ii
ANALISIS FUNGSI DAN STRUKTUR MUSIKAL
GORDANG SAMBILAN DALAM UPACARA
ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN
S KRIPS I S ARJANA
DIKERJAKAN
O L E H
MAHYAR S OPYAN PANE NIM: 080707002
UNIVERS ITAS S UMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUS IKOLOGI
MED AN
ii
ANALISIS FUNGSI DAN STRUKTUR MUSI KAL
GORDANG
SAMBILAN
DALAM UPACARA ADAT PERKAWI NAN MANDAILING
DI KOTA MEDAN
Drs. M uhammad Takari, M .Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001
Pembimbing II,
Drs. Fadlin, M .A. 196102201989031003
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU M edan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam
ii PENGES AHAN
DITERIM A OLEH:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu
Budaya< Universitas Sumatera Utara, M edan
Pada Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M .A. NIP
Panitia Ujian: Tanda Tangan
1. Drs, M uhammad Takari, M .A., Ph.D 2. Dra. Heristina Dewi, M .Pd.
ii
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUM ATERA UTARA
DEPARTEM EN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas rahmad dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Analisis
Fungsional dan struktur Musikal Gordang Sambilan dalam Upacara Adat Perkawinan
pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan.
Tugas Akhir ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna memperoleh
gelar sarjana Seni dari jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini bukanlah tujuan akhir dari
belajar karena belajar adalah sesuatu yang t idak terbatas.
Dalam penulisan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang
tua saya. Ayahanda Saimurtama Pane dan Amidar yang telah memberikan kasih saying
dan kepercayaan kepada saya dengan tulus hati serta tiada hentinya memberikan perhatian
dan dorongan demi selesainya studi anaknya.. juga kepada semua saudara saya, adinda
Agusyahputra Pane, adinda Tin Aprizal Ananda Pane, adinda Siti Rahma Pane, adinda
Nuraida, dan saudara-saudara lainnya yang telah memberikan bantuan moril dan materil
dalam menyelesaikan studi saya ini.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Drs. M uhammad Takari, M .Hum., Ph.D. selaku ketua Jurusan
Etnomusikologi sekaligus yang membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas
akhir ini.
2. Bapak Drs. Fadlin M .A yang membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas
akhir ini.
3. Segenap para dosen di Jurusan Etnomusikologi yang turut membantu proses
ii
4. Seluruh informan termasuk Bapak Ridwan Amanah Nst sebagai narasumber
penulis yang telah banyak membantu untuk memberikan informasi yang
berkaitan dengan tugas akhir ini.
5. Seluruh stambuk 2008 jurusan Etnomusikologi yang membantu saya
dengan dukungan motivasi sehingga saya bisa menyelesaikan tugas akhir ini.
6. Semua pihak yang telah membantu saya dan tidak dapat saya sebutkan
satu- persatu.
Penulis menyadari skripsi ini belum dapat dikatakan sempurna, oleh sebab itu
penulis mengaharapkan sekali masukan-masukan dan saran-saran yang sifatnya
membangun dan membaca, sehingga mengarah kepada kemajuan ilmu pengetahuan
khususnya di bidang ilmu etnomusikologi.
M edan, 2013
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dapat dipikirkan, dikerjakan, dan
diterapkan oleh manusia. Budaya suatu suku bangsa merupakan suatu penampakan
identitas diri dari suku bangsa tersebut. Suatu suku bangsa dapat dikenal oleh dunia
apabila suatu suku bangsa tersebut sanggup memperkenalkan identitas dirinya kewat
budayanya yang khas (Parlaungan 1997:4).Salah satu dari sekian banyaknya
kebudayaan yang ada di Indonesia adalah kebudayaan masyarakat M andailing yang
terletak di Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara. Etnik M andailing adalah orang
yang berasal dari M andailing secara turun menurun dimanapun ia bertempat tinggal.
M andailing terdapat di Sumatera Utara yang terletak di Kabupaten M andailing Natal.
M andailing dibagi dua walaupun adatnya sama, yaitu M andailing Godang dan
M andailing Julu. M andailing Godang didominasi oleh marga Nasution yang wilayahnya
mulai dari Sehepeng sebelah utara Panyabungan sampai M aga disebelah selatan serta
didaerah Batang Natal sampai M uarasoma dan M uara Parlampungan disebelah barat.
Sedangkan daerah M andailing Julu didominasikan oleh marga Lubis yang wilayahnya
dari Laru dan Tambangan disebelah utara Kotanopan sampai Pakantan dan
2
Etnik M andailing memiliki alat musik kesenian yang menjadi ciri khas
kebudayaan M andailing yang bernama Gordang Sambilan. Gordang sambilan
adalah seperangkat alat musik sakral yang terdiri dari Sembilan buah gendang yang
berukuran besar. Adapun penamaan dari Sembilan gordang tersebut mulai dari
yang terbesar sampai terkecil selalu berbeda-beda pada suatu daerah tetapi
bentuknya sama, seperti di daerah pakantan, huta pungkut dan tamiang
Untuk memperjelas perbedaan nama-nama Gordang Sambilan (dari yang
besar sampai yang kecil) dapat dilihat table berikut:
Tabel 1. Perbedaan Nama M aisng-masing Gordang dalam Ensambel
Gordang Sambilan di Wilayah Budaya M andailing
Penamaan
gordang
Pakantan Huta Pungkut Tamiang
Gordang 1 Jangat Jangat siangkaan Jangat siangkaan
Gordang 2 Jangat Jangat silitonga Jangat silitonga
Gordang 3 Hudong-Kudong Jangat sianggian Jangat sianggian
Gordang 4 Hudong-Kudong Pangoloi Pangoloi
Gordang 5 Padua Pangoloi Pangoloi
Gordang 6 Padua Paniga Paniga
Gordang 7 Patolu Paniga Paniga
Gordang 8 Patolu Hudong-Kudong Hudong-Kudong
3
Permainan gordang sambilan pada upacara adat masyarakat M andailing
tidak terlepas dari pemain ensambel musik yang dimainkan secara bersamaan
sesuai pola yang berlaku bagi masyarakat M andailing. Adapun jumlah pemain
gordang sambilan yaitu terdiri dari 11 (sebelas) para pemusik meliputi, (1) satu
orang pemain sarune, (2) lima orang memainkan gordang sambilan dengan
pembagian, (a) satu orang memainkan dua buah jangat atau disebut panjangati, (b)
satu orang memainkan hudong-kudong, (c) satu orang memainkan dua buah paduai,
(d) satu orang memainkan dua buah patolu dan, (e) seorang memainkan enek-enek,
(3) satu orang memainkan ogung boru dan ogung jantan, (4) satu orang memainkan
mongmongan atau gong panolongi dan panduai dan, (5) satu orang memainkan
pamulosi, (6) satu orang memainkan gong doal dan, (7) satu orang memainkan tali
sasayak. Formasi ini terdapat di daerah Pakantan.
Sedangkan diwilayah Huta Pungkut dan Tamiang jumlah pemain
pemusiknya adalah 9 (sembilan) yang terdiri dari (1) satu orang pemain sarune, (2)
empat orang memainkan gordang sambilan dengan pembagian, (a) satu orang
memainkan tiga buah jangat yaitu jangat siangkaan, jangat silitonga, jangat
sianggian, (b) satu orang memainkan duah buah pangoloi, (c) satu orang
memainkan duah buah paniga, (d) satu orang memainkan duah buah
hudong-kudong, (3) satu orang memainkan ogung boru dan ogung jantan, (4) satu orang
memainkan mongmongan, (5) satu orang memainkan talempong, dan (6) satu orang
memainkan tawak-tawak. (Rithaony Hutajulu dan Irwansyah Harahap 2004:31-32).
Namun dalam pembahasan ini, penulis lebih mengarah kepada daerah Pakantan.
M asyarakat M andailing menerapkan adat-istiadatnya dengan disebut
“markoum marsisolkot” artinya terdiri dari kelompok yang berlainan marga
4
hari adat istiadat markoum marsisolkot ini disebut orang juga dengan adat dalihan
na tolu yang diartikan yaitu dalihan : batu tungku, na tolu: yang tiga. M aksudnya
tungku yang tiga (tiga batu tungku) yang secara arfiah diartikan sebagai tungku dan
penyangganya terdiri dari tiga. A gar tungku tersebut dapat seimbang. Secara
etimologi berarti merupakan suatu tumpuan yang komponen (unsur)nya terdiri dari
tiga kelompok (H. Pandapotan Nasution, S.H 2005).
