• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai analisis hubungan tingkat kemandirian petani dalam berusahatani dengan tingkat kesejahteraan petani. Pengukuran tingkat kesejahteraan yang digunakan adalah menurut indikator keluarga sejahtera BKKBN.

Tingkat Kesejahteraan

Tingkat kesejahteraan menurut indikator keluarga sejahtera BKKBN adalah keluarga yang telah mampu memenuhi kebutuhan baik yang bersifat dasar, sosial- psikologis, maupun yang bersifat pengembangan, serta telah dapat pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat. Tingkat kemandirian tersebut dinilai berdasarkan pemenuhan kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan secara baik, pendidikan, keterdedahan terhadap informasi, serta aktif baik secara memberikan sumbangan secara materil maupun menjadi pengurus dalam organisasi sosial masyarakat. Semakin sejahtera maka petani sudah mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar secara baik serta aktif dalam kegiatan organisasi sosial masyarakat.

Berikut ini adalah tabel yang menggambarkan jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan petani menurut indikator keluarga sejahtera BKKBN.

Tabel 14 Jumlah dan persentase tingkat kesejahteraan responden menurut indikator keluarga sejahtera BKKBN

Tingkat Kesejahteraan Jumlah (orang) Persentase (%)

Pra Sejahtera (skor 0) 0 0

Sejahtera 1 (skor 1-7) 0 0

Sejahtera 2 (skor 8-13) 1 3,3

Sejahtera 3 (skor 14-21) 19 63,4

Sejahtera 3 Plus (skor ≥22) 10 33,3

Total 30 100

Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa sebanyak 3,3% atau berjumlah satu petani yang dikategorikan sebagai Sejahtera 2, artinya bahwa keluarga petani tersebut yang telah memenuhi kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan sosial-psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan pengembangannya seperti kebutuhan untuk peningkatan agama, menabung, berinteraksi dalam keluarga, ikut melaksanakan kegiatan dalam masyarakat dan mampu memperoleh informasi. Sebanyak 63,3% petani dikategorikan ke dalam Sejahtera 3, artinya bahwa keluarga petani tersebut telah memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sosial-psikologis, dan kebutuhan pengembangan, namun belum dapat memberikan sumbangan yang maksimal terhadap masyarakat, seperti secara teratur memberikan sumbangan dalam bentuk material dan keuangan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan serta berperan

serta secara aktif dengan menjadi pengurus lemabaga kemasyarakatan atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olahraga, pendidikan, dan sebagainya. Dan sebanyak 33,3% dikategorikan ke dalam Sejahtera 3 Plus, artinya bahwa keluarga petani tersebut telah mampu memenuhi semua kebutuhan baik yang bersifat dasar, sosial-psikologis, maupun yang bersifat pengembangan, serta telah dapat pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat.

“… Kalau ditanya sebagian besar tingkat kesejahteraan rumah

tangga petani tebu mitra secara umum ya menurut saya sudah sejahtera. Ukurannya karena mereka sudah memiliki 2 unit sepeda motor yang digunakan untuk ke kebun dan untuk kebutuhan transport sehari-hari …” (MB, 48 tahun).

“… Kesejahteraan rumah tangga petani tebu mitra menurut saya

secara umum sudah sejahtera. Ukurannya karena pendapatan petani

tebu apabila dibandingkan dengan petani padi jauh lebih besar …” (T, 30 tahun).

