PENYAKIT
ICE ICE
DI PERAIRAN PULAU PARI
KEPULAUAN SERIBU
NUR MASITA AMILUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Kandungan Karaginan Rumput Laut
Kappaphycus alvarezii yang Terkena
Penyaki Ice Ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu” adalah karya sendiri dan
belum diajukkan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka pada bagian akhir.
Bogor, Januari 2007
Rumput Laut
Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyakit
Ice Ice di Perairan
Pulau Pari Kepulauan Seribu di Bawah Bimbingan : FREDINAN YULIANDA
(Ketua) dan ENAN M.ADIWILAGA (Anggota
).
Komoditas rumput laut
K. alvarezii
mempunyai prospek yang cerah dalam
perdagangan untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan
permintaan pasar dunia terhadap jenis ini memacu perkembangan budidaya.
Rumput laut
K. alvarezii dewasa ini sedang giat dikembangkan oleh pemerintah
melalui usaha budidaya karena selain dapat meningkatkan pendapatan nelayan
juga menjadi sumber devisa negara.
Rumput laut yang dibudidayakan di pulau Pari pada tahun 2000 mulai
memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan hasil panen baik kuantitas
maupun kualitas dan menjadi permasalahan sampai sekarang. Penurunan hasil
panen baik kuantitas maupun kualitas ini disebabkan karena terkena penyakit
ice ice (bercak putih). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kualitas
lingkungan, pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K. alvarezii
yang terkena penyakit ice ice
di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau
Pari.
Hasil penelitian diperoleh bahwa di lokasi budidaya sebelah barat dari
minggu pertama sampai minggu keempat kualitas air masih memenuhi kriteria
untuk budidaya rumput laut, sehingga ada peningkatan pertumbuhan dan
kandungan karaginan. Minggu kelima sampai minggu kedelapan kualitas air
memburuk dan tanaman uji terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice,
sehingga
pertumbuhan dan kandungan karaginan menurun.
Sementara lokasi budidaya
sebelah utara sudah terkena penyakit ice ice selama masa pemeliharaan.
Untuk mencegah Agar penyakit
ice ice tidak meluas atau berkembang,
maka kegiatan budidaya dihentikan selama kualitas air memburuk dan dilakukan
penanaman bila kondisi perairan kembali normal..
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
PENYAKIT
ICE ICE
DI PERAIRAN PULAU PARI
KEPULAUAN SERIBU
NUR MASITA AMILUDDIN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sain pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama
: Nur Masita Amiluddin
NRP
: C 151030221
Program Studi : Ilmu Perairan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.Sc
Ketua
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Perairan
Prof. Dr. Enang Harris
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro
Alhamdulilllah Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, atas segala rahmatnya. Berkat bantuan banyak pihak tesis dengan judul
Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut
Kappaphycus
alvarezii
yang Terkena Penyaki
Ice ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu
dapat diselesaikan. Tesis ini sekaligus sebagai tugas akhir akademis dalam
pendidikan di program studi Ilmu Perairan, program Pascasarjana IPB. Melalui
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1 Bapak Dr.Ir.Fredinan Yulianda M.Sc. dan Dr.Ir.Enan M.Adiwilaga sebagai
Ketua dan anggota yang dengan tulus dan sabar membimbing saya.
2 Seluruh jajaran Program Pascasarjana IPB yang telah membantu kelancaran
selama mengikuti studi.
3 Bapak Prof.Enang Harris selaku ketua Program Studi Ilmu Perairan beserta
seluruh staf pengajar.
4 Bapak Prof.Dr.Hamadi B.Husein selaku Ketua Sekolah Tinggi Perikanan
Hatta Syahrir Banda Naira atas ijin belajar untuk menempuh pendidikan
pascasarjana.
5 Bapak Dirjen Pendidikan Tinggi sebagai penyumbang dana pendidikan.
6 Bapak Dr.Ir.Kardio Praptokardiyo M.Sc.sebagai penguji luar komisi atas
kesediaan membantu mengarahkan penulis dalam penyelesaian tesis ini.
7 Bapak Satir beserta petani rumput laut kelurahan pulau Pari Kab.Administrasi
Kepulauan. Seribu yang telah banyak membantu.
8 Teman-teman P2O LIPI Jakarta yang telah memberikan motivasinya.
9 Ayah tercinta (almarhum), Ibu tersayang yang telah banyak berjasa dengan
bantuan moriil, matriil dan selalu mendoakan dalam segala studi penulis.
10 Suami dan anak-anak tercinta : Nurulvadini, Moh.Safrul, Nurulsavira dan
Moh. Nasrullah Zidan yang selalu memberikan semangat dan pengorbanan
selama pendidikan.
11 Kakak dan adik-adikku tersayang : Nyong, Lela, Rusli, Ci dan Aini (Onco)
yang selalu mendorong dan mendoakan penulis.
ada manfaatnya bagi pembaca dan yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2007
kedua dari lima bersaudara dari ayahanda Anas Amiluddin dan ibunda Arafia
M.Saleh. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada SD INPRES Wailela
Ambon tahun 1979, pendidikan mene ngah pertama pada SMP Negeri 7 Ambon
tahun 1982 dan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri 3 Ambon tahun
1985. Pada tahun 1991 menyelesaikan pendidikan sarjana pada program studi
menejemen sumberdaya perairan jur usan penangkapan Universitas Pattimura
dengan skripsi berjudul Pengaruh Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan
Demersal dengan Bottom Long Line di perairan Ambon. Pada tahun 2003 penulis
mendapat kesempatan melajutkan pendidikan Pascasarja pada Program Studi Ilmu
Perairan Sekolah Pascasarja Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan
pascasarjana diperole h dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Sekolah Tinggi Perikanan Hatta
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
...
iii
DAFTAR GAMBAR
...
iv
DAFTAR LAMPIRAN
...
vi
PENDAHULUAN
...
1
Latar Belakang ...
1
Perumusan Masalah ...
2
Tujuan dan Manfaat ...
3
Hipotesis ...
3
TINJAUAN PUSTAKA
...
5
Rumput Laut K. alvarezii.
...
5
Jenis dan habitat ...
5
Komposisi kimia ...
6
Budidaya K. alvareezii ...
7
Metode budidaya ...
9
Penyediaan bibit dan pemeliharaan ...
10
Pasca panen ...
11
Penyakit Pada Tanaman Rumput Laut ...
12
Penyakit tumbuhan ...
12
Penyakit Ice ice ...
13
Karaginan Rumput Laut ...
15
Mutu dan penggunaan karaginan ...
15
Struktur kimia dan sifat-sifat karaginan ...
16
Kekentalan dan pembentukan gel ...
17
METODE PENELITIAN
...
18
Lokasi dan Waktu Penelitian ...
18
Metode Pemeliharaan ...
19
Disain rakit ...
19
PENYAKIT
ICE ICE
DI PERAIRAN PULAU PARI
KEPULAUAN SERIBU
NUR MASITA AMILUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Kandungan Karaginan Rumput Laut
Kappaphycus alvarezii yang Terkena
Penyaki Ice Ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu” adalah karya sendiri dan
belum diajukkan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka pada bagian akhir.
Bogor, Januari 2007
Rumput Laut
Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyakit
Ice Ice di Perairan
Pulau Pari Kepulauan Seribu di Bawah Bimbingan : FREDINAN YULIANDA
(Ketua) dan ENAN M.ADIWILAGA (Anggota
).
Komoditas rumput laut
K. alvarezii
mempunyai prospek yang cerah dalam
perdagangan untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan
permintaan pasar dunia terhadap jenis ini memacu perkembangan budidaya.
Rumput laut
K. alvarezii dewasa ini sedang giat dikembangkan oleh pemerintah
melalui usaha budidaya karena selain dapat meningkatkan pendapatan nelayan
juga menjadi sumber devisa negara.
Rumput laut yang dibudidayakan di pulau Pari pada tahun 2000 mulai
memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan hasil panen baik kuantitas
maupun kualitas dan menjadi permasalahan sampai sekarang. Penurunan hasil
panen baik kuantitas maupun kualitas ini disebabkan karena terkena penyakit
ice ice (bercak putih). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kualitas
lingkungan, pertumbuhan dan kandungan karaginan rumput laut K. alvarezii
yang terkena penyakit ice ice
di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau
Pari.
Hasil penelitian diperoleh bahwa di lokasi budidaya sebelah barat dari
minggu pertama sampai minggu keempat kualitas air masih memenuhi kriteria
untuk budidaya rumput laut, sehingga ada peningkatan pertumbuhan dan
kandungan karaginan. Minggu kelima sampai minggu kedelapan kualitas air
memburuk dan tanaman uji terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice,
sehingga
pertumbuhan dan kandungan karaginan menurun.
