• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gondang Naposo (Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gondang Naposo (Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan)"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

“GONDANG NAPOSO

(Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Sosial dalam bidang Antropologi

Oleh:

Dina Rianti Gultom Nim. 040905060

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Nama : Dina Rianti Gultom Nim : 040905060

Departeman : Antropologi

Judul : GONDANG NAPOSO (Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan)

Medan, September 2008

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

(Drs. Ermansyah, M.Hum) (Drs.Zulkifli Lubis,MA) NIP. 131 996 173 NIP. 131 882 278

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(3)

KATA PENGANTAR

Bagi Dia segala pujian, hormat dan kemuliaan. Penulis bersyukur dan

berterima kasih buat kasih karunia-Nya yang selalu setia menyertai perjalanan

hidup penulis. Pertolongan dan bimbingan-Nya yang memampukan penulis

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “GONDANG NAPOSO” Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah.

Penulis menyadari dengan usaha, pengetahuan dan kemampuan yang

dimiliki penulis, skripsi ini masih kurang sempurna. Penulis mengharapkan kritik

dan saran yang ditujukan untuk kesempurnaan skripsi ini dari semua pihak.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak memperoleh bantuan,

dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak. Sepatutnya penulis mengucapkan

terima kasih atas semua itu. Pada kesempatan ini, dengan hati yang tulus penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Humaizi, MA selaku Pembantu Dekan I atas fasilitas yang

telah diberikan kepada penulis

3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA selaku Ketua Departeman Antropologi

pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

4. Ibu Drs. Sri Emiyanti selaku penasehat akademik yang memberikan

(4)

5. Bapak Drs. Ermansyah, M.Hum. selaku pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu dan memberikan pengetahuan secara teoritis dan

metodologis dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak

terima kasih atas bimbingan dan perhatian dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan

membekali penulis dengan ilmu.

7. Kantor Kepala Desa Gajah atas kerja samanya dalam pemberian datanya

kepada peneliti.

8. Anggota Persatuan Muda-Mudi Simpang Desa Gajah (PERMUSIMDES),

pembina dan para orang tua yang ada di Simpang Desa Gajah atas

informasinya yang telah diberikan kepada penulis.

9. Penghargaan, terima kasih dan rasa cinta yang sebesar-besarnya penulis

persembahkan kepada orang tua tercinta, mama E. Pakpahan dan papa M.

Gultom atas nasehat, kasih sayang dan perjuangannya dalam mewujudkan

cita-cita anak-anaknya.

10.Adik-adikku tersayang: Heni Yumiati Gultom, Mangasi Julianto Gultom,

Adriana Norita Gultom, dan Deni Erwindo Gultom, atas kasih sayang,

perhatian dan dukungan doa kepada penulis sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi ini.

11.Spesial kepada seseorang yang berkenan di hatiku Donal Regen

(5)

Anglina Br.Girsang, Cory Ester Pratini Rajagukguk dan masih banyak lagi

yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu.

12.Kepada kerabat Antropologi khususnya stambuk 2004 yang tak bisa

disebutkan satu persatu penulis mengucapkan terima kasih.

Akhir kata atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis

mendoakan semoga Tuhan selalu memberikan kasih karunia-Nya kepada kita

semua. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, September 2008

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

ABSTRAK ... viii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Permasalahan ... 7

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.4. Lokasi Penelitian ... 8

1.5. Tinjauan Pustaka ... 9

1.6. Metode Penelitian ... 14

1.7. Analisa Data ... 17

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Letak Geografis dan Sejarah Desa Gajah ... 18

2.2. Demografi Penduduk dan Sistem Mata pencaharian ... 21

2.3. Pola Permukiman Desa Gajah ... 25

2.4. Sistem Religi ... 27

(7)

BAB III. PELAKSANAAN GONDANG NAPOSO DI DESA GAJAH

3.1. Latar Belakang Lahirnya Gondang Naposo di Desa Gajah ... 34

3.2. Mekanisme Pelaksanaan Gondang Naposo di Desa Gajah ... 38

3.2.1. Persiapan Gondang Naposo ... 38

3.2.2. Acara Pembukaan Gondang Naposo ... 47

3.2.3. Pelaksanaan Gondang Naposo ... 56

3.2.4. Acara Penutupan Gondang Naposo ... 69

BAB IV. KEPENTINGAN YANG TERMAKTUB MELALUI PELAKSANAAN GONDANG NAPOSO DI DESA GAJAH 4.1. Hiburan di Saat Liburan ... 71

4.2. Sarana Pencarian Jodoh ... 75

4.3. Pengintegrasian dan Membanguan Solidaritas Orang Batak Toba ... 76

4.4. Komunikasi Orang Batak Terdadap Tuhan dan Sesama ... 82

4.5. Ekspresi Idenditas dan Kesinambungan Budaya ... 84

4.6. Sarana Bagi Kepentingan Politik ... 89

BAB V. KESIMPULAN ... 91

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISTILAH

(8)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1 Distribusi Jumlah Penduduk Desa Gajah Berdasarkan Umur

2. Tabel 2 Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

3. Tabel 3 Distribusi Jumlah Ternak di Desa Gajah

4. Tabel 4 Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Sitem Mata

Pencariannya

5. Tabel 5 Jumlah Rumah Penduduk Menurut Sifat dan Bahannya

6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1, daftar 50 undangan yang ditujukan kepada berbagai

organisasi, perkumpulan dan instansi tertentu.

2. Lampiran 2, daftar 24 proposal yang ditujukan kepada berbagai organisasi,

partai politik, instansi dan orang-orang tertentu.

3. Lampiran 3, daftar 42 keluarga yang meminjamkan ulosnya kepada

PERMUSIMDES

4. Lampiran 4, daftar undangan yang manortor/menari pada Sabtu 21 Juni

2008 beserta jumlah sumbangannya

(10)

ABSTRAK

Dina Rianti Gultom 2008, Judul “GONDANG NAPOSO” Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 94 halaman, 8 tabel, 14 gambar, 19 daftar pustaka ditambah sumber lain yang berasal dari internet dan surat kabar serta lampiran daftar istilah daftar wawancara, daftar informan, peta Desa Gajah ditambah lampiran surat penelitian.

Penelitian ini mengkaji tentang gondang naposo. Gondang naposo

merupakan budaya Batak Toba yang dibawa dari bona pagogit. Perpindahan

penduduk bukanlah suatu hal yang baru bagi orang Batak Toba. Orang Batak

Toba cenderung intens melakukan migrasi ke berbagai daerah. Di tempat yang

baru orang Batak Toba dihadapkan dengan kelompok etnik lain yang memiliki

kebudayaan yang berbeda. Orang Batak Toba yang bermigrasi ke tempat yang

baru tak lupa membawa budayanya. Demikian halnya orang Batak Toba yang

ada di Desa Gajah membawa gondang naposo dari bona pasogit.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tradisi gondang naposo

yang ada di Desa Gajah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bertipekan

eksploratif deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data dalam

penelitian ini diperoleh dengan tehnik observasi partisipasi, wawacara

mendalam, dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa gondang naposo lahir di Desa

Gajah tahun 1971 tepatnya saat PERMUSIMDES dibentuk dan ulang tahun

PERMUSIMDES dimeriahkan dengan melaksanakan gondang naposo.

Mekanisme palaksanaan gondang naposo terdiri dari persiapan, pembukaan,

palaksanaan dan penutupan gondang naposo. Kepentingan yang termaktub

melalui pelaksanaan gondang naposo adalah sebagai hiburan saat liburan,

sarana pencarian jodoh, pengintegrasian dan membagunan solidaritas orang

Batak Toba, Komunikasi orang Batak Toba terhadap Tuhan dan sesama, Ekspresi

idenditas dan kesinambungan budaya Batak Toba dan sebagai sarana bagi

kepentingan politik.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa setiap tahunnya orang Batak

Toba di Desa Gajah selalu melaksanakan gondang naposo untuk melestarikan

(11)

kembali akan tetapi nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan gondang

naposoyaitu nilai gotong- royong masih tetap dipelihara. Bagi orang Batak Toba

yang ada di Desa Gajah gondang naposo juga dijadikan sebagai upaya

penegasan idenditas kelompok. Penegasan idenditas kelompok tersebut secara

simbolik diekspresikan melalui musik gondang dan tortor yang dipagelarkan

(12)

ABSTRAK

Dina Rianti Gultom 2008, Judul “GONDANG NAPOSO” Studi Deskriptif Tentang Reproduksi Kebudayaan Orang Batak Toba di Desa Gajah, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 94 halaman, 8 tabel, 14 gambar, 19 daftar pustaka ditambah sumber lain yang berasal dari internet dan surat kabar serta lampiran daftar istilah daftar wawancara, daftar informan, peta Desa Gajah ditambah lampiran surat penelitian.

