• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Sistem Pembiayaan Murabahah

Di dalam Al-Qur’an, pembahasan secara langsug mengenai murabahah tidak ada, walaupun terdapat beberapa ayat yang menunujukkan kajian yang terkait dengannya seperti pembahasan mengenai jual-beli ataupun permasalahan keuntungan dan kerugian dalam suatu perdagangan. Demikian pula halnya dengan hadis-hadis Rasulullah Saw, tidak ada satupun hadist yang membahas atau memiliki rujukan langsung mengenai permasalahan murabahah ini.

Landasan hukum pembiayaan murabahah terangkum dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 juga mengenai ketentuan transaksi murabahah. Fatwa tersebut membahas tentang ketentuan umum murabahah dalam bank syariah, ketentuan murabahah kepada nasabah, jaminan, utang dalam murabahah, penundaan pembayaran, dan kondisi bangkrut pada nasabah murabahah.

Adapun yang menjadi landasan hukum syariah dari pembiayaan murabahah ini adalah Al-Qur’an ayat 29 dari surat An-Nisa yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan hak sesamamu dengan jalan bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang bagimu”.

2.3.2 Rukun dan Syarat Murabahah

Murabahah merupakan pembiayaan yang memposisikan nasabah sebagai pembeli dan bank sebagai penjual, dan opersaional murabahah ini murni menggunakan rukun dan syarat jual beli dimana terdapat beberapa hal yang harus ada dalam transaksi jual beli tersebut. Harus ada penjual, pembeli objek yang diperjual-belikan, ada ijab dan qabul serta akad yang menyertai perjanjian jual beli ini.

Sebagai contoh, jika nasabah membutuhkan pembiayaan untuk membeli bahan bangunan guna merenovasi rumahnya, nasabah akan mengajukan daftar pembelian barang yang berisikan kebutuhan-kebutuhan material bangunan yang akan dimanfaatkan oleh nasabah. Secara konsep, Bank Syariah akan membelikan barang-barang yang dimintakan oleh nasabah tersebut, yang kemudian akan di jual kembali kepada nasabah dengan menambahkan keuntungan/margin bank. Sehingga dalam transaksinya akanada harga beli (harga pokok pembelian barang), ada margin (keuntungan yang diambil oleh bank), serta ada harga jual (harga pokok ditambah dengan margin keuntungan).

(1) (1)

(2) (2)

(4)

(3) (3a)

Gambar 2.1 Skema Akad Murabahah

Keterangan :

1. Bank dan nasabah melakukan negoisasi untuk melakukan transaksi pembiayaan berdasarkan prinsip jual beli, meliputi jenis barang yang akan diperjual-belikan harganya (termasuk jumlah keuntungan yang diminta bank) dan jangka waktu pembayaran dan hal-hal lain yang diperlukan. 2. Bank melakukan pesanan (membeli secara tunai/naqdan) barang kepada

supplier sesuai dengan spesifikasi barang yang dikehendaki oleh nasabah, dengan melakukan akad jual beli (surat pernyataan/call memo). Nasabah tidak diperkenankan membeli secara langsung tanpa seizin bank.

Negoisasi

Akad Murabahah

Barang

3. Bank dapat mewakili secara tertulis kepada nasabah untuk membeli barang untuk dan atas nama bank, dalam bentuk akad wakalah/surat kuasa yang terpisah dari akad murabahah, atau bank dapat langsung membeli kepada supplier.

4. Supplier menjual secara tunai.

Dalam transaksi murabahah ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar transaksi yang dilakukan berjalan sesuai dengan syariah. Ketentuan-ketentuan tersebut dikeluarkan berdasarkan fatwa dari Dewan Syari’ah Nasional (DSN), Biro Perbankan Syari’ah Bank Indonesia, 2002: 5-10 yang tertuang dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 59

I. Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari;ah (Fatwa DSN: 04/DSN/IV/2000)

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjual belikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam. 3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang

telah disepakati kualifikasi.

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian itu harus sah dan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara berhutang.

6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesanan) dengan harga jual senilai harga beli ditambah dengan keuntungannya. Dalam hal ini bank harus memberitahukan secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu yang telah disepakati.

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atas kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus kepada nasabah.

9. Jika bank hendak mewakili kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

II. Ketentuan Murabahah kepada Nasabah.

1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian barang atau asset kepada bank.

2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus terlebih dahulu membeli asset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.

3. Bank kemudian menawarkan asset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membelinya) sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat, kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual-beli.

4. Dalam jual beli ini bank doperbolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menangani keseoakatan awal pemesanan. 5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil

barang harus dibayar dari uang muka tersebut.

6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meninta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah. 7. Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang

muka, maka :

a. Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, maka ia tinggal membayar sisa harga;

b. Jika nasabha batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bnak akibat pembatalan tersebut, dan jka uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

III. Ketentuan Jaminan Murabahah

1. Jaminan dalam murabahah diperbolehkan, agar nasabah serius dalam pesanannya.

2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

IV. Ketentuan Hutang

1. Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan oleh nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban menyelesaikan hutangnya kepada bank.

2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib melunasi seluruhnya.

