• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai sistem kemitraan yang terjalin antara PG Karangsuwung dengan petani tebu. Sistem kemitraan tersebut meliputi jenis-jenis petani mitra, penyediaan sarana produksi tani, frekuensi penyuluhan, pelayanan pasca panen, dan sistem bagi hasil.

Proses Kemitraan Petani dengan PG Karangsuwung

Pola kemitraan yang terjalin antara petani dengan PG Karangsuwung dimulai ketika sebelum proses tanam berlangsung hingga pembagian hasil giling berupa gula. Terdapat tiga jenis petani yang melakukan kemitraan dengan PG Karangsuwung yaitu Petani Tebu Rakyat Sawah yang selanjutnya disingkat menjadi (TRS) KM A, Petani TRS KM B, dan Petani Mandiri.

1. Petani TRS KM A

Adalah petani yang memiliki sejumlah luas lahan tertentu yang kemudian menyewakan lahannya untuk digarap oleh PG Karangsuwung dengan jangka waktu atau masa tanam yang telah ditentukan. Sebagai gantinya petani akan mendapatkan sejumlah uang dari PG Karangsuwung sebagai harga sewa yang telah disepakati oleh kedua pihak. Pengajuan sewa tanah ini dilakukan secara berkelompok dengan cara membuat surat yang ditujukan kepada General Manager PG Karangsuwung yang telah ditandatangani oleh kepala desa setempat. Jadi petani TRS KM A tidak ikut terlibat dalam proses usaha tani tebu, mereka hanya menyewakan tanahnya untuk digarap. Adapun contoh surat ajuan sewa tanah dapat dilihat pada Lampiran 8.

2. Petani TRS KM B

Adalah petani/kelompok tani yang memiliki sejumlah luas lahan tertentu yang kemudian mengadakan ikatan kerjasama dengan PG Karangsuwung untuk menanam tebu sesuai baku teknis yang ditetapkan serta menyerahkan tebunya untuk digiling atas dasar Sistem Bagi Hasil (SBH) atau Sistem Pembelian Tebu (SPT).

Petani ini akan mendapatkan Kredit Ketahanan Pangan Tebu Rakyat (KKP-TR) dari perbankan melalui pabrik gula dengan besaran sesuai luas lahan yang dimiliki dan bunga tertentu yang disubsidi oleh pemerintah. Kredit tersebut digunakan selama proses usahatani berlangsung yang terdiri dari biaya garap dan pemeliharaan, biaya tebang dan angkut, biaya beban hidup (Cost of Life), bibit, pupuk, dan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan aplikasi PPC. Selain itu petani juga mendapatkan Jaminan Pendapatan Minimum Petani per hektar dari PG Karangsuwung. Sehingga apabila terjadi kondisi diluar perkiraan seperti bencana alam ataupun iklim yang ekstrem menimpa perkebunan tebu maka petani tetap mendapatkan penghasilan tidak kurang dari pendapatan minimum tersebut.

Ketika masa panen tiba, tebu kemudian diangkut untuk digiling dan diproses menjadi gula di PG Karangsuwung. Setelah itu SBH dari gula yang diproduksi berupa 66:34 (66% berbanding 34%). 66% akan diberikan kepada

petani sedangkan 34% akan diambil oleh PG sebagai ‘upah’ dari proses giling. Penentuan SBH tersebut ditetapkan oleh Peraturan Bupati Setempat melalui musyawarah antara petani, PG, pemerintah, dan stakeholder lainnya. Namun dari 66% gula yang diperoleh petani akan dipotong kembali untuk membayar kredit+bunganya. Sisa gula yang diperoleh dapat langsung dijual melalui sistem lelang atau sebagian dapat digunakan untuk konsumsi pribadi sehari-hari. Adapun contoh surat ajuan kemitraan dapat dilihat pada Lampiran 9.

3. Petani Mandiri

Adalah petani yang memiliki sejumlah luas lahan tertentu yang kemudian mengadakan ikatan kerjasama dengan PG Karangsuwung untuk menanam tebu sesuai baku teknis yang ditetapkan serta menyerahkan tebunya untuk digiling ketika masa panen datang atas dasar Sistem Bagi Hasil (SBH) atau Sistem Pembelian Tebu (SPT).

Perbedaan yang paling menonjol antara petani mandiri dengan petani TRS KM B adalah petani mandiri tidak mengajukan kredit usahatani KKP- TR dari perbankan dengan subsidi pemerintah yang dikelola melalui PG tetapi menggunakan modal sendiri secara mandiri maupun swadaya sehingga tidak berkewajiban untuk mengembalikan kredit sekaligus bunganya. Dengan kata lain seluruh biaya produksi tani ditanggung seluruhnya oleh sendiri. Namun teknis usahatani maupun SBH atau SPT tetap sama seperti petani TRS KM B.