Penelitian ini mengkaji tentang gondang naposo. Gondang naposo

merupakan budaya Batak Toba yang dibawa dari bona pagogit. Perpindahan

penduduk bukanlah suatu hal yang baru bagi orang Batak Toba. Orang Batak

Toba cenderung intens melakukan migrasi ke berbagai daerah. Di tempat yang

baru orang Batak Toba dihadapkan dengan kelompok etnik lain yang memiliki

kebudayaan yang berbeda. Orang Batak Toba yang bermigrasi ke tempat yang

baru tak lupa membawa budayanya. Demikian halnya orang Batak Toba yang

ada di Desa Gajah membawa gondang naposo dari bona pasogit.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tradisi gondang naposo

yang ada di Desa Gajah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bertipekan

eksploratif deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data dalam

penelitian ini diperoleh dengan tehnik observasi partisipasi, wawacara

mendalam, dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa gondang naposo lahir di Desa

Gajah tahun 1971 tepatnya saat PERMUSIMDES dibentuk dan ulang tahun

PERMUSIMDES dimeriahkan dengan melaksanakan gondang naposo.

Mekanisme palaksanaan gondang naposo terdiri dari persiapan, pembukaan,

palaksanaan dan penutupan gondang naposo. Kepentingan yang termaktub

melalui pelaksanaan gondang naposo adalah sebagai hiburan saat liburan,

sarana pencarian jodoh, pengintegrasian dan membagunan solidaritas orang

Batak Toba, Komunikasi orang Batak Toba terhadap Tuhan dan sesama, Ekspresi

idenditas dan kesinambungan budaya Batak Toba dan sebagai sarana bagi

kepentingan politik.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa setiap tahunnya orang Batak

Toba di Desa Gajah selalu melaksanakan gondang naposo untuk melestarikan

(13)

kembali akan tetapi nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan gondang

naposoyaitu nilai gotong- royong masih tetap dipelihara. Bagi orang Batak Toba

yang ada di Desa Gajah gondang naposo juga dijadikan sebagai upaya

penegasan idenditas kelompok. Penegasan idenditas kelompok tersebut secara

simbolik diekspresikan melalui musik gondang dan tortor yang dipagelarkan

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena perpindahan penduduk sudah terjadi sejah dahulu kala dan

bukanlah suatu hal yang baru bagi masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dari

hasil penelitian Naim (1984:9) bahwa ada beberapa kelompok masyarakat yang

mempunyai mobilitas perpindahan yang cukup tinggi seperti orang Minangkabau,

Banjar, Bugis, dan termasuk juga orang Batak.

Bagian orang Batak yang cenderung intens melakukan migrasi adalah

Batak Toba. Perpindahan penduduk Batak Toba dari dataran tinggi Toba Tapanuli

Utara dalam era pra modern mulai sejak tahun 1900-an, terutama sejak terjadi

‘ledakan’ penduduk dan sulitnya memperoleh lahan persawahan. Pada awalnya

daerah persebaran adalah ke daerah sekitarnya. Kemudian merembes ke daerah

lain yang lebih jauh dari Tapanuli. Umumnya para migran didominasi oleh kaum

tani dengan sasaran utama untuk memperluas areal pertaniannya. Mereka

memasuki daerah Simalungun, Dairi, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tegah, Labuhan

Batu, Deli Serdang, Aceh, bahkan sampai ke daerah Asahan (Purba, 1998:267).

Dewasa ini, migrasi yang dilakukan oleh orang Batak Toba tidak hanya ke

daerah pedesaan saja untuk memperluas areal persawahannya melainkan juga ke

daerah perkotaan. Di samping itu, para migran Batak Toba juga tidak lagi

didominasi oleh kaum tani melainkan kelompok masyarakat dengan latar

(15)

untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak migran Batak Toba harus memiliki

bekal karena besarnya persaingan di kota baik dari kelompok etnik lokal maupun

migran lainnya.

Orang Batak Toba yang melakukan migrasi ke suatu daerah tentunya

membawa serta budayannya. Di daerah yang baru tersebut, mau tidak mau orang

Batak Toba akan berhadapan dengan masyarakat lain dengan kebudayaannya

yang berbeda. Sebagaimana yang diungkapkan koentjaraningrat (1990:248)

bahwa migrasi dapat menyebabkan pertemuan-pertemuan-pertemuan antar

kelompok manusia dan kebudayaan yang berbeda, yang mengakibatkan

individu-individu dalam kelompok itu dihadapkan dengan unsur kebudayaan yang lain.

Salah satu kensekwensi arus migrasi Batak Toba adalah menjadikannya

sebagai bagian dari keberagaman penduduk di daerah yang baru, selain

keberagaman penduduk lokal dan migran lainnya. Daerah baru sebagai salah satu

sasaran migrasi Batak Toba tersebut sebenarnya mencirikan masyarakatnya

sebagai masyarakat yang heterogen. Suatu masyarakat heterogen memiliki

keberagaman budaya yang berbeda dan tetap menjadi pedoman masing-masing

warganya di tempat yang baru.

Kenyataan tersebut juga diungkapkan oleh Pelly dalam Siallagan

(1991:12) bahwa orang Batak Toba dimanapun berada akan tetap menggunakan

norma-norma dan idiologi tradisionalnya untuk mengembangkan gaya hidup (sud

budaya) sendiri, guna membedakan mereka dengan kelompok lain dalam situasi

permukiman yang kontemporer. Orang Batak Toba yang melakukan migrasi juga

(16)

organisasinya yang disebut dengan asosiasi klen1

Pembentukan asosiasi sesungguhnya didasarkan atas keinginan orang

Batak Toba untuk membentuk kekuatan dalam melanjutkan budaya dan tradisi . Asosiasi klen adalah suatu

wadah tempat melakukan aktivitas yang berhubungan dengan adat dan kegiatan

sosial dalam arti usaha tolong-monolong di antara sesama anggota klen di bawah

pengaturan asosiasi (Situmorang, 1983:82).

Selain terhimpun dalam asosiasi klen, orang Batak Toba juga membentuk

asosiasi lainnya yang terhimpun dalam asosiasi sosial religi. Dalam asosiasi klen

dan asosiasi sosial religi mereka dapat saling tolong-menolong dalam kaitannya

dengan pelaksanaan upacara selingkaran hidup setiap individu seperti upacara

kelahiran, upacara naik sidi atau upacara pada saat akil balik, upacara pernikahan,

upacara kematian,dll.

Demikian halnya orang Batak Toba yang bermigrasi ke Desa Gajah.

Mereka membentuk asosiasi klen dan asosiasi sosial religius. Hal tersebut dapat

dilihat dari keberadaan Puguan Raja Sonang, Gultom, Patambor (Manurun),

Siagian,Toga Simatupang, Parna, Si Pitu Ama (Situmorang), Borbor Marsada

(Malalu, Pasaribu, Lubis) dan lain-lain. Di samping itu, ada juga Serikat

Tolong-menolong atau STM yakni STM Jalan Gereja, STM Jalan Kisaran, STM Jalan

Siantar dan juga terdapat organisasi kepemudaan dari ketiga Serikat

Tolong-menolong tersebut yaitu Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah yang disebut

dengan PERMUSIMDES.

1

Klen/clan adalah kelompok kekerabatan yang berdasarkan asas keturunan unilineal. Suatu kelompok kekerabatan yang terdapat dalam masyarakat dengan menarik garis keturunan secara universal atau unilineal, yaitu melalui garis sepihak dari pihak ibu (matrilineal) atau garis ayah (patrilineal). Lihat Soyono, Ariyono & Aminuddin Siregar. 1985. Kamus Antropologi.

(17)

Batak Toba. Pembentukan asosiasi dalam rangka melanjutkan budaya dapat

dilihat dari kegiatan yang dilakukan setiap asosiasi untuk menghidupkan atau

melestarikan budaya Batak Toba yaitu gotong-royong yang tercermin dalam

pelaksanaan upacara pernikahan, upacara mangoppoi jabu (upacara memasuki

rumah baru), upacara kematian, dll. Dalam upacara tersebut mereka memberi

sumbangan atau bantuan dalam bentuk uang, beras, dan tenaga. Sedangkan,

pembentukan asosiasi dalam rangka melanjutkan tradisi dapat dilihat dari

pelaksanaan tradisi gondang2

Gondang sabagunan

Batak Toba.

Orang Batak Toba mengenal 2 jenis emsambel gondang, yaitu ensambel

gondang sabagunan dan ensambel gondang hasapi (Endo,1991:6). Kedua

ensambel gondang ini digunakan sebagai pengiring tarian seremonial, yaitu

tortor. Namun, bagi orang Batak Toba gondang sabagunanlah yang umumnya

digunakan karena merupakan bagian integral dari adat dan merupakan simbol

musikal adat (Purba, 2004:65). Ensambel gondang sabagunan merupakan

ensambel yang memiliki suara yang besar sehingga selalu digunakan di luar

ruangan dan hal ini sesuai dengan upacara yang selalu dilaksanakan orang Batak

Toba yang selalu dilakukan di luar ruangan. Sedangkan, ensambel gondang

hasapi merupakan ensambel yang suaranya kecil sehingga digunakan di dalam

ruangan.

3

2

Kata gondang mempunyai banyak pengertian, bisa berarti instrument, ensambel musik, judul komposisi tunggal, judul komposisi kolektif, upacara, dan doa. Lihat Mauly Purba, 2000:25.

