“GONDANG NAPOSO
”(Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Sosial dalam bidang Antropologi
Oleh:
Dina Rianti Gultom Nim. 040905060
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PERSETUJUAN
Nama : Dina Rianti Gultom Nim : 040905060
Departeman : Antropologi
Judul : GONDANG NAPOSO (Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan)
Medan, September 2008
Pembimbing Skripsi Ketua Departemen
(Drs. Ermansyah, M.Hum) (Drs.Zulkifli Lubis,MA) NIP. 131 996 173 NIP. 131 882 278
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Bagi Dia segala pujian, hormat dan kemuliaan. Penulis bersyukur dan
berterima kasih buat kasih karunia-Nya yang selalu setia menyertai perjalanan
hidup penulis. Pertolongan dan bimbingan-Nya yang memampukan penulis
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “GONDANG NAPOSO” Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah.
Penulis menyadari dengan usaha, pengetahuan dan kemampuan yang
dimiliki penulis, skripsi ini masih kurang sempurna. Penulis mengharapkan kritik
dan saran yang ditujukan untuk kesempurnaan skripsi ini dari semua pihak.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak memperoleh bantuan,
dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak. Sepatutnya penulis mengucapkan
terima kasih atas semua itu. Pada kesempatan ini, dengan hati yang tulus penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Drs. Humaizi, MA selaku Pembantu Dekan I atas fasilitas yang
telah diberikan kepada penulis
3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA selaku Ketua Departeman Antropologi
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
4. Ibu Drs. Sri Emiyanti selaku penasehat akademik yang memberikan
5. Bapak Drs. Ermansyah, M.Hum. selaku pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu dan memberikan pengetahuan secara teoritis dan
metodologis dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak
terima kasih atas bimbingan dan perhatian dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan
membekali penulis dengan ilmu.
7. Kantor Kepala Desa Gajah atas kerja samanya dalam pemberian datanya
kepada peneliti.
8. Anggota Persatuan Muda-Mudi Simpang Desa Gajah (PERMUSIMDES),
pembina dan para orang tua yang ada di Simpang Desa Gajah atas
informasinya yang telah diberikan kepada penulis.
9. Penghargaan, terima kasih dan rasa cinta yang sebesar-besarnya penulis
persembahkan kepada orang tua tercinta, mama E. Pakpahan dan papa M.
Gultom atas nasehat, kasih sayang dan perjuangannya dalam mewujudkan
cita-cita anak-anaknya.
10.Adik-adikku tersayang: Heni Yumiati Gultom, Mangasi Julianto Gultom,
Adriana Norita Gultom, dan Deni Erwindo Gultom, atas kasih sayang,
perhatian dan dukungan doa kepada penulis sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi ini.
11.Spesial kepada seseorang yang berkenan di hatiku Donal Regen
Anglina Br.Girsang, Cory Ester Pratini Rajagukguk dan masih banyak lagi
yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.
12.Kepada kerabat Antropologi khususnya stambuk 2004 yang tak bisa
disebutkan satu persatu penulis mengucapkan terima kasih.
Akhir kata atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis
mendoakan semoga Tuhan selalu memberikan kasih karunia-Nya kepada kita
semua. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Medan, September 2008
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
ABSTRAK ... viii
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Permasalahan ... 7
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
1.4. Lokasi Penelitian ... 8
1.5. Tinjauan Pustaka ... 9
1.6. Metode Penelitian ... 14
1.7. Analisa Data ... 17
BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Letak Geografis dan Sejarah Desa Gajah ... 18
2.2. Demografi Penduduk dan Sistem Mata pencaharian ... 21
2.3. Pola Permukiman Desa Gajah ... 25
2.4. Sistem Religi ... 27
BAB III. PELAKSANAAN GONDANG NAPOSO DI DESA GAJAH
3.1. Latar Belakang Lahirnya Gondang Naposo di Desa Gajah ... 34
3.2. Mekanisme Pelaksanaan Gondang Naposo di Desa Gajah ... 38
3.2.1. Persiapan Gondang Naposo ... 38
3.2.2. Acara Pembukaan Gondang Naposo ... 47
3.2.3. Pelaksanaan Gondang Naposo ... 56
3.2.4. Acara Penutupan Gondang Naposo ... 69
BAB IV. KEPENTINGAN YANG TERMAKTUB MELALUI PELAKSANAAN GONDANG NAPOSO DI DESA GAJAH 4.1. Hiburan di Saat Liburan ... 71
4.2. Sarana Pencarian Jodoh ... 75
4.3. Pengintegrasian dan Membanguan Solidaritas Orang Batak Toba ... 76
4.4. Komunikasi Orang Batak Terdadap Tuhan dan Sesama ... 82
4.5. Ekspresi Idenditas dan Kesinambungan Budaya ... 84
4.6. Sarana Bagi Kepentingan Politik ... 89
BAB V. KESIMPULAN ... 91
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISTILAH
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Distribusi Jumlah Penduduk Desa Gajah Berdasarkan Umur
2. Tabel 2 Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
3. Tabel 3 Distribusi Jumlah Ternak di Desa Gajah
4. Tabel 4 Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Sitem Mata
Pencariannya
5. Tabel 5 Jumlah Rumah Penduduk Menurut Sifat dan Bahannya
6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1, daftar 50 undangan yang ditujukan kepada berbagai
organisasi, perkumpulan dan instansi tertentu.
2. Lampiran 2, daftar 24 proposal yang ditujukan kepada berbagai organisasi,
partai politik, instansi dan orang-orang tertentu.
3. Lampiran 3, daftar 42 keluarga yang meminjamkan ulosnya kepada
PERMUSIMDES
4. Lampiran 4, daftar undangan yang manortor/menari pada Sabtu 21 Juni
2008 beserta jumlah sumbangannya
ABSTRAK
Dina Rianti Gultom 2008, Judul “GONDANG NAPOSO” Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 94 halaman, 8 tabel, 14 gambar, 19 daftar pustaka ditambah sumber lain yang berasal dari internet dan surat kabar serta lampiran daftar istilah daftar wawancara, daftar informan, peta Desa Gajah ditambah lampiran surat penelitian.
Penelitian ini mengkaji tentang gondang naposo. Gondang naposo
merupakan budaya Batak Toba yang dibawa dari bona pagogit. Perpindahan
penduduk bukanlah suatu hal yang baru bagi orang Batak Toba. Orang Batak
Toba cenderung intens melakukan migrasi ke berbagai daerah. Di tempat yang
baru orang Batak Toba dihadapkan dengan kelompok etnik lain yang memiliki
kebudayaan yang berbeda. Orang Batak Toba yang bermigrasi ke tempat yang
baru tak lupa membawa budayanya. Demikian halnya orang Batak Toba yang
ada di Desa Gajah membawa gondang naposo dari bona pasogit.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tradisi gondang naposo
yang ada di Desa Gajah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bertipekan
eksploratif deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data dalam
penelitian ini diperoleh dengan tehnik observasi partisipasi, wawacara
mendalam, dan studi kepustakaan.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa gondang naposo lahir di Desa
Gajah tahun 1971 tepatnya saat PERMUSIMDES dibentuk dan ulang tahun
PERMUSIMDES dimeriahkan dengan melaksanakan gondang naposo.
Mekanisme palaksanaan gondang naposo terdiri dari persiapan, pembukaan,
palaksanaan dan penutupan gondang naposo. Kepentingan yang termaktub
melalui pelaksanaan gondang naposo adalah sebagai hiburan saat liburan,
sarana pencarian jodoh, pengintegrasian dan membagunan solidaritas orang
Batak Toba, Komunikasi orang Batak Toba terhadap Tuhan dan sesama, Ekspresi
idenditas dan kesinambungan budaya Batak Toba dan sebagai sarana bagi
kepentingan politik.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa setiap tahunnya orang Batak
Toba di Desa Gajah selalu melaksanakan gondang naposo untuk melestarikan
kembali akan tetapi nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan gondang
naposoyaitu nilai gotong- royong masih tetap dipelihara. Bagi orang Batak Toba
yang ada di Desa Gajah gondang naposo juga dijadikan sebagai upaya
penegasan idenditas kelompok. Penegasan idenditas kelompok tersebut secara
simbolik diekspresikan melalui musik gondang dan tortor yang dipagelarkan
ABSTRAK
Dina Rianti Gultom 2008, Judul “GONDANG NAPOSO” Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 94 halaman, 8 tabel, 14 gambar, 19 daftar pustaka ditambah sumber lain yang berasal dari internet dan surat kabar serta lampiran daftar istilah daftar wawancara, daftar informan, peta Desa Gajah ditambah lampiran surat penelitian.