Sementara lokasi budidaya
sebelah utara sudah terkena penyakit ice ice selama masa pemeliharaan.
Untuk mencegah Agar penyakit
ice ice tidak meluas atau berkembang,
maka kegiatan budidaya dihentikan selama kualitas air memburuk dan dilakukan
penanaman bila kondisi perairan kembali normal..
Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
PENYAKIT
ICE ICE
DI PERAIRAN PULAU PARI
KEPULAUAN SERIBU
NUR MASITA AMILUDDIN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sain pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama
: Nur Masita Amiluddin
NRP
: C 151030221
Program Studi : Ilmu Perairan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.Sc
Ketua
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Perairan
Prof. Dr. Enang Harris
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro
Alhamdulilllah Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa, atas segala rahmatnya. Berkat bantuan banyak pihak tesis dengan judul
Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut
Kappaphycus
alvarezii
yang Terkena Penyaki
Ice ice di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu
dapat diselesaikan. Tesis ini sekaligus sebagai tugas akhir akademis dalam
pendidikan di program studi Ilmu Perairan, program Pascasarjana IPB. Melalui
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1 Bapak Dr.Ir.Fredinan Yulianda M.Sc. dan Dr.Ir.Enan M.Adiwilaga sebagai
Ketua dan anggota yang dengan tulus dan sabar membimbing saya.
2 Seluruh jajaran Program Pascasarjana IPB yang telah membantu kelancaran
selama mengikuti studi.
3 Bapak Prof.Enang Harris selaku ketua Program Studi Ilmu Perairan beserta
seluruh staf pengajar.
4 Bapak Prof.Dr.Hamadi B.Husein selaku Ketua Sekolah Tinggi Perikanan
Hatta Syahrir Banda Naira atas ijin belajar untuk menempuh pendidikan
pascasarjana.
5 Bapak Dirjen Pendidikan Tinggi sebagai penyumbang dana pendidikan.
6 Bapak Dr.Ir.Kardio Praptokardiyo M.Sc.sebagai penguji luar komisi atas
kesediaan membantu mengarahkan penulis dalam penyelesaian tesis ini.
7 Bapak Satir beserta petani rumput laut kelurahan pulau Pari Kab.Administrasi
Kepulauan. Seribu yang telah banyak membantu.
8 Teman-teman P2O LIPI Jakarta yang telah memberikan motivasinya.
9 Ayah tercinta (almarhum), Ibu tersayang yang telah banyak berjasa dengan
bantuan moriil, matriil dan selalu mendoakan dalam segala studi penulis.
10 Suami dan anak-anak tercinta : Nurulvadini, Moh.Safrul, Nurulsavira dan
Moh. Nasrullah Zidan yang selalu memberikan semangat dan pengorbanan
selama pendidikan.
11 Kakak dan adik-adikku tersayang : Nyong, Lela, Rusli, Ci dan Aini (Onco)
yang selalu mendorong dan mendoakan penulis.
ada manfaatnya bagi pembaca dan yang membutuhkan.
Bogor, Januari 2007
kedua dari lima bersaudara dari ayahanda Anas Amiluddin dan ibunda Arafia
M.Saleh. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada SD INPRES Wailela
Ambon tahun 1979, pendidikan mene ngah pertama pada SMP Negeri 7 Ambon
tahun 1982 dan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri 3 Ambon tahun
1985. Pada tahun 1991 menyelesaikan pendidikan sarjana pada program studi
menejemen sumberdaya perairan jur usan penangkapan Universitas Pattimura
dengan skripsi berjudul Pengaruh Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan
Demersal dengan Bottom Long Line di perairan Ambon. Pada tahun 2003 penulis
mendapat kesempatan melajutkan pendidikan Pascasarja pada Program Studi Ilmu
Perairan Sekolah Pascasarja Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan
pascasarjana diperole h dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Sekolah Tinggi Perikanan Hatta
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
...
iii
DAFTAR GAMBAR
...
iv
DAFTAR LAMPIRAN
...
vi
PENDAHULUAN
...
1
Latar Belakang ...
1
Perumusan Masalah ...
2
Tujuan dan Manfaat ...
3
Hipotesis ...
3
TINJAUAN PUSTAKA
...
5
Rumput Laut K. alvarezii.
...
5
Jenis dan habitat ...
5
Komposisi kimia ...
6
Budidaya K. alvareezii ...
7
Metode budidaya ...
9
Penyediaan bibit dan pemeliharaan ...
10
Pasca panen ...
11
Penyakit Pada Tanaman Rumput Laut ...
12
Penyakit tumbuhan ...
12
Penyakit Ice ice ...
13
Karaginan Rumput Laut ...
15
Mutu dan penggunaan karaginan ...
15
Struktur kimia dan sifat-sifat karaginan ...
16
Kekentalan dan pembentukan gel ...
17
METODE PENELITIAN
...
18
Lokasi dan Waktu Penelitian ...
18
Metode Pemeliharaan ...
19
Disain rakit ...
19
Pengamatan Lingkungan Perairan ...
20
Teknik Pengamatan ...
21
Kualitas Rumput Laut ...
22
Analisis Data ...
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
...
26
Keadaan Umum Wilayah Penelitian ...
26
Kondisi Lingkungan Perairan ...
28
Faktor fisika ...
28
Faktor kimia ...
32
Faktor biologi ...
36
Analisa Komponen Utama ...
39
Pertumbuhan Rumput Laut ...
39
Pertumbuhan biomassa...
39
Pertubuhan parsial ...
45
Hubungan laju pertumbuhan dengan unsur hara...
46
Hubungan laju degradasi dengan suhu, arus
dan oksigen terlarut ...
47
Produksi Bobot Kering ...
48
Kandungan Karaginan ...
49
Kadar Air ...
50
Kadar Abu ...
51
Hubungan Karaginan dengan Unsur Hara ...
52
Hubunga n Karaginan dengan Waktu Pengamatan ...
54
SIMPULAN dan SARAN
...
56
Simpulan ...
56
Saran ...
56
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi kimia rumput laut K. alvarezii. ...
6
2 Klasifikasi kriteria lokasi budidaya rumput laut K. alvarezii ...
8
3 Parameter, alat dan satuan pengukuran ...
21
4 Rata-rata parameter kualitas air di lokasi budidaya sebelah
barat dan utara pulau Pari ...
28
5 Perbandingan kualitas perairan di pulau Pari tahun 1997 dan 2002 ...
38
6 Pertumbuhan mutlak, relatif dan sesaat rump ut laut di sebelah barat
dan utara pulau Pari ...
46
7 Bobot dan penyusutan K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah barat
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Alur pikir pendekatan masalah ...
4
2
Peta lokasi penelitian pulau Pari Kepulauan Seribu ...
18
3
Disain rakit dan pemasangan bibit rumput laut ...
20
4
Bagan alir analisis karaginan ...
23
5
Rata-rata kecepatan arus di lokasi budidaya sebelah barat dan utara
Pulau Pari ...
29
6
Rata-rata kecerahan di lokasi budidaya sebelah barat dan utara
pulau Pari ...
30
7
Rata-rata suhu perairan di lokasi sebelah barat dan utara pulau
Pari ...
31
8
Rata-rata pH di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ....
32
9
Rata-rata kandungan oksigen terlarut di lokasi budidaya sebelah
barat dan utara.pulau Pari ...
33
10
Rata-rata nitrat, nitrit dan amonia di lokasi budidaya sebelah
barat dan utara pulau Pari ...
35
11
Rata-rata kandungan total pospat dan ortho pospat di lokasi
budidaya sebelah barat dan utara pulau pari ...
36
12
Luka bekas gigitan ikan pada tanaman uji ...
37
13
Kotoran dan algae penempel pada tanaman uji yang menghalangi
Penyerapan ...
37
14
Sampah dan tumbuhan pengganggu di lokasi budidaya sebelah
barat dan utara pulau Pari ...
38
15
Pertumbuhan rumput laut minggu 1-4 dan minggu ke5-8 dilokasi
budidaya barat pulau Pari ...
40
17
Laju pengeroposan rumput laut tahap pertama (a) dan kedua (b)
di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari ...
41
18
Permukaan thallus rumput laut yang kasar ...
43
19
Rumput laut yang terkena penyakit di lokasi budidaya sebelah
barat dan utara pulau Pari
...
43
20
Beberapa cara terinfeksi bakteri penyebab penyakit ice ice
...
44
21
Pertumbuhan rumput laut normal di lokasi budidaya Halmahera
(Kusdi 2005) ...
45
22
Rata-rata kandungan karaginan di lokasi budidaya sebelah barat
23
Rata-rata kadar air di lokasi budidaya sebelah barat dan utara
pulau Pari ...
51
24
Rata-rata kadar abu di lokasi budidaya sebelah barat dan
utara pulau Pari ...