3

Gondang Sabangunan adalah seperangkat alat musik yang memiliki suara yang besar sehingga dimainkan di luar ruangan.

memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan

(18)

kepercayaan agama tradisional dan upacara adat Batak Toba ialah sebagai salah

satu elemen yang tidak dapat dipisahkan. Sama halnya dengan tortor dan

gondang, keduanya berjalan seiring dalam suatu upacara adat Batak Toba. Dalam

agama tradisional Batak Toba, gondang sabangunan di tempatkan sebagai media

komunikasi antar manusia dan Tuhan Pencipta(http://kairo.nainggolan.net/?p=38).

Kenyataan tersebut, terkait erat dengan adat hasipelebeguan4

Orang Batak Toba di Desa Gajah juga menggunakan tradisi gondang

sabagunan khususnya untuk kaum muda-mudi dalam pelaksanaan pesta yang

dikenal dengan gondang naposo

.

Gondang sabagunan digunakan diberbagai kesempatan atau upacara

misalnya upacara religius, adat maupun hiburan. Penggunaan gondang sabagunan

pada upacara religius seperti mamele (memuja roh nenek moyang), pesta bius

(upacara kurban oleh komunitas desa) dan lain-lain. Pada upacara adat seperti

acara pernikahan sekalipus mangadati (menyampaikan adat), manggoppoi jabu

(memasuki rumah baru), mangokkal holi (memindahkan tengkorak orang mati),

upacara kematian saur matua. Sedangkan, pada acara hiburan gondang

sabagunan digunakan pada pesta gondang tunggal atau pesta muda-mudi

(Nainggolan,1979:56).

5

4

Hasipelebeguan adalah kepercayaan pada dewa dalam mitologi Batak Toba, pada roh nenek moyang yang mendiami tempat-tempat sakral (Vergouwen, 1980:79).

5

Gondang Naposo adalah suatu kegiatan muda-mudi di Desa Gajah yang berlangsung selama 3 hari 2 malam yang diisi dengan acara menari/manortor yang diirngi oleh musik gondang. Acara Gondang Naposo juga dimeriahkan dengan kehadiran para undangan dari desa-desa lainnya. . Gondang sabagunan yang digunakan pada

pesta gondang naposo tidak lagi murni menggunakan alat-alat musik dalam

ensambel gondang sabagunan. Hal ini dikarenakan, masuknya ajaran agama

(19)

musik tiup atau musik Brass Barat, dll. Saat ini orang Batak Toba di Desa Gajah

menggunakan musik tiup6

6

Musik tiup adalah ensambel yang berkembang khususnya sekitar tahun 1980-an sebagai satu ensambel yang berfungsi mengiringi upacara adapt pada masyarakat Kristen Batak Toba untuk menggantikan peranan ensambel musik gondang. Belakangan ada perkemabnagan dimana musik tiup yang didominasi oleh alat-alat musik Brass Barat yang digabung dengan alat musik tradisi yang berasal dari ensambel gondang dan alat-alat musik tradisi Batak Toba lainnya seperti sulim. Lihat Rithaony Hutajulu. 2006. Gondang Sabangunan Batak Toba. Hal. 7.

, keyboard, dan drum yang digabung dengan alat musik

tradisi atau alat musik yang juga digunakan dalam gondang sabagunan. Misalnya

taganing (seperangkat gendang yang terdiri dari 5 buah gendang) sedangkan sulim

(seruling) adalah alat musik tiup.

Godang naposo sebagai tradisi kaum muda-mudi di Desa Gajah

merupakan kegiatan kaum muda-mudi yang terhimpun dalam asosiasi

PERMUSIMDES (Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah). Aktivitas kaum

muda-mudi di Desa Gajah yang tertuang di dalam pesta gondang naposo

merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut dapat menunjukkan

arti penting pelaksanaan gondang naposo bagi orang Batak Toba yang ada di

Desa Gajah. Pelaksanaan gondang naposo dapat sebagai sarana hiburan di saat

liburan, pencarian jodoh, sarana membangunan solidaritas, pengintegrasian orang

Batak Toba di Desa Gajah, sarana komunikasi orang Batak Toba terhadap Tuhan

dan sesama, sebagai kesinambungan budaya, sebagai sarana bagi kepentingan

politik dan sebagai bentuk ekspresi idenditas orang Batak Toba terhadap

(20)

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya maka

masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana keberadaan gondang

naposo sebagai suatu pesta muda-mudi Batak Toba di Desa Gajah ? Permasalahan

ini diuraikan ke dalam 3 pertanyaan penelitian:

1. Bagaimana sejarah lahirnya gondang naposo di Desa Gajah ?

2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah ?

3. Kepentingan apa saja yang termaktub melalui pesta gondang naposo?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tradisi gondang naposo yang ada

di Desa Gajah. Untuk hal tersebut maka dideskripsikan sejarah lahirnya gondang

naposo di Desa Gajah, mekanisme pelaksanaan gondang naposo (tahap persiapan,

pembukaan, pelaksanaan, dan penutup), dan berikutnya mendeskripsikan

kepentingan apa saja yang termaktub melaui pelaksanaan gondang naposo

tersebut.

Secara akademis penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan yang

mengulas tradisi Batak Toba dalam rangka pelestarian tradisi gondang khususnya

gondang naposo yang dapat dipahami sebagai simbol penguatan idenditas orang

Batak Toba di luar daerah asal. Secara praktis penelitian ini dapat memberikan

masukan-masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka membuat

kebijakan yang terkait dengan pelestarian tradisi gondang Batak Toba khususnya

(21)

D. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Gajah tepatnya di Kecamatan Sei Balai

Kabupaten Asahan. Alasan pemilihan lokasi adalah karena Desa Gajah

merupakan salah satu daerah perantauan orang Batak Toba di Asahan. Di Desa

Gajah orang Batak Toba melaksanakan gondang naposo sebagai wujud ekspresi

idenditas di tengah kelompok etnik lainnya. Lokasi penelitian merupakan daerah

yang didominasi oleh mayoritas orang Batak Toba atau kampung Batak dan

ditambah lagi Desa Gajah merupakan tempat kelahiran peneliti.

E. Tinjauan Pustaka

Berbagai kajian terhadap masalah-masalah tradisi gondang Batak Toba

telah dilakukan. Seperti kajian Simarmata (1992) tentang sikap masyarakat Batak

Toba di Lumban Pea terhadap penggunaan seperangkat alat musik tiup pada

upacara adat. Simarmata menjelaskan bahwa penetrasi agama kristen protestan ke

Desa Lumpan Pea telah menimbulkan perubahan yang berhubungan dengan

sistem religi tradisional yang umumnya tidak terlepas dengan tradisi gondang

sabagunan. Namun, setelah masuknya agama kristen protestan gondang

sabagunan di rubah dengan seperangkat alat musik tiup dalam acara gereja

maupun dalam acara adat. Di samping itu, penggunaan alat musik tiup dapat

menaikkan penghasilan di luar sektor pertanian bagi pemain musik dan dapat

menaikkan prestise bagi warga masyarakat yang menjalankan adat.

Kajian Simanjuntak (1993) tentang makna simbolik tortor Batak Toba,

(22)

krisis dalam kehidupan seorang individu atau sekelompok orang yang dianggap

penuh dengan keajaiban dan dapat menimbulkan malapetaka bagi bagi mereka.

Pelaksanaan tortor tidak terlepas dari tradisi gondang sabagunan. Pelaksanaan

tortor diiringi gondang sabagunan ini berhubungan dengan tata cara dan adat

istiadat Batak Toba yang tidak terlepas dari unsur Dalihan Na Tolu. Di samping

itu, tortor dilaksanakan karena berfungsi sebagai alat dalam upacara religi yang

sakral, sebagai refleksi dan validasi organisasi sosial dan sistem kekerabatan,

sebagai alat simbolisasi dan komunikasi, sebagai alat hiburan dan estetika.

Kajian Kusuma (1995) tentang penggunaan alat musik tiup dalam upacara

kematian saur matua suku bangsa Batak Toba. Kusuma menjelaskan bahwa

setelah masuknya Zending Jerman di tanah Batak melahirkan perubahan pada

kegiatan “margondang”. Pihak gereja melarang penggunaan gondang sabagunan

yang selalu dikaitkan dengan kepercayaan asli orang Batak Toba yaitu sipelebegu

(pemuja setan atau roh nenek moyang), seperti upacara magokkal holi (upacara

pemindahan tengkorak), sibaran (upacara melepas kemalangan) dll.