Penelitian ini mengkaji tentang gondang naposo. Gondang naposo
merupakan budaya Batak Toba yang dibawa dari bona pagogit. Perpindahan
penduduk bukanlah suatu hal yang baru bagi orang Batak Toba. Orang Batak
Toba cenderung intens melakukan migrasi ke berbagai daerah. Di tempat yang
baru orang Batak Toba dihadapkan dengan kelompok etnik lain yang memiliki
kebudayaan yang berbeda. Orang Batak Toba yang bermigrasi ke tempat yang
baru tak lupa membawa budayanya. Demikian halnya orang Batak Toba yang
ada di Desa Gajah membawa gondang naposo dari bona pasogit.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tradisi gondang naposo
yang ada di Desa Gajah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bertipekan
eksploratif deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data dalam
penelitian ini diperoleh dengan tehnik observasi partisipasi, wawacara
mendalam, dan studi kepustakaan.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa gondang naposo lahir di Desa
Gajah tahun 1971 tepatnya saat PERMUSIMDES dibentuk dan ulang tahun
PERMUSIMDES dimeriahkan dengan melaksanakan gondang naposo.
Mekanisme palaksanaan gondang naposo terdiri dari persiapan, pembukaan,
palaksanaan dan penutupan gondang naposo. Kepentingan yang termaktub
melalui pelaksanaan gondang naposo adalah sebagai hiburan saat liburan,
sarana pencarian jodoh, pengintegrasian dan membagunan solidaritas orang
Batak Toba, Komunikasi orang Batak Toba terhadap Tuhan dan sesama, Ekspresi
idenditas dan kesinambungan budaya Batak Toba dan sebagai sarana bagi
kepentingan politik.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa setiap tahunnya orang Batak
Toba di Desa Gajah selalu melaksanakan gondang naposo untuk melestarikan
kembali akan tetapi nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan gondang
naposoyaitu nilai gotong- royong masih tetap dipelihara. Bagi orang Batak Toba
yang ada di Desa Gajah gondang naposo juga dijadikan sebagai upaya
penegasan idenditas kelompok. Penegasan idenditas kelompok tersebut secara
simbolik diekspresikan melalui musik gondang dan tortor yang dipagelarkan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena perpindahan penduduk sudah terjadi sejah dahulu kala dan
bukanlah suatu hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dari
hasil penelitian Naim (1984:9) bahwa ada beberapa kelompok masyarakat yang
mempunyai mobilitas perpindahan yang cukup tinggi seperti orang Minangkabau,
Banjar, Bugis, dan termasuk juga orang Batak.
Bagian orang Batak yang cenderung intens melakukan migrasi adalah
Batak Toba. Perpindahan penduduk Batak Toba dari dataran tinggi Toba Tapanuli
Utara dalam era pra modern mulai sejak tahun 1900-an, terutama sejak terjadi
‘ledakan’ penduduk dan sulitnya memperoleh lahan persawahan. Pada awalnya
daerah persebaran adalah ke daerah sekitarnya. Kemudian merembes ke daerah
lain yang lebih jauh dari Tapanuli. Umumnya para migran didominasi oleh kaum
tani dengan sasaran utama untuk memperluas areal pertaniannya. Mereka
memasuki daerah Simalungun, Dairi, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tegah, Labuhan
Batu, Deli Serdang, Aceh, bahkan sampai ke daerah Asahan (Purba, 1998:267).
Dewasa ini, migrasi yang dilakukan oleh orang Batak Toba tidak hanya ke
daerah pedesaan saja untuk memperluas areal persawahannya melainkan juga ke
daerah perkotaan. Di samping itu, para migran Batak Toba juga tidak lagi
didominasi oleh kaum tani melainkan kelompok masyarakat dengan latar
untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak migran Batak Toba harus memiliki
bekal karena besarnya persaingan di kota baik dari kelompok etnik lokal maupun
migran lainnya.
Orang Batak Toba yang melakukan migrasi ke suatu daerah tentunya
membawa serta budayannya. Di daerah yang baru tersebut, mau tidak mau orang
Batak Toba akan berhadapan dengan masyarakat lain dengan kebudayaannya
yang berbeda. Sebagaimana yang diungkapkan koentjaraningrat (1990:248)
bahwa migrasi dapat menyebabkan pertemuan-pertemuan-pertemuan antar
kelompok manusia dan kebudayaan yang berbeda, yang mengakibatkan
individu-individu dalam kelompok itu dihadapkan dengan unsur kebudayaan yang lain.
Salah satu kensekwensi arus migrasi Batak Toba adalah menjadikannya
sebagai bagian dari keberagaman penduduk di daerah yang baru, selain
keberagaman penduduk lokal dan migran lainnya. Daerah baru sebagai salah satu
sasaran migrasi Batak Toba tersebut sebenarnya mencirikan masyarakatnya
sebagai masyarakat yang heterogen. Suatu masyarakat heterogen memiliki
keberagaman budaya yang berbeda dan tetap menjadi pedoman masing-masing
warganya di tempat yang baru.
Kenyataan tersebut juga diungkapkan oleh Pelly dalam Siallagan
(1991:12) bahwa orang Batak Toba dimanapun berada akan tetap menggunakan
norma-norma dan idiologi tradisionalnya untuk mengembangkan gaya hidup (sud
budaya) sendiri, guna membedakan mereka dengan kelompok lain dalam situasi
permukiman yang kontemporer. Orang Batak Toba yang melakukan migrasi juga
organisasinya yang disebut dengan asosiasi klen1
Pembentukan asosiasi sesungguhnya didasarkan atas keinginan orang
Batak Toba untuk membentuk kekuatan dalam melanjutkan budaya dan tradisi . Asosiasi klen adalah suatu
wadah tempat melakukan aktivitas yang berhubungan dengan adat dan kegiatan
sosial dalam arti usaha tolong-monolong di antara sesama anggota klen di bawah
pengaturan asosiasi (Situmorang, 1983:82).
Selain terhimpun dalam asosiasi klen, orang Batak Toba juga membentuk
asosiasi lainnya yang terhimpun dalam asosiasi sosial religi. Dalam asosiasi klen
dan asosiasi sosial religi mereka dapat saling tolong-menolong dalam kaitannya
dengan pelaksanaan upacara selingkaran hidup setiap individu seperti upacara
kelahiran, upacara naik sidi atau upacara pada saat akil balik, upacara pernikahan,
upacara kematian,dll.
Demikian halnya orang Batak Toba yang bermigrasi ke Desa Gajah.
Mereka membentuk asosiasi klen dan asosiasi sosial religius. Hal tersebut dapat
dilihat dari keberadaan Puguan Raja Sonang, Gultom, Patambor (Manurun),
Siagian,Toga Simatupang, Parna, Si Pitu Ama (Situmorang), Borbor Marsada
(Malalu, Pasaribu, Lubis) dan lain-lain. Di samping itu, ada juga Serikat
Tolong-menolong atau STM yakni STM Jalan Gereja, STM Jalan Kisaran, STM Jalan
Siantar dan juga terdapat organisasi kepemudaan dari ketiga Serikat
Tolong-menolong tersebut yaitu Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah yang disebut
dengan PERMUSIMDES.
1
Klen/clan adalah kelompok kekerabatan yang berdasarkan asas keturunan unilineal. Suatu kelompok kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat dengan menarik garis keturunan secara universal atau unilineal, yaitu melalui garis sepihak dari pihak ibu (matrilineal) atau garis ayah (patrilineal). Lihat Soyono, Ariyono & Aminuddin Siregar. 1985. Kamus Antropologi.
Batak Toba. Pembentukan asosiasi dalam rangka melanjutkan budaya dapat
dilihat dari kegiatan yang dilakukan setiap asosiasi untuk menghidupkan atau
melestarikan budaya Batak Toba yaitu gotong-royong yang tercermin dalam
pelaksanaan upacara pernikahan, upacara mangoppoi jabu (upacara memasuki
rumah baru), upacara kematian, dll. Dalam upacara tersebut mereka memberi
sumbangan atau bantuan dalam bentuk uang, beras, dan tenaga. Sedangkan,
pembentukan asosiasi dalam rangka melanjutkan tradisi dapat dilihat dari
pelaksanaan tradisi gondang2
Gondang sabagunan
Batak Toba.
Orang Batak Toba mengenal 2 jenis emsambel gondang, yaitu ensambel
gondang sabagunan dan ensambel gondang hasapi (Endo,1991:6). Kedua
ensambel gondang ini digunakan sebagai pengiring tarian seremonial, yaitu
tortor. Namun, bagi orang Batak Toba gondang sabagunanlah yang umumnya
digunakan karena merupakan bagian integral dari adat dan merupakan simbol
musikal adat (Purba, 2004:65). Ensambel gondang sabagunan merupakan
ensambel yang memiliki suara yang besar sehingga selalu digunakan di luar
ruangan dan hal ini sesuai dengan upacara yang selalu dilaksanakan orang Batak
Toba yang selalu dilakukan di luar ruangan. Sedangkan, ensambel gondang
hasapi merupakan ensambel yang suaranya kecil sehingga digunakan di dalam
ruangan.
3
2
Kata gondang mempunyai banyak pengertian, bisa berarti instrument, ensambel musik, judul komposisi tunggal, judul komposisi kolektif, upacara, dan doa. Lihat Mauly Purba, 2000:25.
