• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kemitraan Pabrik Gula Karangsuwung Kabupaten Cirebon terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Tebu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kemitraan Pabrik Gula Karangsuwung Kabupaten Cirebon terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Tebu"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

RAFI NUGRAHA FEBRIANA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kemitraan Pabrik Gula Karangsuwung Kabupaten Cirebon terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Tebu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

Rafi Nugraha Febriana

(4)

Kabupaten Cirebon terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Tebu. Dibimbing oleh IVANOVICH AGUSTA.

Kemitraan dalam perkebunan merupakan hubungan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat, dan saling ketergantungan antara perusahaan dengan pekebun. Namun adanya ketidaksetaraan dan kecenderungan dominasi dalam pola kemitraan menciptakan ketergantungan salah satu pihak dalam hal ini petani terhadap perusahaan. Ketergantungan inilah yang menjadikan adanya kontrol yang kuat terhadap petani sehingga kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani menjadi rendah. Tujuan penelitian ini menganalisis pola kemitraan yang terjalin antara PG Karangsuwung dengan petani tebu, serta mengetahui tingkat kemandirian petani mitra dalam berusaha tani dan tingkat kesejahteraan petani tersebut. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kemandirian petani tebu mitra memang sebagian besar masih tergolong rendah, namun apabila dilihat dari tingkat kesejahteraan sebagian besar sudah tinggi. Hal ini dikarenakan tingkat kemandirian kurang berpengaruh langsung terhadap tingkat kesejahteraan, terdapat faktor lain yang lebih berpengaruh seperti luas kepemilikan lahan.

Kata kunci: kemitraan, kemandirian, kesejahteraan

ABSTRACT

RAFI NUGRAHA Febriana. Effect of Sugar Factory Karangsuwung Partnership Against Welfare Cirebon District Sugarcane Growers. Supervised by IVANOVICH AGUSTA.

Partnerships in plantation is a mutually beneficial relationship, mutual respect, mutual responsibility, mutually reinforcing, and interdependence among firms with planters. However, the trend of inequality and domination in partnership creates dependency either party in this case the farmers against the company. Dependency is what makes a strong control of the farmers so that farmers in decision-making independence of farming is low. The purpose of this study to analyze the pattern of partnership that exists between PG Karangsuwung with sugarcane farmers, as well as determine the level of independence of the partner farmers trying to farm and farmer's welfare. Based on the results of the study showed that the degree of independence of sugarcane farmers partner does most of the still relatively low, but when seen from the welfare of the majority of already high. This is because the degree of independence is less direct effect on the level of well-being, there are other more influential factors such as the size of land holdings.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

RAFI NUGRAHA FEBRIANA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

PENGARUH KEMITRAAN PABRIK GULA KARANGSUWUNG

KABUPATEN CIREBON TERHADAP TINGKAT

(6)
(7)
(8)

Judul Skripsi : Pengaruh Kemitraan Pabrik Gula Karangsuwung Kabupaten Cirebon terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Tebu Nama : Rafi Nugraha Febriana

NIM : I34090054

Disetujui oleh

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

(9)

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah tentang kemitraan usahatani yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini berjudul Pengaruh Kemitraan Pabrik Gula Karangsuwung Kabupaten Cirebon Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Tebu.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ivanovich Agusta, SP, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Kepada pihak PG Karangsuwung, Ibu Ir. Nina Trisnawati selaku

General Manager, Pak Wisnu Subroto selaku Kepala Bagian Bidang Tanaman, Pak H. Pramuji dan karyawan PG Karangsuwung bagian tanaman seluruhnya, Pak H. M. Bajuri, Mas Dede, Mba Rostiana, Mba Ratna, Mba Nindi selaku anggota dan pengurus K.AB Harum Manis yang telah memberikan informasi tentang petani. Orang tua tercinta Hermanudin dan Juhriyah, serta kakak tersayang, Billy Nugraha Ramadhana dan adik tercinta Nizmi Syabrina Putri yang selalu memberi doa, dukungan, semangat, materi, dan semua pengorbanannya dengan penuh rasa sayang kepada penulis. Om Iing, Tante Dede, dan Reifan yang sudah menemani penulis selama penelitian. Sahabat-sahabat terbaik KPM, khususnya Yuli Dwi Anggraeni, Riezka Riswar, Firda Emiria Utami, Dini Dwiyanti, Nina Lucellia, Yanitha Rahmasari, Adia Yuniarti, Irma Handasari, Tiara Triutami, Muhammad Septiadi, Gilang Angga Putra, Elbie Yudha Pratama, Bahari Ilmawan atas saran, masukan, dan kebersamaan. Teman satu bimbingan, Anggi Lestari Utami dan Resti Taryania untuk semangat, masukan, saran, candaan, dan kebersamaan dalam mengerjakan skripsi sehingga kita bisa bersama-sama menyelesaikan skripsi dengan lancar. Seluruh keluarga besar KPM, khususnya KPM 46 atas dukungan dan kebersamaan selama ini. Seluruh Crew Majalah Komunitas yang sudah memberikan pengalaman yang sangat berharga serta semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan studi pustaka hingga penyelesaian skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Mei 2013

(10)

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Kebijakan dan Peraturan Perundangan Tentang Kemitraan di Perkebunan 5

Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) 6

Ketidaksetaraan Hubungan Dalam Kemitraan 7

Kemandirian 9

Kesejahteraan 10

Kerangka Pemikiran 11

Hipotesis Penelitian 12

Definisi Operasional 12

METODE PENELITIAN 17

Lokasi dan Waktu Penelitian 17

Teknik Pengumpulan Data 18

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 19

GAMBARAN UMUM 23

Gambaran Umum PG Karangsuwung 23

Visi, Misi, dan Goal PG Karangsuwung 24

Struktur Organisasi 25

Sarana Pendukung dan Komponen Utama Pabrik 26

Lahan dan Kepemilikan Tebu 27

Produksi Gula PG Karangsuwung 29

SISTEM KEMITRAAN 31

(11)

Penyediaan Sarana Produksi Tani 32

Frekuensi Penyuluhan 33

Pelayanan Pasca Panen 34

Sistem Bagi Hasil 35

Permasalahan Rendemen 36

KARAKTERISTIK RESPONDEN 37

Koperasi Agribisnis Harum Manis 37

Karakteristik Individu 37

Aset Rumah Tangga Responden 40

TINGKAT PENYEDIAAN AKSES DAN FAKTOR YANG

BERHUBUNGAN 42

Tingkat Penyediaan Akses 42

Tingkat Kemandirian 43

Analisis Hubungan Tingkat Penyediaan Akses Dan Tingkat Kemandirian 44

TINGKAT KEMANDIRIAN DAN FAKTOR YANG BERHUBUNGAN 46

Tingkat Kesejahteraan 46

Analisis Hubungan Antara Tingkat Kemandirian dan Tingkat

Kesejahteraan 47

Ikhtisar 48

SIMPULAN DAN SARAN 50

Simpulan 50

Saran 50

DAFTAR PUSTAKA 52

LAMPIRAN 54

(12)

1. Peubah dan indikator tingkat kerjasama penyediaan sarana produksi

melalui kemitraan 12

2. Peubah dan indikator kemandirian petani dalam pengambilan

keputusan usahatani 13

3. Indikator dan pengukuran keluarga sejahtera BKKBN 14

4. Prasarana pendukung PG Karangsuwung 26

5. Komponen utama PG Karangsuwung 27

6. Penggunaan dan potensi lahan selama sepuluh tahun terakhir 28

7. Luas kepemilikan lahan kemitraan dan mandiri PG Karangsuwung 28

8. Performance produksi PG Karangsuwung 29

9. Jumlah dan persentase responden menurut usia, jenis kelamin, dan

pendidikan terakhir tahun 2013 38

10. Jumlah dan persentase aset rumah tangga responden 41

11. Jumlah dan persentase tingkat akses petani terhadap sarana produksi

tani 42

12. Jumlah dan persentase tingkat kemandirian petani dalam pengambilan

keputusan usaha tani 43

13. Persentase hubungan tingkat penyediaan akses dengan tingkat

kemandirian 44

14. Jumlah dan persentase tingkat kesejahteraan responden menurut

indikator keluarga sejahtera BKKBN 46

15. Persentase hubungan tingkat kemandirian dengan tingkat kesejahteraan 47

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran pengaruh kemitraan pabrik gula Karangsuwung

Kabupaten Cirebon terhadap tingkat kesejahteraan petani tebu 11

2. Struktur organisasi PG Karangsuwung 25

3. Grafikproduksi gula PG Karangsuwung 29

(13)

1. Kerangka sampling petani mitra PG Karangsuwung 54

2. Data responden petani mitra PG Karangsuwung 55

3. Peta PG Karangsuwung 56

4. Contoh hasil pengolahan data 56

5. Kuesioner 58

6. Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013 66

7. Surat pengajuan sewa tanah 67

8. Surat perjanjian kemitraan 68

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu tujuan diselenggarakannya perkebunan menurut UU No. 18 tahun 2004 adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri. Untuk itu perkebunan dapat melakukan usaha kemitraan yang lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 22 ayat 1 dan 2 yaitu kemitraan merupakan hubungan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan antara perusahaan perkebunan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan. Polanya dapat berupa kerja sama penyediaan sarana produksi, kerja sama produksi, pengelolaan dan pemasaran, transportasi, kerja sama operasional, kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya.