Dari ketiga kajian telah diuraikan sebelumnya menjelaskan mengenai

pelaksanaan tradisi gondang Batak Toba secara umum. Sedangkan, masalah yang

akan di kaji dalan penelitian ini secara khusus membicarakan pelaksanaan budaya

gondang Batak Toba yaitu gondang naposo. Gondang naposo yang dilaksanakan

di Desa Gajah menunjukkan suatu upaya penghidupan kembali tradisi Batak Toba

di luar daerah asalnya. Dapat di pahami bahwa orang Batak Toba yang melakukan

migrasi kesuatu daerah tak lupa membawa budayanya yang dijadikan sebagai

(23)

Sebagaimana yang diungkapkan Ermansyah (2005:25) bahwa keberadaan

seseorang atau sekelompok orang di tempat yang baru dengan latar belakang

sosial budaya yang berbeda mewujudkan 3 (tiga) proses sosial yang saling

berkaitan, yaitu:

Pertama, pengelompokan kembali di dalam latar belakang sosial budaya yang baru. Proses ini merupakan proses

penting dalam hubungannya dengan proses adaptasi atau

adanya kecenderungan dari seseorang atau sekelompok orang

untuk tetap berhubungan dan menetap bersama warga

kelompok asalnya di tempat yang baru. Kedua, proses rekonstruksi sejarah kehidupan seseorang atau sekelompok

orang karena ada fase kehidupan yang baru terbentuk. Hal ini

memiliki arti yang sangat berbeda bagi seseorang atau

sekelompok orang, karena latar sosial budaya yang berbeda

dengan latar sosial budaya dimana mereka menjadi bagian

sebelumnya. Ketiga, proses rekonfigurasi “proyek-proyek” etnik mereka. Seseorang atau sekelompok orang yang

berbeda di tempat baru akan menyusun kembali dan

menegaskan idenditas kelompok atau kebudayaannya.

Perubahan konteks atau latar sosial budaya menimbulkan kesadaran

seseorang atau sekelompok orang untuk menegaskan kembali asal-usul dan

(24)

kebudayaan dapat dipahami dari 3 (tiga) aspek (Irwan Abdullah dalam

Ermansyah, 225:26), yaitu:

Pertama, aspek kognitif, yang melihat kebudayaan sebagai sistem gagasan yang merupakan pedoman hidup manusia.

Untuk itu, gagasan dan berbagai aspek kehidupan seseorang

atau sekelompok orang akan dikaji untuk melihat sistem

kosmologis dalam rangka menjelasakan bentuk-bentuk

reproduksi kebudayaan. Kedua, aspek evaluatif, yang merupakan standar nilai yang masih direproduksi dan

digunakan untuk menilai kehidupan di tempat yang baru. Hal

ini mengarah kepada analisis norma-norma dan nilai yang

masih berperan dalam kehidupan seseorang atau sekelompok

orang, meskipun di dalam latar belakang sosial budaya yang

berbeda. Ketiga, aspek simbolik, yang merupakan bentuk-bentuk ekspresi kebudayaan yang dapat dilihat dari berbagai

upacara dan kegiatan yang berlangsung. Keberadaan berbagai

upacara tanda penting dari pelestarian kebudayaan.

Demikian halnya orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah juga

mereproduksi kebudayaannya melalui pesta gondang naposo. Pesta gondang

naposo merupakan kebudayaan Batak Toba yang di bawa dari daerah asal (bona

pasogit). Gondang naposo tersebut direproduksi kembali di Desa Gajah. Proses

(25)

daerah asal dilahirkan kembali di daerah yang baru atau di Desa Gajah dengan

bentuk dan kepentingan yang berbeda.

Perbedaan bentuk antara gondang naposo yang dilaksanakan di daerah

asal dengan yang dilaksanakan di Desa Gajah dapat dipahami melalui perbedaan

penamaan. Di daerah asal gondang naposo disebut sebagai gondang tunggal

(pesta muda-mudi) dan Poltak Bulan Purnama sebaliknya di Desa Gajah disebut

dengan pesta gondang naposo. Gondang naposo yang dilaksanakan di daerah asal

berlangsung selama tujuh malam berturut-turut (Nainggolan, 1979:77).

Sedangkan, gondang naposo yang dilaksanakan di Desa Gajah berlangsung

selama dua hari dua malam. Alat musik yang digunakan di daerah asal masih

murni seperangkat alat musik gondang sabagunan sedangkan alat musik yang

digunakan pada pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah menggunakan alat

musik tradisi yang dikombinasikan dengan alat musik modern seperti sulim,

taganing, drum, keyboard, dll.

Pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah memiliki nilai-nilai seperti

yang terkandung dalam pelaksanaan gondang naposo di daerah asal. Hal ini dapat

dipahami bahwa gondang naposo yang dilaksanakan di daerah asal maupun yang

ada di Desa Gajah sama-sama sebagai sarana menjalin kebersamaan atau

solidaritas, sebagai sarana komunikasi orang Batak Toba dengan Tuhan dan

sesama. Hal ini tercermin dari gerak tari atau tortor yang dipagelarkan yakni

gondang mula-mula yang merupakan tanda penghormatan kepada Tuhan, dan

(26)

terima kasih kepada Tuhan atas keselamatan yang telah diberikan kepada mereka

(Lusiati dalam Malau, 2007:3).

Melalui pelaksanaan gondang naposo sesama orang Batak Toba yang

berada di Desa Gajah dan yang ada di sekitar Desa Gajah dapat terintegrasi.

Sesama orang Batak Toba bertemu pada pelaksanaan gondang naposo, mereka

saling melepas rindu dan menari bersama sehingga nilai-nilai dalam kehidupan

orang Batak Toba yang berupa kegembiraan, kesedihan, perjuangan hidup, dan

pengharapan diwujudkan melalui tortor yang diiringi oleh musik gondang

(Sinaga, 1994:9).

Salah satu nilai Batak Toba yang terlihat melalui pelaksanaan gondang

naposo adalah nilai gotong-royong. Nilai ini tercermin melalui pemberian

sumbangan berupa uang yang disebut dengan “silua” atau “santisanti” dari para

undangan kepada penyelenggara pesta gondang naposo (suhut) secara timbal

balik. Menurut Koenjaraningrat (1972:165) bahwa dalam masyarakat kecil prinsip

timbal balik merupakan penggerak masyarakat dalam melakukan tindakan

tolong-menolong. Demikian halnya sumbangan yang diberikan oleh undangan dalam

pelaksanaan gondang naposo di Desa Gajah juga merupakan tindakan

tolong-menolong yang juga mengharapkan balasan saat para undangan melaksanakan

gondang naposo.

Bagi orang Batak Toba yang ada di daerah asal, pelaksanaan gondang

naposo hanya sebagai acara adat dalam rangka perwujudan kebudayaan saja.

Namun, bagi orang Batak Toba yang ada Di Desa Gajah pelaksanaan gondang

(27)

dihadapan kelompok etnik lain yang ada di Desa Gajah seperti Melayu, Jawa,

Tapanuli Selatan, Nias dan Karo. Kenyataan tersebut dikuatkan oleh pendapat

Koentjaranigrat (1974:104) bahwa kesenian (dalam hal ini gondang) merupakan

satu-satunya unsur kebudayaan dari tujuh unsur kebudayaan universal yang dapat

menonjolkan sifat khas atau idenditas. Jadi dapat dipahami bahwa gondang

naposo yang dilaksanakan orang Batak Toba yang ada di Desa gajah bukanlah

sekedar kegiatan muda-mudi semata, melainkan sebagai simbol penegasan

idenditas orang Batak Toba di perantauan.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini bertipekan eksploratif deskriptif dengan menggunakan

pendekatan kualitatif yang bertujuan menggambarkan secara terperinci tradisi

gondang naposo sebagai suatu kegiatan kaum muda-mudi di Desa Gajah yang

terhimpun dalam asosiasi PERMUSIMDES (Persatuan Muda-mudi Simpang Desa

Gajah). Penelitian ini juga mendeskripsikan sejarah lahirnya gondang naposo di

Desa Gajah, mekanisme pelaksanaan gondang naposo (tahap persiapan,

pembukaan, pelaksanaan, dan tahap penutup), dan berikutnya menjelaskan

kepentingan yang termaktub melalui pesta gondang naposo tersebut.

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui 2 kelompok yaitu melalui data

primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh di

lapangan. Sedangkan, data sekunder merupakan data yang diperoleh dari

lapangan, dari berbagai buku, jurnal dan lain-lain. Buku, jurnal dan yang lainnya

(28)

kebudayaan Batak Toba secara khususnya data mengenai tradisi gondang naposo,

data tertulis mengenai data kependudukan desa, teori-teori yang mendukung

masalah penelitian, dll.

Data primer diperoleh melalui observasi partisipasi dan wawancara

mendalam. Adapun hal yang diobservasi adalah proses pelaksanaan gondang

naposo (tahap persiapan,pelaksanaan, tahap penutup), siapa-siapa saja pihak yang

terlibat dalam sejarah pembentukan gondang naposo yang masih hidup dan

pembentuknya sekarang, alat-alat apa saja yang digunakan dalam gondang

naposo, tarian yang dipagelarkan dan lain-lain. Observasi partisipasi yang

dilakukan dilengkapi dengan kamera photo untuk mengabadikan hal-hal yang

tidak terobservasi peneliti di lapangan dan sebagai penegasan data yang diperoleh

di lapangan.