Penyediaan Sarana Produksi Tani

Bibit yang digunakan dalam berusaha tani tebu adalah bibit yang merupakan benih bina yang telah disertifikasi oleh UPTD Balai Pengembangan dan Sertifikasi Benih Perkebunan Provinsi Jawa Barat dan atau Institusi di luar Provinsi Jawa Barat yang berwenang mensertifikasi tebu. Pengadaan, penyediaan, dan penyaluran bibit tebu khususnya Kebun Bibit Pokok (KBP), Kebun Bibit Nenek (KBN), dan Kebun Bibit Induk (KBI) menjadi tanggungjawab PG. Untuk pengadaan Kebun Bibit Dasar (KBD) selain disediakan oleh petani masing- masing atau kelompok tani yang dikoordinasikan oleh Dinas dan PG sedangkan kekurangannya menjadi tugas dari PG. Penanaman tebu tanaman pertama (Plant Cane) menggunakan benih bina bersertifikat, berasal dari KBD sedangkan penanaman tebu tanaman kedua dan ketiga atau keprasan (Ratoon Cane) berasal dari KBP, KBN, dan KBD. Penggunaan bibit asal top stek dari dan untuk tanaman pertama untuk kondisi tertentu hanya diperbolehkan maksimal 10%.

Salah satu manfaat yang didapatkan petani mitra dengan adanya sistem kemitraan ini adalah pemenuhan sarana produksi tani. Sarana produksi tani yang dibutuhkan oleh petani mitra yang melakukan usaha tani hampir sebagian besar telah disediakan PG Karangsuwung. Hal ini karena kredit yang diberikan dari perbankan yang bunganya disubsidi oleh pemerintah dikelola oleh PG Karangsuwung, sehingga penyediaan sarana produksi tani seperti bibit induk, pupuk, maupun teknologi pertanian menjadi tanggungjawab PG.

“… Memang sebagian besar sarana produksi tani yang dibutuhkan

oleh petani sudah kami (PG) sediakan, baik itu bibit, pupuk, dan teknologi. Ini merupakan kredit dari perbankan dengan subsidi pemerintah kepada petani, namun kami yang mengelola. Jadi petani tidak mendapatkan kredit dalam bentuk uang seluruhnya, mereka mendapatkan bibit, pupuk, dan teknologi plus ditambah uang biaya beban hidup atau Cost of Life untuk memenuhi kebutuhan hidup selama musim tanam. Kalau petani mendapatkan kredit dalam bentuk uang seluruhnya dikhawatirkan mereka malah menggunakannya untuk keperluan yang tidak-tidak, bukan untuk kegiatan pertanian. Oleh karena itu kreditnya dikelola oleh kami

…” (WS, 32 tahun).

Baik petani TRS KM A maupun petani mandiri, keduanya dapat mengakses bibit, pupuk, dan teknologi pertanian yang disediakan oleh PG. Namun biasanya untuk petani mandiri mereka membeli bibit dan pupuk di koperasi ataupun toko- toko yang menjual sarana produksi tani.

“… Bibit, pupuk, dan teknologi sudah ada di PG jadi kita tinggal menanamnya saja. Jumlahnya tergantung karena disesuaikan dengan luas lahan dan kondisi lahan. Untuk teknologi, biasanya lima kali dalam satu musim tanam yaitu untuk membajak lahan, urug, pengairan, sama pemisahan akar-akar yang menyatu …”

(MB, 48 tahun).

Frekuensi Penyuluhan

Upaya yang dilakukan PG agar hasil panen tebu memiliki kualitas dan kuantitas yang baik, maka kegiatan penyuluhan sangat penting dilakukan. Kegiatan penyuluhan diberikan antara tiga sampai lima kali dalam satu masa tanam. Hal ini dilakukan mengingat bahwa jaminan pendapatan minimum petani per hektar menjadi tanggung jawab PG, oleh karena itu agar hal tersebut tidak terjadi PG selalu mengontrol perkembangan dari setiap kebun dengan cara mengutus beberapa mandor untuk mengawasi setiap beberapa blok kebun, setelah itu dilakukan penyuluhan.