Kemitraan antara perkebunan dengan industri sudah terjadi sejak penjajahan Belanda. Terutama sejak diberlakukannya undang-undang agraria (Agrarische

Wet) tahun 1870, pemilik modal swasta dapat membangun perkebunan besar karena dapat memperoleh tanah dengan cara sewa jangka panjang yang relatif murah, yaitu melalui penggunaan hak erfpacht1. Dalam hal perkebunan tebu di Jawa, tanah diperoleh melalui sewa tanah para petani oleh pabrik gula (PG) untuk memenuhi bahan baku melalui contract farming. Setelah Indonesia merdeka, sistem tersebut berlanjut, bahkan sampai nasionalisasi pabrik-pabrik gula tahun 1957-1958. Namun pada tahun 1975, melalui Instruksi Presiden (Inpres) No 9/1975, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan perubahan struktural dalam organisasi industri gula. Perubahan yang mendasar adalah bahwa penanaman tebu yang semula tanggung jawab PG (yang dengan cara menyewa tanah petani lalu mengelola sendiri perkebunan tebu), diubah menjadi tanggung jawab petani. Artinya tanaman tebu menjadi tanaman milik rakyat, sedangkan PG hanya berfungsi sebagai “buruh” pengolah tebu menjadi gula, dan sebagai penasehat teknis dalam hal budidaya tebu (Tebu Rakyat Intensifikasi atau TRI). Salah satu tujuan dari perubahan struktural dalam organisasi gula tersebut adalah agar petani diberikan kesempatan untuk dapat menjadi tuan di tanahnya sendiri yang diharapkan akan berdampak positif terhadap kesejahteraan petani tebu itu sendiri (Wiradi 1991).

Secara definitif contrac farming adalah usahatani yang didasari kontrak antara satu lembaga yang berperan sebagai pengolah dan/atau pemasar hasil-hasil pertanian dan petani-petani yang berperan sebagai produsen primer hasil-hasil pertanian tersebut. Menurut Kirk (1987) dalam Bachriadi (1995), menyebutkan bahwa kemitraan atau contract farming sebagai model inti-satelit. Perusahaan sebagai inti yang biasanya membeli produk pertanian dapat juga menyediakan nasehat-nasehat teknis, kredit, serta sarana produksi lainnya secara langsung. Sedangkan petani sebagai satelit bertugas untuk menyediakan atau menjual sejumlah hasil pertaniannya. Penyediaan sarana produksi seperti bibit, pupuk,

1

(15)

teknologi, serta materi-materi pelatihan yang biasanya diberikan oleh pabrik membuat pola kemitraan menjadi tidak setara dan cenderung mendominasi.

Apabila melihat kepentingan-kepentingan setiap aktor dalam usaha tani kontrak, tampak bahwa petani berada pada posisi terjepit di tengah struktur hubungan produksi. Para petani yang hanya memiliki kepentingan untuk keluar dari kesulitan-kesulitan klasik mereka harus berhadapan untuk keluar dengan sejumlah kepentingan ekonomi,sosial, dan politik yang lebih besar dari sekedar sebuah usaha produksi. Di tingkat mikro, kemitraan membuat petani-petani berada dalam situasi tergantung kepada pihak inti (perusahaan). Ketergantungan ini terjadi akibat situasi dan struktur pasar yang menekan petani. Jelas, tanpa bantuan dari pihak pemberi kontrak, petani-petani tersebut sulit untuk masuk dan menembus pasar global. Namun dengan bantuan yang diterimanya, umumnya mereka terjebak di dalam pasar yang monopsonis dan monopolis. Kedua bentuk pasar ini sangat mungkin terjadi dalam kemitraan karena sifat dominan pihak pemberi kontrak. Sifat dominan ini kemudian akan menciptakan ketergantungan petani yang pada gilirannya malah akan memperkokoh dominasi pihak pemberi kontrak. Akhirnya, pihak pemberi kontrak semakin bertambah kuat dan terus-menerus mendominasi petani dengan menciptakan beberapa sistem yang bisa memperkokoh posisinya. Diciptakanlah sistem-sistem yang membuat petani terus-menerus tergantung secara teknologi, finansial, dan pasar terhadap mereka. Bahkan jika diperlukan metode dan sistem kekerasan juga diterapkan agar sistem dominasi ini tetap terwujud. Dengan demikian, dalam hubungan kontrak ini sesungguhnya terjadi kemudian adalah suatu model penguasaan ekonomi bahkan juga sosial-budaya, yang dapat memberikan jaminan atau peningkatan keuntungan bagi pihak yang lebih memiliki kekuasaan. Keadaan dominasi inilah yang membuat petani menjadi tergantung kepada pihak pabrik. Ketergantungan ini menjadikan adanya kontrol yang kuat terhadap petani sehingga kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani sangat rendah. Ketika petani sudah memutuskan untuk melakukan kemitraan maka kemampuan dan kebebasan mereka untuk menentukan pilihan yang diinginkan menjadi satu hal yang mustahil. Mulai dari proses awal menanam hingga panen dan pemasaran, semuanya dikontrol oleh pihak pabrik demi memenuhi kualitas dan kuantitas hasil produksi yang diinginkan oleh pabrik pada saat awal proses kontrak.

Lebih jauh lagi ketika pola kemitraan ini berjalan terus-menerus, sehingga petani tidak dapat meminimalkan ketergantungannya pada pihak pabrik, membuat posisi dan kontrol pabrik menjadi lebih kuat. Dampaknya posisi tawar petani menjadi rendah dan penentuan harga hasil produksi ditentukan secara sepihak. Pada akhirnya petani tidak dapat menuntut keuntungan dari transfer materi berlebih kepada pihak pabrik yang membuat tingkat kesejahteraan petani tidak dapat tercapai sesuai dengan tujuan formal program TRI.

(16)

Perumusan Masalah

Perubahan struktur dalam organisasi gula berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No 9/1975 membuka petani untuk menjadi tuan di tanahnya sendiri. Penanaman tebu yang semula tanggung jawab PG (yang dengan cara menyewa tanah petani lalu mengelola sendiri perkebunan tebu), diubah menjadi tanggung jawab petani. Artinya tanaman tebu menjadi tanaman milik rakyat, sedangkan PG hanya berfungsi sebagai “buruh” pengolah tebu menjadi gula, dan sebagai penasehat teknis dalam hal budidaya tebu (Tebu Rakyat Intensifikasi atau TRI) sehingga diharapkan akan berdampak positif terhadap kesejahteraan petani itu sendiri. Namun ternyata perubahan mendasar tersebut membuat petani berada pada posisi terjepit di tengah struktur hubungan produksi. Para petani yang hanya memiliki kepentingan untuk keluar dari kesulitan-kesulitan klasik mereka harus berhadapan untuk keluar dengan sejumlah kepentingan ekonomi,sosial, dan politik yang lebih besar dari sekedar sebuah usaha produksi. Di tingkat mikro, kemitraan membuat petani-petani berada dalam situasi tergantung kepada pihak inti (perusahaan). Ketergantungan ini terjadi akibat situasi dan struktur pasar yang menekan petani. Jelas, tanpa bantuan dari pihak pemberi kontrak, petani-petani tersebut sulit untuk masuk dan menembus pasar global. Namun dengan bantuan yang diterimanya, umumnya mereka terjebak di dalam pasar yang monopsonis dan monopolis. Kedua bentuk pasar ini sangat mungkin terjadi dalam kemitraan karena sifat dominan pihak pemberi kontrak. Sifat dominan ini kemudian akan menciptakan ketergantungan petani yang pada gilirannya malah akan memperkokoh dominasi pihak pemberi kontrak. Akhirnya, pihak pemberi kontrak semakin bertambah kuat dan terus-menerus mendominasi petani dengan menciptakan beberapa sistem yang bisa memperkokoh posisinya. Diciptakanlah sistem-sistem yang membuat petani terus-menerus tergantung secara teknologi, finansial, dan pasar terhadap mereka.