Selain observasi partisipasi, wawancara mendalam juga dilakukan dengan

bantuan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan terhadap informan kunci dan

informan biasa. Informan kunci merupakan orang-orang yang mempunyai

keahlian mengenai suatu masalah yang ada di dalam masyarakat atau orang yang

memahami masalah penelitian. Dalam hal ini informan kunci yaitu pemuka desa,

kepala desa, tokoh masyarakat, pengerak atau panitia gondang naposo, pargorsi

dan lainnya. Sedangkan, informan biasa merupakan orang-orang yang

memberikan informasi mengenai suatu masalah sesuai dengan pengetahuannya

dan bukan ahlinya. Dalam penelitian aini yang menjadi informan biasa adalah

(29)

kepanitiaan pelaksanaan gondang naposo, seperti muda-mudi maupun orang tua

serta kelompok etnik lain yang ada disekitar lokasi penelitian.

Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan kunci yaitu

mengenai sejarah kedatangan orang Batak Toba di Desa Gajah, sejarah lahirnya

gondang naposo, mekanisme pelaksanaan gondang naposo, siapa-siapa saja

orang-orang yang ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan gondang naposo, alat-alat

ayang digunakan dalam pelaksanaan gondang naposo khususnya alat musik yang

digunakan dan kepentingan apa yang mereka dapat dari peleksanaan gondang

naposo tersebut.

Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan biasa yaitu

mengenai bagaimana pandangan mereka mengenai pelaksanaan gondang naposo

dan bagaimana mekanisme pelaksanaan gondang naposo serta kepentingan apa

saja yang mereka peroleh dari pelaksanaan gondang naposo tersebut. Wawancara

mendalam yang dilakukan menggunakan Tape Recorder sebagai alat bantu karena

daya igat peneliti yang terbatas.

Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara bertujuan atau

purposif dalam arti bahwa orang-orang yang akan dipilih menjadi informan sudah

diketahui oleh peneliti. Penentuan informan didasarkan atas kriteria umur, jenis

kelamin, lama tinggal, dan lainnya. Dalam penelitian ini jumlah informan

(30)

G. Analisa Data

Data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif. Proses analisa data

penelitian dimulai dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh dari hasil

pengamatan dan wawancara yang dilakukan di lapangan. Data dikategorikan

menurut kategori tertentu yang terkait diinterpretasikan sesuai dengan data dan

kemampuan peneliti. Analisa data dilakukan mulai pada saat meneliti atau selama

(31)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA GAJAH

A. Letak Geografis, Administratif dan Sejarah Desa Gajah

Desa Gajah merupakan sebuah desa yang terletak tidak jauh dari ibu kota

Kecamatan Sei Balai yaitu kira-kira 15 km. Jarak Desa Gajah ke ibu kota

kabupaten Asahan kira-kira 35 km. Sedangkan jarak Desa Gajah ke ibu kota

propinsi sekitar 95 km. Oleh Kerena itu, Desa Gajah merupakan desa yang maju

dan desa yang mudah dijangkau dengan prasarana transportasi darat.

Menurut data yang diperoleh dari kantor kepada desa luas wilayah Desa

Gajah sekitar 1.187 Ha. Sebagian besar wilayah Desa Gajah dimanfaakan sebagai

ladang seluas kira-kira 240 Ha, persawahan kira-kira 360 Ha, perkebunan 85 Ha,

pekuburan sekitar 20 Ha, dan tanah kosong sekitar 23 Ha selebihnya digunakan

sebagai areal permukiman penduduk yakni seluas 459 Ha.

Desa Gajah merupakan dataran rendah yang terletak pada ketinggian

kira-kira 0,5 m dari permukaan laut. Suhu rata-rata pada siang hari sekitar 28 C-30 C.

Hal ini sangat mempengaruhi pertanian di desa ini. Musim kemarau yang terjadi

sangat panjang dari April sampai September. Pada bulan-bulan tersebur hujan

turun hanya beberapa kali saja. Luas wilayah Desa Gajah adalah 1.187 Ha yang

terdiri dari sepuluh dusun yakni ditandai dengan sebutan Dusun I hingga Dusun

X. Masing-masing dusun dikepalai oleh kepala dusun yang berfungsi

(32)

Pembagian atau susunan dusun yang ada di Desa Gajah tidak tersusun

secara berurutan mulai dari Dusun I sampai dengan Dusun X. Secara administratif

Desa Gajah berbatasan dengan desa lain yakni:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kwalakasim

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Durian

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sei Mentaram

- Sebelah Timur berbatasan dengan Perwakilan Sei Balai

Jika hendak pergi ke Desa Gajah, kita bisa menempuhnya dari kota Medan

sekitar 3 sampai 4 jam, dari ibu kota kabupataen kira-kira 45 menit. Terminal

angkutan menuju Desa Gajah berada di Kisaran dan untuk mencapai Desa Gajah

kita bisa naik angkuttan pedesaan seperti ojek \ RBT dan anggkutan umum seperti

mobil Merpati, Srimersing dan lain sebagainya.

Menurut sejarahnya, Desa Gajah dulunya masih hutan belantara yang

dihuni berbagai macam binatang termasuk Gajah. Daerah ini berbatasan dengan

kebun Hapam. Menurut keterangan informan Kebun Hapam dulunya merupakan

milik “Amerika Serikat”7

Sekitar tahun 1952 masuklah masyarakat membuka lahan untuk

persawaha. Orang pertama yang membuka lahan di Desa Gajah adalah Parsaoran

Samosir yang bermigrasi dari Pulau Samosir. Tidak hanya kebun Hapam ternyata . Namun, terjadi pengalihan kepemilikan kepada

M.Hutapea dan setelah itu Kebun Hapam dirubah namanya menjadi Kebun Banua

Area. Pemilik kebun Hapam selalu resah akibat ulah Gajah yang sering merusak

kebun mereka.

7

(33)

Gajah juga merusak tanaman para masyarakat yang berada di lahan yang baru

dibuka tersebut. Untuk mengatasi Gajah, masyarakat membangun sebuah podok

untuk menjaga dan mangawasi kalau-kalau Gajah datang merusak tanaman

mereka. Nama pondok itu mereka sebut Pondok Gajah yang akhirnya nama itu

menjadi nama kampong yaitu Kampung Pondok Gajah.

Kampung Pondok Gajah berubah menjadi Desa Gajah setelah terjadi

pemekaran dari Kampung Durian sekitar tahun 1960. masyarakat akhirnya yang

dulunya hutan berubah menjadi lahan persawahan. Gajah akhirnya pindah ke

bagian dalam hutan dan ada juga yang dimasukkan ke penengkaran dan sejak saat

itu gajah tidak pernah lagi muncul.

Desa Gajah termasuk kecamatan Tanjung Tiram hingga tahun 1999.

Terjadi pemekaran, Desa Gajah menjadi kecamatan Sei Balai hingga sekarang.

Desa Gajah cukup strategis dengan kegiatan penduduknya sebagai petani sawah,

hingga saat ini 80 % masyarakat hidup dari hasil pertanian dan perkebunan. 20 %

(34)

B. Demografi Penduduk dan Sistem Mata Pencaharian

Penduduk Desa Gajah terdiri dari 921 kepala keluarga dengan jumlah

penduduk sekitar 3.800 jiwa. Berikut adalah tabel jumlah penduduk Desa Gajah

berdasarkan umur

Tabel 1

Distribusi Jumlah Penduduk Desa Gajah Berdasarkan Umur

No Umur Jumlah jiwa

Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007

Tingkat pendidikan penduduk Desa Gajah pada umumnya sudah dapat

dikatakan baik. Hanya 0,5 % saja penduduk yang masih buta huruf. Dan 99,5 %

dari jumlah penduduk sudah mengeyam pendidikan walaupun hanya sampai

tingkat SD, SLTP maupun SMA saja. Untuk lebih jelasnya distribusi penduduk

(35)

Tabel 2

Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Pendidikan Jumlah Jiwa

1.

Tamat akademi \ sederajat Tamat Perguruan Tinggi

Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007

Masyarakat Desa Gajah hampir seluruhnya sudah mengecap pendidikan

seperti yang terlihat dalam tabel, sehingga masyarakat tidak lagi buta huruf dan

bodoh. Paling tidak masyarakat sudah dapat membaca dan menulis. Para orang tua

di desa ini menganut nilai bahwa anak mereka adalah kekayaan dan merupakan

milik mereka yang paling berharga dari apapun. Sehingga para orang tua

mengusahakan apapun juga agar anak mereka dapat bersekolah

setinggi-tingginya. Hal ini berkaitan dengan tiga nilai yang dianut oleh masyarakat Batak

Toba bahkan menjadi pegangan hidup yaitu, “Hamoraon, Hagabeon, dan

Hasangapon”.

Secara umum kehidupan masyarakat Desa Gajah bersifat agraris (

pertanian ) karena 80 % masyarakat hidup dari pertanian dan perkebunan. Hanya

20 % diantaranya sebagai pedagang, wiraswasta dan pegawai negeri. Adapun

tanaman yang secara umum ditaman adalah padi untuk sawah. Sedangkan

(36)

pertanian merupakan sumber penhidupan utama bagi penduduk Desa Gajah.

Hampir semua penduduk dan anggota keluarga mereka yang sudah remaja dan

dewasa ikut terlibat dalam pertanian tersebut.