Ketiga kelompok yang berlainan marga itu yaitu suhut dan kahangginya,
mora dan anak boru. Yang dimaksud Suhut dan Kahangginya adalah kita sendiri
dengan saudara-saudara kita baik yang terdiri dari satu ibu dan satu bapak atau
tidak tetapi haruslah dari kelompok yang satu marga. Mora adalah dari kelompok
tempat pengambilan anak gadis dalam perkawinan atau orang tua dan
saudara-saudara dari pihak istri kita. Anak Boru adalah tempat pemberian anak-anak gadis
kita dalam perkawinan atau pihak orang-orang tua dan saudara-saudara dari suami
anak-anak gadis kita (kelompok dari menantu).
Bentuk-bentuk acara gordang sambilan menurut sifat penggunaan terdiri
dari upacara siriaon (suka cita) yaitu upacara perkawinan, penyambutan tamu, dan
memasuki rumah baru sedangkan upacara siluluton (duka cita) yaitu upacara
kematian. Namun pada praktek penyelenggaraannya gordang sambilan di Kota
M edan lebih digunakan pada sifat upacara siriaon (suka cita) hal ini disebabkan
karena bentuk upacara siriaon (sukacita) merupakan bentuk upacara yang paling
lazim diselenggarakan, penggunaan pada upacara siluluton (dukacita) tidak lagi
dilakukan karena bentuk penyelenggaraan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
ajaran agama Islam. pada upacara siriaon (suka cita) yang masih dilakukan sampai
saat ini di Kota M edan adalah upacara perkawinan, penyambutan tamu, dan
5
yang umum menggunakan gordang sambilan karena upacara perkawinan memiliki
intensitas dalam hal penyelenggaraanya. Pada kedua sifat penggunaan gordang
sambilan diatas, penulis lebih menitikberatkan pembahasan pada sifat siriaon
(sukacita) yaitu dalam upacara pesta perkawinan masyarakat M andailing di Kota
M edan.
Dalam upacara perkawinan, Gordang Sambilan dimainkan disaat
penyambut pengantin, tamu dan selesai pemberian gelar adat kepada pengantin
laki-laki itupun setelah diberi izin melalui markobar (musyawarah) kemudian
dipukulnya gondang dua (gondang boru) yang sebagai tanda bahwa upacara sudah
resmi dibuka dan gordang sambilan sudah di pindahkan dari bagas/sopo gondang
(rumah gondang), barulah Gordang Sambilan bisa dimainkan setelah disantani
(tepung tawari) dan untuk meninggung (pemukul pertama gordang) adalah raja
panusunan (Raja yang tertinggi di huta) kemudian diserahkan kepada pemain
gordang untuk memainkannya. Dan pada saat di hari puncaknya pesta atau hari
akhirnya pesta pernikahan selesai dimana acara margondang pun dihentikan, maka
disimpan kembali dengan terlebih dahulu disoda sebaimana dengan menyantan
gondang. Biasanya pada saat dimainkan Gordang Sambilan diikuti dengan tari
sarama (tarian yang menghormati roh nenek moyang) dengan kesurupan.
Pada upacara perkawinan masyarakat M andailing, gordang sambilan identik
dengan kemapanan seseorang melaksanakan upacara perkawinan tersebut. Keluarga
yang mengadakan upacara adat menggunakan gordang sambilan termasuk keluarga
yang bisa dikatakan orang yang mempunyai harta yang lebih karena dalam
mengadakan Gordang Sambilan menggunakan anggaran yang besar mulai dari
mengadakan peralatan adat (paragek atau pago-pago) dihalaman seperti bendera
6
pelaminan sampai upacara perkawinan yang berlangsung selama tiga hari dua
malam sehingga masyarakat yang mengadakannya boleh dikatakan orang yang
terpandang (wawancara narasumber).
Pada upacara horja godang (pesta besar atau biasanya disebut pesta
perkawinan), seekor kerbau jantan yang sudah cukup umur di sembelih sebagai
syarat untuk mengadakan Gordang Sambilan, meskipun untuk mangampeon
gondang (menempatkan gordang pada rumah gendang yang disebut bagas
gordang) dalam upacara perkawinan tersebut itupun harus meminta izin kepada
raja pasunan bulung. M eminta izin tersebut dengan menyurdu burangir kepada raja.
Pasunan bulung adalah seorang ahli dan penguasa dalam adat istiadat M andailing.
Keizinan dapat diperoleh dari hasil musyawarah adat yang di sebut markobar
(wawancara Ibrahim Lubis)
Gordang Sambilan adalah alat musik yang bersifat sebagai pembawa rit me
yang berulang-ulang. Dalam segi musikal, Gordang Sambilan mempunya pola
rit me yang dimana penentu patokannya terhadap ritme gordang sambilan adalah
Patolu yang dipukul dua kali dalam set iap empat ketuk dengan pukulan yang
konstan, sedangkan enek-enek (paling kecil), padua (setelah patolu),
hodong-kudong sebagai pengisi ritme dan jangat (paling besar) berfungsi sebagai variasinya
dari empat gordang tersebut.
Adapun fungsi gordang sambilan pada adat horja siriaon (perkawinan) yang
dikemukakan oleh Bapak Ridwan Amanah Nst adalah sebagai bentuk pengumuman
kepada masyarakat mengenai proses perkawinan yang dilaksanakan selain itu juga
berfungsi sebagai media pertemuan antar pemuka atau toko adat M andailing,
sebagai simbol pengesahan bahwa telah dilakukannya pengangkatan gelar ataupun
7
masyarakat bahwa sedang berlangsungnya acara adat. Secara fungsi Gordang
Sambilan tidak mengalami perubahan fungsi karena fungsi Gordang Sambilan di
Kota M edan tetaplah sebagai alat musik kesenian tradisional M andailing.
Perubahan yang tampak adalah pada aspek kegunaannya saja.
Berdasarkan penelitian ini penulis mengamati tentang Upacara Perkawinan
Adat M andailing yang diadakan di Kota M edan, upacara ini berlangsung selama
dua hari satu malam. Dan upacara perkawinan pada jaman dulu upacara ini
berlangsung selama 7 hari dan bahkan ada yang sampai 1 bulan, tetapi p ada saat
sekarang ini upacara perkawinan biasanya di laksanakan selama dua hari satu
malam, karena memerlukan biaya yang cukup besar dalam upacara yang cukup
lama.(Wawancara Bpk Ridwan Amanah Nst)
Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis merasa dalam pengkajian
tentang ensambel musik yang di gunakan pada pesta perkawinan masyarakat
M andailing yaitu gordang sembilan penting untuk di kaji dan ditulis dalam sebuah
tulisan atau di jadikan bahan skripsi dalam bentuk ilmiah dengan Judul “Analisis Fungsi Dan S truktur Musikal Gordang S ambilan Dalam Upacara Adat Perkawinan Pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan.”
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas penulis membatasi pokok permasalahan karena
keterbatasan waktu dan kemampuan akademis.
Pokok permasalahan yang akan di bahas dalam tulisan ini ialah:
1. Bagaimana fungsi gordang sambilan dalam Upacara Perkawinan pada
8
2. Bagaimana struktur musikal gordang sambilan dalam Upacara Perkawinan
pada M ayarakat M andailing di Kota M edan?
1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
a. M engetahui bagaimana fungsi gordang sambilan dalam upacara perkawinan
pada masyarakat M andailing di Kota M edan.
b. M engetahui bagaimana struktur musikal gordang sambilan dalam
perkawinan pada masyarakat M andailing di Kota M edan.
c. Sebagai dokumentasi tentang Kebudayaan M andailing dan dapat menjadi
masukan di Departemen Etnomusikologi.