3
Gondang Sabangunan adalah seperangkat alat musik yang memiliki suara yang besar sehingga dimainkan di luar ruangan.
memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan
kepercayaan agama tradisional dan upacara adat Batak Toba ialah sebagai salah
satu elemen yang tidak dapat dipisahkan. Sama halnya dengan tortor dan
gondang, keduanya berjalan seiring dalam suatu upacara adat Batak Toba. Dalam
agama tradisional Batak Toba, gondang sabangunan di tempatkan sebagai media
komunikasi antar manusia dan Tuhan Pencipta(http://kairo.nainggolan.net/?p=38).
Kenyataan tersebut, terkait erat dengan adat hasipelebeguan4
Orang Batak Toba di Desa Gajah juga menggunakan tradisi gondang
sabagunan khususnya untuk kaum muda-mudi dalam pelaksanaan pesta yang
dikenal dengan gondang naposo
.
Gondang sabagunan digunakan diberbagai kesempatan atau upacara
misalnya upacara religius, adat maupun hiburan. Penggunaan gondang sabagunan
pada upacara religius seperti mamele (memuja roh nenek moyang), pesta bius
(upacara kurban oleh komunitas desa) dan lain-lain. Pada upacara adat seperti
acara pernikahan sekalipus mangadati (menyampaikan adat), manggoppoi jabu
(memasuki rumah baru), mangokkal holi (memindahkan tengkorak orang mati),
upacara kematian saur matua. Sedangkan, pada acara hiburan gondang
sabagunan digunakan pada pesta gondang tunggal atau pesta muda-mudi
(Nainggolan,1979:56).
5
4
Hasipelebeguan adalah kepercayaan pada dewa dalam mitologi Batak Toba, pada roh nenek moyang yang mendiami tempat-tempat sakral (Vergouwen, 1980:79).
5
Gondang Naposo adalah suatu kegiatan muda-mudi di Desa Gajah yang berlangsung selama 3 hari 2 malam yang diisi dengan acara menari/manortor yang diirngi oleh musik gondang. Acara Gondang Naposo juga dimeriahkan dengan kehadiran para undangan dari desa-desa lainnya. . Gondang sabagunan yang digunakan pada
pesta gondang naposo tidak lagi murni menggunakan alat-alat musik dalam
ensambel gondang sabagunan. Hal ini dikarenakan, masuknya ajaran agama
musik tiup atau musik Brass Barat, dll. Saat ini orang Batak Toba di Desa Gajah
menggunakan musik tiup6
6
Musik tiup adalah ensambel yang berkembang khususnya sekitar tahun 1980-an sebagai satu ensambel yang berfungsi mengiringi upacara adapt pada masyarakat Kristen Batak Toba untuk menggantikan peranan ensambel musik gondang. Belakangan ada perkemabnagan dimana musik tiup yang didominasi oleh alat-alat musik Brass Barat yang digabung dengan alat musik tradisi yang berasal dari ensambel gondang dan alat-alat musik tradisi Batak Toba lainnya seperti sulim. Lihat Rithaony Hutajulu. 2006. Gondang Sabangunan Batak Toba. Hal. 7.
, keyboard, dan drum yang digabung dengan alat musik
tradisi atau alat musik yang juga digunakan dalam gondang sabagunan. Misalnya
taganing (seperangkat gendang yang terdiri dari 5 buah gendang) sedangkan sulim
(seruling) adalah alat musik tiup.
Godang naposo sebagai tradisi kaum muda-mudi di Desa Gajah
merupakan kegiatan kaum muda-mudi yang terhimpun dalam asosiasi
PERMUSIMDES (Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah). Aktivitas kaum
muda-mudi di Desa Gajah yang tertuang di dalam pesta gondang naposo
merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut dapat menunjukkan
arti penting pelaksanaan gondang naposo bagi orang Batak Toba yang ada di
Desa Gajah. Pelaksanaan gondang naposo dapat sebagai sarana hiburan di saat
liburan, pencarian jodoh, sarana membangunan solidaritas, pengintegrasian orang
Batak Toba di Desa Gajah, sarana komunikasi orang Batak Toba terhadap Tuhan
dan sesama, sebagai kesinambungan budaya, sebagai sarana bagi kepentingan
politik dan sebagai bentuk ekspresi idenditas orang Batak Toba terhadap
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya maka
masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana keberadaan gondang
naposo sebagai suatu pesta muda-mudi Batak Toba di Desa Gajah ? Permasalahan
ini diuraikan ke dalam 3 pertanyaan penelitian:
1. Bagaimana sejarah lahirnya gondang naposo di Desa Gajah ?
2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah ?
3. Kepentingan apa saja yang termaktub melalui pesta gondang naposo?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tradisi gondang naposo yang ada
di Desa Gajah. Untuk hal tersebut maka dideskripsikan sejarah lahirnya gondang
naposo di Desa Gajah, mekanisme pelaksanaan gondang naposo (tahap persiapan,
pembukaan, pelaksanaan, dan penutup), dan berikutnya mendeskripsikan
kepentingan apa saja yang termaktub melaui pelaksanaan gondang naposo
tersebut.
Secara akademis penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan yang
mengulas tradisi Batak Toba dalam rangka pelestarian tradisi gondang khususnya
gondang naposo yang dapat dipahami sebagai simbol penguatan idenditas orang
Batak Toba di luar daerah asal. Secara praktis penelitian ini dapat memberikan
masukan-masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka membuat
kebijakan yang terkait dengan pelestarian tradisi gondang Batak Toba khususnya
D. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Gajah tepatnya di Kecamatan Sei Balai
Kabupaten Asahan. Alasan pemilihan lokasi adalah karena Desa Gajah
merupakan salah satu daerah perantauan orang Batak Toba di Asahan. Di Desa
Gajah orang Batak Toba melaksanakan gondang naposo sebagai wujud ekspresi
idenditas di tengah kelompok etnik lainnya. Lokasi penelitian merupakan daerah
yang didominasi oleh mayoritas orang Batak Toba atau kampung Batak dan
ditambah lagi Desa Gajah merupakan tempat kelahiran peneliti.
E. Tinjauan Pustaka
Berbagai kajian terhadap masalah-masalah tradisi gondang Batak Toba
telah dilakukan. Seperti kajian Simarmata (1992) tentang sikap masyarakat Batak
Toba di Lumban Pea terhadap penggunaan seperangkat alat musik tiup pada
upacara adat. Simarmata menjelaskan bahwa penetrasi agama kristen protestan ke
Desa Lumpan Pea telah menimbulkan perubahan yang berhubungan dengan
sistem religi tradisional yang umumnya tidak terlepas dengan tradisi gondang
sabagunan. Namun, setelah masuknya agama kristen protestan gondang
sabagunan di rubah dengan seperangkat alat musik tiup dalam acara gereja
maupun dalam acara adat. Di samping itu, penggunaan alat musik tiup dapat
menaikkan penghasilan di luar sektor pertanian bagi pemain musik dan dapat
menaikkan prestise bagi warga masyarakat yang menjalankan adat.
Kajian Simanjuntak (1993) tentang makna simbolik tortor Batak Toba,
krisis dalam kehidupan seorang individu atau sekelompok orang yang dianggap
penuh dengan keajaiban dan dapat menimbulkan malapetaka bagi bagi mereka.
Pelaksanaan tortor tidak terlepas dari tradisi gondang sabagunan. Pelaksanaan
tortor diiringi gondang sabagunan ini berhubungan dengan tata cara dan adat
istiadat Batak Toba yang tidak terlepas dari unsur Dalihan Na Tolu. Di samping
itu, tortor dilaksanakan karena berfungsi sebagai alat dalam upacara religi yang
sakral, sebagai refleksi dan validasi organisasi sosial dan sistem kekerabatan,
sebagai alat simbolisasi dan komunikasi, sebagai alat hiburan dan estetika.
Kajian Kusuma (1995) tentang penggunaan alat musik tiup dalam upacara
kematian saur matua suku bangsa Batak Toba. Kusuma menjelaskan bahwa
setelah masuknya Zending Jerman di tanah Batak melahirkan perubahan pada
kegiatan “margondang”. Pihak gereja melarang penggunaan gondang sabagunan
yang selalu dikaitkan dengan kepercayaan asli orang Batak Toba yaitu sipelebegu
(pemuja setan atau roh nenek moyang), seperti upacara magokkal holi (upacara
pemindahan tengkorak), sibaran (upacara melepas kemalangan) dll.
