• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM DESA GAJAH

E. Sistem Organisasi dan Kekerabatan

Kesatuan kekerabatan yang terkenal pada masyarakat Batak Toba adalah jabu (keluarga inti) yang juga merupakan kesatuan ekonomi terkecil. Keluarga inti terbentuk melalui perkawinan, dimana pada masa awalnya pengantin baru akan tinggal di rumah orang tuanya. Setelah keluarga inti mampu berusaha sendiri baru akan tinggal dengan istrinya atau dengan suaminya artinya berpisah dengan orang tuanya. Sistem organisasi dan kekerabatan yang di kaji adalah suku bangsa Batak Toba dikarenakan mayoritas penduduk Desa Gajah adalah suku bangsa Batak Toba.

Masyarakat Batak Toba adalah salah satu dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Asas patrilineal menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan disusun menurut garis ayah dan semua kerabat laki-laki. Orang Batak Toba seperti orang batak pada umumnya mengenal suatu konsep kemasyarakatan yang bernama Dalihan Na Tolu ( tungku Batak Toba jaman dahulu), terbuat dari tiga batu yang diletakkan dalam bentuk

segi tiga. Di atasnya di letakkan alat memasak makanan. Tungku ini melambangkan dasar hubungan sosial orang Batak (Simanjuntak, 1988:51).

Sistem kekerabatan orang Batak Toba yang demikian berhubungan dengan dengan sistem pewarisan pada orang Batak. Dalam hal ini hanya laki-lakilah yang berhak mendapat warisan orang tua mereka. Warisan yang diberikan biasanya dalam bentuk benda tidak bergerak, misalnya : hauma (sawah), tano (tanah ), jabu ( rumah ), ulos (kain khas orang batak ), mas ( emas ). Namun, bila benda-benda ini tidak selalu ada pada orang tua sehingga harta warisan bisa juga berupa : horbo ( kerbau ), singir (piutang), dan lain-lain8

8

Ibid

.

Sistem perkawinan yang dianut mengenal incest taboo. Incest taboo pada orang Batak Toba adalah tidak terjadinya hubungan perkawinan antara sesama saudara sedarah maupun antara satu marga. Misalnya : keluarga Gultom A tidak boleh mengawini keluarga Gultom B , karena mereka mengganggap hubungan tersebut adalah kekerabatan dari satu nenek moyang yang sama.

Perkawinan yang ideal adalah perkawinan antara orang-orang yang marpariban dimana laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya. Perkawinan pada orang Batak Toba pada umumnya, merupakan pranata, yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga mengikat dalam sautau hubungan yang tertentu. Kaum kerabat dari laki-laki atau “paranak” dengan kaum kerabat dari si wanita atau “parboru” ( Payung Bangun, 1988:102).

Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam keluarga batih orang Batak Toba disebut “ripe”. Keluarga “saompu” satu kelompok kekerabatan dimana semua kaum kerabat patrilineal yang masih diingat atau dikenal kerabatnya adalah bentuk keluarga luas pada orang Batak Toba. Istilah teknis untuk itu disebut klen kecil (Simanjuntak, 1994:17).

Suatu kelompok kekerabatan yang lebih besar adalah “marga”. Istilah marga mengenal beberapa arti seperti yang dikemukakan oleh Simanjuntak (1994:18). Marga bisa berarti klen patrilineal (misalnya marga Siagian, Manik, dsb) tetapi juga sub klen (Siburian, Silo, Nababan, Lumbantoruan, dsb). Marga bisa juga berarti gabungan klen /fatri misalnya : Lotung, Sumba, dan Borbor ) sekaligus menegaskan wilayah territorial dari masing-masing fatri.

Dalam hubungan perkawinan ada tiga kelompok kekerabatan yang penting pada hubungan kekerabatan seperti yang telah dijelaskan di atas, saat ini masih dipertahankan dan masih dapat jelas terlihat pada upacara-upacara tertentu seperti upacara perkawinan, upacara kematian, memasuki rumah baru dan lain sebagainya.