Berdasarkan uraian di atas, masalah yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Sejauhmana kerjasama penyediaan sarana produksi dalam kemitraan meningkatkan kemandirian usaha petani tebu?

2. Sejauhmana kemandirian usaha meningkatkan kesejahteraan petani tebu?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji pola kemitraan yang terjadi antara PG dengan petani tebu dalam pemenuhan bahan baku gula serta keterkaitannya dengan kemandirian petani dan kesejahteraan petani tebu. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis pola kemitraan antara PG dengan petani tebu.

2. Menganalisis pengaruh tingkat kerjasama penyediaan sarana produksi dalam kemitraan terhadap tingkat kemandirian petani.

(17)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan sebagai pengenalan lebih lanjut mengenai pola kemitraan antara PG dengan petani tebu dalam memenuhi kebutuhan bahan baku tebu serta pengaruhnya terhadap tingkat kemandirian usaha tani dan kesejahteraan petani tebu. Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu:

1. Akademisi, dimana penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin mengkaji lebih lanjut mengenai pengaruh pola kemitraan PG dan petani tebu terhadap tingkat kesejahteraan, khususnya diukur berdasarkan tingkat pendapatan.

2. Masyarakat dan Industri Gula, dimana penelitian ini diharapkan dapat memberi hubungan yang saling menguntungkan, khususnya PG dan petani tebu yang merupakan aktor yang menjalankan pola kemitraan. 3. Pemerintah, dimana penelitian ini dihaparkan dapat memberikan

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan mengenai pustaka rujukan yang diambil dari beberapa sumber seperti buku, peraturan pemerintah maupun hasil penelitian. Bab ini juga menjelaskan mengenai kerangka pemikiran yang diikuti oleh hipotesis penelitian, dan definisi operasional. Berikut ini penjelasan masing-masing bagian tersebut.

Kebijakan dan Peraturan Perundangan Tentang Kemitraan di Perkebunan

Perkebunan memiliki potensi yang sangat besar dalam pembangunan perekonomian nasional untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu untuk menjamin keberlanjutannya serta meningkatkan fungsi dan perannya maka perkebunan sebagai salah satu bentuk pengelolaan sumber daya alam perlu dilakukan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional, dan bertanggung jawab. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Pasal 3, tujuan diselenggarakannya perkebunan adalah: (1) meningkatkan pendapatan masyarakat, (2) meningkatkan penerimaan negara, (3) meningkatkan penerimaan devisa negara, (4) menyediakan lapangan kerja, (5) meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing, (6) memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri, dan (7) mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Pada UU No 18 Tahun 2004 Pasal 3 bahwa salah satu tujuan diselenggarakannya perkebunan adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri. Maka perusahaan perkebunan dapat melakukan kemitraan dengan perusahaan agroindustri2, hal tersebut tertuang pada Pasal 22 ayat (1) perusahaan perkebunan melakukan kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar perkebunan. Ayat (2) kemitraan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), polanya dapat berupa kerja sama penyediaan sarana produksi, kerja sama produksi, pengelolaan dan pemasaran, transportasi, kerja sama operasional, kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya. Serta ayat (3) yang berisi ketentuan lebih lanjut mengenai pola kemitraan usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Kemitraan yang terjalin antara perkebunan dengan perusahaan agroindustri memiliki beberapa jenis dan pola tertentu. Untuk itu berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/Kpts/OT.210/10/1997 bahwa kemitraan usaha pertanian dapat dilakukan dengan pola:

1. Inti-Plasma

Pola ini merupakan hubungan antara petani, kelompok tani atau kelompok mitra sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra usaha. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung dan mengolah serta memasarkan hasil produksi. Kelompok mitra

2

(19)

bertugas memenuhi kebutuhan perusahaan inti sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati.

2. Sub Kontrak

Pola subkontrak merupakan pola kemitraan antara perusahaan mitra usaha dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Pola subkontak ditandai adanya kesepakatan tentang kontak bersama yang mencakup; volume, harga, mutu, dan waktu.

3. Dagang Umum

Pola kemitraan dagang umum merupakan hubungan usaha dalam pemasaran hasil produksi, Pihak yang terlibat dalam pola ini adalah pihak pemasaran dengan kelompok usaha pemasok komoditas yang diperlukan oleh pihak pemasaran tersebut.

4. Keagenan

Bentuk kemitraan yang terdiri dari pihak perusahaan mitra dan kelompok mitra atau pengusaha kecil mitra. Pihak perusahaan mitra (perusahaan besar) memberi hak khusus kepada kelompok mitra untuk memasarkan barang dan jasa perusahaan yang dipasok oleh pengusaha besar mitra. Perusahaan besar bertanggungjawab atas mutu dan volume produk, sedangkan usaha kecil mitranya berkewajiban memasarkan produk dan jasa.

5. Kerjasama Operasional Agribisnis (KAO)

Pola kemitraan KOA merupakan pola hubungan bisnis yang dijalankan oleh kelompok mitra dan perusahaan mitra. Kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidaya suatu komoditas pertanian.

Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)

(20)

sendiri yang diharapkan akan berdampak positif terhadap kesejahteraan petani tebu itu sendiri (Wiradi 1991).

Tujuh belas tahun lebih program TRI dijalankan di Jawa, namun hasilnya belum menggembirakan petani-petani pesertanya. Swasembada gula memang berhasil dicapai pada tahun ke-18 pelaksanaan program tetapi petani kecil yang turut serta di dalam program belum terangkat ke arah kesejahteraan secara ekonomis. Adanya sewa-menyewa lahan, peserta fiktif, dan penolakan petani untuk terlibat dalam program ini menunjukkan bahwa sebagian petani menganggap program ini tidak menguntungkan. Terlebih lagi bagi petani-petani berlahan sempit. Padahal ketika lahan-lahan mereka sudah masuk dalam cakupan wilayah kerja program tidak ada satu hal pun yang dapat dipertahankan kecuali terlibat dalam program. Dengan kata lain, program TRI banyak memaksa petani untuk menanam tebu, tidak ada kebebasan berproduksi di sana.

TRI yang salah satu tujan awalnya ingin menghilangkan sewa-menyewa lahan ternyata malah menciptakan pola sewa-menyewa lahan baru dan memunculkan fenomena penguasaan tanah secara luas pada satu pihak, yaitu cukong-cukong. Cukong-cukong dan petani berlahan luas memang bisa membuat guliran program TRI menjadi bisnis menguntungkan karena dengan lahan yang relatif luas mereka dapat mengefisienkan proses produksi. Satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh petani-petani berlahan sempit karena secara ekonomis biaya produksi yang harus dikeluarkan menjadi tidak seimbang dengan hasil yang dicapai (Bachriadi 1995).

Ketidaksetaraan Hubungan Dalam Kemitraan

Menurut Kirk (1987) dalam Bachriadi (1995), menyebutkan bahwa kemitraan atau contract farming sebagai model inti-satelit. Perusahaan sebagai inti yang biasanya membeli produk pertanian dapat juga menyediakan nasehat-nasehat teknis, kredit, serta sarana produksi lainnya secara langsung. Sedangkan petani sebagai satelit yang bertugas untuk menyediakan atau menjual sejumlah hasil pertaniannya dalam batasan-batasan tertentu (harga, mutu, dan jumlah) yang kerap tidak bisa disetarakan dengan jumlah tenaga yang harus mereka keluarkan. Pada banyak kasus, petani tidak terlibat di pasar bebas untuk kelebihan-kelebihan komoditi yang mereka miliki karena akses untuk terlibat di pasar bebas tersebut tidak mereka miliki.

(21)

pemberi kontrak. Sifat dominan ini kemudian akan menciptakan ketergantungan petani yang pada gilirannya malah akan memperkokoh dominasi pihak pemberi kontrak. Akhirnya, pihak pemberi kontrak semakin bertambah kuat dan terus-menerus mendominasi petani dengan menciptakan beberapa sistem yang bisa memperkokoh posisinya. Diciptakanlah sistem-sistem yang membuat petani terus-menerus tergantung secara teknologi, finansial, dan pasar terhadap mereka. Bahkan jika diperlukan metode dan sistem kekerasan juga diterapkan agar sistem dominasi ini tetap terwujud. Dengan demikian, dalam hubungan kontrak ini sesungguhnya terjadi kemudian adalah suatu model penguasaan ekonomi bahkan juga sosial-budaya, yang dapat memberikan jaminan atau peningkatan keuntungan bagi pihak yang lebih memiliki kekuasaan.