“… PG mempunyai mandor-mandor yang tugasnya melihat dan mengawasi perkembangan kebun. Apabila ada beberapa blok kebun yang pertumbuhannya kurang bagus, PG biasanya langsung memberikan penyuluhan kepada petani blok tersebut agar pertumbuhannya baik kembali. Biasanya penyuluhan dilakukan 3-5 kali pada awal, tengah, dan akhir dalam satu masa tanam. Contoh materi yang diberikan adalah aplikasi herbisida, pestisida, pengolahan lahan, dan lain-lain. Penyuluhan ini dilakukan karena PG memberi jaminan pendapatan minimum petani per hektar. Jadi PG tidak mau menanggung rugi apabila hal tersebut sampai

Pelayanan Pasca Panen

Memasuki awal bulan Juni, beberapa blok kebun tebu sudah dapat melakukan panen. PG Karangsuwung menganjurkan untuk melakukan bulan Juni sampai September karena pada bulan-bulan tersebutlah proses giling menjadi gula dilakukan. Penetapan jadwal tebang didasarkan pada hasil analisis kemasakan tebu dari setiap hamparan tanaman dan kapasitas giling PG dengan ketentuan wilayah kerja PG dipandang sebagai satu kesatuan wilayah produksi. Beberapa bulan sebelumnya PG sudah melakukan analisis rendemen ketika tebu akan dipanen. Apabila nilai rendemen dibawah angka rata-rata, PG akan memberika obat agar pada saat dipanen nilai rendemen akan naik. Analisis rendemen ini dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu PG dan perwakilan dari koperasi.

“… Kalau dulu analisis nilai rendemen itu hanya dilakukan oleh PG jadi kita tidak tahu sama sekali, tetapi sekarang APTRI sudah menyediakan beasiswa bagi petani untuk kuliah agar dapat belajar tentang tanaman dan menghitung nilai rendemen. Setiap tahunnya APTRI menyediakan beasiswa untuk lima orang. Sehingga beberapa tahun ini kami juga dapat mengetahui nilai rendemen tebu dari perwakilan APTRI yang sama-sama menganalisis rendemen tebu dengan PG di kebun …” (DK, 25 tahun).

Namun tetap saja walaupun analisis rendemen sudah dilakukan oleh kedua belah pihak baik itu PG maupun petani yang diwakili oleh koperasi, masalah rendemen menjadi masalah yang berkelanjutan dan belum memiliki titik terang.

“… Masalah tentang nilai rendemen sepertinya menjadi masalah

yang berkelanjutan sejak zaman dahulu sampai sekarang yang belum menemukan titik terang. Banyak sekali terjadi masalah terkait nilai rendemen seperti contohnya nilai rendemen petani A dengan petani B berbeda jauh, petani A lebih tinggi dari petani B. Padahal saat menanam petani B menggunakan bibit yang lebih bagus dari pada petani A. Tetapi ketika pengambilan sample tebu yang digunakan untuk menentukan nilai rendemen dipilih secara acak, akan besar kemungkinan sample tersebut tidak mewakili seluruh tanaman tebu yang ada. Sehingga nilai rendemen yang dianalisis terkadang jauh dari harapan. Jelas ini merugikan petani karena nilai rendemen tersebut digunakan dalam penghitungan

bagi hasil sedangkan tebu yang dihasilkan lebih bagus …” (T, 30 tahun).

“… Terkait masalah nilai rendemen memang sudah lama, sample

tanaman dipilih secara acak dalam satu kebun sehingga kurang mewakili secara keseluruhan. Petani pun tidak selalu menanam bibit yang sama dalam satu hektar lahan mereka. Jadi wajar kalau sample tersebut tidak mewakili secara keseluruhan karena bibit yang digunakan saja sudah berbeda, bisa jadi sample yang kebetulan diuji adalah berasal dari bibit yang jeleh padahal di

areal tersebut sebagian berasal dari bibit yang bagus. Maka dari ini sudah mulai terpikirkan untuk menanam tebu dengan bibit yang sama dalam satu lahan. Sehingga saat ini sedang akan dimusyawarahkan agar menanam satu jenis bibit untuk setiap

kebun atau per hektar tanah yang dimiliki …” (MB, 48 tahun).

Setelah tebu ditebang, pengangkutan hasil panen dari kebun ke PG juga merupakan salah satu bagian dari kemitraan. Tebu yang telah ditebang diangkut dengan menggunakan fasilitas angkutan yang tersedia dan diupayakan secara maksimal agar dapat sampai di PG dalam keadaan bersih dan segar selambat- lambatnya 36 jam setelah tebang untuk mengurangi proses penyusutan rendemen. Penebangan dan pengangkutan tebu dapat dilaksanakan oleh petani/kelompok tani dengan bimbingan PG. PG akan memberitahukan kepada petani mitra dan koperasi mengenai jumlah hasil tebu yang diperoleh dari kebun setiap harinya.