Analisis Hubungan Antara Tingkat Kemandirian dan Tingkat Kesejahteraan

Hasil uji korelasi antara tingkat kemandirian dan tingkat kesejahteraan menghasilkan nilai signifikan sebesar 0.003. Nilai tersebut lebih rendah dari α (0.05), maka terdapat hubungan antara tingkat kemandirian dengan tingkat kesejahteraan. Hubungan tersebut bersifat positif, artinya semakin tinggi tingkat kemandirian maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan. Begitu pun sebaliknya apabila semakin rendah tingkat kemandirian maka semakin tinggi tingkat juga tingkat kesejahteraan. Persentase hubungan tingkat kemandirian dan tingkat kesejahteraan dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 15 Persentase hubungan tingkat kemandirian dengan tingkat kesejahteraan Tingkat

Kemandiri an

Tingkat Kesejahteraan Jumlah

Pra Sejahtera Sejahtera 1 Sejahtera 2 Sejahtera 3 Sejahtera 3 Plus f % f % f % f % f % f % Tinggi 0 0 0 0 0 0 0 0 1 100 1 100 Sedang 0 0 0 0 0 0 1 16,7 5 83,3 6 100 Rendah 0 0 0 0 1 4,3 18 78,3 4 17,4 23 100 Pada Tabel 14 menunjukkan bahwa terdapat 1 orang petani yang memiliki

tingkat kesejahteraan tinggi dan sejahtera tiga plus. Pada tingkat kesejahteraan yang sama sebanyak 5 orang petani memiliki tingkat kemandirian sedang dan 4 orang petani memiliki tingkat kemandirian rendah. Sedangkan pada sejahtera keluarga tiga terdapat 1 orang petani memiliki tingkat kemandirian sedang dan 18 orang petani memiliki tingkat kemandirian rendah. Hanya terdapat satu orang

petani yang berada pada keluarga sejahtera dua dan memiliki tingkat kemandirian rendah.

Secara keseluruhan memang tingkat kesejahteraan petani tebu yang bermitra dengan PG Karangsuwung diukur berdasarkan tingkat keluarga sejahtera BKKBN sudah memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi. Namun kenyataannya tidak berbanding lurus (negatif) dengan tingkat kemandirian petani yang cenderung sebagian besar masih rendah. Hal ini terjadi karena memang terdapat faktor lain selain tingkat kemandirian yang lebih mempengaruhi tingkat kesejahteraan yaitu kepemilikan luas lahan. Sebagian besar petani sudah memiliki luas lahan lebih dari 1 hektar baik itu milik sendiri maupun menyewa tanah, hanya terdapat dua orang responden yang memiliki luas lahan 1 hektar. Sehingga sebagian besar tingkat kesejahteraan petani sudah sangat tinggi.

Menurut Asosiasi Psikologi Amerika yang dikutip dalam tesis Priana (2004) mengenai Identifikasi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kemandirian Petani Dalam Melakukan Usaha Agroforestri, bahwa salah satu kebutuhan psikologis terpenting yang membuat manusia bahagia (sejahtera) adalah kemandirian. Dalam kasus ini, petani yang tingkat kemandiriannya tinggi, walaupun memiliki pendapatan yang tidak tinggi dapat dikatakan lebih sejahtera daripada petani yang tingkat kemandiriannya rendah. Meningkatnya kemandirian responden tidak serta merta diiringi dengan meningkatnya pendapatan atau kesejahteraan. Bisa saja petani yang tidak atau kurang mandiri, tetapi karena memiliki kepemilikan lahan yang luas dalam berusaha tani misalnya dari warisan orangtua, maka laju peningkatan pendapatannya justru lebih tinggi daripada petani yang lebih mandiri, tetapi tidak memiliki kepemilikan lahan yang luas.

Pola-pola kemitraan yang terjadi antara petani tebu dengan PG hendaknya tidak diarahkan hanya untuk tujuan peningkatan pendapatan. Hal yang lebih penting adalah muncul dan terbinanya kemandirian petani dalam memanfaatkan berbagai peluang yang ada di sekitar mereka, sehingga mereka menjadi lebih berdaya.