Menurut Dos Sandos (1971) dalam Bachriadi (1995) menyatakan bahwa secara umum yang menjadi ciri model hubungan inti-satelit adalah pasar monopolistik serta menunjukkan hubungan tidak sederajat atau adanya dominasi. Di samping adanya aliran surplus yang mengalir lebih besar ke pihak inti akibat ketergantungan dan dominasi tadi.

Struktur pasar monopsonik-monopolistik ini juga akan menyebabkan posisi tawar petani lebih rendah dibanding pihak inti. Ketergantungan petani akan bantuan teknologi dan pemasaran yang sangat tinggi kepada pihak pemberi kontrak secara kondusif untuk memunculkan struktur pasar semacam ini. Secara psikologis pun sulit bagi mereka untuk membebaskan diri dari struktur tersebut, kecuali jika ingin kembali ke kesulitan-kesulitan masa lalu. Akibatnya, tentu saja posisi tawar-menawar mereka sangat rendah di hadapan pihak pemberi kontrak. Bagi pihak pemberi kontrak yang pasti mengerti bahwa organisasi petani yang independen dapat membuat posisi tawar-menawar petani lebih kuat, tentunya sedapat mungkin berusaha menguasai dan menyetir organisasi ini menjadi salah satu strategi mereka untuk tetap bisa memindahkan bagian terbesar surplus ke tangan mereka. Bahkan kalau dapat, menutup kemungkinan bagi petani untuk mengorganisasi diri.

Ketidaksetaraan mungkin juga muncul ketika memperhitungkan persoalan tenaga kerja yang terlibat dalam usaha tani kontrak. Melalui pembelian borongan, pihak pemberi kontrak tidak mau tahu berapa banyak tenaga kerja yang tercurah dalam usaha-usaha produksi tersebut. Mereka hanya peduli pada kewajiban petani untuk menyediakan sejumlah produk dengan kuantitas dan kualitas yang telah ditentukan dan kewajiban untuk membayar hasil produksi sesuai dengan perjanjian. Dalam situasi semacam ini, mungkin saja petani harus melibatkan tenaga kerja di luar dirinya agar dapat memenuhi permintaan. Tidak jarang mereka harus membayar buruh-buruh yang mereka pekerjakan atau mengeksploitir anggota keluarganya sebagai buruh tanpa upah. Padahal kontrak usaha ini hanya terjadi antara seorang petani selaku individu atau kepala keluarga, bukan keluarga petani, dan pihak pemberi kontrak.

Ketika musim panen datang, kualitas tebu dapat terlihat dari rendemen3. Rendemen dipengeruhi oleh faktor petani dalam teknik budidaya tanaman tebu yang benar (on farm) dan PG dalam melakukan teknik pengolahan tebu menjadi gula bermutu tinggi dengan pengukuran rendemen yang benar (on farm). Untuk menganalisa kedua faktor ini, diperlukan analisa rendemen dengan benar dan

3

Rendemen adalah kandungan air gula yang terdapat pada batang tebu yang telah dipanen

(22)

transparan (Ismail 2001). Hal ini membutuhkan kerjasama dan kepercayaan antara PG dengan petani tebu yang dibangun melalui kemitraan. Namun biasanya nilai rendemen yang dihasilkan pada tanaman tebu tidak diberikan kepada petani, sehingga petani tidak tahu menahu tentang nilai rendemen yang dihasilkan dari total tanaman tebu yang telah mereka budidaya. Ketidaktransparanan ini menyebabkan petani tidak dapat menuntut hak mereka dari transfer materi berlebih kepada pihak PG. Akibatnya pendapatan mereka tidak sesuai dengan nilai rendemen yang dihasilkan.

Kemandirian

Kemandirian secara harfiah diartikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Konsep kemandirian menurut Saragih (2005) adalah mampu berusaha sendiri, kreatif, kerja keras, dan competitiviness. Kemandirian merupakan perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik. Menurut Mukhtar (2003), kemandirian adalah suatu kondisi ketika suatu individu mampu meminimalkan ketergantungannya pada individu lain. Kemandirian disebut pula dengan kesejajaran atau bahkan keunggulan jika dibandingkan dengan pihak lain.

Menurut tesis Priana (2004) mengenai “Identifikasi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri” menunjukkan bahwa masyarakat dikatakan berdaya dalam usaha agroforestri apabila telah dapat menolong dirinya sendiri dalam mengidentifikasi masalah dan mencari jalan keluar penyelesaiannya, dengan kata lain masyarakat yang mandiri. Aspek kemandirian merupakan hal terpenting yang harus diperhatikan dan dibina untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

Kemandirian dalam konteks usaha tani menurut tesis Priana (2004) dapat diukur berdasarkan tiga aspek yaitu tingkat kemandirian dalam permodalan, kemandirian dalam proses produksi, dan kemandirian dalam pemasaran hasil. Kemandirian permodalan dapat dilihat dari kemampuan dan kebebasan petani untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan penyediaan modal yang digunakan untuk usahataninya dan pengelolaan keuangan usahanya seperti tingkat ketergantungan modal dari pihak luar, pihak yang memutuskan besar kecil modal yang akan digunakan, dan pengelolaan keuangan.

(23)

Kesejahteraan

Menurut Sukirni (1985) dalam Sunarti (2006) terdapat beragam pengertian mengenai kesejahteraan karena lebih bersifat subyektif dimana setiap orang dengan pedoman, tujuan, dan cara hidupnya yang berbeda-beda akan memberikan nilai yang berbeda pula tentang kesejahteraan dan faktor-faktor yang menentukan tingkat kesejahteraan. Program pembangunan keluarga sejahtera sudah dilakukan oleh BKKBN sejak dahulu dan semakin mendapat pijakan yang kuat dengan diundangkannya UU No 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

Ruang lingkup kesejahteraan dapat dibagi menjadi tiga yaitu: 1. Kesejahteraan Ekonomi

Kesejahteraan ekonomi sebagai tingkat terpenuhinya input secara finansial oleh keluarga. Input yang dimaksud berupa pendapatan, nilai aset keluarga, maupun pengeluaran. Sementara indikator output memberikan gambaran manfaat langsung dari investasi tersebut pada tingkat individu, keluarga, dan penduduk. 2. Kesejahteraan Sosial

Beberapa komponen dari kesejahteraan sosial diantaranya adalah penghargaan (self esteem) dan dukungan sosial.

3. Kesejahteraan Psikologi

Terdapat tiga dimensi kesejahteraan psikologi dalam kaitannya dengan peran orang tua yaitu: suasana hati, tingkat kepuasan, dan arti hidup.

Keluarga sejahtera menurut BKKBN (2005) dibagi menjadi 5 tahap yakni pra sejahtera (PS), keluarga sejahtera I (KS I), keluarga sejahtera II (KS II), keluarga sejahtera III (KS III), dan keluarga sejahtera III plus (KS III plus). 1. Keluarga PS I adalah keluarga yang belum memenuhi kebutuhan dasarnya

secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan, dan kesehatan.

2. KS I adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologinya, seperti kebutuhan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan transportasi.

3. KS II adalah keluarga yang selain dapat memenuhi kebutuhan dasar minimalnya dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologinya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangan seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi.

4. KS III adalah keluarga-keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum dan sosial psikologinya, dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan di lingkungan desa atau wilayahnya.

(24)

Kerangka Pemikiran

Penyediaan sarana produksi tani seperti bibit, pupuk, teknologi, serta materi-materi pelatihan, dan kredit yang dikelola oleh pabrik membuat pola kemitraan menjadi tidak setara dan cenderung mendominasi. Keadaan dominasi inilah yang membuat petani menjadi tergantung kepada pihak pabrik. Ketergantungan ini menjadikan adanya kontrol yang kuat terhadap petani sehingga kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani sangat rendah. Ketika petani sudah memutuskan untuk melakukan kemitraan maka kemampuan dan kebebasan mereka untuk menentukan pilihan yang diinginkan menjadi satu hal yang mustahil. Mulai dari proses awal menanam hingga panen dan pemasaran, semuanya dikontrol oleh pihak pabrik demi memenuhi kualitas dan kuantitas hasil produksi yang diinginkan oleh pabrik pada saat awal proses kontrak.

Lebih jauh lagi ketika pola kemitraan ini berjalan terus-menerus, sehingga petani tidak dapat meminimalkan ketergantungannya pada pihak pabrik, membuat posisi dan kontrol pabrik menjadi lebih kuat. Dampaknya posisi tawar petani menjadi rendah dan penentuan harga hasil produksi ditentukan secara sepihak. Pada akhirnya petani tidak dapat menuntut keuntungan dari transfer materi berlebih kepada pihak pabrik yang membuat tingkat kesejahteraan petani tidak dapat tercapai sesuai dengan tujuan formal program TRI.