Dari ketiga kajian telah diuraikan sebelumnya menjelaskan mengenai
pelaksanaan tradisi gondang Batak Toba secara umum. Sedangkan, masalah yang
akan di kaji dalan penelitian ini secara khusus membicarakan pelaksanaan budaya
gondang Batak Toba yaitu gondang naposo. Gondang naposo yang dilaksanakan
di Desa Gajah menunjukkan suatu upaya penghidupan kembali tradisi Batak Toba
di luar daerah asalnya. Dapat di pahami bahwa orang Batak Toba yang melakukan
migrasi kesuatu daerah tak lupa membawa budayanya yang dijadikan sebagai
Sebagaimana yang diungkapkan Ermansyah (2005:25) bahwa keberadaan
seseorang atau sekelompok orang di tempat yang baru dengan latar belakang
sosial budaya yang berbeda mewujudkan 3 (tiga) proses sosial yang saling
berkaitan, yaitu:
Pertama, pengelompokan kembali di dalam latar belakang sosial budaya yang baru. Proses ini merupakan proses
penting dalam hubungannya dengan proses adaptasi atau
adanya kecenderungan dari seseorang atau sekelompok orang
untuk tetap berhubungan dan menetap bersama warga
kelompok asalnya di tempat yang baru. Kedua, proses rekonstruksi sejarah kehidupan seseorang atau sekelompok
orang karena ada fase kehidupan yang baru terbentuk. Hal ini
memiliki arti yang sangat berbeda bagi seseorang atau
sekelompok orang, karena latar sosial budaya yang berbeda
dengan latar sosial budaya dimana mereka menjadi bagian
sebelumnya. Ketiga, proses rekonfigurasi “proyek-proyek” etnik mereka. Seseorang atau sekelompok orang yang
berbeda di tempat baru akan menyusun kembali dan
menegaskan idenditas kelompok atau kebudayaannya.
Perubahan konteks atau latar sosial budaya menimbulkan kesadaran
seseorang atau sekelompok orang untuk menegaskan kembali asal-usul dan
kebudayaan dapat dipahami dari 3 (tiga) aspek (Irwan Abdullah dalam
Ermansyah, 225:26), yaitu:
Pertama, aspek kognitif, yang melihat kebudayaan sebagai sistem gagasan yang merupakan pedoman hidup manusia.
Untuk itu, gagasan dan berbagai aspek kehidupan seseorang
atau sekelompok orang akan dikaji untuk melihat sistem
kosmologis dalam rangka menjelasakan bentuk-bentuk
reproduksi kebudayaan. Kedua, aspek evaluatif, yang merupakan standar nilai yang masih direproduksi dan
digunakan untuk menilai kehidupan di tempat yang baru. Hal
ini mengarah kepada analisis norma-norma dan nilai yang
masih berperan dalam kehidupan seseorang atau sekelompok
orang, meskipun di dalam latar belakang sosial budaya yang
berbeda. Ketiga, aspek simbolik, yang merupakan bentuk-bentuk ekspresi kebudayaan yang dapat dilihat dari berbagai
upacara dan kegiatan yang berlangsung. Keberadaan berbagai
upacara tanda penting dari pelestarian kebudayaan.
Demikian halnya orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah juga
mereproduksi kebudayaannya melalui pesta gondang naposo. Pesta gondang
naposo merupakan kebudayaan Batak Toba yang di bawa dari daerah asal (bona
pasogit). Gondang naposo tersebut direproduksi kembali di Desa Gajah. Proses
daerah asal dilahirkan kembali di daerah yang baru atau di Desa Gajah dengan
bentuk dan kepentingan yang berbeda.
Perbedaan bentuk antara gondang naposo yang dilaksanakan di daerah
asal dengan yang dilaksanakan di Desa Gajah dapat dipahami melalui perbedaan
penamaan. Di daerah asal gondang naposo disebut sebagai gondang tunggal
(pesta muda-mudi) dan Poltak Bulan Purnama sebaliknya di Desa Gajah disebut
dengan pesta gondang naposo. Gondang naposo yang dilaksanakan di daerah asal
berlangsung selama tujuh malam berturut-turut (Nainggolan, 1979:77).
Sedangkan, gondang naposo yang dilaksanakan di Desa Gajah berlangsung
selama dua hari dua malam. Alat musik yang digunakan di daerah asal masih
murni seperangkat alat musik gondang sabagunan sedangkan alat musik yang
digunakan pada pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah menggunakan alat
musik tradisi yang dikombinasikan dengan alat musik modern seperti sulim,
taganing, drum, keyboard, dll.
Pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah memiliki nilai-nilai seperti
yang terkandung dalam pelaksanaan gondang naposo di daerah asal. Hal ini dapat
dipahami bahwa gondang naposo yang dilaksanakan di daerah asal maupun yang
ada di Desa Gajah sama-sama sebagai sarana menjalin kebersamaan atau
solidaritas, sebagai sarana komunikasi orang Batak Toba dengan Tuhan dan
sesama. Hal ini tercermin dari gerak tari atau tortor yang dipagelarkan yakni
gondang mula-mula yang merupakan tanda penghormatan kepada Tuhan, dan
terima kasih kepada Tuhan atas keselamatan yang telah diberikan kepada mereka
(Lusiati dalam Malau, 2007:3).
Melalui pelaksanaan gondang naposo sesama orang Batak Toba yang
berada di Desa Gajah dan yang ada di sekitar Desa Gajah dapat terintegrasi.
Sesama orang Batak Toba bertemu pada pelaksanaan gondang naposo, mereka
saling melepas rindu dan menari bersama sehingga nilai-nilai dalam kehidupan
orang Batak Toba yang berupa kegembiraan, kesedihan, perjuangan hidup, dan
pengharapan diwujudkan melalui tortor yang diiringi oleh musik gondang
(Sinaga, 1994:9).
Salah satu nilai Batak Toba yang terlihat melalui pelaksanaan gondang
naposo adalah nilai gotong-royong. Nilai ini tercermin melalui pemberian
sumbangan berupa uang yang disebut dengan “silua” atau “santisanti” dari para
undangan kepada penyelenggara pesta gondang naposo (suhut) secara timbal
balik. Menurut Koenjaraningrat (1972:165) bahwa dalam masyarakat kecil prinsip
timbal balik merupakan penggerak masyarakat dalam melakukan tindakan
tolong-menolong. Demikian halnya sumbangan yang diberikan oleh undangan dalam
pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah juga merupakan tindakan
tolong-menolong yang juga mengharapkan balasan saat para undangan melaksanakan
gondang naposo.
Bagi orang Batak Toba yang ada di daerah asal, pelaksanaan gondang
naposo hanya sebagai acara adat dalam rangka perwujudan kebudayaan saja.
Namun, bagi orang Batak Toba yang ada Di Desa Gajah pelaksanaan gondang
dihadapan kelompok etnik lain yang ada di Desa Gajah seperti Melayu, Jawa,
Tapanuli Selatan, Nias dan Karo. Kenyataan tersebut dikuatkan oleh pendapat
Koentjaranigrat (1974:104) bahwa kesenian (dalam hal ini gondang) merupakan
satu-satunya unsur kebudayaan dari tujuh unsur kebudayaan universal yang dapat
menonjolkan sifat khas atau idenditas. Jadi dapat dipahami bahwa gondang
naposo yang dilaksanakan orang Batak Toba yang ada di Desa gajah bukanlah
sekedar kegiatan muda-mudi semata, melainkan sebagai simbol penegasan
idenditas orang Batak Toba di perantauan.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini bertipekan eksploratif deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif yang bertujuan menggambarkan secara terperinci tradisi
gondang naposo sebagai suatu kegiatan kaum muda-mudi di Desa Gajah yang
terhimpun dalam asosiasi PERMUSIMDES (Persatuan Muda-mudi Simpang Desa
Gajah). Penelitian ini juga mendeskripsikan sejarah lahirnya gondang naposo di
Desa Gajah, mekanisme pelaksanaan gondang naposo (tahap persiapan,
pembukaan, pelaksanaan, dan tahap penutup), dan berikutnya menjelaskan
kepentingan yang termaktub melalui pesta gondang naposo tersebut.
Data dalam penelitian ini diperoleh melalui 2 kelompok yaitu melalui data
primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh di
lapangan. Sedangkan, data sekunder merupakan data yang diperoleh dari
lapangan, dari berbagai buku, jurnal dan lain-lain. Buku, jurnal dan yang lainnya
kebudayaan Batak Toba secara khususnya data mengenai tradisi gondang naposo,
data tertulis mengenai data kependudukan desa, teori-teori yang mendukung
masalah penelitian, dll.
Data primer diperoleh melalui observasi partisipasi dan wawancara
mendalam. Adapun hal yang diobservasi adalah proses pelaksanaan gondang
naposo (tahap persiapan,pelaksanaan, tahap penutup), siapa-siapa saja pihak yang
terlibat dalam sejarah pembentukan gondang naposo yang masih hidup dan
pembentuknya sekarang, alat-alat apa saja yang digunakan dalam gondang
naposo, tarian yang dipagelarkan dan lain-lain. Observasi partisipasi yang
dilakukan dilengkapi dengan kamera photo untuk mengabadikan hal-hal yang
tidak terobservasi peneliti di lapangan dan sebagai penegasan data yang diperoleh
di lapangan.
