• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Kekerabatan Masyarakat Mandailing

Dalam dokumen ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN (Halaman 34-41)

MAS YARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN

2.6 Sistem Kekerabatan Masyarakat Mandailing

28

Sistem kekerabatan adat istiadat M andailing masih memegang pada adat istiadat yang disebut dengan “Markoum Marsisolkot”, adat istiadat ini sudah disempurnakan atas pihak – pihak yang untuk dapat disatukan menjadi hidup berdampingan rukun dan damai. Karena dari arti dan makna “markaoum” adalah

berkaum atau famili dekat, meskipun ia dari orang yang juah atau or ang yang tidak perna dikenal. Sedangkan “marsisolkot” artinya mendekatkan yang sudah dekat, artinya masih satu marga atau suku dari satu Nenek M oyang.

Adat Istiadat Markoum Masrsisolkot di M andailing sudah disepakati untuk dipakai kepada masyarkatnya baik dalam Upacara Siriaon (upacara suka cita) ataupun Upacara Siluluton (upacara duka cita). Dimana dikatakan bahwa adat istiadat yang berdasarkan markoum marsisolkot yang tertuang dalam beberapa lembaga Adat yaitu (1) patik, (2) ugari, (3) uhum, dan hapantunon.

- Patik adalah peraturan adat yang tidak boleh dilanggar , jika dilanggar akan dihukum, sebagaiman patik sebagai peraturan yang dipakai untuk pedoman agar semua kegiatan dalam kehidupan dapat menciptakan kasih sayang , atau tidak menimbulkan pertentangan atau pergesekan kepada masyarakat. - Ugari adalah kebiasaan yang diangkat seperti peraturan. Jadi adat kebiasaan

yang diadatkan dari suatu daerah tidak merusak adat.

- Uhum adalah sanksi hokum terhadap perlanggaran atas peraturan seperti patik, ugari, dan hapantunon. Uhum atau sanksi pelanggaran itu bertingkat- tingkat mulai dari teguran, denda, pasung, diusir dari kampong, dan kepada hukuman mati.

- Hapantunon adalah salah satu adat istiadat yang bertujuan memperhalus hubungan manusia atau dengan manusia yang lain. Hapantunon memberikan kepada M asyarakat maupun Keluarga yang mempelajari etika

29

pergaulan ataupun etika dalam bergaul sehari-hari atau dalam ikatan keluarga didalam pertuturon.

Adat istiadat Markaoum Marsisolkot ini belakang hari dikatakan orang juga sebagai Dalihan Na Tolu . Dalihan artinya batu tungku, dan na tolu artinya yang tiga, maksudnya ketiga batu ini menjujung satu wadah atau satu adat. Yakni tiga unsur kelompok yang berbeda menjujung satu wadah Adat M andailing, yang terdiri dari Kahanggi, Anak Boru, dan M ora.

- Kahanggi adalah kelompok yang terdiri dari pihak kita sendiri yang bersaudara kandung dan ditambah dengan kelompok yang sesame satu marga. Unsur kahanggi juga termasuk saama – saibu (seayah - seibu),

saompu (satu nenek), saparaman (satu bapak), sabana (seketurunan),

sapangupaan (kakek bersaudara kandung), dan sakahanggi (orang – rang satu marga dalam satu kampung).

- Anak Boru adalah tempat pemberian anak – anak gadis dari kelompok kita

tadi. Atau kelompok kerabat yang menerima anak gadis dari pihak M ora. Dan biasanya pihak keluarga anak boru hormat kepada pihak moranya. - Mora adalah kelompok saudara – saudara dari istri – istri dari pihak kita

atau tempat pengambilan anak – anak gadis dalam perkawinan.

Dari hasil keputusan musyawarah dari ketiga kelompok inilah atau dari pihak kahanggi, Anak Boru, dan Mora terciptanya adat M andailing yang dikatakan adat Markoum Marsisolkot. Apa bila salah satu kelompok diantaranya tidak diikut sertakan, maka upacara Adat M andailing yang berdasarkan ad at istiadat M arkoum M arsisolkot tidak tercipta, atau dengan perkataan lain dibatalkan sama sekali.

Di M andailing menganut M arga yang diturunkan melalui dari M arga Ayah atau disebut dengan patrilineal. Orang – orang yang atau garis keturunan Patrilineal

30

ini di daerah M andailing dikelompokan menjadi marga yang dimaksud sama dengan clan. Adapun marga yang terdapat di M andailing yaitu (a) Nasution, (b)

Lubis, (c) Pulungan, (d) Rangkuti, (e) Batu Bara, (f) Dulae, (g) Matondang, (h)

Parinduri, (i) Hasibuan. M arga Lubis dan Nasution merupakan marga yang paling banyak jumlah warganya di Daerah M andailing.