Keterangan :

(25)

Hipotesis Penelitian

Dari kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:

1. Diduga terdapat hubungan antara tingkat kerjasama penyediaan sarana produksi dalam kemitraan dengan tingkat kemandirian petani tebu.

2. Diduga terdapat hubungan antara tingkat kemandirian dengan tingkat kesejahteraan petani tebu.

Definisi Operasional

Berikut ini adalah definisi operasional dari berbagai variabel yang dianalisis:

1. Kemitraan adalah hubungan saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggungjawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan antara perusahaan dan petani.

Tabel 1 Peubah dan indikator tingkat kerjasama penyediaan sarana produksi melalui kemitraan

No Parameter Indikator Pengukuran

1 Tingkat Penyediaan

Variabel ini diukur dengan menggunakan dua belas pertanyaan pada kuesioner dengan skala ordinal “Ya” (2) dan “Tidak” (1). Dikategorikan menjadi rendah sedang, dan tinggi dengan akumulasi skor sebagai berikut:

(26)

2. Tingkat kemandirian adalah kemampuan petani dalam mengambil keputusan dari setiap pilihan yang ada untuk menentukan yang terbaik bagi usahataninya sendiri.

Tabel 2 Peubah dan indikator kemandirian petani dalam pengambilan keputusan usahatani

No Parameter Indikator Pengukuran

1 Tingkat

Variabel ini diukur dengan menggunakan sembilan pertanyaan pada kuesioner dengan skala ordinal “Ya” (1) dan “Tidak” (2). Dikategorikan menjadi rendah sedang, dan tinggi dengan akumulasi skor sebagai berikut:

(27)

3. Keluarga sejahtera menurut BKKBN dibagi menjadi 5 tahap yakni pra sejahtera (PS), keluarga sejahtera I (KS I), keluarga sejahtera II (KS II), keluarga sejahtera III (KS III), dan keluarga sejahtera III plus (KS III plus).

Tabel 3 Indikator dan pengukuran keluarga sejahtera BKKBN

No Tingkat Keluarga

2 Keluarga Sejahtera I

(28)

berinteraksi dalam

4 Keluarga Sejahtera III

(29)

Variabel ini diukur dengan menggunakan dua puluh tiga pertanyaan pada kuesioner dengan skala ordinal “Ya” (1) dan “Tidak” (0). Dikategorikan menjadi rendah sedang, dan tinggi dengan akumulasi skor sebagai berikut:

(30)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif yang didukung dengan pendekatan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan pendekatan penelitian survai, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan kemudian peneliti menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi 1989). Penelitian menggunakan metode survai dapat menjelaskan hubungan kausal antara variabel melalui pengujian hipotesa yang sudah dirancang peneliti. Hubungan kausal yang dapat diuji dari hipotesa meliputi hubungan adanya pengaruh kemitraan antara PG dan petani tebu terhadap kesejahteraan petani tebu itu sendiri. Setiap pengujian hipotesa di atas diharapkan mampu menjawab keterkaitan antara pengaruh kemitraan dengan tingkat kesejahteraan petani tebu. Alasan lain dari pemilihan metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan penelitian survai dikarenakan metode ini dapat menjelaskan tujuan dari penelitian melalui generalisasi objek penelitian untuk populasi masyarakat yang tidak sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Singarimbun dan Effendi (1989) yang menyebutkan bahwa keuntungan utama dari penggunaan metode penelitian survai yaitu memungkinkan pembuatan generalisasi untuk populasi yang besar.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian yang mengangkat judul Pengaruh Pola Kemitraan Pabrik Gula Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Tebu ini dilakukan di PG Karangsuwung, Kecamatan Karangsembung, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Terletak 127 km dari ibukota provinsi dan 17 km dari ibukota kabupaten (Lampiran 3). Sebelum menentukan tempat penelitian, peneliti melakukan telaah dokumen melalui kepustakaan media cetak, internet, dan sumber lainnya untuk mendapatkan informasi. Waktu penelitian dilakukan selama kurun waktu dua bulan, yaitu pada Bulan Maret hingga Bulan April 2013. Penelitian yang dimaksud mencakup waktu semenjak peneliti intensif di lapangan hingga pengolahan dan analisis data, sedangkan pelaksanaan ujian dilakukan pada bulan Juli 2013.

(31)

teknis dalam hal budidaya tebu. Salah satu tujuan dari perubahan struktural dalam organisasi gula tersebut adalah agar petani diberikan kesempatan untuk dapat menjadi tuan di tanahnya sendiri yang diharapkan akan berdampak positif terhadap kesejahteraan petani tebu itu sendiri. Pemilihan lokasi ini dianggap sesuai dan dapat menjawab tujuan dari penelitian dikarenakan lokasi ini ditempati oleh penduduk yang sebagian besar luas tanah pertaniannya ditanami oleh komoditas tebu serta petaninya melakukan kemitraan dengan PG Karangsuwung dan berada dalam kondisi yang memiliki posisi tawar yang rendah serta memiliki tingkat kemandirian yang rendah.

Peneliti ingin mengetahui hubungan antara sistem kemitraan yang terjalin antara PG Karangsuwung dengan petani tebu terhadap tingkat kemandirian petani tebu dalam berusaha tani. Selain itu hubungan antara tingkat kemandirian terhadap tingkat kesejahteraan petani itu sendiri menggunakan indikator-indikator berdasarkan BKKBN. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengambilan Sampel

Subjek dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu responden dan informan. Responden merupakan pihak yang memberi keterangan tentang diri dan kegiatan yang dilaksanakannya. Responden dalam penelitian ini adalah petani mitra PG Karangsuwung yang memiliki lahan serta melakukan usaha tani tebu dengan karakteristik yang telah ditentukan. Informan adalah pihak yang memberikan keterangan tentang pihak lain dan lingkungannya. Informan penelitian ini, yaitu pihak PG Karangsuwung selaku pemberi informasi mengenai pengelolaan bibit, pupuk, teknologi, penyuluhan, serta pengelolaan kredit perbankan dengan karakteristik yang telah ditentukan.

Setiap responden dipilih berdasarkan teknik penarikan sampel nonprobabilita, yaitu setiap anggota populasi tidak memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih. Teknik penarikan sampel diambil secara purposive, karena unit analisis diambil hanya berdasarkan keanggotaan maupun kepengurusan dari K.AB Harum Manis yang memiliki karakteristik tertentu, yaitu merupakan petani yang memiliki lahan dan melakukan usaha tani tebu, serta merupakan petani yang menjalin kemitraan dengan PG Karangsuwung minimal satu tahun terakhir yaitu pada masa tanam 2011-2012. Unit analisis yang diambil berjumlah 30 responden, artinya 30 petani yang memiliki lahan dan melakukan usaha tani tebu dan menjalin kemitraan dengan PG Karangsuwung.

(32)

pemilik lahan atau petani lahan itu tinggal di desa tersebut dan menurut pihak PG Karangsuwung nama pemilik lahan belum tentu pemilik sah sebab kebanyakan petani tidak melakukan pemindahalihan nama pemilik lahan sebab membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga bisa jadi nama pemilik yang tertulis sudah meninggal ataupun bukan lagi pemilik sah. K.AB Harum Manis merupakan koperasi dari perkumpulan petani mitra wilayah kerja PG Karangsuwung yang letaknya tidak terlalu jauh dari PG sehingga mudah dijangkau oleh peneliti karena terkait penelitian yang dilakukan hanya dua bulan yaitu Bulan Maret sampai Bulan April. Selain itu nama-nama keanggotaan dan kepengurusannya lebih jelas dan tempat tinggal para petani yang seluruhnya berada di wilayah Kecamatan Karangsembung. Setelah memperoleh data anggota dan pengurus K.AB Harum Manis, uji coba kuesioner dilakukan langsung kepada para petani, dan ternyata dari seluruh populasi semuanya masuk dalam kriteria sebagai responden. Kemudian dilakukan teknik simple random sampling sebanyak 30 orang responden.