52
25
Hubungan kand ungan karaginan dengan waktu pengamatan
di lokasi Budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ...
54
26
Hubungan kandungan karaginan dengan waktu pengamatan
di lokasi budidaya sebelah utara pulau Pari ...
55
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi budidaya
sebelah barat pulau Pari ...
64
2
Hasil Pengukuran Kualitas Air di Lokasi Budidaya Sebelah Utara
Pulau Pari ...
65
3
Hasil uji t terhadap parameter kualitas air di lokasi budidaya
sebelah barat dan utara pulau Pari periode April sampai Mei 2005 ....
66
4
Hasil pengukuran bobot basah K. alvarezii di lokasi budidaya
sebelah barat ...
67
5
Hasil pengukuran bobot Basah K. alvarezii di lokasi budidaya
sebelah utarab ...
68
6
Hasil uji t terhadap pertumbuhan, kandungan karaginan, kadar abu
dan kadar air di lokasi sebelah barat dan utara pulau Pari periode
April sampai Mei 2005 ...
69
7
Laju pertumbuhan harian
K. alvarezii di lokasi budidaya sebelah
barat (a) dan utara (b) pulau Pari ...
70
8
Kandungan karaginan, kadar air dan kadar abu di lokasi
sebelah barat (a) dan utara (b) pulau Pari ...
71
9
Hasil analisis komponen utama di lokasi budidaya sebelah barat
Pulau Pari ...
72
10
Hasil analisis komponen utama di lokasi budidaya sebelah utara
pulau Pari ...
73
11
Analysis of Variance hubungan pertumbuhan dan unsur hara
di lokasi budidaya sebelah barat dan utara pulau Pari ...
74
12
Analysis of Variance hubungan karaginan dan Unsur hara
Latar Belakang
Rumput laut atau algae merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia
yang diandalkan untuk pemasukkan devisa negara. Komoditas ini memiliki nilai
ekonomis yang tinggi sebagai bahan makanan dan keperluan industri. Produksi
rumput laut untuk kebutuhan ekspor umumnya berasal dari algae merah
(Rhodophyceae).
Salah satu jenis rumput laut yang mempunyai potensi untuk dibudidayakan
di Indonesia adalah Kappaphycus alvarezii yang dulu dikenal sebagai Eucheuma
cottonii. Masyarakat pulau pari mengenal dan menyebut jenis rumput laut ini
dengan nama Eucheuma. Jenis ini menjadi komoditas ekspor karena permintaan
pasar sekitar 8 kali lebih banyak dari jenis lainnya (Sulistijo 2002). Bahkan
menurut Doty (1973) kebutuhan rumput laut jenis K. alvarezii adalah 10 kali lipat
dari persediaan alami di dunia. K. alvarezii adalah jenis rumput laut yang
diperlukan untuk usaha industri karena kandungan kappa karaginannya sangat
diperlukan sebagai bahan stabilisator, bahan pengental, pembentuk jel, dan
pengemulsi (Winarno 1996).
Komoditas rumput laut K. alvarezii mempunyai prospek yang cerah dalam
perdagangan untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan
permintaan pasar dunia terhadap jenis ini memacu perkembangan budidaya.
Negara Filipina merupakan negara pertama yang dapat meningkatkan produksi
K. alvarezii melalui budidaya. Perkembangan budidaya di Indonesia mulai
tampak dapat memenuhi permintaan pasar sejak tahun 1980 setelah keberhasilan
budidaya di perairan Selatan Bali (Nusa Penida) dan terus meluas hampir
keseluruh perairan Indonesia termasuk pulau Pari.
Rumput laut K. alvarezii dewasa ini sedang giat dikembangkan oleh
pemerintah melalui usaha budidaya karena selain dapat meningkatkan pendapatan
nelayan juga menjadi sumber devisa negara. Rumput laut yang dibudidayakan
bertujuan untuk meningkatkan hasil dalam jumlah yang cukup besar dan kontinyu
dengan kualitas yang baik terutama untuk kebutuhan ekspor. Namun usaha
kelestarian serta daya dukung lingkungan, maka dapat menurunkan kuantitas dan
kualitas hasil yang diperoleh.
Rumput laut yang dibudidayakan pada tahun 2000 mulai memperlihatkan
adanya kecenderungan penurunan hasil panen baik kuantitas maupun kualitas
dan menjadi permasalahan sampai sekarang. Masalah serius yang
menimbulkan kerugian cukup besar dalam budidaya rumput laut di pulau Pari
adalah penyakit ice ice (bercak putih). Penyakit ice ice merupakan penyakit
yang timbul pada musim laut tenang dan arus lemah dan berlangsung selama
1-2 bulan, setelah itu areal dapat ditanami kembali bila kondisi lingkungan
sudah normal (Sulistijo 2002). Namun apabila lahan ditanami terus tanpa
memperhatikan kondisi lingkungan, maka akan terjadi kerugian yang
berkelanjutan. Hal seperti ini terlihat di pulau Pari yakni para pembudidaya
terus menerus menggantikan tanaman yang rusak tanpa memperhatikan
kerugian dan kondisi kualitas lingkungan budidaya.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui pertumbuhan dan kandungan karaginan pada saat rumput laut
terkena penyakit ice ice.
Perumusan Masalah
Musim barat tahun 2005 usaha budidaya rumput laut K. alvarezii di pulau
Pari menghadapi masalah penurunan produksi dan kualitas yang tidak dapat
diterima oleh pasar.
Permasalahan tersebut terjadi karena kekeroposan thallus rumput laut.
Proses kekeroposan thallus yang merupakan ciri dari penyakit ice ice sangat
cepat, sehingga sebagian besar produk tidak dapat dipanen.
Sumber penyebab timbulnya penyakit ice ice yaitu penurunan kualitas
lingkungan perairan. Munurunnya kualitas lingkungan perairan di pulau Pari
menyebabkan penurunan produksi, namun diperkirakan beberapa lokasi masih
mampu menunjang perkembangan budidaya rumput laut tersebut.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan
pengkajian usaha budidaya rumput laut di lokasi budidaya sebelah barat yang
tertutup (gobah), apakah masih mampu menghasilkan produksi yang diharapkan.
Alur pikir pendekatan masalah disajikan pada gambar 1.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pertumbuhan dan kandungan
karaginan dari rumput laut K. alvarezii pada kondisi terkena penyakit ice ice di
lokasi budidaya sebelah barat yang merupakan perairan terbuka (luar gobah) dan
utara yang merupakan perairan tertutup (gobah) pulau Pari.
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai informasi dasar dalam upaya
penanggulangan penyakit ice ice untuk pengembangan budidaya rumput laut
K. alvarezii di masa yang akan datang.
Hipotesis
Produksi dan kualitas hasil budidaya rumput laut K. Alvarezii yang
dibudidayakan akan lebih baik di lokasi budidaya sebelah barat (luar gobah)
Gambar 1 Alur pikir pendekatan masalah.
Intensitas
Suhu
Rumput Laut
Oksigen
Arus
Bakteri
Ice ice
Produksi
Primer
Unsur
Hara
Laju
Pertumbuhan
Rumput Laut
Intensitas
Serangan
Tingkat
perkembangan
bakteri
Biomassa
Keropos
Z < G
Produksi
Rumput
Rumput Laut K. alvarezii
Jenis dan habitat
Rumput laut K. alvarezii bila diklasifikasikan berdasarkan pigmentasi
termasuk jenis alga merah (Rhodophyceae). Ganggang merah yang hidup di laut
dan tergolong dalam Thallophyta ini tidak memperlihatkan perbedaan akar,
batang dan daun seperti tanaman tingkat tinggi. Keseluruhan tanaman merupakan
batang yang dikenal sebagai thallus. Berdasarkan pada bentuk dan anatomi serta
karakter biokimia, dimana derivat kappa carageenan yang lebih dominan dari pada
iota dan beta carageenan yang ditemukan oleh seorang ahli dari Filipina bernama
alvarez, maka nama ilmiah dari E. cottonii berubah menjadi K. alvareezii
(Atmadja et al. 1996 & Silva et al. 1996). Kappaphycus merupakan jenis rumput
laut yang banyak dicari untuk kepentingan industri makanan, obat - obatan dan
kosmetika di dunia karena mengandung zat karaginan yang merupakan bahan
campuran (additives). Kadar karaginan dalam setiap species Kappaphycus
berkisar anatara 54%-73% sedangkan di Indonesia berkisar antara 61,5%-67,5%.