Setiap anggota M asyarakat yang mempunyai marga, akan meletakkan nama marganya dibelakang marga sendiri. Karena hal ini merupakan suatu tradisi yang telah menyatu dengan kehidupan M asyarakat M andailing sejak dahulu. Marga

adalah suatu yang memiliki nilai-nilai solidaritas didalam keluarga maupun di masyarakat. Orang-orang yang semarga dianggap bersaudara atau satu keturunan yang disebut Markahanggi.

Sistim kekerabatan lain yang luas dari marga juga terdapat pada M asyarakat M andailing. Sistim kekerabatan ini didasari oleh adanya suatu ikatan darah dan ikatan perkawinan antara anggota kelompok marga yang ada pada masyarakat. Ikatan darah dan perkawinan inilah yang melahirkan sistim sosial yang dilandasi dengan hubungan kekerabatan yang dinamakan dalihan na tolu.

2.7 Kesenian

M asyarakat M andailing sudah mengenal kesenian sejak zaman dahulu, seni musik yang hidup pada saat itu sangat berkaitannya dengan sistim kepercayaan lama atau dengan pele begu (menyembah roh nenek moyang). Setiap melakukan upacara ritual atau keagamaan pada masa itu musik digunakan sebagai perantaraan dalam upacara. Didalam kehidupan masyarakat M andailing pada masa pra islam, musik merupakan sebahagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan keagamaan (religi) dan upacara – upacara adat, baik itu upacara yang bersifat suka cita yang dinamakan siriaon, ataupun upacara adat siluluton, yaitu upacara adat duka cita.

31

Sistim kepercayaan animisme yang dikenal dengan pele begu tersebut menempatkan musik (yang dipergunakan untuk upacara religi) pada kedudukan yang tinggi. Seperti penjelasan yang dibuat oleh koentjaraningrat bahwa : hal itu disebabkan karena suara, nyanyian dan musik, merupakan suatu unsure yang sangat penting dalam upcara keagamaan sebagai hal yang biasa menambah suasana keramat atau sakral. (Koentjaraningrat 1980 :245)

Dalam tradisi di M andailing pada masa Pra Islam pemujaan itu selalu menggunakan seorang perantara yang dinamakan si baso. Sedangkan bunyi – bunyian suci diperkirakan adalah ensambel gondang maupun gordang. Dan pemain musik yang ahli pada masa itu dinamakandatu peruning – uningan atau datu pargondang. Dikarenakan mereka belajar bermain musik bukan dari manusia, melainkan dari begu. Yang secara khusus pula begu memberikan irama-irama gondang kepada datu paruning – uningan. Dan setelah masuk dan berkembangnya Agama Islam di daerah M andailing, penggunaan musik yang ditujukan kepada roh nenek moyang tidak dibenarkan untuk ditampilkan, karena hal itu sangat bertentangan dengan ajaran A gama Islam. misalnya tradisi mengandung (meratap dihadapan jenazah) yang dilakukan pada upacara adat siluluton (duka cita). M engandung pada adat siluluton adalah suatu perbuatan yang tidak diperkenankan yang tidak sesaui dengan kaidah ajaran islam.

Dalam bentuk nyanyian biasanya masyarakat dibawakan secara solo. M isalnya jenis nyanyian ungut-ungut. Nyanyian ini sering dibawakan oleh anak muda (meskipun siapa saja boleh membawakannya) sebagai nyanyian pelipur lara yang melukiskan tentang rasa duka dalam hal percintaan, dan dinyanyikan tidak didepan umum atau secara tertutup hanya secara pribadi.

32

M asyarakat M andailing, terutama ibu-ibu rumah tangga ataupun anak-anak gadis bila hendak menidurkan anak bayi biasanya akan dibawakan nyanyian khusus yang dinamakan bue-bue. Sambil membuei si bayi, ibunya ataupun anak-anak gadis akan mendendangkan nyanyian nyanyian agar buah hatinya tertidur. Tradisi bernyanyi seperti ini jarang hamper tidak dipergunakan oleh masyarakat terutama ibu rumah tangga. Hal ini disebabkan perkembangan zaman yang berubah ubah.

Secara khusus masyarakat M andailing menggunakan istilah ende untuk menyebutkan segala jenis nyanyian atau seni vocal yang terdapat pada masyarakat tersebut. Walaupun pada tiap nyanyian yang dibawakan oleh masyarakat yang mempunyai fungsi berbeda-beda seperti contoh diatas.