“… Kalau dulu waktu masih zaman Belanda, pengangkutan tebu

yang sudah mengunakan gerbong-gerbong kereta dan mobil pengangkut, tetapi kalo sekarang rel-relnya sudah pada dibongkar karena sudah tidak terawat lagi jadi sekarang hanya diangkut

menggunakan truk yang dibimbing oleh pihak PG …” (AS, 55 tahun).

“… Salah satu permasalahan lagi dalam proses giling tebu menjadi gula adalah mesin-mesin yang dimiliki oleh PG Karangsuwung. Mungkin bukan hanya PG Karangsuwung saja tetapi seluruh PG di Indonesia milik RNI. Mesin yang ada sekarang sudah sangat tua sekali sejak zaman pemerintahan Belanda sehingga pasokan giling dan efesiensinya sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Thailand atau Brazil. Kalau di sini misalkan 1 ton tebu menghasilkan 5 kwintal, mungkin di Thailand 1 ton dengan nilai rendemen yang sama bisa menghasilkan lebih dari 5 kwintal. Jadi wajar saja kita

masih perlu impor untuk memenuhi kebutuhan gula nasional …” (MB, 48 tahun).

Sistem Bagi Hasil

Proses penentuan sistem bagi hasil (SBH) yang terjalin antara petani tebu mitra dengan PG berawal dari musyawarah di tingkat petani tebu melalui koperasi petani maupun APTRI di wilayah masing-masing. Kemudian hasil musyawarah tersebut dibawa ke tingkat pemerintah daerah kabupaten. Pada musyawarah di tingkat daerah kabupaten, perwakilan petani, PG, serta stakeholder lain-lainnya mengungkapkan pendapatnya masing-masing, sampai bertemu pada satu keputusan yang menguntungkan semua pihak. Setelah itu keputusan tersebut disahkah melalui Peraturan Bupati Setempat.

Sistem bagi hasil berlaku hanya satu tahun, untuk tahun-tahun berikutnya dilakukan musyawarah kembali untuk menentukan sistem bagi hasil yang baru.

Sistem bagi hasil ini bersifat lokal sesuai kabupaten atau kota tempat PG tersebut berdiri serta dapat berubah-ubah dari tahun ke tahun karena tergantung pada nilai rendemen tebu yang cenderung meningkat. Selain itu harga gula pun ikut berperan penting pada sistem bagi hasil.

Berikut ini contoh perhitungan bagi hasil yang berlaku musim tanam 2013/2014 berdasarkan Peraturan Bupati Cirebon Nomor 22 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Tebu Rakyat. Untuk nilai rendemen yang kurang dari sama dengan 8 maka sistem bagi hasil yang berlaku adalah 66% untuk petani berbanding 34% untuk PG dari total gula yang dihasilkan. Sedangkan nilai rendemen yang lebih dari 8 maka sistem bagi hasil yang berlaku adalah 70% untuk petani berbanding 30% untuk PG dari total gula yang dihasilkan. Contoh perhitungan bagi hasil nilai rendemen yang dihasilkan oleh petani A adalah 8,79 maka sistem bagi hasilnya adalah:

Karena nilai rendemen yang dihasilkan lebih dari 8 maka untuk nilai yang lebih dari 8 menggunakan nilai bagi hasil 70:30, yaitu

Permasalahan Rendemen

Proses penentuan sistem bagi hasil antara PG dengan petani ditentukan oleh nilai rendemen. Nilai rendemen itu sendiri diperoleh melalui penarikan sample dari batang tebu dalam satu kebun atau luas lahan tertentu, sehingga dapat dipastikan nilai rendemen yang dihasilkan masing-masing petani tebu akan berbeda yang akan berlanjut pada pembagian hasil yang berbeda-beda pula. Namun pada kenyataannya banyak petani yang tidak merasa puas dengan hasil penarikan sample rendemen yang digunakan dalam penentuan sistem bagi hasil. Sample dianggap tidak dapat mewakili secara keseluruhan nilai rendemen dalam satu kebun atau luas lahan tertentu. Bisa saja sample yang diperoleh berasal dari bibit yang memiliki kualitas rendah karena biasanya dalam satu kebun terdiri dari berbagai macam bibit. Sehingga setiap kali musim tanam selalu saja ada petani yang kecewa dengan penentuan nilai rendemen, untuk itu perlu dicarikan jalan keluar lebih lanjut mengenai masalah tersebut.

Dokumen terkait