Sistimatika klasifikasi botani menurut Dawes (1981), Bold dan Wynne
(1985), Lewis et al. (1987) & Kadi dan Atmadja (1988) adalah sebagai berikut :
Devisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Family : Solieriaceae
Genus : Kappaphycus
Species : Kappaphycus alvarezii
Ciri umum dari genus Kappaphycus : thallus atau kerangka tubuh bulat
silindris, berduri tidak teratur dan melingkari thalus, duri-duri pada thallus runcing
memanjang dan agak jarang, permukaan thallus licin, warna hijau kekuningan,
abu-abu dan merah. Tinggi tanaman dapat mencapai 40 cm, cabang tidak
beraturan tumbuh di bagian yang muda maupun yang tua dan diameter thallus
Kappaphycus tumbuh pada daerah yang selalu terendam air (subtidal) atau
pada daerah surut (intertidal). Jenis ini sangat baik tumbuh pada daerah terumbu
karang (coral reef), sebab pada daerah inilah terdapat beberapa syarat untuk
pertumbuhan yaitu kedalaman perairan, cahaya, subsrat dan pergerakan air.
Selanjutnya Lobban dan Harison (1994) mengatakan bahwa alga tersebut tumbuh
dengan baik pada perairan terbuka dengan tingkat pergerakan arus yang tinggi. Di
alam bebas Kappaphycus tumbuh dan berkembang dengan baik pada salinitas
yang tinggi.
Komposisi kimia
Komposisi kimia rumput laut sebagian besar terdiri dari karbohidrat, juga
mengandung protein, lemak dan mineral (Hansen et al. 1981). Karbohidrat
merupakan komponen terbesar, terutama sebagai dinding sel dan sebagai jaringan
intraseluler. Menurut Kuntoro (1985) dalam Suryaningrum (1988) rumput laut
mengandung air 12,95-27,50%, protein 1,60-10,00%, karbohidrat 32,25-63,2%,
lemak 4,50-11,00%, serat kasar 3,00-11,40% dan abu 11,50-23%. Komposisi
[image:31.612.135.507.442.630.2]kimia menurut Soegiarto dan Sulistijo (1985) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi kimia rumput laut K. alvareezii.
Komponen Kandungan (% berat kering)
Kadar air (%) Protein (%) Karbohidrat (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Abu (%)
Mineral Ca (ppm) Mineral Fe (ppm) Mineral Pb (ppm) Thiamin (mg/100g) Riboflavin (mg/100g) Vitamin C (mg/100g) Karaginan (%) 13,90 2,67 0,27 5,70 0,90 17,09 29,92 0,12 0,04 0,14 2,70 12,00 61,52
Team Rumput Laut BPPT dan Pusat Pengembangan Teknologi Pangan IPB (Soegiarto dan Sulistijo, 1985).
Kandungan kimiawi rumput laut umumnya yang tertinggi adalah
rendah hanya 1-2% saja. Selanjutnya dilaporkan juga kandungan vitamin seperti
vitamin A, B1, B2, B6, B12 dan C serta mengandung mineral seperti kalium,
kalsium, pospat, natrium, zat besi dan iodium (Araksi et al. 1984 dalam
Anggadireja et al. 1996). Rumput laut merupakan sumber koloid untuk agar-agar,
karaginan, algin, laminarin, fukoidin dll. Durant and Sanford (1970) membagi
koloid menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang bernilai ekonomis tinggi yaitu
agar-agar, karaginan, algin dan ekonomis rendah yaitu laminarin, fukoidin dan
lainnya. Menurut Wei and Chin (1983) secara kimia karaginan mirip dengan
agar-agar, hanya karaginan mempunyai kandungan abu tinggi dan memerlukan
konsentrasi tinggi untuk membentuk larutan kental. Selajutnya menurut Food
chemical codex USA (1974) dalam Suryaningrum (1988) membedakan agar-agar
dan karaginan berdasarkan kandungan sulfatnya dimana karaginan minimal
mengandung 18% sedangkan agar-agar hanya mengandung sulfat sekitar 3-4%.
Budidaya K. alvarezii
Usaha budidaya terhadap beberapa jenis rumput laut telah berhasil
dikembangkan di beberapa negara. Di Indonesia baru jenis Eucheuma dan
Gracilaria saja yang dapat dibudidayakan. Percobaan budidaya rumput laut di
Indonesia pertama kali dilakukan oleh Soerjodinoto (1968) dari LON-LIPI
terhadap rumput laut jenis Eucheuma di perairan gugusan pulau Pari Kepulauan
Seribu (pulau Tikus) dengan menggunakan rakit dan substrat batu karang.
Kemudian sejak tahun 1974 LON-LIPI melanjutkan percobaan budidaya rumput
laut jenis Eucheuma di pulau Pari dengan mengikat bibit rumput laut pada tali
nilon dikerangka rakit bambu dan kerangka lepas dasar seperti yang telah
dilakukan di Philipina (Sulistijo 2002).
Kajian kriteria lokasi budidaya rumput laut dari segi kondisi tata letak dan
kualitas perairan sangat berperan dalam pencapaian hasil usaha budidaya rumput
laut. Indriani dan Sumiarsih (1999) mengatakan untuk memperoleh hasil yang
memuaskan dari usaha budidaya rumput laut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai
dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut sebagai berikut, (1) lokasi
budidaya harus bebas dari pengaruh angin topan, (2) tidak mengalami fluktuasi
harus bebas dari predator dan pencemaran industri maupun rumah tangga, (5)
lokasi harus mudah dijangkau.
Secara rinci Atmadja et al.(1996) mengadakan klasifikasi penilaian lokasi
untuk budidaya hayati rumput laut K. alvareezii dengan kriteria baik dan cukup
[image:33.612.136.504.216.370.2]baik (Tabel 2).
Tabel 2 Klasifikasi kriteria lokasi budidaya rumput laut K. alvareezii
Parameter Kriteria baik Kriteria cukup baik
Keterlindungan Arus (gerakan air) Dasar perairan pH Kecerahan Salinitas Cemaran Hewan herbivora Kemudahan Tenaga kerja Terlindung 20 - 30 cm/detik Pasir berbatu 7 - 9
Lebih dari 5 m 32 - 34 permil Tidak ada Tidak ada
Mudah dijangkau Banyak
Agak terlindung 30 - 40 cm/detik Pasir berlumpur 6 - 9
3 - 5 m 28 - 32 permil Ada sedikit Ikan dan bulu babi Cukup mudah Cukup
Sumber : Atmadja et al. (1996)
Selanjutnya dikatakan Sulistijo (1996) kondisi ekologis yang meliputi
parameter lingkungan fisika, kimia dan biologi sangat menentukan keberhasilan
usaha budidaya.
Parameter fisika antara lain : sarana budidaya dan tanaman terhindar dari
angin, dasar terdiri dari potongan karang mati bercampur dengan karang pasir,
kedalaman pada sistim tali rawe sekitar 200 cm, suhu berkisaran 27-30 oC,
kenaikan temptatur membuat rumput laut menjadi pucat kekuningan dan tidak
sehat, kondisi air jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 meter termasuk
cukup baik dan kecepatan arus yang baik adalah sekitar 20-30 cm/detik.
Parameter kimia antara lain : Salinitas berkisar antara 28-34 o/oo dengan
nilai optimum 32 o/oo, pH berkisar antara 6-9 dengan kisaran optimum adalah 7,5 -
8,0, sedangkan pH untuk Kappaphycus adalah 7 - 9 dengan kisaran optimum 7,3 -
8,2, kisaran nitrat 1,0 - 3,2 mg/l dan pospat antara 0,021 - 0,10 mg/l (Zatnika &
Angkasa 1994). Sementara hasil penelitian Ngangi et al. (1998) mendapatkan
pertumbuhan yang baik di desa Serey, Minahasa mempunyai kisaran nitrat 1,2 -
Parameter biologi antara lainrumput laut atau algae yang dibudidayakan
tidak terlepas dari pengaruh biologi perairan seperti hama dan penyakit. Salah
satu fungsi ekologi dari rumput laut dimana areal komonitas rumput laut dijadikan
spowning area dan nursery area oleh organisme laut yang dapat menjadi hama.
Hama rumput laut umumnya adalah organisme laut yang memangsa rumput laut
sehingga akan menimbulkan kerusakkan fisik terhadap thallus, dimana thallus
akan mudah terkelupas, patah ataupun habis dimakan hama.
Hama penyerang rumput laut dibagi menjadi dua menurut ukuran hama,
yaitu hama mikro merupakan organisme laut yang umumnya mempunyai panjang
kurang dari 2 cm dan hama makro yang terdapat dilokasi budidaya dan sudah
dalam bentuk ukuran besar atau dewasa. Hama mikro hidup menumpang pada
thallus rumput laut, misalnya larva bulu babi (Tripneustes sp.) yang bersifat
planktonik, melayang-layang di dalam air dan kemudian menempel pada tanaman
rumput laut. Beberapa hama makro yang sering dijumpai pada budidaya rumput
laut adalah ikan Beronang (Siganussp.) bintang laut (Protoreaster nodosus), bulu
babi (Diademasetosum sp.), bulu babi duri pendek (Tripneustes sp.), Penyu Hijau
(Chelonia mydas), dan ikan Kerapu (Epinephellussp.) (Ditjen Perikanan 2004).