Adapun jenis alat musik di masyarakat M andailing yang sumber bunyinya dari udara yang disebut dengan aerofon yaitu (a) tulila, merupakan alat musik tiup yang digunakan oleh para anak-anak muda untuk memikat anak gadis yang dilakukan pada malam hari. Sang pemuda mendatangi rumah si gadis untuk ber dialog secara berbisik dari dibali dinding tentang rasa cinta antara keduanya. (b)

uyup-uyup, merupakan alat musik tiup yang ter buat dari batang padi. Digunakan oleh para pemuda sebagai hiburan di sawah-sawah, dan tidak jarang pula untuk menarik perhatian oleh para gadis-gadis. (c) ole-ole atau olang-olang yang merupakan alat musik tiup ini terdapat lilitan daun kelapa yang berbentuk corong dan berfungsi untuk memperbesar suara. (d) suling, yang terbuat dari bambu dan digunakan untuk hiburan (e) sordam. M erupakan alat musik bambu. Alat musik ini kegunaannya sama dengan suling yang dilakukan ditempat bernaungan seperti di bawah – bawah pohon.

Jenis alat musik membranofon yang sumber bunyi berasal dari kulit atau membran yaitu: (a) gondang dua. Ensambel ini juga dinamakan gondang boru. Alat

33

musik ini terdiri dari dua buah gondang. Keduanya memliki ukuran dan bentuk yang sama dan kegunaan gondang dua atau gondang boru ini digunakan pada upacara adat siriaon (suka cita) misalnya perkawinan yang berfungsi untuk mejemput pengantin perempuan, dan upacara silluluton (duka cita) misalnya upacara kematian. (b) gordang tano, gordang tanoh ini terbuat dari tanah yang dikorek kemudian ditutup dengan papan dan dibuat tiang penyangga yang fungsinya untuk mengikat rotan. Rotan inilah yang dipukul untuk menghasilkan bunyi. Gordang tano digunakan uttuk menurunnkan hujan, tetapi pada saat sekarang sudah sulit untuk ditemui. (c) gordang sambilan, endambel ini terdiri dari sembilan buah gordang yang bentuknya panjang dan besar dengan ukuran yang berbeda – beda. Dan nama - nama gordang ini tidak sama di wilayah madailing seperti di daerah pakantan, huta pungkut, dan tamiang. untuk sepasang gordang yang paling besar di daerah Pakantan disebut : jangat (1,2), hudong-kudong (3,4), panduai

(5,6), patolu (7,8) dan enek-enek (9), sedangkan di daerah Hutapungkut dan Tamiang disebut jangat yang dibagi dalam tiga bagian yaitu (1) jangat siangkaan, (2) jangat silitonga , dan (3) jangat sianggian, (4,5) pangaloi, (6,7) paniga, (8)

hudong-kudong, (9) teke-teke (Hutapungkut), eneng-eneng (Tamiang). Gordang sambilan terbuat dari pohon ingul tetapi pada saat sekarang tidak jarang memakai batang pohon kelapa di karenakan pohon ingul sulit ditemukan. Untuk membrannya yaitu kulit lembu yang diikat dengan rotan yang besarnya jari kelingking orang dewasa dan cara memainkannya dipukul dengan sepasang batang kayu. Gordang sambilan digunakan didalam upacara siriaon (suka cita) misalnya upacara pernikahan, menyambut tamu, memasuki rumah baru, dan peresmian – peresmian. (d) gordang lima, dipergunakan lima buah gordang yang memiliki ukuran dan nama yang berbeda – beda. Ukuran yang terbesar bernama jangat. Kemudian

34

ukuran selanjutnya hudong kudong, ukuran yang ketiga dinamaka padua, yang keempat adalah patolu, dan yang terkecil adalah enek – enek. Gordang lima digunakan pada zaman dahulu untuk memohon kepada roh nenek moyang mereka.

Alat musik mandailing lainnya yang bersifat kordofon yaitu gondang bulu,

dalam sub klasifikasi ziter tabung dan mempunyai dawai yang bersifat Idiokordik. Gondang Bulu digunakan untuk menghibur dan mengiringi anak – anak gadis berlatih tarian tor – tor.

Jebis kesenian alat musik mandailing yang sumber bunyinya berasal dari dirinya sendiri (idiofhon) terdiri dari yaitu (a) tali sasayak, (b) ogung jantan(lebih kecil dari ogung boru ), (c) ogung betina atau ogung boru, (d) doal, (e) momongan

yang terdiri dari (1) pamulusi, (2) panduai, dan (3) panolongi.

Yang sebenanya tor – tor meenurut aslinya bukanlah tarian tetapi sebagai pelengkap gondang berdasarkan kepada falsafah adat. Tor – tor yang dilakukan dengan gerakan tertentu mempunyai ciri khas, makna, dan tujuan tertentu.

Dalam dokumen ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN (Halaman 34-41)

Dokumen terkait