Data dan Pengumpulan

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan langsung dari responden dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam. Instrumen data yang dipakai adalah kuesioner (Lampiran 5) untuk pendekatan kuantitatif, dan pedoman wawancara mendalam untuk pendekatan kualitatif. Data sekunder yang dikumpulkan merupakan dokumen-dokumen terkait dengan data-data mengenai nama petani, gambaran umum PG Karangsuwung, gambaran umum K.AB Harum Manis, serta dasar hukum dan peraturan bagi hasil yaitu Peraturan Bupati. Metode pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan metode survei dengan menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner dan diberikan kepada responden yang terpilih. Kuesioner diberikan langsung kepada responden dengan mengunjungi responden satu per satu ke rumah atau kebun-kebun tebu se-Kecamatan Karangsembung, sedangkan pedoman wawancara mendalam dibacakan langsung dan ditanyakan langsung kepada seluruh resoponden dalam proses penelitian pada Bulan Maret sampai Bulan April.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa kuesioner dan pedoman wawancara. Kuesioner yang menjadi acuan dibagi menjadi lima bagian. Pertama,

(33)

kesejahteraan rumah tangga petani mitra secara umum dan mengetahui ukuran atau kriteria miskin suatu rumah tangga petani mitra.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama, melakukan pengkodean pada pertanyaan dan pernyataan yang telah diajukan, kemudian memasukkan data ke buku kode atau lembaran data (code sheet). Kedua, membuat tabel frekuensi. Ketiga, mengedit yakni mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ditemui setelah membaca tabel frekuensi baik pada saat mengisi kuesioner, mengkode, maupun memindahkan data dari lembaran kode ke komputer (Singarimbun dan Effendi 2006).

Data hasil kuesioner terhadap responden kemudian diolah secara statistik deskriptif dengan menggunakan software Statistic Pelayanan for SocialScience (SPSS) for Windows Version 16.0 dan Microsoft Excel 2007. Statistik deskriptif merupakan statistik yang menggambarkan sekumpulan data secara visual baik dalam bentuk gambar maupun tulisan yang digunakan untuk menggambarkan data berupa tabel frekuensi dan tabulasi silang (crosstab). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif, untuk menggambarkan karakteristik individu. Data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner dimasukkan dalam tabel frekuensi, grafik, ukuran pemusatan,dan ukuran penyebaran. Hasil analisi diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.

Pengujian variabel diuji dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman

untuk melihat hubungan yang nyata antar variabel dengan data berbentuk data ordinal. Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk menentukan hubungan antara kedua variabel (variabel independen dan variabel dependen) yang ada penelitian ini, yaitu menguji hubungan antara modal sosial dengan keberhasilan usaha industry kecil alas kaki. Korelasi dapat menghasilkan angka positif (+) dan negatif (-). Korelasi positif menunjukkan hubungan yang searah antara dua variabel yang diuji, yang berarti semakin tinggi variabel bebas (variabel independen) maka semakin tinggi pula variabel terikat (variabel dependen). Sementara itu, korelasi negative menunjukkan hubungan yang tidak searah, yang berarti jika variabel bebas tinggi maka variabel terikat menjadi rendah.

Rumus korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut:

Dimana:

ρ atau rs : koefisien korelasi spearman rank

di : determinan

n : jumlah data atau sampel

Pengujian variabel diuji dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman

(34)

Korelasi positif menunjukkan hubungan yang searah antara dua variabel yang diuji, yang berarti semakin tinggi variabel bebas (variabel independen) maka semakin tinggi pula variabel terikat (variabel dependen). Sementara itu, korelasi negatif menunjukkan hubungan yang tidak searah, yang berarti jika variabel bebas tinggi maka variabel terikat menjadi rendah (Santoso 2000).

Dasar pengambilan keputusan dirumuskan sebagai berikut:

a. Jika angka signifikansi hasil penelitian < 0,05 maka H0 ditolak. Jadi hubungan kedua variabel signifikan; dan

(35)
(36)

GAMBARAN UMUM

Bab ini memaparkan tentang gambaran umum Pabrik Gula Karangsuwung, sejarah, visi dan misi, struktur organisasi periode tahun 2011, data produksi sepuluh tahun terakhir, dan kondisi pabrik saat ini. Bab ini juga memaparkan gambaran umum Koperasi Agribisnis Harum Manis serta karakteristik responden.

Gambaran Umum PG Karangsuwung

Jawa Barat memiliki beberapa kota sentra produksi tebu lokal beserta pabrik pengolahannya. Salah satunya adalah Kota Cirebon yang memiliki empat pabrik gula, namun sekarang hanya tiga saja yang masih berproduksi yaitu: PG Tersana Baru, PG Sindanglaut yang letaknya berdekatan dengan PG Karangsuwung. Sementara PG satu lagi yaitu PG Gempol sudah tidak beroperasi sejak tahun 1995 (Setiadi 2008). PG Karangsuwung terletak di Desa Karangsuwung, Kecamatan Karangsembung, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Kurang lebih berjarak 127 km dari Ibukota Provinsi dan 17 km dari Ibukota Kabupaten serta berada pada ketinggian 20 meter di atas permukaan laut. PG Karangsuwung memiliki sekitar 2000 ha hak guna usaha serta 13.910 ha hak guna bangunan. Mengutip Breman (1986) dalam skripsi Ramadhana (2012) mengenai “Perkembangan Sistem Kepemilikan Tanah pada Perkebunan Tebu di Sindanglaut Cirebon dari tahun 1870 sampai 1968” bahwa sejak zaman dahulu Kecamatan Karangsembung dan Sindanglaut merupakan daerah dataran rendah yang sebagian besar merupakan daerah persawahan yang luas, keadaan alam tersebut mendukung usaha-usaha pertanian tanaman berumur pendek seperti padi, palawija, bawang merah, dan lain-lain. Sedangkan tanaman tebu merupakan tanaman yang sudah ditanam secara turun-temurun di daerah tersebut sejak akhir abad ke-18. Hal itu memberikan gambaran bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang secara geografis memang cocok untuk tanaman tebu, sehingga kondisi inilah yang membuat pemerintah Hindia Belanda memerintahkan untuk menanami sawah-sawah dengan areal yang luas untuk ditanami tebu. Dengan semakin meluasnya perkebunan tebu, maka pemerintah Hindia Belanda kemudian membangun dua pabrik gula yang jaraknya sangat berdekatan yaitu PG Karangsuwung dan PG Sindanglaut yang berjarak kurang lebih 3,8 km. Didukung dengan mesin-mesin yang modern agar mempermudah proses produksi gula yang selama ini masih menggunakan sistem tradisional dan meningkatkan produksi komoditi ekspor yang laku di pasaran dunia untuk mengisi kas negara serta membiayai perang.

Pabrik Gula Karangsuwung berdiri pada tahun 1854 dengan pemilik NV Maatchappy Tot Expoitatie Der Suiker Onderneming Karangsoewoeng salah satu perusahaan Belanda dengan Direksinya dikuasakan kepada NV Kooy Coster Van Voor Nout, dimana hak atas tanah dimulai berlaku pada tahun 1896. Perkembangan PG Karangsuwung selanjutnya adalah sebagai berikut :

a. Masa Sebelum Ambil Alih

(37)

Gubernur) bekas milik Pabrik Gula diambil alih oleh pemerintah dan dibagikan kepada empat desa, yaitu : desa Sumurkondang, desa Karangsuwung, desa Blender dan desa Kubangdeleg, sehingga Pabrik Gula harus menyewa tanah dari rakyat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tebu.

b. Masa Ambil Alih

Pada tahun 1958 berdasarkan UU No. 86 tahun 1958 (masa Nasionalisasi) PG Karangsuwung dan Pabrik Gula lainnya menjadi milik Pemerintah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1959 PG Karangsuwung dibentuk menjadi Perusahaan Negara Baru Unit Jabar VI yang Direksinya berkedudukan di Karangsuwung.

c. Masa Setelah Ambil Alih

 Pada tahun 1968 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1968 dibentuk Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) yang terbagi menjadi 8 Direksi PNP Gula untuk seluruh Indonesia. Pabrik Gula yang berkedudukan di Jawa Barat dikoordinir dan diawasi oleh PNP XIV yang berkedudukan di Cirebon.

 Pada tahun 1981 PNP XIV diubah menjadi PT Perkebunan (Persero) dibawah Departemen Pertanian & Departemen Keuangan (BUMN).

 Pada tahun 1989 PTP XIV (Persero) sepenuhnya berada di bawah Departemen Keuangan yang Manajemennya dikuasakan pada PT PPEN Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).

 Pada tahun 1993 PTP XIV (Persero) secara resmi menjadi anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).

 Sesuai dengan akta notaris No. 94 tanggal 28 Agustus 1997, nama PTP XIV berubah menjadi PT PG Rajawali II. Dengan adanya perubahan ini, maka PG Karangsuwung yang semula berada di bawah PTP XIV, sejak saat itu menjadi salah satu unit usaha PT PG Rajawali II yang berkedudukan di Cirebon.