Tumbuhan penempel dalam koloni yang cukup besar akan mengganggu
pertumbuhan rumput laut. Tumbuhan penempel tersebut antara lain adalah
Hipnea, Dictyota, Acanthopora, Laurensia, Padina, Amphiroa dan filamen seperti
Chaetomorpha, Lyngbya dan symploca (Atmadja dan Sulistijo 1977).
Metode budidaya
Metode yang akan digunakan tergantung pada kondisi lingkungan (lahan)
yang kita gunakan. Metode budidaya rumput laut dapat dilakukan dengan tiga
macam metode berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan yaitu :
(1) lepas dasar, (2) lepas dasar dan (3) metode rakit apung. Dari ketiga metode
tersebut yang sudah direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Perikanan (1997)
adalah metode lepas dasar dan metode rakit apung. Selanjutnya dikatakan metode
budidaya rumput laut jenis Eucheuma sp yang sudah memasyarakat di Indonesia
1. Metode lepas dasar (off bottom method)
K. alvarezii yang ditanam dengan menggunakan metode lepas dasar biasanya
untuk dasar perairan karang berpasir tidak berlumpur tujuannya untuk
menancapkan patok atau pancang. Kedalaman air sekitar 30-50 cm pada
waktu surut terendah dan arus yang cukup baik. Bila ditinjau dari segi biaya
lebih murah dan kualitas rumput laut yang dihasilkan relatif baik tetapi
pertumbuhan tanaman lebih kecil.
2. Metode rakit apung
Metode ini menggunakan sebuah rakit apung dan agar rakit tidak hanyut
terbawa arus digunakan jangkar di dasar perairan. Secara teknis metode rakit
apung ini dianggap lebih aman, terutma dari ancaman kekeringan karena
pasang surut air laut. Soegiarto et al. (1978) mengatakan dengan metode rakit
apung tanaman cepat tumbuh dan akan menjadi sepuluh kali lipat dari berat
semula dalam waktu 4-6 minggu. Di wilayah Kepulauan Seribu metode
apung dimodifikasi dengan menggunakan tali nylon sebagai pengganti bambu
sehingga dapat menghemat biaya untuk pembuatan kerangka rakit bambu.
Penyediaan bibit dan pemeliharaan
Hasil panenan budidaya rumput laut baik kualitas maupun kuantitas
ditentukan dari bibit yang digunakan, sehingga kegiatan penyediaan bibit dari
alam maupun dari hasil budidaya perlu direncanakan. Dalam penyediaan bibit
perlu diperhatikan sumber perolehan, cara penyimpanan dan pengangkutan bibit
serta mutu yang baik dan tersedia dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan
petani. Aslan (1998) mengatakan untuk keberhasilan budidaya Eucheuma perlu
diperhatikan kesehatan dari bibit tersebut dengan ciri-ciri bila dipegang terasa
elastis, bercabang yang banyak dengan ujungnya berwarna kuning
kemerah-merahan dan mempunyai batang yang tebal. Dijelaskan lagi oleh Sulistijo (2002)
bahwa rumpun yang baik adalah yang bercabang banyak dan rimbun, tidak
terdapat penyakit bercak putih dan mulus tanpa ada cacat terkelupas. Bibit
rumput laut yang terpilih tidak lebih dari 24 jam penyimpanan di tempat kering
dan harus terlindung dari sinar matahari juga cemaran (terutama minyak), tidak
dalam jaring agar sirkulasi air terjaga sementara. Bibit yang diperoleh adalah
bagian ujung tanaman (jaringan muda) umumnya memberikan pertumbuhan yang
baik dan hasil panenan mengandung karaginan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan bibit dari sisa hasil panen atau tanaman tua (Indriani dan Sumiarsih 1999).
Saat yang baik untuk penebaran maupun penanaman bibit adalah pada saat
cuaca teduh (tidak mendung) dan yang paling baik adalah pagi hari atau sore hari
menjelang malam (Aslan 1998). Penanaman dengan sistem rakit ukuran 5 x 2 m
dengan jarak tanam 25 cm dibutuhkan bibit 8 kg sedangkan sistem tali rawe tiap
100 m tali rentang dengan jarak tanam 50 cm diperlukan bibit minimal 20 kg
(Sulistijo 2002). Selanjutnya dijelaskan bibit yang baik dan sehat pada lokasi
yang sesuai akan memberikan pertumbuhan yang baik, yang dapat diukur dengan
laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan 3-5% per hari selama waktu penanaman
memberikan indikasi pertumbuhan rumput laut yang baik. Seminggu setelah
penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik
melalui pengawasan yang teratur dan kontinyu. Bila kondisi perairan kurang baik,
seperti ombak yang keras, angin serta suasana perairan yang dipengaruhi musim
hujan atau kemarau, maka perlu pengawasan 2-3 hari sekali, sedangkan hal lain
yang penting diperhatikan adalah menghadapi serangan predator dan penyakit
(Aslan 1998). Masa pemeliharaan rumput laut sampai saat panen apabila
menggunakan metode lepas dasar berkisar antara 1,5-2,0 bulan dan bahwa
pemanenan dilakukan bila rumput laut telah nencapai sekitar 4 kali berat awal
(Kolang et al. 1996).
Pasca panen
Rumput laut dapat dipanen dengan dua cara yaitu secara parsial dan total.
Pemanenan rumput laut secara parsial dilakukan dengan cara memisahkan
cabang-cabang dari tanaman induknya dan selanjutnya digunakan kembali untuk
penanaman berikutnya. Sedangkan pemanenan secara total dengan cara
mengangkat semua rumpun tanaman secara keseluruhan dan kemudian tanaman
yang muda (thallus bagian ujung) dipilih kembali untuk dijadikan bibit dan bagian
pangkalnya dikeringan (Anonymous 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa cara
induk lebih rendah dibandingkan dengan tanaman muda seperti pada pemanenan
total, kelebihan cara kedua selain kecepatan tumbuh bibit lebih tinggi juga
karaginan yang dikandungnya lebih tinggi.
Penanganan hasil panen yang tepat sangat penting karena pengaruh
langsung terhadap mutu dan harga penjualan di pasaran. Beberapa langkah yang
perlu dilakukan dalam proses pengeringan hasil panen adalah : (1) setelah
penimbangan berat basah kemudian ditebar untuk dikeringkan diatas para-para,
(2) setelah 2-3 hari rumput laut yang sudah cukup kering kemudian dicuci, (3)
pencucian dilakukan dengan air laut selama 5 menit, (4) dijemur kembali selama
0,5-1 hari, (5) selalu ditutupi pada malam hari atau pada saat hujan (6) Setelah
benar-benar kering dimasukkan ke dalam karung dan ditimbang, siap untuk
dipasarkan.
Penyakit Pada Tanaman Rumput Laut
Penyakit tumbuhan
Semangun (1996) menjelaskan penyakit tumbuhan bila ditinjau dari sudut
biologi adalah sebagai penyimpangan dari sifat normal yang menyebabkan bagian
tubuh tidak dapat melakukan kegiatan fisiologi yang biasa, sementara dari sudut
ekonomi penyakit adalah ketidak mampuan tumbuhan untuk memberikan hasil
yang cukup, baik kuantitas maupun kualitas. Jasad renik (mikroba) tidak
langsung menjadi penyebab suatu penyakit, tapi keadaan luar telah melemahkan
tumbuhan lebih dulu, sehingga jasad dapat masuk atau juga oleh
penyebab-penyebab yang bekerja terus menerus dalam waktu yang lama. Penyakit hanya
akan terjadi jika terdapat tumbuhan yang rentan, patogen yang virulen, dan
lingkungan yang sesuai. Penyakit tidak akan terjadi jika patogen yang virulen
bertemu dengn bagian tubuh yang rentan, tetapi lingkungan tidak mendukung.
Lingkungan seperti kelembaban, suhu, sinar matahari dan unsur hara sangat
mempengaruhi proses tersebut.
Pada kondisi yang mendukung, penyebab penyakit akan berkembang dan
mengadakan penetrasi masuk ke dalam jaringan membentuk toksin yang merusak
sel-sel tumbuhan. Kondisi ini menyebabkan interaksi antara parasit dengan
penetrasi pada badan tumbuhan yang tidak rentan, maka infeksi tidak akan terjadi.
Interaksi antara parasit dan tumbuhan inang terlihat dengan adanya gejala
penyakit dan biasanya gejala penyakit akan segera tampak setelah terjadinya
infeksi.