Bagi penduduk yang berdagang, pegawai negeri, dan wiraswasta juga

terlibat dalam pertanian di samping pekerjaan mereka tersebut. Mereka mengolah

sawah dan kebun yang di usahakan untuk menambah penghasilan mereka. Hal ini

disebabkan oleh kondisi alam yang memang mendukung dan juga tersedianya

pengairan sehingga panen raya dapat dilakukan dua kali dalam satu tahunnya. Di

samping itu juga didukung penggunaan pupuk yang sesuai dengan takaran,

pemupukan yang dilakukan secara teratur dan berkala, pengolahan tanah agar

gembur dan subur, penyiangan dan lain sebagainya.

Dibidang pertanian, hal yang paling dominan dihasilkan adalah padi, dan

kelapa sawit. Padi dari Desa Gajah selain untuk dipasarkan juga sebagai

persediaan bahan pangan sebelum tiba masa panen raya berikutnya. Produksi padi

dari desa ini bisa mencapai sekitr 800 ton / tahun dan kelapa sawit bisa mencapai

9000 ton / tahun.

Untuk menambah penghasilan penduduk desa ini juga beternak. Semua

jenis ternak masyarakat memiliki kandangnya masing-masing, jadi tidak

ditemukan lagi hewan peliharaan yang berkeliaran disekitar desa selain hewan

peliharaan seperti anjing dan kucing.

Masyarakat Desa Gajah memanfaatkan kotoran hewan peliharaanya

seperti kotoran ayam, itik, kerbau, sapi dan kambing. Hal ini terjadi keran kotoran

(37)

organic. Masyarakat memanfaatkan kotoran hewan peliharaan mereka juga

dikarenakan harga pupuk yang sangat tinggi, jadi untuk menghemat biaya

pertanian kotoran hewan peliharaan tersebut ternyata membuat tanah menjadi

subur. Namun, penggunaan pupuk organic tersebut tidak diberikan secara

sembarangan tetapi harus sesuai dengan kebutuhan. Untuk mengetahui distribusi

dari ternak yang maka, berikut adalah tabel jumlah ternak yang ada di Desa

Gajah.

Tabel 3

Distribusi Jumlah Ternak di Desa Gajah

No Jenis Ternak Jumlah Ternak

1.

Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007

Distribusi ternak menunjukkan bahwa beternak juga merupakan kegiatan

yang dapat menambah jumlah pendapatan penduduk desa ini. Jika babi di jual

harganya dapat mencapai sekitar Rp.500.000 / ekor bahkan ada yang mencapai

Rp.1200.000 – Rp.2.000.000 / ekornya, apabial ukuran babinya besar dan gemuk.

(38)

Tabel 4

Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Sistem Mata Pencaharian

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Jiwa

1.

Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007

Pertanian Desa Gajah memerlukan tenaga buruh tani karena untuk

menanam padi dengan lahan yang luas itu memerlukan dan memakan waktu yang

ekstra. Jadi, untuk mempermudah pekerjaan maka para petani mencarai jasa buruh

tani dengan upah kira-kira Rp.30.000 – Rp.40.000 / hari. Hal ini juga dikarenakan

sudah jarangnya ditemukan masyarakat yang melakukan kegiatan gotong-royong

atau “marsiadapari”.

C. Pola Pemukiman

Jumlah penduduk Desa Gajah mencapai 3.800 jiwa dan 889 kepala

keluarga, yang diklasifikasi sebagai berikut: dusun I terdiri dari 348 jiwa , dusun

II terdiri dari 427 jiwa, dusun III terdiri dari 391 jiwa, dusun IV terdiri dari 380

jiwa, dusun V terdiri dari 179 jiwa, dusun VI terdiri dari 262 jiwa, dusun VII

terdiri dari 220 jiwa, dusun VIII terdiri dari 655 jiwa, dusun IX terdiri dari 405

(39)

berdasarkan jenis kelamin yakni, laki-laki sebesar 1.884 jiwa dan perempuan

sebesar 1.916 jiwa.

Masyarakat Desa Gajah mengenal berbagai sistem kesatuan hidup

setempat. Beberapa istilah kesatuan hidup setempat seperti jabu atau rumah dan

sopo adalah tempat berteduh yang berada di ladang, jika sedang hujan atau hari

sangat terik. Namun, sekarang ini sopo sudah sangat jarang ditemukan.

Jabu atau rumah adalah kesatuan keluarga inti (house hold). Berarti Desa

Gajah terdiri dari 921 Jabu. Bentuk yang lebih besar lagi adalah huta atau

kampung dimana setiap satu huta dipimpin oleh satu kepala desa. Satuan dari

beberapa huta membentuk satu kecamatan, demikian seterusnya.

Kondisi rumah ditinjau dari segi bangunan maupun segi kesehatan sudah

cukup baik dan pada umumnya bentuk rumah sudah mengikuti bentuk rumah

dikota serta tak ditemukan lagi rumah tradisional atau rumah adat yang berbentuk

panggung. Berikut ini adalah tabel rumah penduduk menurut sifat dan bahannya.

Tabel 5

Jumlah Rumah Penduduk Menurut Sifat dan Bahannya

No Jenis Rumah Menurut Sifat dan Bahanya Jumlah \ Buah

1. 2. 3. 4.

Dingding terbuat dari batu \ gedung permanent Dingding terbuat dari sebagian batu \ semi permanent

Dingding terbuat dari kayu\ papan Dingding terbuat dari bambu \ lainnya

221 385 268 25

(40)

Pola pemukiman pada umumnya ada yang mengelompok dan ada juga

yang tidak. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain kira-kira 2-5 m. Ada

juga rumah yang dibangun dengan rapat artinya dua rumah yang memiliki satu

dingding pembatas.

Masyarakat Desa Gajah terdiri dari beberapa suku bangsa seperti Batak

Toba, Tapanuli Selatan, Karo, Jawa dan Nias. Setiap suku bangsa memiliki bahasa

sendiri. Namun, dalam pergaulan hidup sehari-hari masyarakat menggunakan

bahasa Indonesia meskipun ada beberapa masyarakat yang menggunakan bahasa

daerahnya apabila bertemu dengan orang yang sesuku dengannya. Berikut adalah

tabel jumlah penduduk berdasarkan kelompok etnik.

Tabel 6

Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik

No Kelompok Etnik Jumlah jiwa

1

Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007

D. Sistem Religi

Masyarakat Desa Gajah pada umumnya beragama Kristen Protestan,

Katolik dan sebagian lainnya menganut agama Islam. Di Desa Gajah terdapat

bangunan gereja sebanyak 18 buah yaitu gereja HKBP (Huria Kristen Batak

Protestan ), GPDI ( Gereja Pentakosta Di Indonesia ), GPI (Gereja Pantekosta

(41)

buah dan surau atau musolla hanya 1 saja. Berikut tabel distribusi penduduk Desa

Gajah menurut agama yang dianutnya.

Tabel 7

Distribusi Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah Jiwa

Sumber: Kantor Kepala Desa Gajah 2007

Masyarakat desa ini hidup beragama dengan toleransi yang cukup tinggi,

mereka tidak mengindahkan perbedaan agama. Masyarakat lebih condong pada

hubungan saling membantu dan akrab. Toleransi beragama cukup tinggi terlihat

bahwa ternak babi tidak ada yang berkeliaran di sekitar desa tetapi semua babi di

kandang. Disamping itu, pada hari-hari besar seperti hari Raya Idul Fitri umat

Islam memberi kue kepada tetangganya yang beragama Kristen dan sebaliknya.

Terdapat pula organisasi pemuda-pemudi dari berbagai agama yang ada di desa

ini. Pada acara-acara pesta tertentu seperti pesta pernikahan, ulang tahun, sunatan

dan lain sebagainya masyarakat saling mengundang tanpa membedakan agama.

Di Desa Gajah juga terdapat organisasi pemuda-pemudi dari berbagai

agama yang ada di Desa Gajah. Misalnya Organisasi Pemuda Pancasila (PP),

Ikatan Pemuda Karya (IPK), dan Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah

(PERMUSIMDES). Setiap tahunnya PERMUSIMDES selalu merayakan ulang

tahun dengan mengadakan gondang naposo. Pada saat gondang naposo

(42)

pada pelaksanaan gondang naposo semua anggota PERMUSIMDES tampa

membedakan agama ikut terlibat dalam acara gondang naposo tersebut. Dulunya

anggota PERMUSIMDES hanya etnik Batak Toba yang beragama Kristen.

Namun, seiring dengan pertambahan penduduk yang semakin pesat

mengakibatkan jumlah anggota PERMUSIMDES semakin banyak dan berasal

dari agama dan kelompok etnik yang beragam.

E. Sistem Organisasi dan Kekerabatan

Kesatuan kekerabatan yang terkenal pada masyarakat Batak Toba adalah

jabu (keluarga inti) yang juga merupakan kesatuan ekonomi terkecil. Keluarga inti

terbentuk melalui perkawinan, dimana pada masa awalnya pengantin baru akan

tinggal di rumah orang tuanya. Setelah keluarga inti mampu berusaha sendiri baru

akan tinggal dengan istrinya atau dengan suaminya artinya berpisah dengan orang

tuanya. Sistem organisasi dan kekerabatan yang di kaji adalah suku bangsa Batak

Toba dikarenakan mayoritas penduduk Desa Gajah adalah suku bangsa Batak

Toba.