1.3.2 Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
a. M emberi pengetahuan dan informasi kepada masyarakat luas bagaimana
fungsi gordang sambilan dala upacara perkawinan pada masyarakat
M andailing di Kota M edan.
b. Dapat mengerti dan mengetahui bagaimana proses permainan gordang
sambilan dalam perkawinan pada masyarakat M andailing di Kota
M edan.
c. Dengan membaca skripsi ini di harapkan masyarakat di Kota M edan
khususnya kebudayaan M andailing dapat mengetahui lebih dalam
mengenai penggunaan gordang dalam upacara perkawinan pada
9 1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Konsep ialah pengertian abstrak dari sejumlah konsepsi – konsepsi atau
pengertian,
pendapat atau paham yang telah ada dalam pikiran ( Koentjaraningrat 1985 : 10 ).
Dalam penulisan ini yang di maksud dengan fungsi yaitu kegunaan dari suatu hal
yang dilaksanakan, dan pengertian dari guna adalah manfaat dari suatu benda atau
pekerjaan yang dilakukan ( Kamus Lengkap Bahasa Indonesia : 1997 ).
Sebagai landasan berpikir dalam pembahsan skripsi ini maka penulis
melandaskan kepada pemahaman yang dikemukan oleh Allan P. M erriam
(1964:63) tentang konsep musik.
Konsep musik gordang sambilan yaitu ada Sembilan buah gendang yang
masing-masing memiliki diameter yang saling berbeda namun dalam penggunaan
selalu digunakan serentak. Selain dari penggunaannya, tiap -tiap gordang tersebut
memiliki penamaan yang juga berbeda.
Gordang sambilan adalah jenis alat musik sakral yang berbentuk sangat
besar dan panjang yang dimainkan untuk sesuatu hal bisa menjadi s imbol, ataupun
pengesahan terhadap sesuatu didalam sebuah upacara adat dalam pertunjukannya
tidak hanya berdiri sendiri namun diikuti dengan alat-alat musik lain yang disebut
dengan ensambel gordang sambilan (Ridawan Amanah nst).
Koentjaraningrat ( 2000:90 ) mengatakan bahwa di pandang dari sudut
kebudayaan manusia maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia
10
masyarakat perkawinan menyebabkan seorang laki – laki tidak boleh melakukan
hubungan seksnya dengan wanita lain, tetapi hanya dengan satu atau beberapa
wanita yang sudah disahkan sebagai istrinya.
M enurut Poerwadarminta (1986) mengatakan bahwa upacara merupakan
suata hal dalam melakukan perbuatan yang tentu menurut adat kebiasaan atau
menurut agama. Upacara perkawinan bukan saja penting bagi manusia tetapi juga
merupakan suatu peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat
perhatian dari arwah para leluhurnya.
Perkawinan bagi masyarakat M andailing merupakan salah satu bentuk
pelaksanaan upacara sakral yang dilakukan. Dalam perkawinan masyarakat
mandailing harus sesuaikan dengan Dalihan Na Tolu yanga artinya tiga tungku.
1.4.2 Teori
Dalam mendeskripsikan komponen-komponen upacara ritual penulis
mengacu kepada Koentjaraningrat (1985:243) yaitu mengemukakan pengertian
upacara suatu kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang
baku sesuai dengan komponen keagamaan. Komponen keagamaan itu dapat dilihat
dari tempat upacara, saat dan waktu upacara dilaksanakan, benda – benda atau alat
upacara, dan orang yang melaksanakan dan pemimpin upacara.
Pendapat M alinowski mengenai teori fungsionalisme adalah berbagai unsur
kebudayaan yang ada dalam masyarakat manusia berfungsi untuk memuaskan suatu
rangkaian hasrat naluri akan kebutuhan hidup dari makhluk manusia (Basic Human
Needs). Dengan demikian, unsur kesenian misalnya mempunyai fungsi guna
memuaskan hasrat naluri manusia akan keindahan; unsur system pengetahuan
11
Untuk melihat fungsi Gordang Sambilan maka penulis menggunakan
pendapat yang dikemukakan oleh Alan P. M arriam bahwa ada 10 fungsi musik
yang telah di ungkapkan, tetapi tidak semua yang telah diungkapkan tersebut
berlaku untuk seluruh kebudayaan yang ada di dunia.
Untuk mengklasifikasikan alat musik penulis gordang sambilan, penulis
menggunakan pendekatan yang di tawarkan oleh Curt Sach dan Erich M . von
Hornbostel membagi kedalam empat kelompok, yaitu (1) idiophone; (2)
membrabofhone; (3) cordofhone; (4) aerofhone. Selanjutnya Curt Sach membagi
lagi klafikasi membranofhone kedalam Sembilan bentuk, yaitu “cylindrical drums”,
“barrel drums”, “hourglass drums”, “footed drums”, “goblet drums”, “kettle
drums”, “handle drums” dan “frame drums” (Sach, 1914). Dengan memperhatikan
kesembilan bentuk alat musik di atas, penulis lebih terfokus pada klasifikasi
membranophone dalam bentuk long drum karena gordang sambilan bentuknya
panjang dan besar.
Koentjaraningrat (1969) mengatakan 7 unsur-unsur kebudayaan ini di kenal
dengan istilah yaitu: (1) system peralatan hidup; (2) system mata pencaharian; (3)
system kemasyarakatan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) system pengetahuan; dan (7)
religi.
M enurut Alan P. M arriam ( 1964:209-226 ) mengungkapkan bahwa terdapat
bebera fungsi musik yaitu diungkapkan namun tidak semua berlaku untuk seluruh
suku bangsa yang ada di dunia. Adapun fungsi musik yang diungkapkan oleh Alan
P. M arriam adalah : (1) Fungsi Pengungkapan Emosional, (2) Fungsi Penghayatan
Estetis, (3) Fungsi Hiburan, (4) Fungsi Komunikasi, (5) Fungsi Perlambangan
(syimbolic representation), (6) Fungsi Reaksi Jasmani, (7) Fungsi yang Berkaitan
12
Agama, (9) Fungsi Kesinambungan Kebudayaan, (10) Fungsi Pengintegrasian
M asyarakat.
Teori musikal untuk mengkaji rit me ini penulis gunakan teori deskripsi
rit me yang digunakan Fadlin (1988) Beliau menulis skripsi yang bertajuk Studi
Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera
Timur. Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera
Utara, M edan. Dalam skripsi ini Fadlin menggunakan sistem anomatopeik
gendang ronggeng, dan kemudian menuliskan pola-pola rit me dalam rentak
senandung, mak inang, dan lagu dua. Selanjutnya Fadlin menganalisis pola-pola
itu dengan pendekatan etnomusikologis, dengan cara memilah-milahkannya
menjadi mot if dan nilai-nilai not yang digunakan, dan kemudian
mentabelkannya.
1.5 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengacu kepada metode penelitian kualitatif
(Kirk dan M iller,1990) yang mengatakan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan manusia dalam kawasan sendiri dan berhubungan dengan orang-orang
dalam bahasanya dan peristilahannya.
Nettl (1964) mengatakan ada dua hal yang ensensial untuj melakukan
aktivitas penelitian dalam disiplin etnumusikologi, yaitu pekerjaan lapangan (field
word) dan pekerjaan laboratorium (dest work). Dan M erriam (1964) juga
mengatakan pendapat bahwa Etnomusikologi adalah disiplin lapangan dan disiplin
laboratorium, yakni data yang di kumpulkan dari lapangan oleh penyidik pada
13
studi akhir. Dengan ini si peneliti melakukan kerja lapangan meliputi memili
informan, pendekatan dan pengambilan data, merekam dan mengumpulkan data.
Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data, menganalisis dan
membuat kesimpulan dan keseluruhan dari data-data yang di peroleh.
1.5.1 S tudi Kepustakaan
Sebagai kerangka dalam landasan berpikir yang di lakukan oleh si penulis
yaitu berdasarkan studi perpustakaan untuk mencari data-data pendukung yang di
perlukan dengan tujuan untuk menambah sumber-sumber bacaan yang berupa
buku, skripsi, makalah budaya, dan paper. Kemudian mencari teori- teori yang
dapat digunakan sebagai acuan dalam membahas tulisan ini dan memperoleh
pengaturan awal mengenai apa yang diteliti. Studi perpustakaan ini bertujuan untuk
mencari informasi dan menambah data-data yang di butuhkan dalam penulisan,
penyusuaian dan pengamatan yang sudah ada mengenai objek penelitian
dilapangan.