Penyakit ice ice
Penyakit pada tanaman rumput laut pertama kali diketahui pada thun 1974
di Filipina dengan gejala yang dilaporkan adanya bercak pada thallus yang
terinfeksi selanjutnya berwarna putih dan mati kemudian hancur. Penyakit ini
menyerang Eucheuma spp. terutama disebabkan oleh adanya perubahan
lingkungan arus, suhu, kecerahan, dll. di lokasi budidaya dan berjalan dalam
waktu yang cukup lama. Penyakit pada rumput laut ini terjadi di daerah-daerah
dengan kecerahan tinggi dan dikenal sebagai ice ice dengan gejala timbulnya
bercak-bercak pada sebagian thallus, lama kelamaan akan kehilangan warna
sampai menjadi putih dan terputus (Anonymous 2004). Bila dikaitkan dengan
penyakit tumbuhan, maka penyakit ice ice pada tanaman rumput laut terjadi
karena infeksi mikroba pada saat tanaman menjadi rentan. Kondisi ini disebabkan
karena adanya perubahan lingkungan yang ekstrim dan tidak dapat ditolirir,
sehingga tanaman menjadi lemah (tidak sehat). Rumput laut yang terkena
penyakit ice ice ini sebelumnya memperlihatkan adanya gejala pertumbuhan yang
lambat, permukaan thallus menjadi kasar dan pucat.
Sebagaimana tentang "Aging effect" pada rumput laut yang ditandai
dengan penurunan pertumbuhan per satuan waktu. Tanda - tanda ini nampak
sebulan atau beberapa waktu setelah penanaman yang ditandai dengan cabang–
cabang tanaman sedikit, keseluruhan tanaman menjadi pucat dan permukaan
thallus menjadi kasar. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka akan terjadi
kekeroposan thallus sebagai ciri dari penyakit ice ice yang mengakibatkan
kegagalan panen. Bercak putih (ice ice) merupakan penyakit yang timbul pada
musim laut tenang dan arus lemah diikuti dengan musim panas yang dapat
merusak areal tanaman sampai mencapi 60-80% dan lamanya 1-2 bulan (Sulistijo
Infeksi mikroba penyebab penyakit ice ice sudah menjalar pada lokasi
perairan budidaya di pulau Pari, sehingga semua tanaman rumput laut yang
dibudidayakan di pulau Pari terkena penyakit ice ice dan menurunkan harga
dipasaran. Terjadinya penyakit dipengaruhi oleh berkembangnya jenis rumput
laut lain yang menempel atau epifit, ini didahului dengan rendahnya unsur hara
diperairan karena dengan berkembangnya rumput laut jenis lain akan
mengakibatkan penurunan unsur hara yang diperlukan oleh pertumbuhan
Kappaphycus (Direktorat Jederal Perikanan 1992). Sampai saat ini belum ada
metoda yang dapat diterapkan untuk mengendalikan penyakit ice ice tetapi untuk
mengurangi kerugian, maka tanaman harus dipanen sesegera mungkin kalau
penyakit telah berjangkit. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan
memonitor adanya perubahan-perubahan lingkungan, terutama pada saat
terjadinya perubahan lingkungan disamping itu dilakukan penurunan posisi
tanaman lebih dalam untuk mengurangi penetrasi cahaya sinar matahari
(Direktorat Jenderal Perikanan 2004).
Penelitian terhadap bakteri yang menyebabkan penyakit pada K.
alvarezii ini pernah dilakukan oleh Laboratorium mikrobiologi P2O - LIPI dan
hasilnya diduga ada 8 jenis bakteri yang menimbulkan penyakit ice ice, namun
patogenitas bakteri tersebut belum diketahui. Kemudian dilanjutkan dengan
penelitian uji patogenitas dari 8 jenis bakteri tersebut yang hasilnya
menunjukkan hanya 5 bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ice ice. Lima
bakteri tersebut adalah Pseudomonas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens.
Vibrio granii, Bacillus cereus dan Vibrio agarliquefaciens. Sementara bakteri
Pseudomonas gelatica, Pseudomonas icthyodermis dan Bacillus megaterium
tidak memiliki patogenitas, sehingga tidak menyebabkan gejala penyakit ice
ice. Hasil uji patogenitas terhadap kelima bakteri tersebut dilanjutkan dan
ditemukan bakteri yang memiliki daya patogenitas tertinggi adalah Vibrio
agarliquefaciens (Nasution 2005). Sampai sekarang belum ditemukan cara
untuk membasmi penyakit ice-ice, namun upaya yang dilakukan adalah
berhenti menanam pada saat musim penyakit, sehingga dalam budidaya perlu
pemantauan lingkungan perairan dan memperhatikan musim dimana budidaya
Karaginan Rumput Laut
Mutu rumput laut erat kaitannya dalam menentukan tingkat harga di
pasaran. Menurut Doty (1987) kualitas rumput laut di Indonesia masih rendah,
sehingga jumlah produksi yang dapat diterima masih terbatas karena rendahnya
kualitas rumput laut tersebut. Selanjutnya membagi kualitas rumput laut menjadi
2 golongan yaitu kualitas standar dan rendah. Kualitas standar apabila mempunyai
berat kering bersih 70% dan penyusutan karaginan rumput laut bersih 40% serta
kekuatan gelnya 1,00, sedangkan kualitas rendah apabila berat kering bersih
hanya 60%, penyusutan karaginan bersih 30% dan kekuatan gel 0,60. Pengolahan
Kappaphycus menjadi karaginan dalam skala besar, sampai sekarang baru bisa
ditangani oleh Amerika Serikat, Denmark dan Perancis sedangkan skala kecil oleh
Jepang, Spanyol, Korea, India dan Filipina Chapman and Chapman (1980).
Kandungan karaginan rumput laut jenis Eucheuma sp berkisar antara 54,0-72,8%
di Tanzania dan di Indonesia berkisar antara 61,5-67,5. Karaginan pertama kali
diekstrasi dari Chondrus crispus pada tahun 1844 oleh Schmidt, tetapi produk
secara komersial baru dimulai tahun 1973.
Mutu dan penggunaan karaginan
Standar mutu karaginan yang diakui, telah dikeluarkan oleh Fao (Food
Agriculture Organication), FCC (Food Chemical Codex) dan EEC (European
Economic Community) (Sanderson 1981). Karaginan merupakan hidrokoloid dari
rumput laut yang paling penting dalam produk pangan karena sifat karaginan yang
dapat berfungsi sebagai stabilisator, pengental, pembentuk gel, pengemulsi,
pengikat, pencegah kristalisassi dan penggumpal (Glickman 1983). Pada industri
pangan karaginan digunakan dalam industri susu, minuman , roti, kembang gula,
pengalengan, makanan diet, makanan bayi (Chapman and Chapman 1980). Di
luar bidang pangan karaginan banyak digunakan sebagai bahan pembantu dalam
industri kosmetik, pasta gigi, obat-obatan, keramik, tekstil, cat, penyegar ruangan
Strutur kimia dansifat-sifat karaginan
Menurut Reen (1986) kappa- karaginan dihasilkan oleh rumput laut
jenis E u c h e u m a c o t t o n i i, sedangkan iota-karaginan dihasilkan oleh
E u c h e u m a s p i n o s u m G u i s e l e y et al. (1980) membedakan struktur kappa
dan lambda-karaginan berdasarkan kandungan 3,6-anhydrogalaktosa dan
kandungan sulfat. Lebih lanjut Zabik and Aldrich (1968) menyatakan bahwa
lambda-karaginan mengandung sedikit 3,6-anhydrogalaktosa dan banyak sulfat.
Identifikasi jenis karaginan dilakukan dengan menggunakan sinar infra merah
untuk mengetahui gugus fungsional. Identifikasi dilakukan dengan sidik jari
(finger print) yaitu dibandingkan dengan spektrum standar yang dibuat pada
kondisi yang sama dan identifikasi gugus fungsional dan mencocokkan dengan
tabel. Doty (1987) membedakan Kappa dan iota-karaginan berdasarkan
kandungan sulfatnya pada kappa mengandung sulfat kurang dari 28%,
sedangkan pada iota lebih dari 30%.
Sifat-sifat karaginan meliputi kelarutan, viscositas, pembentukan gel,
dan reaksi karaginan dengan protein. kelarutan karaginan di dalam air
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, adanya ion, tipe ion yang
berhubungan dengan polimer, adanya senyawa organik yang larut dalam air,
garam dan tipe ion (Tawle 1973). Kappa-karaginan larut dalam larutan
garam natrium, iota-karaginan larut dalam air panas dan lambda-karaginan
larut dalam air dingin tanpa dipengaruhi adanya ion (Glickman 1964).