Selain observasi partisipasi, wawancara mendalam juga dilakukan dengan
bantuan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan terhadap informan kunci dan
informan biasa. Informan kunci merupakan orang-orang yang mempunyai
keahlian mengenai suatu masalah yang ada di dalam masyarakat atau orang yang
memahami masalah penelitian. Dalam hal ini informan kunci yaitu pemuka desa,
kepala desa, tokoh masyarakat, pengerak atau panitia gondang naposo, pargorsi
dan lainnya. Sedangkan, informan biasa merupakan orang-orang yang
memberikan informasi mengenai suatu masalah sesuai dengan pengetahuannya
dan bukan ahlinya. Dalam penelitian aini yang menjadi informan biasa adalah
kepanitiaan pelaksanaan gondang naposo, seperti muda-mudi maupun orang tua
serta kelompok etnik lain yang ada disekitar lokasi penelitian.
Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan kunci yaitu
mengenai sejarah kedatangan orang Batak Toba di Desa Gajah, sejarah lahirnya
gondang naposo, mekanisme pelaksanaan gondang naposo, siapa-siapa saja
orang-orang yang ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan gondang naposo, alat-alat
ayang digunakan dalam pelaksanaan gondang naposo khususnya alat musik yang
digunakan dan kepentingan apa yang mereka dapat dari peleksanaan gondang
naposo tersebut.
Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan biasa yaitu
mengenai bagaimana pandangan mereka mengenai pelaksanaan gondang naposo
dan bagaimana mekanisme pelaksanaan gondang naposo serta kepentingan apa
saja yang mereka peroleh dari pelaksanaan gondang naposo tersebut. Wawancara
mendalam yang dilakukan menggunakan Tape Recorder sebagai alat bantu karena
daya igat peneliti yang terbatas.
Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara bertujuan atau
purposif dalam arti bahwa orang-orang yang akan dipilih menjadi informan sudah
diketahui oleh peneliti. Penentuan informan didasarkan atas kriteria umur, jenis
kelamin, lama tinggal, dan lainnya. Dalam penelitian ini jumlah informan
G. Analisa Data
Data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif. Proses analisa data
penelitian dimulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh dari hasil
pengamatan dan wawancara yang dilakukan di lapangan. Data dikategorikan
menurut kategori tertentu yang terkait diinterpretasikan sesuai dengan data dan
kemampuan peneliti. Analisa data dilakukan mulai pada saat meneliti atau selama
BAB II
GAMBARAN UMUM DESA GAJAH
A. Letak Geografis, Administratif dan Sejarah Desa Gajah
Desa Gajah merupakan sebuah desa yang terletak tidak jauh dari ibu kota
Kecamatan Sei Balai yaitu kira-kira 15 km. Jarak Desa Gajah ke ibu kota
kabupaten Asahan kira-kira 35 km. Sedangkan jarak Desa Gajah ke ibu kota
propinsi sekitar 95 km. Oleh Kerena itu, Desa Gajah merupakan desa yang maju
dan desa yang mudah dijangkau dengan prasarana transportasi darat.
Menurut data yang diperoleh dari kantor kepada desa luas wilayah Desa
Gajah sekitar 1.187 Ha. Sebagian besar wilayah Desa Gajah dimanfaakan sebagai
ladang seluas kira-kira 240 Ha, persawahan kira-kira 360 Ha, perkebunan 85 Ha,
pekuburan sekitar 20 Ha, dan tanah kosong sekitar 23 Ha selebihnya digunakan
sebagai areal permukiman penduduk yakni seluas 459 Ha.
Desa Gajah merupakan dataran rendah yang terletak pada ketinggian
kira-kira 0,5 m dari permukaan laut. Suhu rata-rata pada siang hari sekitar 28 C-30 C.
Hal ini sangat mempengaruhi pertanian di desa ini. Musim kemarau yang terjadi
sangat panjang dari April sampai September. Pada bulan-bulan tersebur hujan
turun hanya beberapa kali saja. Luas wilayah Desa Gajah adalah 1.187 Ha yang
terdiri dari sepuluh dusun yakni ditandai dengan sebutan Dusun I hingga Dusun
X. Masing-masing dusun dikepalai oleh kepala dusun yang berfungsi
Pembagian atau susunan dusun yang ada di Desa Gajah tidak tersusun
secara berurutan mulai dari Dusun I sampai dengan Dusun X. Secara administratif
Desa Gajah berbatasan dengan desa lain yakni:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kwalakasim
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Durian
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sei Mentaram
- Sebelah Timur berbatasan dengan Perwakilan Sei Balai
Jika hendak pergi ke Desa Gajah, kita bisa menempuhnya dari kota Medan
sekitar 3 sampai 4 jam, dari ibu kota kabupataen kira-kira 45 menit. Terminal
angkutan menuju Desa Gajah berada di Kisaran dan untuk mencapai Desa Gajah
kita bisa naik angkuttan pedesaan seperti ojek \ RBT dan anggkutan umum seperti
mobil Merpati, Srimersing dan lain sebagainya.
Menurut sejarahnya, Desa Gajah dulunya masih hutan belantara yang
dihuni berbagai macam binatang termasuk Gajah. Daerah ini berbatasan dengan
kebun Hapam. Menurut keterangan informan Kebun Hapam dulunya merupakan
milik “Amerika Serikat”7
Sekitar tahun 1952 masuklah masyarakat membuka lahan untuk
persawaha. Orang pertama yang membuka lahan di Desa Gajah adalah Parsaoran
Samosir yang bermigrasi dari Pulau Samosir. Tidak hanya kebun Hapam ternyata . Namun, terjadi pengalihan kepemilikan kepada
M.Hutapea dan setelah itu Kebun Hapam dirubah namanya menjadi Kebun Banua
Area. Pemilik kebun Hapam selalu resah akibat ulah Gajah yang sering merusak
kebun mereka.
7
Gajah juga merusak tanaman para masyarakat yang berada di lahan yang baru
dibuka tersebut. Untuk mengatasi Gajah, masyarakat membangun sebuah podok
untuk menjaga dan mangawasi kalau-kalau Gajah datang merusak tanaman
mereka. Nama pondok itu mereka sebut Pondok Gajah yang akhirnya nama itu
menjadi nama kampong yaitu Kampung Pondok Gajah.
Kampung Pondok Gajah berubah menjadi Desa Gajah setelah terjadi
pemekaran dari Kampung Durian sekitar tahun 1960. masyarakat akhirnya yang
dulunya hutan berubah menjadi lahan persawahan. Gajah akhirnya pindah ke
bagian dalam hutan dan ada juga yang dimasukkan ke penengkaran dan sejak saat
itu gajah tidak pernah lagi muncul.
Desa Gajah termasuk kecamatan Tanjung Tiram hingga tahun 1999.
Terjadi pemekaran, Desa Gajah menjadi kecamatan Sei Balai hingga sekarang.
Desa Gajah cukup strategis dengan kegiatan penduduknya sebagai petani sawah,
hingga saat ini 80 % masyarakat hidup dari hasil pertanian dan perkebunan. 20 %
B. Demografi Penduduk dan Sistem Mata Pencaharian
Penduduk Desa Gajah terdiri dari 921 kepala keluarga dengan jumlah
penduduk sekitar 3.800 jiwa. Berikut adalah tabel jumlah penduduk Desa Gajah
berdasarkan umur
Tabel 1
Distribusi Jumlah Penduduk Desa Gajah Berdasarkan Umur
No Umur Jumlah jiwa
Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007
Tingkat pendidikan penduduk Desa Gajah pada umumnya sudah dapat
dikatakan baik. Hanya 0,5 % saja penduduk yang masih buta huruf. Dan 99,5 %
dari jumlah penduduk sudah mengeyam pendidikan walaupun hanya sampai
tingkat SD, SLTP maupun SMA saja. Untuk lebih jelasnya distribusi penduduk
Tabel 2
Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Pendidikan Jumlah Jiwa
1.
Tamat akademi \ sederajat Tamat Perguruan Tinggi
Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007
Masyarakat Desa Gajah hampir seluruhnya sudah mengecap pendidikan
seperti yang terlihat dalam tabel, sehingga masyarakat tidak lagi buta huruf dan
bodoh. Paling tidak masyarakat sudah dapat membaca dan menulis. Para orang tua
di desa ini menganut nilai bahwa anak mereka adalah kekayaan dan merupakan
milik mereka yang paling berharga dari apapun. Sehingga para orang tua
mengusahakan apapun juga agar anak mereka dapat bersekolah
setinggi-tingginya. Hal ini berkaitan dengan tiga nilai yang dianut oleh masyarakat Batak
Toba bahkan menjadi pegangan hidup yaitu, “Hamoraon, Hagabeon, dan
Hasangapon”.
Secara umum kehidupan masyarakat Desa Gajah bersifat agraris (
pertanian ) karena 80 % masyarakat hidup dari pertanian dan perkebunan. Hanya
20 % diantaranya sebagai pedagang, wiraswasta dan pegawai negeri. Adapun
tanaman yang secara umum ditaman adalah padi untuk sawah. Sedangkan
pertanian merupakan sumber penhidupan utama bagi penduduk Desa Gajah.
Hampir semua penduduk dan anggota keluarga mereka yang sudah remaja dan
dewasa ikut terlibat dalam pertanian tersebut.