Visi, Misi, dan Goal PG Karangsuwung

 Visi Pabrik Gula Karangsuwung

Pengelolaan secara profesional dan inovatif dengan berorientasi pada usaha yang rasional, effisiensi, agar mampu tumbuh dan berkembang serta memenuhi harapan yang berkepentingan, berbasis pada pembangunan wilayah dan tetap mempertahankan kelestarian lingkungan.

 Misi Pabrik Gula Karangsuwung

1. Turut melaksanakan dan menunjang kebijakan serta program PT RNI di bidang Ekonomi dalam sektor pertanian.

2. Memiliki pertumbuhan revenue di atas rata-rata industri sejenis dengan kinerja yang sangat sehat secara berkesinambungan.

3. Menjalin hubungan kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan petani, KUD dan pihak-pihak terkait.

(38)

5. Menumbuhkembangkan perusahaan dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Goal Pabrik Gula Karangsuwung

1. Memperoleh keuntungan sehingga dapat tumbuh dan berkembang. 2. Meningkatkan pendapatan Petani Tebu Rakyat/TR Kemitraan

3. Mengembangkan usaha diversifikasi, baik secara vertikal maupun horizontal yang memiliki prospek usaha yang menguntungkan.

4. Sebagai tempat berkarya yang aman dan nyaman bagi karyawan sehingga produktivitas kerja dan kesejahteraan meningkat.

5. Menciptakan citra perusahaan yang positif dengan membina hubungan baik dan saling menguntungkan dengan mitra usaha, rekanan, relasi dan masyarakat konsumen.

Struktur Organisasi

PG Karangsuwung memiliki struktur organisasi yang mengatur masing-masing pihak dalam menjalankan tanggungjawabnya. Berikut ini adalah struktur organisasi PG Karangsuwung periode tahun 2011

Kasie.

(39)

Gambar 2 menunjukkan bahwa pengurus PG Karangsuwung dibagi menjadi empat bagian yang masing-masing memiliki tugas, fungsi, serta tanggungjawab yang berbeda-beda. Bagian pertama yaitu TUK, kedua tanaman, ketiga instalasi, dan yang terakhir pabrikasi. Masing-masing bagian tersebut dibedakan lagi menjadi bagian yang lebih spesifik.

Sarana Pendukung dan Komponen Utama Pabrik

PG Karangsuwung memiliki beberapa sarana pendukung yang digunakan sebagai fasilitas karyawan serta prasarana dalam pemenuhan bahan baku gula seperti irigasi, jalan, serta areal perkebunan tebu. Berikut ini adalah prasarana pendukung yang dimiliki oleh PG Karangsuwung.

Tabel 4 Prasarana pendukung PG Karangsuwung

Sumber air ( Pabrik ) : Air irigasi dan air pompa dari sungai Sumber bahan baku pendukung : Tebu Rakyat Intensifikasi (Tebu Rak-

yat Kemitraan) Kelas Jalan : II

Fasilitas Sosial : Gedung Pertemuan, Poliklinik, Masjid & Lapangan Tenis

(40)

Tabel 5 Komponen utama PG Karangsuwung

~ Peti Pengendapan Jepang 1993 5. Penguapan

(41)

Tabel 6 Penggunaan dan potensi lahan selama sepuluh tahun terakhir

Tahun Tegalan (Ha) Sawah (Ha) Jumlah

Realisasi Potensi Realisasi Potensi Realisasi Potensi % 2000 728.023 1092.035 1626.228 3252.456 2354.251 4344.491 54.19 2001 706.683 1060.025 1329.899 2659.798 2036.582 3719.823 54.75 2002 504.663 756.995 1487.260 2974.520 1991.923 3731.515 53.38 2003 524.593 786.890 1374.559 2749.118 1899.152 3536.008 53.71 2004 473.307 709.961 1657.578 3315.156 2130.885 4025.117 52.94 2005 534.355 801.533 1742.974 2614.461 2277.329 3415.994 72.39 2006 691.007 1036.511 1799.923 2699.885 2490.930 3736.395 66.67 2007 823.559 1235.339 2010.431 3015.647 2833.990 4250.985 66.67 2008 935.092 1402.638 1970.061 2938.722 2955.092 4357.730 67.83 2009 1904.110 1905.000 1605.890 2408.835 2700.000 4313.835 62.59 2010 1009.311 1010.000 1748.136 2400.835 2757.136 3410.835 80.83 2011 911.051 912.000 1843.516 1845.000 2754.567 2757.000 99.91

Berdasarkan data dari Tabel 6, tidak semua lahan tersebut adalah milik PG Karangsuwung. Lahan yang dimiliki oleh PG Karangsuwung hanyalah sebagian kecil saja sehingga untuk memenuhi dan meningkatkan produksi gula, PG Karangsuwung melakukan kemitraan dengan petani yang memiliki lahan baik itu menyewakannya lahan kepada PG Karangsuwung maupun yang mengelola sendiri namun hasilnya nanti akan digiling di PG Karangsuwung. Berikut ini adalah data luas lahan tebu rakyat wilayah kerja PG Karangsuwung selama dua belas (2000-2011) tahun terakhir.

Tabel 7 Luas kepemilikan lahan kemitraan dan mandiri PG Karangsuwung

Tahun Tebu Rakyat (Ha) Jumlah Kemitraan % Mandiri %

(42)

Produksi Gula PG Karangsuwung

Salah satu goal dari PG Karangsuwung adalah memperoleh keuntungan sehingga dapat tumbuh dan berkembang. Indikator keberhasilan goal tersebut salah satunya dapat dilihat dari produksi gula yang dihasilkan dari tahun ke tahun apakah terjadi kenaikan atau sebaliknya. Semakin tinggi produksi yang dihasilkan maka diharapkan semakin tinggi juga keuntungan yang didapatkan. Berikut ini adalah performance produksi dua belas tahun terakhir PG Karangsuwung.

Tabel 8 Performance produksi PG Karangsuwung

Tahun Kapasitas (TCD) Tebu (Ton) Produksi Rend. Inclusif Exclusif Digiling Gula (Ton) (%)

Apabila dilihat dari produksi yang dihasilkan dapat terlihat bahwa sejak tahun 2004 terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan sampai dengan tahun 2010. Namun pada tahun 2011 produksi gula mengalami penurunan yang cukup tajam berkurang hingga enam ribu ton. Hal ini disebabkan karena cuaca ekstrim yang membuat beberapa kebun memiliki hasil panen yang kurang bagus. Berikut grafik produksi PG Karangsuwung selama dua belas tahun terakhir.

Gambar 3 Grafik produksi gula PG Karangsuwung

(43)
(44)

SISTEM KEMITRAAN

Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai sistem kemitraan yang terjalin antara PG Karangsuwung dengan petani tebu. Sistem kemitraan tersebut meliputi jenis-jenis petani mitra, penyediaan sarana produksi tani, frekuensi penyuluhan, pelayanan pasca panen, dan sistem bagi hasil.

Proses Kemitraan Petani dengan PG Karangsuwung

Pola kemitraan yang terjalin antara petani dengan PG Karangsuwung dimulai ketika sebelum proses tanam berlangsung hingga pembagian hasil giling berupa gula. Terdapat tiga jenis petani yang melakukan kemitraan dengan PG Karangsuwung yaitu Petani Tebu Rakyat Sawah yang selanjutnya disingkat menjadi (TRS) KM A, Petani TRS KM B, dan Petani Mandiri.

1. Petani TRS KM A

Adalah petani yang memiliki sejumlah luas lahan tertentu yang kemudian menyewakan lahannya untuk digarap oleh PG Karangsuwung dengan jangka waktu atau masa tanam yang telah ditentukan. Sebagai gantinya petani akan mendapatkan sejumlah uang dari PG Karangsuwung sebagai harga sewa yang telah disepakati oleh kedua pihak. Pengajuan sewa tanah ini dilakukan secara berkelompok dengan cara membuat surat yang ditujukan kepada General Manager PG Karangsuwung yang telah ditandatangani oleh kepala desa setempat. Jadi petani TRS KM A tidak ikut terlibat dalam proses usaha tani tebu, mereka hanya menyewakan tanahnya untuk digarap. Adapun contoh surat ajuan sewa tanah dapat dilihat pada Lampiran 8.

2. Petani TRS KM B

Adalah petani/kelompok tani yang memiliki sejumlah luas lahan tertentu yang kemudian mengadakan ikatan kerjasama dengan PG Karangsuwung untuk menanam tebu sesuai baku teknis yang ditetapkan serta menyerahkan tebunya untuk digiling atas dasar Sistem Bagi Hasil (SBH) atau Sistem Pembelian Tebu (SPT).

