar matahari juga cemaran (terutama minyak), tidak boleh direndam air laut dalam wadah, penyimpanan yang baik adalah di laut

dalam jaring agar sirkulasi air terjaga sementara. Bibit yang diperoleh adalah bagian ujung tanaman (jaringan muda) umumnya memberikan pertumbuhan yang baik dan hasil panenan mengandung karaginan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit dari sisa hasil panen atau tanaman tua (Indriani dan Sumiarsih 1999).

Saat yang baik untuk penebaran maupun penanaman bibit adalah pada saat cuaca teduh (tidak mendung) dan yang paling baik adalah pagi hari atau sore hari menjelang malam (Aslan 1998). Penanaman dengan sistem rakit ukuran 5 x 2 m dengan jarak tanam 25 cm dibutuhkan bibit 8 kg sedangkan sistem tali rawe tiap 100 m tali rentang dengan jarak tanam 50 cm diperlukan bibit minimal 20 kg (Sulistijo 2002). Selanjutnya dijelaskan bibit yang baik dan sehat pada lokasi yang sesuai akan memberikan pertumbuhan yang baik, yang dapat diukur dengan laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan 3-5% per hari selama waktu penanaman memberikan indikasi pertumbuhan rumput laut yang baik. Seminggu setelah penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik melalui pengawasan yang teratur dan kontinyu. Bila kondisi perairan kurang baik, seperti ombak yang keras, angin serta suasana perairan yang dipengaruhi musim hujan atau kemarau, maka perlu pengawasan 2-3 hari sekali, sedangkan hal lain yang penting diperhatikan adalah menghadapi serangan predator dan penyakit (Aslan 1998). Masa pemeliharaan rumput laut sampai saat panen apabila menggunakan metode lepas dasar berkisar antara 1,5-2,0 bulan dan bahwa pemanenan dilakukan bila rumput laut telah nencapai sekitar 4 kali berat awal (Kolang et al. 1996).

Pasca panen

Rumput laut dapat dipanen dengan dua cara yaitu secara parsial dan total. Pemanenan rumput laut secara parsial dilakukan dengan cara memisahkan cabang-cabang dari tanaman induknya dan selanjutnya digunakan kembali untuk penanaman berikutnya. Sedangkan pemanenan secara total dengan cara mengangkat semua rumpun tanaman secara keseluruhan dan kemudian tanaman yang muda (thallus bagian ujung) dipilih kembali untuk dijadikan bibit dan bagian pangkalnya dikeringan (Anonymous 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa cara pertama lebih mudah, tetapi kecepatan tumbuh bibit yang berasal dari tanaman

induk lebih rendah dibandingkan dengan tanaman muda seperti pada pemanenan total, kelebihan cara kedua selain kecepatan tumbuh bibit lebih tinggi juga karaginan yang dikandungnya lebih tinggi.

Penanganan hasil panen yang tepat sangat penting karena pengaruh langsung terhadap mutu dan harga penjualan di pasaran. Beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam proses pengeringan hasil panen adalah : (1) setelah penimbangan berat basah kemudian ditebar untuk dikeringkan diatas para-para, (2) setelah 2-3 hari rumput laut yang sudah cukup kering kemudian dicuci, (3) pencucian dilakukan dengan air laut selama 5 menit, (4) dijemur kembali selama 0,5-1 hari, (5) selalu ditutupi pada malam hari atau pada saat hujan (6) Setelah benar-benar kering dimasukkan ke dalam karung dan ditimbang, siap untuk dipasarkan.

Penyakit Pada Tanaman Rumput Laut Penyakit tumbuhan

Semangun (1996) menjelaskan penyakit tumbuhan bila ditinjau dari sudut biologi adalah sebagai penyimpangan dari sifat normal yang menyebabkan bagian

Dokumen terkait