Bagi penduduk yang berdagang, pegawai negeri, dan wiraswasta juga
terlibat dalam pertanian di samping pekerjaan mereka tersebut. Mereka mengolah
sawah dan kebun yang di usahakan untuk menambah penghasilan mereka. Hal ini
disebabkan oleh kondisi alam yang memang mendukung dan juga tersedianya
pengairan sehingga panen raya dapat dilakukan dua kali dalam satu tahunnya. Di
samping itu juga didukung penggunaan pupuk yang sesuai dengan takaran,
pemupukan yang dilakukan secara teratur dan berkala, pengolahan tanah agar
gembur dan subur, penyiangan dan lain sebagainya.
Dibidang pertanian, hal yang paling dominan dihasilkan adalah padi, dan
kelapa sawit. Padi dari Desa Gajah selain untuk dipasarkan juga sebagai
persediaan bahan pangan sebelum tiba masa panen raya berikutnya. Produksi padi
dari desa ini bisa mencapai sekitr 800 ton / tahun dan kelapa sawit bisa mencapai
9000 ton / tahun.
Untuk menambah penghasilan penduduk desa ini juga beternak. Semua
jenis ternak masyarakat memiliki kandangnya masing-masing, jadi tidak
ditemukan lagi hewan peliharaan yang berkeliaran disekitar desa selain hewan
peliharaan seperti anjing dan kucing.
Masyarakat Desa Gajah memanfaatkan kotoran hewan peliharaanya
seperti kotoran ayam, itik, kerbau, sapi dan kambing. Hal ini terjadi keran kotoran
organic. Masyarakat memanfaatkan kotoran hewan peliharaan mereka juga
dikarenakan harga pupuk yang sangat tinggi, jadi untuk menghemat biaya
pertanian kotoran hewan peliharaan tersebut ternyata membuat tanah menjadi
subur. Namun, penggunaan pupuk organic tersebut tidak diberikan secara
sembarangan tetapi harus sesuai dengan kebutuhan. Untuk mengetahui distribusi
dari ternak yang maka, berikut adalah tabel jumlah ternak yang ada di Desa
Gajah.
Tabel 3
Distribusi Jumlah Ternak di Desa Gajah
No Jenis Ternak Jumlah Ternak
1.
Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007
Distribusi ternak menunjukkan bahwa beternak juga merupakan kegiatan
yang dapat menambah jumlah pendapatan penduduk desa ini. Jika babi di jual
harganya dapat mencapai sekitar Rp.500.000 / ekor bahkan ada yang mencapai
Rp.1200.000 – Rp.2.000.000 / ekornya, apabial ukuran babinya besar dan gemuk.
Tabel 4
Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Sistem Mata Pencaharian
No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Jiwa
1.
Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007
Pertanian Desa Gajah memerlukan tenaga buruh tani karena untuk
menanam padi dengan lahan yang luas itu memerlukan dan memakan waktu yang
ekstra. Jadi, untuk mempermudah pekerjaan maka para petani mencarai jasa buruh
tani dengan upah kira-kira Rp.30.000 – Rp.40.000 / hari. Hal ini juga dikarenakan
sudah jarangnya ditemukan masyarakat yang melakukan kegiatan gotong-royong
atau “marsiadapari”.
C. Pola Pemukiman
Jumlah penduduk Desa Gajah mencapai 3.800 jiwa dan 889 kepala
keluarga, yang diklasifikasi sebagai berikut: dusun I terdiri dari 348 jiwa , dusun
II terdiri dari 427 jiwa, dusun III terdiri dari 391 jiwa, dusun IV terdiri dari 380
jiwa, dusun V terdiri dari 179 jiwa, dusun VI terdiri dari 262 jiwa, dusun VII
terdiri dari 220 jiwa, dusun VIII terdiri dari 655 jiwa, dusun IX terdiri dari 405
berdasarkan jenis kelamin yakni, laki-laki sebesar 1.884 jiwa dan perempuan
sebesar 1.916 jiwa.
Masyarakat Desa Gajah mengenal berbagai sistem kesatuan hidup
setempat. Beberapa istilah kesatuan hidup setempat seperti jabu atau rumah dan
sopo adalah tempat berteduh yang berada di ladang, jika sedang hujan atau hari
sangat terik. Namun, sekarang ini sopo sudah sangat jarang ditemukan.
Jabu atau rumah adalah kesatuan keluarga inti (house hold). Berarti Desa
Gajah terdiri dari 921 Jabu. Bentuk yang lebih besar lagi adalah huta atau
kampung dimana setiap satu huta dipimpin oleh satu kepala desa. Satuan dari
beberapa huta membentuk satu kecamatan, demikian seterusnya.
Kondisi rumah ditinjau dari segi bangunan maupun segi kesehatan sudah
cukup baik dan pada umumnya bentuk rumah sudah mengikuti bentuk rumah
dikota serta tak ditemukan lagi rumah tradisional atau rumah adat yang berbentuk
panggung. Berikut ini adalah tabel rumah penduduk menurut sifat dan bahannya.
Tabel 5
Jumlah Rumah Penduduk Menurut Sifat dan Bahannya
No Jenis Rumah Menurut Sifat dan Bahanya Jumlah \ Buah
1. 2. 3. 4.
Dingding terbuat dari batu \ gedung permanent Dingding terbuat dari sebagian batu \ semi permanent
Dingding terbuat dari kayu\ papan Dingding terbuat dari bambu \ lainnya
221 385 268 25
Pola pemukiman pada umumnya ada yang mengelompok dan ada juga
yang tidak. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain kira-kira 2-5 m. Ada
juga rumah yang dibangun dengan rapat artinya dua rumah yang memiliki satu
dingding pembatas.
Masyarakat Desa Gajah terdiri dari beberapa suku bangsa seperti Batak
Toba, Tapanuli Selatan, Karo, Jawa dan Nias. Setiap suku bangsa memiliki bahasa
sendiri. Namun, dalam pergaulan hidup sehari-hari masyarakat menggunakan
bahasa Indonesia meskipun ada beberapa masyarakat yang menggunakan bahasa
daerahnya apabila bertemu dengan orang yang sesuku dengannya. Berikut adalah
tabel jumlah penduduk berdasarkan kelompok etnik.
Tabel 6
Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik
No Kelompok Etnik Jumlah jiwa
1
Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007
D. Sistem Religi
Masyarakat Desa Gajah pada umumnya beragama Kristen Protestan,
Katolik dan sebagian lainnya menganut agama Islam. Di Desa Gajah terdapat
bangunan gereja sebanyak 18 buah yaitu gereja HKBP (Huria Kristen Batak
Protestan ), GPDI ( Gereja Pentakosta Di Indonesia ), GPI (Gereja Pantekosta
buah dan surau atau musolla hanya 1 saja. Berikut tabel distribusi penduduk Desa
Gajah menurut agama yang dianutnya.
Tabel 7
Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
No Agama Jumlah Jiwa
Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007
Masyarakat desa ini hidup beragama dengan toleransi yang cukup tinggi,
mereka tidak mengindahkan perbedaan agama. Masyarakat lebih condong pada
hubungan saling membantu dan akrab. Toleransi beragama cukup tinggi terlihat
bahwa ternak babi tidak ada yang berkeliaran di sekitar desa tetapi semua babi di
kandang. Disamping itu, pada hari-hari besar seperti hari Raya Idul Fitri umat
Islam memberi kue kepada tetangganya yang beragama Kristen dan sebaliknya.
Terdapat pula organisasi pemuda-pemudi dari berbagai agama yang ada di desa
ini. Pada acara-acara pesta tertentu seperti pesta pernikahan, ulang tahun, sunatan
dan lain sebagainya masyarakat saling mengundang tanpa membedakan agama.
Di Desa Gajah juga terdapat organisasi pemuda-pemudi dari berbagai
agama yang ada di Desa Gajah. Misalnya Organisasi Pemuda Pancasila (PP),
Ikatan Pemuda Karya (IPK), dan Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah
(PERMUSIMDES). Setiap tahunnya PERMUSIMDES selalu merayakan ulang
tahun dengan mengadakan gondang naposo. Pada saat gondang naposo
pada pelaksanaan gondang naposo semua anggota PERMUSIMDES tampa
membedakan agama ikut terlibat dalam acara gondang naposo tersebut. Dulunya
anggota PERMUSIMDES hanya etnik Batak Toba yang beragama Kristen.
Namun, seiring dengan pertambahan penduduk yang semakin pesat
mengakibatkan jumlah anggota PERMUSIMDES semakin banyak dan berasal
dari agama dan kelompok etnik yang beragam.
E. Sistem Organisasi dan Kekerabatan
Kesatuan kekerabatan yang terkenal pada masyarakat Batak Toba adalah
jabu (keluarga inti) yang juga merupakan kesatuan ekonomi terkecil. Keluarga inti
terbentuk melalui perkawinan, dimana pada masa awalnya pengantin baru akan
tinggal di rumah orang tuanya. Setelah keluarga inti mampu berusaha sendiri baru
akan tinggal dengan istrinya atau dengan suaminya artinya berpisah dengan orang
tuanya. Sistem organisasi dan kekerabatan yang di kaji adalah suku bangsa Batak
Toba dikarenakan mayoritas penduduk Desa Gajah adalah suku bangsa Batak
Toba.