Dalam hal ini penulis mempelajari buku-buku tentang upacara adat
mandailing dan gordang sambilan guna mempermudah si penulis untuk penelitian.
1.5.2 Kerja Lapangan
Dalam kerja lapangan (field word) penulis melakukan pengamatan dan
mengumpulkan data-data informasi dengan menentukan lokasi penelitian ditempat
pelaksanaan Pesta Upacara Perkawinan di Kota M edan serta melakukan wawancara
dengan beberapa yang mengetahui lebih dalam mengenai fungsi gordang sambilan
14
Dalam pelaksanaan Pesta Upacara Perkawinan berlangsung, penulis
melakukan dengan mencatat dan merekam tahapan yang terjadi pada pesta tersebut.
Guna mempermuda untuk menyusun data dengan maksimal mengenai Fungsi dan
Struktur M usikal Gordang Sambilan Dalam Upacara Perkawinan Pada M asyarakat
M andailing itu sendiri.
1.5.2.1 Wawancara
Adapun teknik wawancara yang di lakukan penulis ialah melakukan dengan
tiga cara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1990) yaitu (1) wawancara
berfokus (focus interview), (2) wawancara bebas (free interview), (3) wawancara
sambil lalu (casual interview). Yang di maksud dengan wawancara berfokus adalah
pertanyaan yang selalu berpusat kepada pokok permaslahan, sementara wawancara
bebas ialah pertanyaan yang selalu beralih dari satu pokok permasalahan ke pokok
permasalahan yang lain. Sedangkan wawancara sambil lalu hanya untuk menambah
atau melengkapi data yang lain.
Dalam wawancara ini penulis melakukan wawancara kepada informan yang
ahli mengenai fungsi gordang sambilan dalam upacara perkawinan pada
masyarakat mandaling di medan. Guna memperoleh data yang secara tepat. Dan
menggunakan perekam camera digital merk Samsung agar penulis mendapat data
dari informan secara akurat.
1.5.2.2 Observasi
Observasi dilakukan untuk memperoleh data yang tidak dapat melakukan
dengan wawancara, yaitu dengan melihat dan mengamati semua yang terjadi
15
Bright (1989 : 77) mengemukakan bahwa observasi adalah suatu metode
yang dipakai di samping wawancara. M etode abservasi ini berguna untuk
mempererat antara penulis dengan informan sehingga penulis dapat mengenal lebih
dekat dengan informan.
1.5.2.3 Kerja Laboratorium
Setelah memperoleh dan terkumpulnya semua data dari lapangan dan studi
kepustakaan akan diolah dilaboratorium, dan penulis menganalisis seleksi ulang
dengan data-data yang terkumpul, kemudian penulis menyusun menjadi sebagai
bahan penulisan. selanjutnya penulis mengevaluasi ulang guna untuk memperoleh
hasil yang akurat berdasarkan fakta-fakta yang di dapat di lapangan. Dari h asil
keseluruhan data-data hasil evaluasi ulang akan disusun secara sistematis dengan
16 BAB II
MAS YARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN
2.1 Geografis Kota Medan
Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera Utara,
Kedudukan, fungsi dan peranan Kota M edan cukup penting dan strategis secara
regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota M edan sering
digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan
pemerintah daerah.
Secara geografis, Kota M edan memiliki kedudukan strategis sebab
berbatasan langsung dengan Selat M alaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat
dengan kota-kota atau negara yang lebih maju seperti Pulau Penang M alaysia.
Demikian juga secara demografis Kota M edan diperkirakan memiliki pangsa pasar
barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang
relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa.
Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor
tertier dan sekunder, Kota M edan sangat potensial berkembang menjadi pusat
perdagangan dan keuangan regional/nasional.
Letak geografis Kota M edan adalah 3030 – 3043 LU, dan 980 35’-980 44’
BT. Luas Kota M edan saat ini adalah ± 265,10 km2. Kota M edan memilki
perbatasan yaitu :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat M alaka
- Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Deli Tua dan Pancur
17
- Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli
Serdang), dan
- Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung
M orawa (Kabupaten Deli Serdang)
Adapun kecamatan yang terletak di Kota M edan yaitu Kecamtatan M edan
Helvetia, Kecamatan M edan Barat, Kecamatan M edan Petisah, Kecamatan M edan
Perjuangan, Kecamatan M edan Tembung, Kecamatan M edan Area, Kecamatan
M edan M aimun, Kecamatan M edan Polonia, Kecamatan M edan Selayang,
Kecamatan M edan Tuntungan, Kecamatan M edan Johor, Kecamatan M edan
Amplas, Kecamatan M edan Denai, Kecamatan M edan Baru, Bandar Udara Polonia.
Secara geografsi M edan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya
alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli
Selatan, M andailing Natal, Karo, Binjai. Kondisi ini menjadikan Kota M edan
secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang
sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya.
2.1.1 Demografi
Kota M edan terdiri dari beberapa etnis yang mendiaminya namun ada
beberapa suku yang lebih dominan dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan
dengan suku atau etnis-etnis lain yaitu : M elayu, Jawa, Batak (Toba, Karo,
Simalungun, M andailing-Angkola,), Nias dan Tionghoa.
Penduduk Kota M edan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur
agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini
memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota M edan bersifat terbuka.
18
demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan
dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat
kelahiran dan kematian semakin menurun.
Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran
adalah perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan sosial ekonominya. Di sisi
lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi
tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini
mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran
dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah.
Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak factor, antara lain
perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga
disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian
disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan
masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun.
Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian
sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk
tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.
Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai
dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural.
M enurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas),
meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi,
termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan
yang diterapkan.
19
tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak
banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen
kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika
sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun cultural. M enurunnya
tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus
perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik
(commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.
Berdasarkan data kependudukan tahun 2010, penduduk M edan saat ini
diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa, dengan wanita lebih besar dari pria.
Sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 566.611 jiwa,
yang merupakan penduduk komuter. Dengan demikian M edan merupakan salah
satu kota dengan jumlah penduduk yang besar. Kota M edan terdiri dari 21
Kecamatan dan 151 Kelurahan. Selain itu, Kota M edan juga merupakan daerah
perkotaan yang dihuni oleh berbagai etnis dengan latar belakang yang berbeda.
Kondisi Kota M edan yang heterogen ini, mengakibatkan banyaknya timbul
organisasi-organisasi yang berdasarkan etnis, (BPS Kota M edan).
2.1.2 Identifikasi Kelurahan Sitirejo I Medan Amplas
Pada identifikasi Kelurhan Sitirejo I Kecamatan M edan Amplas ini
merupakan pusat atau objek penelitian penulis karena di daerah ini penulis
melakukan penelitian dengan meliputi acara pesta perkawinan salah satu
masyarakat M andailing yang tinggal dan menetap di Kota M edan.
Secara geografis Kelurahan Sitirejo I M edan Amplas dengan batas-batas
20
Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Teladan Barat, Kecamatan
M edan Kota.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Sitirejo II, Kecamatan M edan
Amplas.
Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Sudirejo I, Kecamatan M edan
Kota.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan
M edan M aimun.
Dan adapun Luas Kelurahan Sitirejo adalah 0,45 km2 dengan perincian
sebagai berikut: Luas Pemukiman : 0, 39 km2, luas pekarangan : 0. 2 km2, luas
perkantoran : 0, 2 km2, luas prasarana umum lainnya : 0, 2 km2 . Dapat diketahui
total dari penduduk di Kelurahan Sitirejo I yaitu 11. 274 orang, yang terdiri dari
5377 jiwa penduduk laki-laki dan 5897 jiwa penduduk perempuan yang tersebar di
17 lingkungan yang ada di Kelurahan Sitirejo I.
2.2 Karakteristik Masyarakat Mandailing Di Kota Medan
Pemilihan lokasi dalam penelitian ini didasarkan atas beberapa hal, seperti
sejarah lokasi, letak strategis lokasi. Adapun pemilihan penelitian ini juga
memperlihatkan karakteristik masyarakat M andailing di Kota M edan, adapun
karakteristik dalam hal ini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan mengenai
seberapa jauh masyarakat M andailing di Kota M edan dalam memandang dan
melakukan budayanya dalam kehidupan sehari-hari.