Menurut Smith et al. (1955) kelarutan karaginan dipengaruhi oleh adanya
gugus 3,6 anhydrogalaktosa dan gugus ester sulfat. Lambda karaginan tidak
mempunyai gugus 3,6-anhydrogalaktosa, sehingga larut dalam air dingin,
sedangkan kappa sebaliknya. Semua karaginan larut dalam susu panas,
sedangkan dalam susu dingin lambda-karaginan mempunyai kelarutan yang
tinggi. Kelarutan pada susu ini disebabkan karena ketidak pekaan terhadap
ion kalium dan kalsium serta tingginya kandungan sulfat (Glickman 1969).
Gula-gula seperti misalnya sukrosa atau dektrose pada konsentrasi jenuh
menghambat kelarutan karaginan. Kappa- dan lambda-karaginan larut
sukar larut jika dibandingkan dengan kedua karaginan tersebut di atas
(Tawle 1973).
Kekentalan dan pembentukan gel
Larutan karaginan bersifat kental dan kekentalannya dipengaruhi
oleh konsentrasi, temperatur, tipe karaginan, berat molekul dan ion logam
yang ikut terlarut (Towle 1973). Selanjutnya dikatakan kekentalan
karaginan naik secara logaritmik jika konsentrasi larutan karaginan
meningkat, sebaliknya dengan bertambahnya temperatur kekentalan
karaginan semakin berkurang dan perubahan ini bersifat eksponensial.
Perubahan tersebut akan bersifat reversible apabila pemanasan dilakukan
pada kondosi optimum kestabilan karaginan yaitu pH 9 dengan pemanasan
tidak terlalu lama. Karaginan dapat membentuk gel secara reversible,
artinya membentuk gel pada saat pendinginan dan mencair kembali jika
dipanaskan.
Menurut Rees (1969) pembentukan gel pada karaginan disebabkan
terjadinya perubahan susunan molekul yaitu perubahan bentuk molekul
koloid karaginan yang lurus menjadi bentuk tiga dimensi. Kondisi gel pada
karaginan dapat bervariasi dari keras, rapuh, lunak dan elastis. Tekstur ini
tergantung beberapa variabel antara lain sifat karaginan, konsentrasi, tipe ion
yang ada, adanya larutan lain dan adanya hidrokoloid lain yang tidak
membeku (Towle 1973). Menurut Sharma (1981) pembentukan gel pada
karaginan dipengaruhi oleh adanya ion logam. Kappa dan iota- karaginan
tidak membentuk gel dengan ion Na, tetapi dengan ion kalium, calsium dan
amonium. Kappa-karaginan dengan ion kalium membentuk gel yang kaku,
sedangkan ion-karaginan membentuk gel yang elastis dengan adanya ion
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan budidaya pulau Pari Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta (Gambar 2). Lokasi
penelitian yang dipakai untuk penanaman rumput laut K. alvarezii yaitu lokasi
budidaya barat (luar gobah) dan lokasi budidaya utara (gobah) pulau Pari.
Penelitian mulai dari minggu pertama bulan Mei sampai dengan akhir bulan Juni
2005 untuk pengumpulan data lapangan dan dilanjutkan dengan analisis
[image:43.612.135.504.297.655.2]laboratorium selama 1 bulan.
Metode Pemeliharaan
Metode yang digunakan adalah metode rakit apung. Metode rakit apung
adalah penanaman yang dilakukan di permukaan air dengan menggunakan rakit
yang mengikuti gerakan naik turunnya air. Metode ini digunakan pada dasar
perairan yang keras, karena sukar untuk menancapkan pancang. Keuntungan dari
metode ini adalah pemangsaan oleh biota dasar dapat dikurangi karena tanaman
berada di atas jangkauan predator dan pencahayaan yang diterima lebih besar
untuk proses metabolisme dan pertumbuhan tanaman lebih baik.
Disain rakit
Penelitian ini menggunakan 10 buah rakit, berukuran masing - masing 120
x 120 cm dari bahan bambu sebagai kerangka tempat penanaman rumput laut.
Penghubung antar bambu digunakan tali nilon Polyethylen (P.E). Bahan-bahan
yang digunakan adalah potongan bambu berdiameter 10 cm yang dirangkai
dengan menggunakan tali nilon berdiameter 8 mm. Tali nilon berdiameter 4 mm
dianyam (tali ris) pada rakit dengan jarak anyam 30 cm. Pelampung botol plastik
dipasang pada ke empat sudut rakit sebagai penahan di permukaan, jerigen atau
gabus dengan bendera sebagai pelampung induk dipasang pada saat penebaran
dan pemberat (jangkar) dipasang pada tiap rakit dengan menggunakan tali nilon
berdiameter 9 mm (Gambar 3).
Rumput laut yang dijadikan benih adalah bagian ujung tallus (yang masih
muda) dari lokasi budidaya pulau Tikus yang ditimbang dengan bobot
masing-masing ikatan 125 g dan diikat pada anyaman tali ris dengan bantuan tali rafia.
Tiap rakit diperlukan 16 ikatan bibit rumput laut (2 kg), sehingga total bobot bibit
yang diperlukan untuk penanaman pada 10 buah rakit adalah 20 kg rumput laut K.
alvareezii. Disain rakit dan pengikatan benih rumput laut dilakukan di darat.
Penanaman benih
Sepuluh buah rakit ditebar pada kedalaman 30 cm di bawah permukaan air
yaitu 5 buah rakit di lokasi budidaya sebelah barat dan 5 buah rakit di lokasi
budidaya sebelah utara pada kedalaman laut 4 - 6 meter. Hasil yang diperoleh
kandungan karaginan dari dua lokasi yang berbeda saat rumput laut terkena
penyakit ice ice sebagai imformasi untuk pengembangan budidaya rumput laut
[image:45.612.137.498.144.409.2]K. alvarezii selanjutnya.
Gambar 3 Disain rakit dan pemasangan bibit rumput laut.
Pengamatan Lingkungan Perairan
Pengamatan lingkungan perairan dilakukan setiap minggu pada siang hari
pukul 11.30 WIB bersamaan dengan pengamatan tanaman uji. Pengamatan
dilakukan sebanyak 8 kali selama penelitian. Parameter lingkungan perairan yang
diamati meliputi parameter fisika, kimia dan biologi. Parameter fisika yang
diamati adalah suhu, arus, kecerahan yang diukur langsung di lapangan (in situ).
Suhu diukur dengan menggunakan thermometer, arus diukur dengan
menggunakan ״stopwacth״ gabus dan tali, kecerahan diukur dengan menggunakan
Secchidisc. Parameter kimia yang diamati adalah salinitas oksigen terlarut (DO),
pH, nitrat, nitrit, amonia, total pospat dan ortho pospat. Salinitas diukur dengan
menggunakan hand refraktometer, DO diukur dengan menggunakan titrasi (in
situ), pH diukur dengan menggunakan pH meter dan, nitrat, nitrit, amonia, total
Pengambilan air contoh untuk pengamatan pH, nitrat, nitrit, amonia, total pospat
dan ortho pospat dengan menggunakan botol plastik berwarna putih berukuran
250 ml. Sebelum dianalisis air contoh terlebih dulu disimpan pada suhu rendah
dalam peti es. Selajutnya air contoh di bawa ke laboratorium Produktivitas dan
Lingkungan Perairan (ProLing) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Waktu perjalanan dari lokasi penelitian ke laboratorium Proling kurang lebih 7
jam.
Parameter biologi berupa biota pengganggu dan sampah diamati secara
visual. Pengukuran parameter lingkungan fisika, kimia dan biologi dirincikan
[image:46.612.133.512.312.544.2]pada Tebel 3.
Tabel 3 Parameter, alat dan satuan pengukuran
Parameter Alat Satuan
FISIKA
Suhu Kecepatan arus
Kecerahan
Termometer Tali benda terapung dan stopwatch
Secchi disc, dan tali
°C cm/detik M KIMIA Oksigen terlarut Salinitas pH NO2-N NH3-N Total pospat Ortho pospat Botol BOD Hand refraktometer pH meter Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer mg/l 0 /00 mg/l mg/l mg/l mg/l BIOLOGI Biota pengganggu Sampah (visual) (visual) Teknik Pengamatan
Karakteristik pertumbuhan diamati dengan penimbangan bobot tanaman
satu ikatan untuk mengetahui pertambahan bobot. Pengamatan terhadap tanaman
dilakukan sekali setiap minggu pada kedua lokasi budidaya bersamaan dengan
pengukuran parameter lingkungan sampai minggu kedelapan (hari tanam kelima
puluh enam). Air contoh diambil pada kedua lokasi budidaya masing-masing 5
titik sampel di permukaan air dekat rakit rumput laut. Pengukuran bobot tanaman
diambil sampel sebanyak 2 ikat secara acak, sehingga tiap lokasi penanaman
diambil 10 ikatan rumput laut untuk pemantauan pertumbuhan. Pengambilan
sampel dengan memanen total yaitu mengangkat dua ikatan tanaman pada
masing-masing rakit dan ditimbang sebagai data bobot basah kemudian dilakukan
penjemuran + 3 hari. Agar hasilnya berkualitas tinggi rumput laut dijemur di atas
para-para dan tidak boleh ditumpuk. Rumput laut yang akan diambil karaginannya
tidak boleh terkena air tawar (dapat merusaknya) karena air tawar akan melarutkan
karaginan. Rumput laut yang telah kering ditimbang dengan menggunakan
timbangan digital untuk mendapatkan data bobot kering (bobot kering angin).