Masyarakat Batak Toba adalah salah satu dari sekian banyak suku bangsa

di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Asas patrilineal

menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan disusun menurut garis ayah dan

semua kerabat laki-laki. Orang Batak Toba seperti orang batak pada umumnya

mengenal suatu konsep kemasyarakatan yang bernama Dalihan Na Tolu ( tungku

(43)

segi tiga. Di atasnya di letakkan alat memasak makanan. Tungku ini

melambangkan dasar hubungan sosial orang Batak (Simanjuntak, 1988:51).

Sistem kekerabatan orang Batak Toba yang demikian berhubungan dengan

dengan sistem pewarisan pada orang Batak. Dalam hal ini hanya laki-lakilah yang

berhak mendapat warisan orang tua mereka. Warisan yang diberikan biasanya

dalam bentuk benda tidak bergerak, misalnya : hauma (sawah), tano (tanah ), jabu

( rumah ), ulos (kain khas orang batak ), mas ( emas ). Namun, bila benda-benda

ini tidak selalu ada pada orang tua sehingga harta warisan bisa juga berupa : horbo

( kerbau ), singir (piutang), dan lain-lain8

8

Ibid

.

Sistem perkawinan yang dianut mengenal incest taboo. Incest taboo pada

orang Batak Toba adalah tidak terjadinya hubungan perkawinan antara sesama

saudara sedarah maupun antara satu marga. Misalnya : keluarga Gultom A tidak

boleh mengawini keluarga Gultom B , karena mereka mengganggap hubungan

tersebut adalah kekerabatan dari satu nenek moyang yang sama.

Perkawinan yang ideal adalah perkawinan antara orang-orang yang

marpariban dimana laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya.

Perkawinan pada orang Batak Toba pada umumnya, merupakan pranata, yang

tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga

mengikat dalam sautau hubungan yang tertentu. Kaum kerabat dari laki-laki atau

“paranak” dengan kaum kerabat dari si wanita atau “parboru” ( Payung Bangun,

(44)

Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam keluarga batih orang Batak

Toba disebut “ripe”. Keluarga “saompu” satu kelompok kekerabatan dimana

semua kaum kerabat patrilineal yang masih diingat atau dikenal kerabatnya adalah

bentuk keluarga luas pada orang Batak Toba. Istilah teknis untuk itu disebut klen

kecil (Simanjuntak, 1994:17).

Suatu kelompok kekerabatan yang lebih besar adalah “marga”. Istilah

marga mengenal beberapa arti seperti yang dikemukakan oleh Simanjuntak

(1994:18). Marga bisa berarti klen patrilineal (misalnya marga Siagian, Manik,

dsb) tetapi juga sub klen (Siburian, Silo, Nababan, Lumbantoruan, dsb). Marga

bisa juga berarti gabungan klen /fatri misalnya : Lotung, Sumba, dan Borbor )

sekaligus menegaskan wilayah territorial dari masing-masing fatri.

Dalam hubungan perkawinan ada tiga kelompok kekerabatan yang

penting pada hubungan kekerabatan seperti yang telah dijelaskan di atas, saat ini

masih dipertahankan dan masih dapat jelas terlihat pada upacara-upacara tertentu

seperti upacara perkawinan, upacara kematian, memasuki rumah baru dan lain

sebagainya.

Selain kesatuan kekerabatan seperti hal tersebut diatas, ada juga berbagai

organisasi (GAMKI, PORMA SATU, IPP (Ikatan Pemuda Pancasila), Karang

Taruna, SPSI, OKP), serikat marga (Raja Sonang, Gultom, Patambor/ Manurung,

Siagian, Toga Simatupang, Parna, Si Pitu Ama/ Situmorang, Borbor Marsada

(Malau, Pasaribu, Lubis), Lembaga pemerintahan: LKMD (Lembaga Ketahanan

Masyarakat Desa),LMD( Lembaga Masyarakat Desa ), PKK, serta STM (Serikat

(45)

Masyarakat Desa Gajah juga memiliki sistem organisasi sosial yang di

bagi dalam tiga kategori yaitu serikat jalan Gereja, serikat jalan Siantar, dan

serikat jalan Kisaran. Pembagian ketiga serikat tersebut dilakukan sesuai dengan

arah jalan yaitu Kisaran dan Siantar. Sedangkan, untuk serikat jalan Gereja

ditentukan berdasarkan banyaknya bengunan gereja di daerah tersebut. Adapun

pengurus harian serikat jalan Gereja adalah; ketua : Kaus Sinaga, wakil ketua:

Danso Sitinjak, sekretaris: Tanda Marpaung, bendahara : Bisara Panjaitan.

Syarat-syarat menjadi anggota serikat adalah setiap membayar uang

seharga 1 kaling padi dan 3 lembar papan. Uang padi tersebut digunakan sebagai

modal untuk membeli ulos bila ada anak gadis dari serikat itu yang menikah.

Sedangkan, uang papan digunakan untuk membeli papan untuk digunakan sebagai

peti mati apabila ada anggota serikat yang meninggal. Setelah tujuh hari tujuh

malam diterima sebagai anggota serikat barulah sah sebagai anggota serikat.

Apabila ada anggota serikat yang mengadakan pesta maka setiap anggota

serikat diwajibkan menghadiri pesta tersebut dengan membawa 2 tumba atau 4

kilo gram beras khusus untuk pesta besar. Sedangkan untuk pesta kecil diwajibkan

membawa 11/2 kilo gram beras dan hal ini juga berlaku untuk serikat marga.

Perbedaannya dalam serikat tolong menolong tidak diadakan arisan dan kebaktian

atau partagiangan sedangkan dalam serikat marga hal tersebut dilaksanakan sekali

dalam sebulan. Biasanya keluarga yang mengadakan arisan atau keluarga yang di

rumahnya dilaksanakan arisan marga berarti keluarga tersebutlah yang akan

(46)

Tujuan dibentuknya serikat tolong-menolong adalah untuk menjalin

persaudaraan sesama anggota serikat dan untuk membangun solidaritas sesama

anggota serikat. Sedangkan, tujuan dibentuknya serikat marga adalah untuk

menjalin persaudaraan antar marga, melestarikan budaya batak yang dibawa dari

Bona Pasogit, dan sebagai idenditas orang Batak Toba di tempat yang baru atau di

Desa Gajah. Kenyataan tersebut terkait dengan keberagaman penduduk di Desa

Gajah yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda. Keberagaman

tersebut jelas mempunyai tuntutan kebudayaan dari masing-masing kelompok

etnik. Oleh karena itu, timbul rasa di desak oleh kelompok etnik lain. Semuanya

itu bermuara pada adanya kehendak atau usaha untuk memperkuat diri

masing-masing dengan menyusun suatu kekuatan disekitarnya yang terdiri dari

orang-orang yang berasal dari kelompok marga yang sama yang disebut dengan asosiasi

marga (Bagun dalam Siallagan, 1991:12). Sebagai kelompok etnik yang terkecil,

orang Batak Toba yang ada di Desa Gajah membentuk perkumpulan marga

(47)

BAB III

PELAKSANAAN PESTA GONDANG NAPOSO DI DESA GAJAH

A. Latar Belakang lahirnya Gondang Naposo di Desa Gajah

Pada tahun 1952 seorang yang bernama Pasaoran Gultom yang berasal

dari Samosir datang manonbang ke Desa Gajah. Manombang adalah suatu usaha

untuk mencari kehidupan yang lebih baik di daerah yang baru dengan cara

membuka hutan untuk lahan pertanian. Desa Gajah dulunya disebut sebagai

pondok Gajah. Disebut pondok Gajah karena pada masa itu banyak terdapat gajah.

Namun, pada tahun 1960 Desa Pondok Gajah berubah menjadi Desa Gajah

setelah terjadi pemekaran dari Kampung Durian.

Pertambahan penduduk yang besar mengakibatkan kebutuhan akan lahan

pertanian semakin besar. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dulunya hutan

dirubah menjadi lahan persawahan. Pertambahan penduduk yang besar terjadi

karena faktor kelahiran maupun karena besarnya arus migrasi orang Batak Toba

dari Daratan Tinggi Toba (Tapanuli Utara) yang datang ke Desa Gajah.

Perpindahan penduduk dari Dataran Tinggi Toba dalam era pra modern dimulai

sejak tahun 1900-an, terutama sejak terjadi ledakan penduduk dan sulitnya

memperoleh lahan persawahan. Sedangkan, pertambahan penduduk di Desa Gajah

karena faktor kelahiran diperkirakan terjadi setelah jumlah migrasi yang datang ke

Desa Gajah semakin banyak.

Pada umumnya, orang Batak Toba yang bermigrasi ke Desa Gajah tinggal

(48)

satu kelompok etnik dengannya. Hal ini merupakan salah satu cara mereka untuk

beradaptasi dengan keadaan atau situasi yang baru. Lambat-laun jumlah mereka

bertambah sehingga mereka mulai membentuk perkumpulan atau asosiasi marga

(Raja Sonang, Goltom, Parna, Borbor Marsada, Si Pitu ama/Situmorang, Toga

Simatupang dll), dan Serikat Tolong Menolong (STM) sepertihalnya Serikat

Jalan Siantar, Serikat Jalan Kisaran dan Serikat Jalan Gereja.