Karakter M andailing dalam penelitian ini dibagi atas beberapa yaitu, (1)
karekter masyarakat M andailing yang masih memegang adat budaya M andailing
21
lain yang berada disekitarnya dimana ia tinggal, (2) karakteristik masyarakat
M andailing yang memegang adat budaya M andailing dan berproses
menggabungkannya dengan budaya lain yang berada ditempat mereka tinggal, (3)
karakteristik masyarakat M andailing yang tidak mengenal adat budaya M andailing
dan memegang budaya lain seperti budaya Toba, M elayu dan kebudayaan lain yang
ada dalam lingkungan dimana ia tinggal.
Adapun indukator yang dapat menuntun penelitian ini untuk mendapatkan
setidaknya gambaran umum mengenai kebudayaan M andailing yang tinggal di
berbagai wilayah di Kota M edan mengenai karakteristik masyarakatnya, adapun
indikator karakteristik masyarakat M andailing di Kota M edan sebagai berikut :
linguistik, sosial dan budaya. Indikator linguistik berkaitan dengan penggunaan
bahasa daerah (bahasa M andailing) dalam bentuk kehidupan sehari-hari, setidaknya
penggunaan bahasa daerah dapat member sedikit gambaran mengenai kehidupan
masyarakat M andailing pada daerah penelitian ini, sedangkan indikator sosial
adalah indikator yang berusaha menangkap perilaku, cara pandang masyarakat
M andailing di Kota M edan seperti apakah mereka masih menggunakan dan
melakukan adat budaya M andailing di Kota M edan. Indikator ketiga adalah budaya,
indikator ini berhubungan dengan indikator sebelumnya yaitu linguistik dan sosial.
M elalui penjelasan tentang indikator yang diatas dan digunakan untuk
memberikan gambaran mengenai karakteristik masyarakat M andailing diberbagai
lokasi penelitian di Kota M edan, adapaun hasil dari penggunaan indikator ini :
Pada daerah M edan M aimun dari observasi dan wawancaran penulis kepada
informan didapatkan hasil bahwa kehidupan masyarakat M andailing di lokasi ini
memiliki karakteristik masyarakat M andailing yang sudah berpikir dan bertindak
22
masyarakat tersebut masih memegang budaya M andailing dan berusaha untuk
menerima budaya lain yang terdapat di sekitar tempat tinggal mereka, hal ini
disebabkan kehidupan pada daerah tersebut memiliki tingkat penduduk yang tinggi
dan intesitas pergaulan yang tinggi serta faktor heterogenitas penduduk di lokasi
tersebut. Daerah M edan Barat, karakteristik masyarakat M andailing pada daerah ini
adalah karakteristik masyarakat yang masih memegang adat budaya M andailing
dan tidak tertutup kemingkinan untuk menerima budaya dari luar budaya
M andailing, hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya dalam strategi sosialisasi
dengan masyarakat dengan budaya yang berbeda.
M edan Denai, karakteristik masyarakat M andailing yang menjadi bagian
masyarakat daerah tersebut adalah karakteristik masyarakat yang memegang adat
budaya M andailing dan berusaha untuk mempertahankan adat budaya mereka
dalam lingkungan kehidupannya, salah satunya terlihat pada tindakan mereka yang
selalu didasarkan ;pada aturan adat maupun kebiasaan yang mereka ketahui dari
daerah asal mereka, hal ini disebabkan pada daerah ini masyarakat M andailing
mendominasi pada daerah tersebut.
2.3 Asal Usul Orang Mandailing
M asyarakat M andailing yang mendiami kota M edan tidak terlepas dengan
asal muasal oleh leluhurnya yang bertempat tinggal di Wilayah M andailing.
M asyarakat M andailing diduga sudah ada pada ribuan tahun yang lalu. M enelusuri
latar belakang masuknya penduduk didaerah M andailing beberapa pendapat orang
berbeda-beda, dan pendapat berbeda itulah bila tidak didukung dengan fakta – fakta
tertulis, seperti prasasti – prasasti tentu tidak mudah untuk mempertanggung
23
M asyarakat M andailing sebagai bahan informasi mengenai asal usul nama daerah
M adailing dan masyarakatnya. M emungkinkan bahwa Wilayah M andailing pada
zaman Kerajaan M ajapahit mempunyai masyarakat secara homogen, yaitu
masyarakat yang tumbuh dan terhimpun dalam suatu Ketatanegaraan Kerajaan
dalam Kebudayaannya. Terbukti dari ekspansi pasukan Kerajaan M ajapahit pada
sekitar tahun 1287 Caka (365 M ). dimana salah satu syairnya disebut nama
M andailing. Adapun syair tersebut yaitu
Lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawat ksoniri malayu/ning jambi, mwang
Palembang karitang I teba len dharmamacraya tumut/kandis kahwas
manangkabwa ri siyak rekan Kampar mwang I pane/ kampe harw athawe
mandailing I tumihang parilak mwang I babrat//
Sebagai mana terlihat pada teks tersebut ekspansi Kerajaan M ajapahit ke M alayu di
Sumatera merata sejak Jambi, Palembang, M uara Tebu, Darmasraya. M inangkabau,
Siak. Rokan, Kampar, Panai, Pulau Kampar, Haru, M andailing. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa nama M andailing sudah terlukis pada syair ke 13
Negarakertagamanya Propanca yang agung seperti tersebut diatas. (M hd. Arbain
Lubis Ha 11-24)
M enurut ulasan dari seorang tokoh sejahrawan Z.Pangaduan Lubis. Dosen
Fakultas Sastra USU atau sekarang Ilmu Budaya USU M edan dalam bukunya
“Kisah Asal Usul M andailing”, (Tahun 1986 hal 4-6), mengatakan selanjutnya
bahwa didalam tonggo-tonggo (doa) terdapat kata-kata : disitulah (ditanah
M andailing) bertamasya si boru deakparujar. Dengan demikian dapat ditafsirkan
bahwa kemungkinan sekali justru di tanah M andailing itu pula Si Boru Deakparujar
turun dari kayangan. Dapat diketahui bahwa Deakparujar adalah tokoh mitologi
24
Puteri Debata Mulajadi Nabolon yang dititahkannya turun dari Benua ke Benua
Tengah membawa sekepal tanah untuk menempa bumi diatas lautan.
Tonggo-Tonggo Si Boru Deakparujar merupakan Kesusasteraan Toba Tua yang klasik yang
terdiri dari 10 pasal sebagai dasar atau sumber dari falsafah masnyarakat dan
kerohanian dari dalihan na tolu.
Dada M euraxa mengatakan didalam bukunya “Sejarah Kebudayaan
Sumatera” (974 hal 349) menyatakan bahwa M andailing ada yang menduga berasal
dari perkataan Mande Hilang dalam bahsa M inangkabau perkataan tersebut berarti
Ibu yang Hilang. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada yang menyangka nama
M andailing berasal dari perkataan “M undahilang” yang berarti “M unda yang
M engungsi”. Dalam hubungan ini disebut bahwa bangsa M unda yang berada di
India pada masa yang silam melakukan pengungsian kepada mereka terdesak oleh
Bangsa Aria, menurut Prof.Dr.Slamet M ulyana menjelaskan dalam bukunya “Asal
Bangsa dan Bahasa Indonesia” (1964 hal:140) mengatakan sebagai berikut :
sebelum kedatangan Bangsa Aria, Bangsa M unda menduduki India Utara. Karena
desakan bangsa Aria, maka bangsa M unda menyingkir ke selatan yang terjadi
sekitar 1500 SM .
Pada waktu perpindahan bangsa M unda dari India Utara ke Asia Tenggara
oleh karena terdesak bangsa Aria. Diduga ada sebagian yang masuk ke Sumatera.
Dengan melalui Pelabuhan Barus pantai barat Sumatera mereka meneruskan
perjalanan sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut dengan M andailing,
yang berasal dari perkataan Mundahiling yang berarti Munda yang Mengungsi
Didalam buku yang dikemukakan oleh pengarangnya M angaraja Lelo Lubis
bahwa menurut orang tua, nama M andailing berasal dari perkataan “M andala
25
menguasai daerah mulai dari Portibi di Gunung Tua Padang Lawas sampai ke
daerah Pidoli di M andailing. Semua pusat kerajaan ini terletak di Portibi Gunung
Tua, tenpat dimana banyak ditemukan Candi-candi Purba. Oleh karena serangan
Kerajaan M ajapahit, kemudian pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke Piu
Delhi dimana kemudian hari kota ini dikenal dengan nama Pidoli di daerah
M andailing (didekat Kota Panyabungan yang sekarang). Terbukti terdapat
candi-candi purba pada waktu silam didaerah Pidoli tetapi hancur oleh pasukan islam
dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol ratusan tahun yang lalu.