Kualitas Rumput Laut
Kualitas rumput laut yang diamati meliputi kandungan karaginan, kadar air
dan abu. Sampel rumput laut yang telah dikeringkan dengan penjemuran pada sinar
matahari di bawah ke Laboratorium untuk dianalisis. Pada penelitian ini sampel
dianalisis di Laboratorium Kimia Pusat Pengembangan Teknologi Pangan Institut
Pertanian Bogor.
Penentuan konsentrasi karaginan rumput laut dinyatakan dalam persentase
bobot karaginan terhadap bobot kering rumput laut mengikuti metode Ainswort dan
Blanshard (1980) dan Furia (1981). Prosedur analisis sebagai berikut :
Algae K. alvareezii dicuci dan dibersihkan dari pasir, kotoran dan
bahan-bahan asing lainnya. Algae dikeringkan dalam oven pada suhu 100 °C selama 2
jam, setelah kering diblender hingga halus kemudian diayak untuk memisahkan
bagian yang kasar dan yang halus (Gambar 4). Tepung yang dihasilkan diambil 1
g untuk direbus (diekstraksi) dengan air panas (85 - 95 °C) dalam suasana agak
basa dengan pH 8 - 9 selama 4 jam. Ekstrasi alga kemudian disaring melalui
penyaring selulosa dalam kertas saring berlipat. Hasil yang diperoleh kemudian
dipekatkan dengan cara pemanasan menjadi 50 ml. Isopropanol ditambahkan (±
15 ml) dan dibiarkan semalam. Hasil ekstrak ini kemudian disaring dengan kain
putih tipis lalu tambahkan isopropanol 96% (± 15 ml) kemudian dimasukkan
kedalam wadah kecil yang telah ditimbang sebelumnya. Selanjutnya dikeringkan
timbangan analitik. Berat hasil penimbangan dikurangi dengan berat wadah pada
waktu kosong, maka di peroleh berat karaginan bersih (g).
Gambar 4 Bagan alir analisis karaginan.
Berat kering angin adalah bobot produk rumput laut setelah dikeringkan
dengan penjemuran pada sinar matahari. Kadar air dari rumput laut kering angin
dianalisis untuk penentuan kadar air yang dilakukan dengan pengeringan dalam
oven selama 12 jam dengan suhu 100 °C. Penentuan kadar abu dilakukan dengan
proses pembakaran dari rumput laut kering angin dengan menggunakan alat oven
Analisis Data
1 Analisis pertumbuhan akan dilihat secara partumbuhan parsial yaitu
pertumbuhan yang dilihat antar waktu yang dinyatakan menurut (Affandi et al.
2002) dengan rumus sebagai berikut :
a. Pertumbuhan mutlak = Wt1 – Wt0
b. Pertumbuhan relatif x100%
Wt Wt Wt 0 0 1− =
Dimana : Wt = Pertumbuhan pada waktu t
Wt0 = Pertumbuhan pada waktu awal
2 Analisis kualitas rumput laut meliputi kandungan karaginan, kadar air dan
kadar abu. Untuk mendapatkan persentase karaginan dihitung menurut
(Ainsworth and Blanshard 1980) dengan rumus sebagai berikut :
x100% algae sampel berat karaginan berat Karaginan=
Untuk mendapatkan presentase kadar air dan kadar abu dihitung menurut
(Patadjai 1993) dengan rumus sebagai berikut:
100% x contoh berat bobot kehilangan air
Kadar =
100% x contoh berat abu Bobot abu
Kadar =
Hasil olahan data disajikan dalam bentuk gambar dan tabel.
3 Untuk melihat perbedaan parameter di lokasi budidaya sebelah barat dan utara
dilakukan uji beda dengan menggunakan uji t student (Bengen 2000).
Hipotesis
Ho = tidak terdapat perbedaan nyata antara lokasi barat dan utara
H1 = terdapat perbedaan nyata antara lokasi barat dan utara
Rumus t - hitung sebagai berikut :
dimana, x1 = rata-rata contoh 1, x2 = rata-rata contoh 2,
Kaidah keputusan :
t hit < ttab (α = 0,05), n1+ n2-2, terima Ho
t hit > ttab (α = 0,05), n1+ n2-2, tolak Ho
4 Untuk melihat karakterisrik kedua lokasi budidaya digunakan analisis PCA
dengan menggunakan sover EXTAT versi 06.
5 Untuk analisis hubungan pertumbuhan dan karaginan dengan unsur hara
menggunakan analisis regresi ganda. Hasil analisis diuji dengan analisis ragam
(Anova) untuk melihat beda nyata pada taraf (P<0,05) dengan bantuan
program komputer Statistical Software Minitab versi 13.
6 Untuk analisis hubungan kandungan karaginan dengan waktu pengamatan
digunakan regresi kuadratik dan linear.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah Penelitian
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu merupakan daerah tingkat II di
Propinsi DKI Jakarta yang baru dibentuk melalui UU No. 34 tahun1999 dan PP
No. 55 tahun 2001. Wilayah kepulauan Seribu adalah sebuah kecamatan yang
ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten Administratif dengan 2 kecamatan dan
6 kelurahan. Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau kecil di perairan
laut sebelah utara DKI Jakarta. Luas Kepulauan Seribu (daratan dan perairan)
6 997,50 km2 sekitar 10 kali luas daratan Propinsi DKI Jakarta dengan luas 864,59
ha dan jumlah pulau sebanyak 110 buah.
Keadaan angin di Kepulauan Seribu terbagi menjadi angin musim barat
(Desember-Maret) dan angin musim timur (Juni-September). Musim pancaroba
terjadi pada April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim
barat bervariasi antara 7-20 knot bertiup dari barat laut dan musim timur
kecepatan angin berkisar antara 7-15 knot bertiup dari timur laut. Musim hujan
biasanya terjadi antara bulan Nopember - April dengan hari hujan rata-rata 20
hari/bulan dan curah hujan terbesar terjadi pada bulan Januari. Musim kemarau
berlangsung antara bulan Mei-Oktober yang kadang-kadang masih terdapat hujan
antara 4-10 hari per bulan dan curah hujan terkecil terjadi pada bulan Agustus.
Laju pertambahan penduduk rata-rata 2,92% per tahun dengan laju pertumbuhan
pada periode 1998-1999 cukup tinggi yaitu 5,65%. Pertambahan penduduk
dibeberapa pulau diantaranya pulau Pari cukup tinggi karena didorong oleh
aktivitas perekonomian (Bapeda DKI 2001).
Dalam pembagian kelurahan, pulau Pari termasuk kecamatan Kepulauan
Seribu selatan yang terdiri dari 10 buah pulau. Lokasi penelitian berada pada
pulau Pari sekitar 35 km (± 3,5-5 jam ) dari Jakarta. Transportasi laut yang
terdekat adalah melalui Rawasaban (Tangerang) ± 1,5-2 jam perjalanan
menggunakan kapal motor. Pada musim barat dan musim timur terjadi
pergerakan arus dari timur ke barat, sehingga membawa banyak kotoran
(sampah-sampah) dari darat yang membahayakan kelangsungan organisme perairan.
akibat kondisi perairan yang kurang mendukung bersamaan dengan kematian
masal algae laut yang menjadi sumber penghasilan utama nelayan pulau Pari
(Johan 2001). Perairan yang bersifat open access terjadi dalam penentuan lokasi
budidaya rumput laut yang dilakukan dengan cara mematok sendiri oleh petani.
Kondisi ini mengakibatkan semakin padat lahan budidaya, sehingga banyak
sampah yang masuk dan tertahan pada lahan maupun tanaman budidaya. Akibat
dari padatnya lokasi perairan dengan tanaman rumput laut, sehingga jalur
transportasi keluar masuk pulau Pari pun mengalami kesulitan.
Jumlah pembudidaya dan produksi pada tahun 1997 berjumlah 164 orang
dengan produksi 642 ton, sedangkan tahun 1998 jumlah pembudidaya 876 orang
dengan produksi 3.432 ton. Beberapa tahun ini rumput laut K. alvarezii