Ikhtisar

Hasil penelitian mengenai pola kemitraan antara petani tebu dengan PG Karangsuwung dan hubungannya dengan tingkat kemandirian petani tebu dalam berusaha tani dapat dikatakan menjadikan kemandirian petani dalam berusaha tani rendah. Hal tersebut dapat terlihat dengan sebagian petani yang masih menggantungkan usaha taninya kepada PG Karangsuwung, mereka tidak dapat melakukan usaha tani yang berkelanjutan apabila tidak mendapatkan kemudahan dan bantuan dari PG Karangsuwung. Kemudahan petani dalam mengakses sarana produksi tani yang disediakan oleh PG Karangsuwung pun menjadi faktor petani menjadi kurang mandiri.

Pada tingkat kemandirian, petani yang masuk ke dalam kategori tinggi hanya terdapat 1 orang, sedang 5 orang, sedangkan petani yang masuk ke dalam kategori rendah mencapai 24 orang. Secara keseluruhan apabila dilihat dari tingkat kesejahteraan yang diukur dengan tingkat keluarga sejahtera BKKBN makan sebanyak 10 orang sudah dikategorikan ke dalam Keluarga Sejahtera 3 Plus, sebanyak 19 orang masuk ke dalam Keluarga Sejahtera 3, dan 1 orang

Sejahtera 2. Sudah tidak ada petani tebu yang masuk ke dalam kategori Keluarga Pra Sejahtera maupun Keluarga Sejahtera 1.

Hasil penelitian mengenai hubungan antara tingkat penyediaan akses dengan tingkat kemandirian menunjukkan bahwa keduanya memiliki hubungan yang negatif atau berkebalikan. Artinya apabila tingkat penyediaan akses tinggi maka memiliki tingkat kemandirian yang rendah, begitu pula sebaliknya. Berbeda dengan hubungan antara tingkat kemandirian dan tingkat kesejahteraan. Keduanya memiliki hubungan yang positif, artinya apabila tingkat kemandirian tinggi maka memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi, begitu pula sebaliknya.

Terdapat perbedaan hubungan antara perhitungan dengan keadaan yang sesungguhnya. Secara keseluruhan memang tingkat kesejahteraan petani tebu yang bermitra dengan PG Karangsuwung diukur berdasarkan tingkat keluarga sejahtera BKKBN sudah memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi. Namun kenyataannya tidak berbanding lurus (negatif) dengan tingkat kemandirian petani yang cenderung sebagian besar masih rendah. Hal ini terjadi karena memang terdapat faktor lain selain tingkat kemandirian yang lebih mempengaruhi tingkat kesejahteraan yaitu kepemilikan luas lahan. Sebagian besar petani sudah memiliki luas lahan lebih dari 1 hektar baik itu milik sendiri maupun menyewa tanah, hanya terdapat dua orang responden yang memiliki luas lahan 1 hektar. Sehingga sebagian besar tingkat kesejahteraan petani sudah sangat tinggi.

Menurut Asosiasi Psikologi Amerika yang dikutip dalam tesis Priana (2004) mengenai Identifikasi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri, bahwa salah satu kebutuhan psikologis terpenting yang membuat manusia bahagia (sejahtera) adalah kemandirian. Dalam kasus ini, petani yang tingkat kemandiriannya tinggi, walaupun memiliki pendapatan yang tidak tinggi dapat dikatakan lebih sejahtera daripada petani yang tingkat kemandiriannya rendah. Meningkatnya kemandirian responden tidak serta merta diiringi dengan meningkatnya pendapatan atau kesejahteraan. Bisa saja petani yang tidak atau kurang mandiri, tetapi karena memiliki kepemilikan lahan yang luas dalam berusaha tani misalnya dari warisan orangtua, maka laju peningkatan pendapatannya justru lebih tinggi daripada petani yang lebih mandiri, tetapi tidak memiliki kepemilikan lahan yang luas.

Pola-pola kemitraan yang terjadi antara petani tebu dengan PG hendaknya tidak diarahkan hanya untuk tujuan peningkatan pendapatan. Hal yang lebih penting adalah muncul dan terbinanya kemandirian petani dalam memanfaatkan berbagai peluang yang ada di sekitar mereka, sehingga mereka menjadi lebih berdaya

Dokumen terkait