M asyarakat M andailing digolongkan kedalam kelompok Proto M elayu
(M elayu Tua), yang mempunyai persamaan dengan Suku Toba, Simalungun, Karo,
dan Pakpak/Dairi. Yang persamaan itu bisa dilihat pada Bahasa dan Adat
Istiadatnya. Kelompok Proto ini berasal dari Tiongkok Selatan, dan berpindah di
Wilayah Indonesia yang kemungkinan terjadi pada abad 7 atau ke 8 SM . Dan dari
cici-ciri khas bentuk fisik dan temperamen, bahwa Nenek M oyang Suku – Suku
bangsa termasuk rumpun Proto M elayu. (Emilkam Tambunan, 1982 :33).
Apa yang telah diuraikan baik pendapat Dada M euraxa, Emilkam
Tambunan, Prof.Dr. Slamet M ulyana sudah tersusun didalam buku Z. Pangaduan
Lubis berjudul “Kisah Asal Usul M andailing” (1986 hal 6-10) Dengan
pejabarannya yang luas dan yang berhubungan antara satu dengan yang lain dan
berdasarkan metode-metode yang abash kiranya dapat dicatat bahwa asal usul nama
M andailing yang murni sudah terbuka lebar, untuk mengungkapkan dan
membuktikan kembali nama M andailing yang harum semenjak dari seribu yang
26 2.4 Sistem Religi dan Agama
Pada masa sekarang ini M asyarakat M andailing umumnya masih menganut
Agama Islam dan hanya sedikit Agama Kristen, tetapi Nenek M oyang mereka
sebelum masuknya Agama Islam maupun Kristen masih mempercayai dengan
Animisme atau dikenal dengan pele begu (suatu pemujian terhadap Roh Nenek
M oyang). Ajaran relegi tersebut mengakui adanya bermacam makhlus halus dan
kekuatan-kekuatan gahib yang dapat menimbulkan pengaruh buruk, misalnya
penyakit dan mala petaka atas diri manusia (Parlaungan Rotonga 1997:10)
Didalam pelaksanaan Upacara Ritual (animisme), dipimpin oleh seorang
yang sudah ahli dan bukan orang sembarangan. Dan orang itu adalah orang yang
mengetahui tentang doa - doa yang harus disampaikan kepada leluhurnya atau
disebut dengan Si Baso. Nenek M oyang mempercayai peantaraan si baso dengan
Roh Nenek M oyang dapat turun ke bumi dengan menurunkan pemberian berkah
atau sebaliknya.
Sistem animisme ini mulai terhapus sekitar tahun 1820 sejak Agama Islam
masuk ke M andailing yang dibawa oleh Kaum Padri dari M inangkabau. Ajaran
yang dibawa langsung oleh Kaum Padri ini adalah ajaran Agama Islam yang keras.
M ereka tidak kompromi dengan masyarakat dan pemuka Adat M andailing. Siapa
saja yang tidak mau masuk ke A gama Islam akan dibunuh atau akan menjadi budak
kepada Kaum Padri. Lama kelamaan M asyarakat M andailing menerima agama
islam, dan akhirnya agama islam menjadi berkembang di seluruh daerah
M andailing.
Setalah M asyarakat M andailing memeluk Agama Islam, membawa
27
setiap kaumnya berhubungan dengan roh-roh yang dipuja pada upacara ritual
tersebut, karena dianggap bertentangan dengan ajaran A gama Islam.
Sekitar tahun 1839 A gama Kristen mulai masuk ke daerah M andailing yang
dibawa oleh para Pendeta-Pendeta. M asyarakat M andailing tidak banyak yang
menganut Agama Kristen dikarenakan telah terlebih dahulu menganut agama islam.
sehingga yang menganut Agama Kristen sangat sedikit, dan kebanyakan yang
menganut Agama KRISTEN adalah orang – orang pendatang dari luar daerah
M andailing yang menetap di M andailing.
2.5 Bahasa
Bahasa M andailing merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang
dipergunakan oleh suku Batak M andailing yang sebagaimana bahasa tersebut dapat
dipakai didaerah M andailing maupun daerah perantauan yang digunakan sebagai
media komunikasi diantara sesama Etnis M andailing. M enurut H. Pandapotan
Nasution,SH (2005 hal 14-15). Dalam bukunya mengungkapkan dengan sesuai
pemakainya Bahasa mandailing terdiri dari 5 tingkatan, yaitu :
- Bahasa adat (bahasa pada waktu upacara adat)
- Bahasa andung (bahasa waktu bersedih)
- Bahasa parkapur (bahasa ketika dihutan)
- Bahasa na biaso (bahasa sehari - hari)
- Bahasa bura (bahasa waktu marah atau kasar)
Pertuturan Bahasa M andailing masih dipergunakan pada saat tertentu,
misalnya dalam Upacara Peradatan, Arisan, Perkumpulan Keluarga, atau
Perkumpulan Keluarga lainnya.
28
Sistem kekerabatan adat istiadat M andailing masih memegang pada adat
istiadat yang disebut dengan “Markoum Marsisolkot”, adat istiadat ini sudah
disempurnakan atas pihak – pihak yang untuk dapat disatukan menjadi hidup
berdampingan rukun dan damai. Karena dari arti dan makna “markaoum” adalah
berkaum atau famili dekat, meskipun ia dari orang yang juah atau or ang yang tidak
perna dikenal. Sedangkan “marsisolkot” artinya mendekatkan yang sudah dekat,
artinya masih satu marga atau suku dari satu Nenek M oyang.
Adat Istiadat Markoum Masrsisolkot di M andailing sudah disepakati untuk
dipakai kepada masyarkatnya baik dalam Upacara Siriaon (upacara suka cita)
ataupun Upacara Siluluton (upacara duka cita). Dimana dikatakan bahwa adat
istiadat yang berdasarkan markoum marsisolkot yang tertuang dalam beberapa
lembaga Adat yaitu (1) patik, (2) ugari, (3) uhum, dan hapantunon.
- Patik adalah peraturan adat yang tidak boleh dilanggar , jika dilanggar akan
dihukum, sebagaiman patik sebagai peraturan yang dipakai untuk pedoman
agar semua kegiatan dalam kehidupan dapat menciptakan kasih sayang ,
atau tidak menimbulkan pertentangan atau pergesekan kepada masyarakat.
- Ugari adalah kebiasaan yang diangkat seperti peraturan. Jadi adat kebiasaan
yang diadatkan dari suatu daerah tidak merusak adat.
- Uhum adalah sanksi hokum terhadap perlanggaran atas peraturan seperti
patik, ugari, dan hapantunon. Uhum atau sanksi pelanggaran itu
bertingkat-tingkat mulai dari teguran, denda, pasung, diusir dari kampong, dan kepada
hukuman mati.
- Hapantunon adalah salah satu adat istiadat yang bertujuan memperhalus
hubungan manusia atau dengan manusia yang lain. Hapantunon
29
pergaulan ataupun etika dalam bergaul sehari-hari atau dalam ikatan
keluarga didalam pertuturon.
Adat istiadat Markaoum Marsisolkot ini belakang hari dikatakan orang juga
sebagai Dalihan Na Tolu . Dalihan artinya batu tungku, dan na tolu artinya yang
tiga, maksudnya ketiga batu ini menjujung satu wadah atau satu adat. Yakni tiga
unsur kelompok yang berbeda menjujung satu wadah Adat M andailing, yang terdiri
dari Kahanggi, Anak Boru, dan M ora.
- Kahanggi adalah kelompok yang terdiri dari pihak kita sendiri yang
bersaudara kandung dan ditambah dengan kelompok yang sesame satu
marga. Unsur kahanggi juga termasuk saama – saibu (seayah - seibu),
saompu (satu nenek), saparaman (satu bapak), sabana (seketurunan),
sapangupaan (kakek bersaudara kandung), dan sakahanggi (orang – rang
satu marga dalam satu kampung).