Petani ini akan mendapatkan Kredit Ketahanan Pangan Tebu Rakyat (KKP-TR) dari perbankan melalui pabrik gula dengan besaran sesuai luas lahan yang dimiliki dan bunga tertentu yang disubsidi oleh pemerintah. Kredit tersebut digunakan selama proses usahatani berlangsung yang terdiri dari biaya garap dan pemeliharaan, biaya tebang dan angkut, biaya beban hidup (Cost of Life), bibit, pupuk, dan pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan aplikasi PPC. Selain itu petani juga mendapatkan Jaminan Pendapatan Minimum Petani per hektar dari PG Karangsuwung. Sehingga apabila terjadi kondisi diluar perkiraan seperti bencana alam ataupun iklim yang ekstrem menimpa perkebunan tebu maka petani tetap mendapatkan penghasilan tidak kurang dari pendapatan minimum tersebut.

(45)

petani sedangkan 34% akan diambil oleh PG sebagai ‘upah’ dari proses giling. Penentuan SBH tersebut ditetapkan oleh Peraturan Bupati Setempat melalui musyawarah antara petani, PG, pemerintah, dan stakeholder lainnya. Namun dari 66% gula yang diperoleh petani akan dipotong kembali untuk membayar kredit+bunganya. Sisa gula yang diperoleh dapat langsung dijual melalui sistem lelang atau sebagian dapat digunakan untuk konsumsi pribadi sehari-hari. Adapun contoh surat ajuan kemitraan dapat dilihat pada Lampiran 9.

3. Petani Mandiri

Adalah petani yang memiliki sejumlah luas lahan tertentu yang kemudian mengadakan ikatan kerjasama dengan PG Karangsuwung untuk menanam tebu sesuai baku teknis yang ditetapkan serta menyerahkan tebunya untuk digiling ketika masa panen datang atas dasar Sistem Bagi Hasil (SBH) atau Sistem Pembelian Tebu (SPT).

Perbedaan yang paling menonjol antara petani mandiri dengan petani TRS KM B adalah petani mandiri tidak mengajukan kredit usahatani KKP-TR dari perbankan dengan subsidi pemerintah yang dikelola melalui PG tetapi menggunakan modal sendiri secara mandiri maupun swadaya sehingga tidak berkewajiban untuk mengembalikan kredit sekaligus bunganya. Dengan kata lain seluruh biaya produksi tani ditanggung seluruhnya oleh sendiri. Namun teknis usahatani maupun SBH atau SPT tetap sama seperti petani TRS KM B.

Penyediaan Sarana Produksi Tani

Bibit yang digunakan dalam berusaha tani tebu adalah bibit yang merupakan benih bina yang telah disertifikasi oleh UPTD Balai Pengembangan dan Sertifikasi Benih Perkebunan Provinsi Jawa Barat dan atau Institusi di luar Provinsi Jawa Barat yang berwenang mensertifikasi tebu. Pengadaan, penyediaan, dan penyaluran bibit tebu khususnya Kebun Bibit Pokok (KBP), Kebun Bibit Nenek (KBN), dan Kebun Bibit Induk (KBI) menjadi tanggungjawab PG. Untuk pengadaan Kebun Bibit Dasar (KBD) selain disediakan oleh petani masing-masing atau kelompok tani yang dikoordinasikan oleh Dinas dan PG sedangkan kekurangannya menjadi tugas dari PG. Penanaman tebu tanaman pertama (Plant Cane) menggunakan benih bina bersertifikat, berasal dari KBD sedangkan penanaman tebu tanaman kedua dan ketiga atau keprasan (Ratoon Cane) berasal dari KBP, KBN, dan KBD. Penggunaan bibit asal top stek dari dan untuk tanaman pertama untuk kondisi tertentu hanya diperbolehkan maksimal 10%.

(46)

“… Memang sebagian besar sarana produksi tani yang dibutuhkan

oleh petani sudah kami (PG) sediakan, baik itu bibit, pupuk, dan teknologi. Ini merupakan kredit dari perbankan dengan subsidi pemerintah kepada petani, namun kami yang mengelola. Jadi petani tidak mendapatkan kredit dalam bentuk uang seluruhnya, mereka mendapatkan bibit, pupuk, dan teknologi plus ditambah uang biaya beban hidup atau Cost of Life untuk memenuhi kebutuhan hidup selama musim tanam. Kalau petani mendapatkan kredit dalam bentuk uang seluruhnya dikhawatirkan mereka malah menggunakannya untuk keperluan yang tidak-tidak, bukan untuk kegiatan pertanian. Oleh karena itu kreditnya dikelola oleh kami

…” (WS, 32 tahun).

Baik petani TRS KM A maupun petani mandiri, keduanya dapat mengakses bibit, pupuk, dan teknologi pertanian yang disediakan oleh PG. Namun biasanya untuk petani mandiri mereka membeli bibit dan pupuk di koperasi ataupun toko-toko yang menjual sarana produksi tani.

“… Bibit, pupuk, dan teknologi sudah ada di PG jadi kita tinggal menanamnya saja. Jumlahnya tergantung karena disesuaikan dengan luas lahan dan kondisi lahan. Untuk teknologi, biasanya lima kali dalam satu musim tanam yaitu untuk membajak lahan, urug, pengairan, sama pemisahan akar-akar yang menyatu …”

(MB, 48 tahun).

Frekuensi Penyuluhan

Upaya yang dilakukan PG agar hasil panen tebu memiliki kualitas dan kuantitas yang baik, maka kegiatan penyuluhan sangat penting dilakukan. Kegiatan penyuluhan diberikan antara tiga sampai lima kali dalam satu masa tanam. Hal ini dilakukan mengingat bahwa jaminan pendapatan minimum petani per hektar menjadi tanggung jawab PG, oleh karena itu agar hal tersebut tidak terjadi PG selalu mengontrol perkembangan dari setiap kebun dengan cara mengutus beberapa mandor untuk mengawasi setiap beberapa blok kebun, setelah itu dilakukan penyuluhan.

“… PG mempunyai mandor-mandor yang tugasnya melihat dan mengawasi perkembangan kebun. Apabila ada beberapa blok kebun yang pertumbuhannya kurang bagus, PG biasanya langsung memberikan penyuluhan kepada petani blok tersebut agar pertumbuhannya baik kembali. Biasanya penyuluhan dilakukan 3-5 kali pada awal, tengah, dan akhir dalam satu masa tanam. Contoh materi yang diberikan adalah aplikasi herbisida, pestisida, pengolahan lahan, dan lain-lain. Penyuluhan ini dilakukan karena PG memberi jaminan pendapatan minimum petani per hektar. Jadi PG tidak mau menanggung rugi apabila hal tersebut sampai

Gambar

Tabel 2  Peubah dan indikator kemandirian petani dalam pengambilan
Gambar 2 Struktur organisasi PG Karangsuwung
Tabel 5  Komponen utama PG Karangsuwung
Tabel 7   Luas kepemilikan lahan kemitraan dan mandiri PG Karangsuwung
+4

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui seberapa besar efisiensi usahatani tebu antara petani mitra yang melakukan keprasan 1-2 kali dengan yang melakukan keprasan lebih dari 2 kali maka digunakan

Rendemen berpengaruh signifikan terhadap pendapatan petani, hal ini menunjukkan bahwa varietas tebu yang digunakan petani sudah sesuai dengan kondisi wilayah setempat, petani

Tanggung jawab Pabrik Gula Trangkil terhadap petani tebu ialah harus menghabiskan dan mengolah tebu milik petani tebu yang bermitra dengan Pabrik Gula Trangkil,

Area ini menunjukkan lokasi atribut-atribut yang dianggap penting oleh petani mitra skala menengah akan tetapi secara kinerja belum sesuai dengan harapan mereka sehingga

Judul Skripsi : Analisis Efektivitas Rute Transportasi Menggunakan Metode Saving Matrix Pada Bahan Baku Tebu Residual di Pabrik Gula Wilayah Cirebon.. Telah berhasil

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan prosedur pelaksanaan kemitraan antara Pabrik Gula Candi Baru dengan petani tebu mitra, mengetahui kendala-kendala dalam

Ketentuan bagi hasil yang didapat antara petani tebu rakyat kredit (TRK) dan petani tebu rakyat mandiri (TRM) adalah sama. Mekanisme bagi hasil ini didasarkan

KKP-TR Kemitraan adalah Kredit Ketahanan Pangan dalam rangka pengembangan budidaya tanaman tebu rakyat yang diberikan oleh bank kepada kelompok tani yang