Masyarakat Batak Toba adalah salah satu dari sekian banyak suku bangsa
di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Asas patrilineal
menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan disusun menurut garis ayah dan
semua kerabat laki-laki. Orang Batak Toba seperti orang batak pada umumnya
mengenal suatu konsep kemasyarakatan yang bernama Dalihan Na Tolu ( tungku
segi tiga. Di atasnya di letakkan alat memasak makanan. Tungku ini
melambangkan dasar hubungan sosial orang Batak (Simanjuntak, 1988:51).
Sistem kekerabatan orang Batak Toba yang demikian berhubungan dengan
dengan sistem pewarisan pada orang Batak. Dalam hal ini hanya laki-lakilah yang
berhak mendapat warisan orang tua mereka. Warisan yang diberikan biasanya
dalam bentuk benda tidak bergerak, misalnya : hauma (sawah), tano (tanah ), jabu
( rumah ), ulos (kain khas orang batak ), mas ( emas ). Namun, bila benda-benda
ini tidak selalu ada pada orang tua sehingga harta warisan bisa juga berupa : horbo
( kerbau ), singir (piutang), dan lain-lain8
8
Ibid
.
Sistem perkawinan yang dianut mengenal incest taboo. Incest taboo pada
orang Batak Toba adalah tidak terjadinya hubungan perkawinan antara sesama
saudara sedarah maupun antara satu marga. Misalnya : keluarga Gultom A tidak
boleh mengawini keluarga Gultom B , karena mereka mengganggap hubungan
tersebut adalah kekerabatan dari satu nenek moyang yang sama.
Perkawinan yang ideal adalah perkawinan antara orang-orang yang
marpariban dimana laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya.
Perkawinan pada orang Batak Toba pada umumnya, merupakan pranata, yang
tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga
mengikat dalam sautau hubungan yang tertentu. Kaum kerabat dari laki-laki atau
“paranak” dengan kaum kerabat dari si wanita atau “parboru” ( Payung Bangun,
Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam keluarga batih orang Batak
Toba disebut “ripe”. Keluarga “saompu” satu kelompok kekerabatan dimana
semua kaum kerabat patrilineal yang masih diingat atau dikenal kerabatnya adalah
bentuk keluarga luas pada orang Batak Toba. Istilah teknis untuk itu disebut klen
kecil (Simanjuntak, 1994:17).
Suatu kelompok kekerabatan yang lebih besar adalah “marga”. Istilah
marga mengenal beberapa arti seperti yang dikemukakan oleh Simanjuntak
(1994:18). Marga bisa berarti klen patrilineal (misalnya marga Siagian, Manik,
dsb) tetapi juga sub klen (Siburian, Silo, Nababan, Lumbantoruan, dsb). Marga
bisa juga berarti gabungan klen /fatri misalnya : Lotung, Sumba, dan Borbor )
sekaligus menegaskan wilayah territorial dari masing-masing fatri.
Dalam hubungan perkawinan ada tiga kelompok kekerabatan yang
penting pada hubungan kekerabatan seperti yang telah dijelaskan di atas, saat ini
masih dipertahankan dan masih dapat jelas terlihat pada upacara-upacara tertentu
seperti upacara perkawinan, upacara kematian, memasuki rumah baru dan lain
sebagainya.
Selain kesatuan kekerabatan seperti hal tersebut diatas, ada juga berbagai
organisasi (GAMKI, PORMA SATU, IPP (Ikatan Pemuda Pancasila), Karang
Taruna, SPSI, OKP), serikat marga (Raja Sonang, Gultom, Patambor/ Manurung,
Siagian, Toga Simatupang, Parna, Si Pitu Ama/ Situmorang, Borbor Marsada
(Malau, Pasaribu, Lubis), Lembaga pemerintahan: LKMD (Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa),LMD( Lembaga Masyarakat Desa ), PKK, serta STM (Serikat
Masyarakat Desa Gajah juga memiliki sistem organisasi sosial yang di
bagi dalam tiga kategori yaitu serikat jalan Gereja, serikat jalan Siantar, dan
serikat jalan Kisaran. Pembagian ketiga serikat tersebut dilakukan sesuai dengan
arah jalan yaitu Kisaran dan Siantar. Sedangkan, untuk serikat jalan Gereja
ditentukan berdasarkan banyaknya bengunan gereja di daerah tersebut. Adapun
pengurus harian serikat jalan Gereja adalah; ketua : Kaus Sinaga, wakil ketua:
Danso Sitinjak, sekretaris: Tanda Marpaung, bendahara : Bisara Panjaitan.
Syarat-syarat menjadi anggota serikat adalah setiap membayar uang
seharga 1 kaling padi dan 3 lembar papan. Uang padi tersebut digunakan sebagai
modal untuk membeli ulos bila ada anak gadis dari serikat itu yang menikah.
Sedangkan, uang papan digunakan untuk membeli papan untuk digunakan sebagai
peti mati apabila ada anggota serikat yang meninggal. Setelah tujuh hari tujuh
malam diterima sebagai anggota serikat barulah sah sebagai anggota serikat.
Apabila ada anggota serikat yang mengadakan pesta maka setiap anggota
serikat diwajibkan menghadiri pesta tersebut dengan membawa 2 tumba atau 4
kilo gram beras khusus untuk pesta besar. Sedangkan untuk pesta kecil diwajibkan
membawa 11/2 kilo gram beras dan hal ini juga berlaku untuk serikat marga.
Perbedaannya dalam serikat tolong menolong tidak diadakan arisan dan kebaktian
atau partagiangan sedangkan dalam serikat marga hal tersebut dilaksanakan sekali
dalam sebulan. Biasanya keluarga yang mengadakan arisan atau keluarga yang di
rumahnya dilaksanakan arisan marga berarti keluarga tersebutlah yang akan
Tujuan dibentuknya serikat tolong-menolong adalah untuk menjalin
persaudaraan sesama anggota serikat dan untuk membangun solidaritas sesama
anggota serikat. Sedangkan, tujuan dibentuknya serikat marga adalah untuk
menjalin persaudaraan antar marga, melestarikan budaya batak yang dibawa dari
Bona Pasogit, dan sebagai idenditas orang Batak Toba di tempat yang baru atau di
Desa Gajah. Kenyataan tersebut terkait dengan keberagaman penduduk di Desa
Gajah yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda. Keberagaman
tersebut jelas mempunyai tuntutan kebudayaan dari masing-masing kelompok
etnik. Oleh karena itu, timbul rasa di desak oleh kelompok etnik lain. Semuanya
itu bermuara pada adanya kehendak atau usaha untuk memperkuat diri
masing-masing dengan menyusun suatu kekuatan disekitarnya yang terdiri dari
orang-orang yang berasal dari kelompok marga yang sama yang disebut dengan asosiasi
marga (Bagun dalam Siallagan, 1991:12). Sebagai kelompok etnik yang terkecil,
orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah membentuk perkumpulan marga
BAB III
PELAKSANAAN PESTA GONDANG NAPOSO DI DESA GAJAH
A. Latar Belakang lahirnya Gondang Naposo di Desa Gajah
Pada tahun 1952 seorang yang bernama Pasaoran Gultom yang berasal
dari Samosir datang manonbang ke Desa Gajah. Manombang adalah suatu usaha
untuk mencari kehidupan yang lebih baik di daerah yang baru dengan cara
membuka hutan untuk lahan pertanian. Desa Gajah dulunya disebut sebagai
pondok Gajah. Disebut pondok Gajah karena pada masa itu banyak terdapat gajah.
Namun, pada tahun 1960 Desa Pondok Gajah berubah menjadi Desa Gajah
setelah terjadi pemekaran dari Kampung Durian.
Pertambahan penduduk yang besar mengakibatkan kebutuhan akan lahan
pertanian semakin besar. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dulunya hutan
dirubah menjadi lahan persawahan. Pertambahan penduduk yang besar terjadi
karena faktor kelahiran maupun karena besarnya arus migrasi orang Batak Toba
dari Daratan Tinggi Toba (Tapanuli Utara) yang datang ke Desa Gajah.
Perpindahan penduduk dari Dataran Tinggi Toba dalam era pra modern dimulai
sejak tahun 1900-an, terutama sejak terjadi ledakan penduduk dan sulitnya
memperoleh lahan persawahan. Sedangkan, pertambahan penduduk di Desa Gajah
karena faktor kelahiran diperkirakan terjadi setelah jumlah migrasi yang datang ke
Desa Gajah semakin banyak.