- Anak Boru adalah tempat pemberian anak – anak gadis dari kelompok kita
tadi. Atau kelompok kerabat yang menerima anak gadis dari pihak M ora.
Dan biasanya pihak keluarga anak boru hormat kepada pihak moranya.
- Mora adalah kelompok saudara – saudara dari istri – istri dari pihak kita
atau tempat pengambilan anak – anak gadis dalam perkawinan.
Dari hasil keputusan musyawarah dari ketiga kelompok inilah atau dari
pihak kahanggi, Anak Boru, dan Mora terciptanya adat M andailing yang dikatakan
adat Markoum Marsisolkot. Apa bila salah satu kelompok diantaranya tidak diikut
sertakan, maka upacara Adat M andailing yang berdasarkan ad at istiadat M arkoum
M arsisolkot tidak tercipta, atau dengan perkataan lain dibatalkan sama sekali.
Di M andailing menganut M arga yang diturunkan melalui dari M arga Ayah
30
ini di daerah M andailing dikelompokan menjadi marga yang dimaksud sama
dengan clan. Adapun marga yang terdapat di M andailing yaitu (a) Nasution, (b)
Lubis, (c) Pulungan, (d) Rangkuti, (e) Batu Bara, (f) Dulae, (g) Matondang, (h)
Parinduri, (i) Hasibuan. M arga Lubis dan Nasution merupakan marga yang paling
banyak jumlah warganya di Daerah M andailing.
Setiap anggota M asyarakat yang mempunyai marga, akan meletakkan nama
marganya dibelakang marga sendiri. Karena hal ini merupakan suatu tradisi yang
telah menyatu dengan kehidupan M asyarakat M andailing sejak dahulu. Marga
adalah suatu yang memiliki nilai-nilai solidaritas didalam keluarga maupun di
masyarakat. Orang-orang yang semarga dianggap bersaudara atau satu keturunan
yang disebut Markahanggi.
Sistim kekerabatan lain yang luas dari marga juga terdapat pada M asyarakat
M andailing. Sistim kekerabatan ini didasari oleh adanya suatu ikatan darah dan
ikatan perkawinan antara anggota kelompok marga yang ada pada masyarakat.
Ikatan darah dan perkawinan inilah yang melahirkan sistim sosial yang dilandasi
dengan hubungan kekerabatan yang dinamakan dalihan na tolu.
2.7 Kesenian
M asyarakat M andailing sudah mengenal kesenian sejak zaman dahulu, seni
musik yang hidup pada saat itu sangat berkaitannya dengan sistim kepercayaan
lama atau dengan pele begu (menyembah roh nenek moyang). Setiap melakukan
upacara ritual atau keagamaan pada masa itu musik digunakan sebagai perantaraan
dalam upacara. Didalam kehidupan masyarakat M andailing pada masa pra islam,
musik merupakan sebahagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan keagamaan
(religi) dan upacara – upacara adat, baik itu upacara yang bersifat suka cita yang
31
Sistim kepercayaan animisme yang dikenal dengan pele begu tersebut
menempatkan musik (yang dipergunakan untuk upacara religi) pada kedudukan
yang tinggi. Seperti penjelasan yang dibuat oleh koentjaraningrat bahwa : hal itu
disebabkan karena suara, nyanyian dan musik, merupakan suatu unsure yang sangat
penting dalam upcara keagamaan sebagai hal yang biasa menambah suasana
keramat atau sakral. (Koentjaraningrat 1980 :245)
Dalam tradisi di M andailing pada masa Pra Islam pemujaan itu selalu
menggunakan seorang perantara yang dinamakan si baso. Sedangkan bunyi –
bunyian suci diperkirakan adalah ensambel gondang maupun gordang. Dan pemain
musik yang ahli pada masa itu dinamakandatu peruning – uningan atau datu
pargondang. Dikarenakan mereka belajar bermain musik bukan dari manusia,
melainkan dari begu. Yang secara khusus pula begu memberikan irama-irama
gondang kepada datu paruning – uningan. Dan setelah masuk dan berkembangnya
Agama Islam di daerah M andailing, penggunaan musik yang ditujukan kepada roh
nenek moyang tidak dibenarkan untuk ditampilkan, karena hal itu sangat
bertentangan dengan ajaran A gama Islam. misalnya tradisi mengandung (meratap
dihadapan jenazah) yang dilakukan pada upacara adat siluluton (duka cita).
M engandung pada adat siluluton adalah suatu perbuatan yang tidak diperkenankan
yang tidak sesaui dengan kaidah ajaran islam.
Dalam bentuk nyanyian biasanya masyarakat dibawakan secara solo.
M isalnya jenis nyanyian ungut-ungut. Nyanyian ini sering dibawakan oleh anak
muda (meskipun siapa saja boleh membawakannya) sebagai nyanyian pelipur lara
yang melukiskan tentang rasa duka dalam hal percintaan, dan dinyanyikan tidak
32
M asyarakat M andailing, terutama ibu-ibu rumah tangga ataupun anak-anak
gadis bila hendak menidurkan anak bayi biasanya akan dibawakan nyanyian khusus
yang dinamakan bue-bue. Sambil membuei si bayi, ibunya ataupun anak-anak gadis
akan mendendangkan nyanyian nyanyian agar buah hatinya tertidur. Tradisi
bernyanyi seperti ini jarang hamper tidak dipergunakan oleh masyarakat terutama
ibu rumah tangga. Hal ini disebabkan perkembangan zaman yang berubah ubah.
Secara khusus masyarakat M andailing menggunakan istilah ende untuk
menyebutkan segala jenis nyanyian atau seni vocal yang terdapat pada masyarakat
tersebut. Walaupun pada tiap nyanyian yang dibawakan oleh masyarakat yang
mempunyai fungsi berbeda-beda seperti contoh diatas.
Adapun jenis alat musik di masyarakat M andailing yang sumber bunyinya
dari udara yang disebut dengan aerofon yaitu (a) tulila, merupakan alat musik tiup
yang digunakan oleh para anak-anak muda untuk memikat anak gadis yang
dilakukan pada malam hari. Sang pemuda mendatangi rumah si gadis untuk ber
dialog secara berbisik dari dibali dinding tentang rasa cinta antara keduanya. (b)
uyup-uyup, merupakan alat musik tiup yang ter buat dari batang padi. Digunakan
oleh para pemuda sebagai hiburan di sawah-sawah, dan tidak jarang pula untuk
menarik perhatian oleh para gadis-gadis. (c) ole-ole atau olang-olang yang
merupakan alat musik tiup ini terdapat lilitan daun kelapa yang berbentuk corong
dan berfungsi untuk memperbesar suara. (d) suling, yang terbuat dari bambu dan
digunakan untuk hiburan (e) sordam. M erupakan alat musik bambu. Alat musik ini
kegunaannya sama dengan suling yang dilakukan ditempat bernaungan seperti di
bawah – bawah pohon.
Jenis alat musik membranofon yang sumber bunyi berasal dari kulit atau
33
musik ini terdiri dari dua buah gondang. Keduanya memliki ukuran dan bentuk
yang sama dan kegunaan gondang dua atau gondang boru ini digunakan pada
upacara adat siriaon (suka cita) misalnya perkawinan yang berfungsi untuk
mejemput pengantin perempuan, dan upacara silluluton (duka cita) misalnya
upacara kematian. (b) gordang tano, gordang tanoh ini terbuat dari tanah yang
dikorek kemudian ditutup dengan papan dan dibuat tiang penyangga yang
fungsinya untuk mengikat rotan. Rotan inilah yang dipukul untuk menghasilkan
bunyi. Gordang tano digunakan uttuk menurunnkan hujan, tetapi pada saat sekarang
sudah sulit untuk ditemui. (c) gordang sambilan, endambel ini terdiri dari sembilan
buah gordang yang bentuknya panjang dan besar dengan ukuran yang berbeda –
beda. Dan nama - nama gordang ini tidak sama di wilayah madailing seperti di
daerah pakantan, huta pungkut, dan tamiang. untuk sepasang gordang yang paling
besar di daerah Pakantan disebut : jangat (1,2), hudong-kudong (3,4), panduai
(5,6), patolu (7,8) dan enek-enek (9), sedangkan di daerah Hutapungkut dan
Tamiang disebut jangat yang dibagi dalam tiga bagian yaitu (1) jangat siangkaan,
(2) jangat silitonga , dan (3) jangat sianggian, (4,5) pangaloi, (6,7) paniga, (8)
hudong-kudong, (9) teke-teke (Hutapungkut), eneng-eneng (Tamiang). Gordang
sambilan terbuat dari pohon ingul tetapi pada saat sekarang tidak jarang memakai
batang pohon kelapa di karenakan pohon ingul sulit ditemukan. Untuk membrannya
yaitu kulit lembu yang diikat dengan rotan yang besarnya jari kelingking orang
dewasa dan cara memainkannya dipukul dengan sepasang batang kayu. Gordang
sambilan digunakan didalam upacara siriaon (suka cita) misalnya upacara
pernikahan, menyambut tamu, memasuki rumah baru, dan peresmian – peresmian.