Selain kesatuan kekerabatan seperti hal tersebut diatas, ada juga berbagai organisasi (GAMKI, PORMA SATU, IPP (Ikatan Pemuda Pancasila), Karang Taruna, SPSI, OKP), serikat marga (Raja Sonang, Gultom, Patambor/ Manurung, Siagian, Toga Simatupang, Parna, Si Pitu Ama/ Situmorang, Borbor Marsada (Malau, Pasaribu, Lubis), Lembaga pemerintahan: LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa),LMD( Lembaga Masyarakat Desa ), PKK, serta STM (Serikat Tolong Menolong).

Masyarakat Desa Gajah juga memiliki sistem organisasi sosial yang di bagi dalam tiga kategori yaitu serikat jalan Gereja, serikat jalan Siantar, dan serikat jalan Kisaran. Pembagian ketiga serikat tersebut dilakukan sesuai dengan arah jalan yaitu Kisaran dan Siantar. Sedangkan, untuk serikat jalan Gereja ditentukan berdasarkan banyaknya bengunan gereja di daerah tersebut. Adapun pengurus harian serikat jalan Gereja adalah; ketua : Kaus Sinaga, wakil ketua: Danso Sitinjak, sekretaris: Tanda Marpaung, bendahara : Bisara Panjaitan.

Syarat-syarat menjadi anggota serikat adalah setiap membayar uang seharga 1 kaling padi dan 3 lembar papan. Uang padi tersebut digunakan sebagai modal untuk membeli ulos bila ada anak gadis dari serikat itu yang menikah. Sedangkan, uang papan digunakan untuk membeli papan untuk digunakan sebagai peti mati apabila ada anggota serikat yang meninggal. Setelah tujuh hari tujuh malam diterima sebagai anggota serikat barulah sah sebagai anggota serikat.

Apabila ada anggota serikat yang mengadakan pesta maka setiap anggota serikat diwajibkan menghadiri pesta tersebut dengan membawa 2 tumba atau 4 kilo gram beras khusus untuk pesta besar. Sedangkan untuk pesta kecil diwajibkan membawa 11/2 kilo gram beras dan hal ini juga berlaku untuk serikat marga.

Perbedaannya dalam serikat tolong menolong tidak diadakan arisan dan kebaktian atau partagiangan sedangkan dalam serikat marga hal tersebut dilaksanakan sekali dalam sebulan. Biasanya keluarga yang mengadakan arisan atau keluarga yang di rumahnya dilaksanakan arisan marga berarti keluarga tersebutlah yang akan menarik uang arisan tersebut.

Tujuan dibentuknya serikat tolong-menolong adalah untuk menjalin persaudaraan sesama anggota serikat dan untuk membangun solidaritas sesama anggota serikat. Sedangkan, tujuan dibentuknya serikat marga adalah untuk menjalin persaudaraan antar marga, melestarikan budaya batak yang dibawa dari Bona Pasogit, dan sebagai idenditas orang Batak Toba di tempat yang baru atau di Desa Gajah. Kenyataan tersebut terkait dengan keberagaman penduduk di Desa Gajah yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda. Keberagaman tersebut jelas mempunyai tuntutan kebudayaan dari masing-masing kelompok etnik. Oleh karena itu, timbul rasa di desak oleh kelompok etnik lain. Semuanya itu bermuara pada adanya kehendak atau usaha untuk memperkuat diri masing- masing dengan menyusun suatu kekuatan disekitarnya yang terdiri dari orang- orang yang berasal dari kelompok marga yang sama yang disebut dengan asosiasi marga (Bagun dalam Siallagan, 1991:12). Sebagai kelompok etnik yang terkecil, orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah membentuk perkumpulan marga (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya) demi kelangsungan hidupnya.

BAB III