Pada umumnya, orang Batak Toba yang bermigrasi ke Desa Gajah tinggal
satu kelompok etnik dengannya. Hal ini merupakan salah satu cara mereka untuk
beradaptasi dengan keadaan atau situasi yang baru. Lambat-laun jumlah mereka
bertambah sehingga mereka mulai membentuk perkumpulan atau asosiasi marga
(Raja Sonang, Goltom, Parna, Borbor Marsada, Si Pitu ama/Situmorang, Toga
Simatupang dll), dan Serikat Tolong Menolong (STM) sepertihalnya Serikat
Jalan Siantar, Serikat Jalan Kisaran dan Serikat Jalan Gereja.
Dalam serikat marga maupun Serikat Tolong Menolong (STM) ini
biasanya yang berperan aktif adalah para orang tua sedangkan anak-anak tidak
ikut berperan. Kenyataan tersebut menunjukkan rasa persaudaraan di antara
sesama muda-mudi Simpang Desa Gajah sagatlah minim. Sebagai bukti pada saat
pesta, muda-mudi tidak ada yang mau membantu para orang tua seperti mencuci
piring, membungkus teh, membuat teh manis/kopi, memasang tenda dan lain-lain.
Di samping itu, sesama muda-mudi Simpang Desa Gajah juga kurang mengenal
satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, para orang tua dan tokoh masyarakat di
Simpang Desa Gajah yang tersebar atau terbagi dalam tiga serikat (Jalan Siantar,
Jalan Kisaran, dan Jalan Gereja) bersepakat membentuk wadah organisasi
kepemudaan yaitu Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah yang disingkat
dengan PERMUSIMDES.
PERMUSIMDES dibentuk pada tahun 1971 sekitar bulan Juni – Juli.
Pendirinya adalah seluruh naposo/muda-mudi Desa Gajah. Sedangkan,
pembinanya adalah Jakob Tampubolon, Ferdinan Napitupulu, Sari Simangunsong,
Pada saat PERMUSIMDES dibentuk setiap muda-mudi yang mendaftar
sebagai anggota diwajibkan membayar uang pendaftaran sebesar Rp. 5000/orang.
Di samping itu, muda-mudi yang mendaftar sebagai anggota PERMUSIMDES
harus sudah berusia 15 tahun ke atas dan belum menikah, dan bersedia membantu
apabila ada pesta di Simpang Desa Gajah. Namun, perlu diperhatikan bahwa
setiap anggota PERMUSIMDES turut serta membantu sebuah pesta, apabila anak
dari keluarga yang melaksanakan pesta tersebut telah terdaftar sebagai anggota
PERMUSIMDES. Jadi apabila sebuah keluarga mengadakan pesta akan tetapi
anak dari keluarga yang menyelenggarakan pesta tersebut tidak terdaftar sebagai
anggota PERMUSIMDES maka anggota PERMUSIMDES tidak akan turun
tangan membantu pesta tersebut. Namun, apabila ada anggota PERMUSIMDES
yang membantu pesta tersebut itu hanya karena ikatan kekerabatan atau karena
tetangganya saja.
Setiap anggota PERMUSIMDES yang melaksanakan pesta pernikahan
maka uang pendaftarannya sebagai anggota PERMUSIMDES dikembalikan
dalam bentuk kado sebagai hadiah pernikahan. Pada saat pesta berlangsung
anggota PERMUSIMDES akan membantu penyelenggaraan pesta tersebut seperti
membagikan teh, membuat teh manis/kopi, dan mencuci piring. Pada saat sesi
memberikan ulos/ mengulosi pengantin maka akan diberikan waktu kepada
anggota PERMUSIMDES untuk menari/manortor sambil memyerahkan kado
kepada kedua mempelai. Namun, sebelumnya ketua PERMUSIMDES akan
Apabila ada anggota keluarga dari PERMUSIMDES yang mengalami
kemalangan seperti sakit atau meninggal maka PERMUSIMDES juga akan
memberikan bantuan sebesar uang pendaftaran. Namun, sekarang uang
pendaftaran menjadi anggota PERMUSIMDES sebesar Rp. 35.000. Uang
pendaftaran tersebut diserahkan kepada bendahara harian PERMUSIMDES.
Kinerja dari organisasi PERMUSIMDES tersebut membawa dampak yang
baik bagi sesama muda-mudi maupun bagi para orang tua. Oleh karena itu, maka
para tokoh masyarakat, orang tua, dan anggota PERMUSIMDES khususnya para
pengurus harian mengadakan rapat. Dari rapat tersebut, disepakati untuk
merayakan ulang tahun PERMUSIMDES.
Perayaan ulang tahun PERMUSIMDES dimeriahkan dengan
melaksanakan gondang batak khusus untuk muda-mudi yang disebut dengan
gondang naposo. Melalui kegiatan tersebut diharapkan rasa persaudaraan dan
kekeluargaan dikalangan muda-mudi Simpang Desa Gajah dan sekitarnya
semakin erat. Hal ini terkait bahwasanya orang Batak Toba di Desa Gajah dan di
Desa sekitarnya dulunya merupakan kelompok etnik minoritas. Melalui kegiatan
gondang naposo tersebut juga diharapkan muda-mudi Simpang Desa Gajah tetap
mencintai budayanya dengan tetap melestarikan gondang batak yang bibawa dari
bona pasogit khususnya gondang naposo.
Para orang tua yang ada di Desa Gajah juga mengharapkan bahwa dengan
dilaksanakannya kegiatan gondang naposo tersebut muda-mudi Simpang Desa
Gajah tidak hanya menyaksikan hiburan-hiburan yang kurang bermanfaat.
Melalui kegiatan gondang naposo ini secara khusus para orang tua Simpang Desa
Gajah juga mengharapkan agar muda-mudi Simpang Desa Gajah terhindar dari
perjudian, penyalahgunaan narkotika, obat-obatan terlarang, praktek seks bebas
serta tindakan kriminal lainnya.
B. Mekanisme Pelaksanaan Gondang Naposo di Simpang Desa Gajah 1. Persiapan Gondang Naposo
Rapat Sesama Anggota PERMUSIMDES dan Rapat Anggota
PERMUSIMDES dengan Orang Tua
Rapat muda-mudi Simpang Desa Gajah dalam rangka persiapan gondang
naposo diadakan sebanyak empat kali. Rapat pertama adalah rapat sesama
anggota PERMUSIMDES. Rapat tersebut dilaksanakan pada hari Kamis, 5 Juni
2008 di rumah Rina Tambunan. Agenda rapat tersebut adalah kepastian
pelaksanaan gondang naposo, tanggal berapa gondang naposo dilaksanakan, dan
pemilihan lokasi gondang naposo. Dari rapat tersebut disepakati bahwa gondang
naposo akan dilaksanakan. Gondang naposo akan dilaksanakan di tanah Bapak
Roy Tambunan dan gondang naposo tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu dan
Minggu tepatnya tanggal 21 dan 22 Juni 2008. Gondang naposo tersebut
rencananya akan dimulai pukul 15:00 Wib.
Rapat ke dua juga dilaksanakan di rumah Rina Tambunan. Rapat tersebut
jatuh pada hari Minggu, 8 Juni 2008. Agenda rapat tersebut adalah pembentukan
panitia perayaan ulang tahun PERMUSIMDES periode 2008/2009 dan
kurang, membahas dana yang kurang di peroleh dari mana dan dengan cara apa).
Dari rapat yang telah berlangsung disepakati bahwa susunan kepanitiaan terdiri
dari Ketua: Saur S.Simangunsong, ST , Wakil Ketua: Donal Simanjuntak,
Sekretaris: Nani Dy.Panjaitan, Bendahara: Dina Rianti Gultom. Sedangkan,
seksi-seksinya terdiri dari: Seksi Bunga: Evi Dina Panjaitan, Seksi Peralatan: Manto
Nainggolan, Seksi Konsumsi: Rina Tambunan, Velita Simbolon, dan Mei
Sitinjak, Seksi Humas: Wasinton Sitorus, Seksi Keamanan: Rudi Silalahi dan Jogi
Sitompul, Seksi Ulos: Mei Nova Siallagan, Melita Zebua, Hendra Panjaitan, Yuni
Purba, Juli Simangunsong, Marro Siahaan, dan Eva Simangunsong, Seksi
Undangan: Wasinton Sitorus, dan Seksi Surat Izin: Donal Simanjuntak.
Dari pelaksanaan rapat kedua diketahui bahwa jumlah kas
PERMUSIMDES tahun 2007 sebesar Rp. 7.350.000 dan pengeluaran
diperkirakan berkisar Rp. 8.800.000. Oleh karena itu, PERMUSIMDES
kekurangan dana sebesar Rp 1.450.000. Maka dari itu diputuskan untuk
menambah dana, PERMUSIMDES akan menjatuhkan 24 proposal ke berbagai
instansi. Di samping itu, PERMUSIMDES juga akan meminta bantuan dana
kepada para pedagang di pekan (pasar) serta dari para pengendara sepeda motor
maupun mobil yang melintas di lokasi gondang.
Rencananya proposal akan dijatuhkan pada hari Senin 16 Juni 2008 dan
dikumpulkan kembali pada hari Jumat 20 Juni 2008. Sedangkan, bantuan dana
dari bunga dan sumbangan dari para pedagang di pekan dilaksanakan pada hari