(d) gordang lima, dipergunakan lima buah gordang yang memiliki ukuran dan
34
ukuran selanjutnya hudong kudong, ukuran yang ketiga dinamaka padua, yang
keempat adalah patolu, dan yang terkecil adalah enek – enek. Gordang lima
digunakan pada zaman dahulu untuk memohon kepada roh nenek moyang mereka.
Alat musik mandailing lainnya yang bersifat kordofon yaitu gondang bulu,
dalam sub klasifikasi ziter tabung dan mempunyai dawai yang bersifat Idiokordik.
Gondang Bulu digunakan untuk menghibur dan mengiringi anak – anak gadis
berlatih tarian tor – tor.
Jebis kesenian alat musik mandailing yang sumber bunyinya berasal dari
dirinya sendiri (idiofhon) terdiri dari yaitu (a) tali sasayak, (b) ogung jantan(lebih
kecil dari ogung boru ), (c) ogung betina atau ogung boru, (d) doal, (e) momongan
yang terdiri dari (1) pamulusi, (2) panduai, dan (3) panolongi.
Yang sebenanya tor – tor meenurut aslinya bukanlah tarian tetapi sebagai
pelengkap gondang berdasarkan kepada falsafah adat. Tor – tor yang dilakukan
dengan gerakan tertentu mempunyai ciri khas, makna, dan tujuan tertentu.
2.8 Organisasi Masyarakat Mandailing di Kota Medan
Dari beberapa wilayah penelitian penulis yang tersebar di Kota M edan,
masing-masing wilayah memiliki organisasi masyarakat yang menjadi wadah
persatuan masyarakat oleh aspek-aspek tertentu. Dalam penelitian ini organisasi
masyarakat yang menjadi gambaran mengenai masyarakat M andailing di Kota
M edan terdapat pada beberapa organisasi masyarakat yang didasarkan oleh
pekumpulan marga maupun asal daerah.
Organisasi masyarakat penting untuk dijelaskan dalam penelitian ini, karena
organisasi masyarakat merupakan perkumpulan bagi masyarakat M andailing yang
berdomisili di Kota M edan, HIKMA (Himpunan Keluarga Besar M andailing) di
35
Tingkat I Sumatera Utara dan Dewan Pengurus Cabang (DPC) terdapat di Jln.
Letda Sutjono – M edan.
IKANAS (Ikatan M arga Nasution) organisasi masyarakat yang didasarkan
pada marga Nasution, organiasi ini tidak saja beranggotakan marga Nasution
melainkan juga menerima marga lainnya sesuai dengan kontribusi yang diberikan
pada organisasi.
Organisasi lainnya pada umumnya organisasi masyarakat ini berbasiskan
kepada garis keturuan yang didasarkan pada marga ataupun tempat asal (daerah
M andailing).
2.9 Sitem Pencaharian Masyarakat Mandailing di Kota Medan
Umumnya mata pencaharian masyrakat mandailing di mandaiing adalah
bertani (mandailing godang) dan berkebun (mandailing julu). Sementara
masyarakat mandailing yang sudah berdomisili di Kota M edan, sisitem mata
pencaharian yang mereka kerjakan adalah kebanyakan pegawai negeri maupun
swasta ataupun sebagai pejabat-pejabat lainnya. Yaitu Wali Kota M edan yang
sekarang ini Rahudman Harahap.
Selain itu, ada juga pekerjaan yang dikerjakan masyakat mandailing sebagai
pedagang, pemain musik, atau pekerjaan lainnya seperti supir angkot, becak dan
pengusaha itu semua yang mereka kerjakan untuk mencukupi kebutuhan
36 BAB III
UPACARA ADAT PERKAWINAN MANDAILING
3.1 Sebelum Acara Adat Perkawinan Dilaksanakan 3.1.1 Manyapai Boru
Sebelum upacara adat pernikahan M andailing dilaksanakan, maka lebih
baiknya jika bayo pangoli (laki-laki) mengetahui sosok boru na ni oli (perempuan)
yang ingin dia cintai atau lebih jelasnya yaitu masih pendekatan terhadap seorang
perempuan adapun istilah adat M andailingnya seperti Manyapai Boru. M anyapai
boru adalah seorang laki-laki yang menyampaikan perasaannya kepada perempuan
yang disukainya. Setelah perempuan tersebut menerima seorang laki-laki yang
dipujanya, sebaiknya hubungan antara laki-laki dan perempuan ini dibawah ke
jenjang perkawinan apabila sudah mencukupi umur.
Setelah laki-laki dan perempuan suka sama suka dan saling mau untuk
menjadi keluarga, maka seorang laki-laki menanyakan kepada orang tuanya untuk
melihat perempuan yang ingin dijadikan istri. Keinginan anak laki-laki tersebut
akan dipertimbangkan kepada orang tuanya, apakah orang tuanya mau untuk
menerima perempuan yang disukainya atau tidak.
Ketika anaknya menyampaikan asrat kemauan untuk hidup dalam berumah
tangga. terlebih dahulu orang tuanya akan melihat tingkah laku anak perempuan
yang disukai oleh anaknya. Kemudian setelah mempertimbangkan dan melihat
anak perempuan tersebut bertingkah laku baik dan mampu untuk menjadi istri,
maka hubungan ini akan dilanjutkan ketahap mangairirit boru.
37
Perkawinan merupakan mempersatukan antara kedua belah pihak yaitu
pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan. Dari mangairirit boru ini
pihak orang tua laki-laki terlebih dahulu mencari tauh asal usul anak perempuan
yang di sukai oleh anaknya laki-laki. Hal ini penting untuk menyesuaikan apakah
kedua keluarga dapat dipertemukan atau melihat si anak berkelakuan baik. Karena
pepatah mengatakan bahwa perbuatan anak tidak jauh dari orang tuanya (singkam
tungkona, singkam tunasna).
Setelah mengetauhi keluarga pihak perempuan, Dalam acara mangiririt boru
bahwa pihak keluarga laki-laki memperjelaskan kedatangannya untuk menanyakan
hubungan antara anaknya laki-laki kepada anak perempuan dari keluarga pihak
perempuan. Pihak keluarga laki-laki biasanya adakalanya membawa kahanggi dan
anak boru didalam mangaririt boru ini ke rumah pihak perempuan. Dikarenakan
bahwa pihak perempuan tidak langsung mengiakan keinginan oleh pihak laki-laki.
Dan keluarga perempuan akan meminta waktu dengan alasan untuk menanyakan
anaknya apakah ia menerima pinangan itu atau belum menerima pinangan orang
lain. Dalam hal ini, yang hadir dari pihak perempuan adalah keluarga terdekat saja.
Dikarena masih tahap menanyakan kesedian anak perempuan tersebut untuk
menjadi istri dari anak laki-laki pihak keluarga laki-laki.
Setelah kesepakatan dan kesesuaian yang sudah disetujuhi oleh kedua belah
pihak keluarga, maka pihak keluarga laki-laki langsung meminta agar semua
syarat-syarat yang akan dipenuhi dibicarakan sekaligus. Hal ini dapat memudahkan
informasi untuk mengetahui pihak keluarga laki-laki akan datang kepada pihak
keluarga perempuan yang sudah siap untuk menerima dengan segala kemungkinan