Dalam serikat marga maupun Serikat Tolong Menolong (STM) ini

biasanya yang berperan aktif adalah para orang tua sedangkan anak-anak tidak

ikut berperan. Kenyataan tersebut menunjukkan rasa persaudaraan di antara

sesama muda-mudi Simpang Desa Gajah sagatlah minim. Sebagai bukti pada saat

pesta, muda-mudi tidak ada yang mau membantu para orang tua seperti mencuci

piring, membungkus teh, membuat teh manis/kopi, memasang tenda dan lain-lain.

Di samping itu, sesama muda-mudi Simpang Desa Gajah juga kurang mengenal

satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, para orang tua dan tokoh masyarakat di

Simpang Desa Gajah yang tersebar atau terbagi dalam tiga serikat (Jalan Siantar,

Jalan Kisaran, dan Jalan Gereja) bersepakat membentuk wadah organisasi

kepemudaan yaitu Persatuan Muda-mudi Simpang Desa Gajah yang disingkat

dengan PERMUSIMDES.

PERMUSIMDES dibentuk pada tahun 1971 sekitar bulan Juni – Juli.

Pendirinya adalah seluruh naposo/muda-mudi Desa Gajah. Sedangkan,

pembinanya adalah Jakob Tampubolon, Ferdinan Napitupulu, Sari Simangunsong,

(49)

Pada saat PERMUSIMDES dibentuk setiap muda-mudi yang mendaftar

sebagai anggota diwajibkan membayar uang pendaftaran sebesar Rp. 5000/orang.

Di samping itu, muda-mudi yang mendaftar sebagai anggota PERMUSIMDES

harus sudah berusia 15 tahun ke atas dan belum menikah, dan bersedia membantu

apabila ada pesta di Simpang Desa Gajah. Namun, perlu diperhatikan bahwa

setiap anggota PERMUSIMDES turut serta membantu sebuah pesta, apabila anak

dari keluarga yang melaksanakan pesta tersebut telah terdaftar sebagai anggota

PERMUSIMDES. Jadi apabila sebuah keluarga mengadakan pesta akan tetapi

anak dari keluarga yang menyelenggarakan pesta tersebut tidak terdaftar sebagai

anggota PERMUSIMDES maka anggota PERMUSIMDES tidak akan turun

tangan membantu pesta tersebut. Namun, apabila ada anggota PERMUSIMDES

yang membantu pesta tersebut itu hanya karena ikatan kekerabatan atau karena

tetangganya saja.

Setiap anggota PERMUSIMDES yang melaksanakan pesta pernikahan

maka uang pendaftarannya sebagai anggota PERMUSIMDES dikembalikan

dalam bentuk kado sebagai hadiah pernikahan. Pada saat pesta berlangsung

anggota PERMUSIMDES akan membantu penyelenggaraan pesta tersebut seperti

membagikan teh, membuat teh manis/kopi, dan mencuci piring. Pada saat sesi

memberikan ulos/ mengulosi pengantin maka akan diberikan waktu kepada

anggota PERMUSIMDES untuk menari/manortor sambil memyerahkan kado

kepada kedua mempelai. Namun, sebelumnya ketua PERMUSIMDES akan

(50)

Apabila ada anggota keluarga dari PERMUSIMDES yang mengalami

kemalangan seperti sakit atau meninggal maka PERMUSIMDES juga akan

memberikan bantuan sebesar uang pendaftaran. Namun, sekarang uang

pendaftaran menjadi anggota PERMUSIMDES sebesar Rp. 35.000. Uang

pendaftaran tersebut diserahkan kepada bendahara harian PERMUSIMDES.

Kinerja dari organisasi PERMUSIMDES tersebut membawa dampak yang

baik bagi sesama muda-mudi maupun bagi para orang tua. Oleh karena itu, maka

para tokoh masyarakat, orang tua, dan anggota PERMUSIMDES khususnya para

pengurus harian mengadakan rapat. Dari rapat tersebut, disepakati untuk

merayakan ulang tahun PERMUSIMDES.

Perayaan ulang tahun PERMUSIMDES dimeriahkan dengan

melaksanakan gondang batak khusus untuk muda-mudi yang disebut dengan

gondang naposo. Melalui kegiatan tersebut diharapkan rasa persaudaraan dan

kekeluargaan dikalangan muda-mudi Simpang Desa Gajah dan sekitarnya

semakin erat. Hal ini terkait bahwasanya orang Batak Toba di Desa Gajah dan di

Desa sekitarnya dulunya merupakan kelompok etnik minoritas. Melalui kegiatan

gondang naposo tersebut juga diharapkan muda-mudi Simpang Desa Gajah tetap

mencintai budayanya dengan tetap melestarikan gondang batak yang bibawa dari

bona pasogit khususnya gondang naposo.

Para orang tua yang ada di Desa Gajah juga mengharapkan bahwa dengan

dilaksanakannya kegiatan gondang naposo tersebut muda-mudi Simpang Desa

Gajah tidak hanya menyaksikan hiburan-hiburan yang kurang bermanfaat.

(51)

Melalui kegiatan gondang naposo ini secara khusus para orang tua Simpang Desa

Gajah juga mengharapkan agar muda-mudi Simpang Desa Gajah terhindar dari

perjudian, penyalahgunaan narkotika, obat-obatan terlarang, praktek seks bebas

serta tindakan kriminal lainnya.

B. Mekanisme Pelaksanaan Gondang Naposo di Simpang Desa Gajah 1. Persiapan Gondang Naposo

Rapat Sesama Anggota PERMUSIMDES dan Rapat Anggota

PERMUSIMDES dengan Orang Tua

Rapat muda-mudi Simpang Desa Gajah dalam rangka persiapan gondang

naposo diadakan sebanyak empat kali. Rapat pertama adalah rapat sesama

anggota PERMUSIMDES. Rapat tersebut dilaksanakan pada hari Kamis, 5 Juni

2008 di rumah Rina Tambunan. Agenda rapat tersebut adalah kepastian

pelaksanaan gondang naposo, tanggal berapa gondang naposo dilaksanakan, dan

pemilihan lokasi gondang naposo. Dari rapat tersebut disepakati bahwa gondang

naposo akan dilaksanakan. Gondang naposo akan dilaksanakan di tanah Bapak

Roy Tambunan dan gondang naposo tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu dan

Minggu tepatnya tanggal 21 dan 22 Juni 2008. Gondang naposo tersebut

rencananya akan dimulai pukul 15:00 Wib.

Rapat ke dua juga dilaksanakan di rumah Rina Tambunan. Rapat tersebut

jatuh pada hari Minggu, 8 Juni 2008. Agenda rapat tersebut adalah pembentukan

panitia perayaan ulang tahun PERMUSIMDES periode 2008/2009 dan

(52)

kurang, membahas dana yang kurang di peroleh dari mana dan dengan cara apa).

Dari rapat yang telah berlangsung disepakati bahwa susunan kepanitiaan terdiri

dari Ketua: Saur S.Simangunsong, ST , Wakil Ketua: Donal Simanjuntak,

Sekretaris: Nani Dy.Panjaitan, Bendahara: Dina Rianti Gultom. Sedangkan,

seksi-seksinya terdiri dari: Seksi Bunga: Evi Dina Panjaitan, Seksi Peralatan: Manto

Nainggolan, Seksi Konsumsi: Rina Tambunan, Velita Simbolon, dan Mei

Sitinjak, Seksi Humas: Wasinton Sitorus, Seksi Keamanan: Rudi Silalahi dan Jogi

Sitompul, Seksi Ulos: Mei Nova Siallagan, Melita Zebua, Hendra Panjaitan, Yuni

Purba, Juli Simangunsong, Marro Siahaan, dan Eva Simangunsong, Seksi

Undangan: Wasinton Sitorus, dan Seksi Surat Izin: Donal Simanjuntak.

Dari pelaksanaan rapat kedua diketahui bahwa jumlah kas

PERMUSIMDES tahun 2007 sebesar Rp. 7.350.000 dan pengeluaran

diperkirakan berkisar Rp. 8.800.000. Oleh karena itu, PERMUSIMDES

kekurangan dana sebesar Rp 1.450.000. Maka dari itu diputuskan untuk

menambah dana, PERMUSIMDES akan menjatuhkan 24 proposal ke berbagai

instansi. Di samping itu, PERMUSIMDES juga akan meminta bantuan dana

kepada para pedagang di pekan (pasar) serta dari para pengendara sepeda motor

maupun mobil yang melintas di lokasi gondang.

Rencananya proposal akan dijatuhkan pada hari Senin 16 Juni 2008 dan

dikumpulkan kembali pada hari Jumat 20 Juni 2008. Sedangkan, bantuan dana

dari bunga dan sumbangan dari para pedagang di pekan dilaksanakan pada hari

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
+4

Referensi

Dokumen terkait