3. Jika penjualan barang tersebut menyebabakan nasabah tetap harus menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal, ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugia itu diperhitungkan.

V. Ketentuan Penundaan Pembayaran dalam Murabahah

1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak diperkenankan menunda penyelesaian hutangnya.

2. Juka nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibanya, maka penyelesaian dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai esepakatan melalui musyawarah.

VI. Ketentuan Bangkrut dalam Murabahah

Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan telah gagal meyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

VII. Ketentuan Uang Muka dalam Murabahah (Fatwa DSN: 13/DSN-MUI/IX/2000)

1. Dalam akad murabahah, emabga Keuangan Syari’ah (LKS) dibolehkan meminta uang muka apabila keduabelah pihak bersepakat. 2. Besar uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan.

3. Jika nasabah membatalkan akad murbahah, nasabah harus memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut.

4. Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat miminta tambahan kepada nasabah.

5. Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikannya kelebihannya kepada nasabah.

VIII. Ketentuan Diskon Murabahah (Fatwa DSN: 16/DSN-MUI/IX/2000)

1. Harga (tsaman)dalam jual beli adalah saru jumlah yang desepakati oleh kedua belah pihak, baik sama dengan nilai (qimah) benda yang menjadi objek jual-beli, lebih tingggi maupun lebih rendah.

2. Harga dalam jual-beli murabahah adalah harga beli dan biaya yang doperlukan ditambah keuntungan sesuai kesepakatan.

3. Jiak dalam jual beli murabahah LKS mendapat diskon dari pemasok, harga sebenarnya adalah harga setelah diskon. Karena itu, diskon adalah hak nasabah.

4. Jika pemberian diskon setelah akad, pembagian tersebut dilakukan setelah perjanjian dan ditandatangani.

5. Dalam akad, pembagian diskon setelah akad hendaklah diperjanjikan dan ditandatangani.

IX. Ketentuan Sanksi (Fatwa DSN: 17/DSN-MUI/IX/2000)

1. Sanksi yang dikenakan LKS kepada nasbah yang mampu membayar tetapi menunda-nunda pembayran dengan sengaja.

2. Nasabah yang tidak mampu membayar akibat force majeur tidak boleh dikenakan sanksi.

3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pemabayaran dan atau tidak mempunyai keamauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi.

4. Sanksi didasarkan prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.

5. Sanksi dapat nerupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.

6. Denda yang bersal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial X. Ketentuan Potongan Pelunasan (Fatwa DSN: 23/DSN-MUI/IX/2000)

1. Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati, LKS boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad.

2. Besarnya potongan sebagaimana dimaksud di atas diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan LKS Proses Pembiayaan Murabahah. Proses pembiayaan merupakan aspek bagi perbankan syariah, dimana proses pembiayaan yang sehat akan berimplikasi pada investasi halal dan baik serta menghasilkan return sebagaimana yang diharapkan, atau bahkan lebih. Proses pembiayan perbankan yang sehat tidak hanya berimplikasi pada kondisi bank yang sebat tetapi juga berimplikasi pada kineja sektor riil yang dibiayai.

2.3.3 Mekanisme Pembiayaan Murabahah

Adapun proses pembiayaan murabahah dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Permohonan Pembiayaan

Inisiatif pengajuan pembiayaan biasanya datang dari nasabah yang kekurangan dana, tetapi juga dapat muncul dari officer bank yang berjiwa bisnis yang mampu menangkap peluang usaha tertentu. Hal-hal yang dapat dijadikan acuan untuk menindaklanjuti sebuah usaha atau proyek yaitu :

1) Trend usaha;bank harus memiliki wawasan yang luas tenang usaha-usaha yang menjadi isu nasional, baik yang prospek, yang gagal ataupun usaha-usaha yang memenuhi unsur penipuan.

2) Peluang bisnis; diperlukan intuisi yang tinggi di samping wawasan bisnis yang kuat.

3) Reputasi bisnis perusahaan; pengalaman dan reputasi yang baik dapat menjadi langkah awal dalam mengambil keputusan.

4) Reputasi manajemen; hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi bank untuk memberikan pembiayaan atau tidak.

b. Pengumpulan Data dam Investigasi

Data yang diperlukan oleh bank menggambarkan kemampuan nasabah untuk membayar pembiayaan dari penghasilan/pendapatan tetapnya. Data-data tersebut antara lain: kartu identitas nasabah, kartu keluarga, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), salinan rekening bank, salinan tagihan rekening telepon dan listrik, data objek pembiayaan, data jaminan.

c. Analisa Pembiayaan

Metode analisa yang sering digunakan yaitu 5C (character, capacity, capital, collateral dan condition) atau juga 4P ( personality, purpose, prospect dan payment), bank juga harus memperoleh informasi tentang usaha nasabah yang akan dibiayai melalui inspeksi ke lokasi usaha, melakukan penilaian terhadap keuangan perusahaan, sehingga menjadi bahan masukan bagi bank apakah nasabah mampu membayar kewajibannya.

d. Persetujuan

Diterima atau tidaknya permohonan pembiayaan nasabah tergantung kepada kebijakan bank, dimana kebijakan tersebut dipengaruhi oleh data-data nasabah yang telah diinspeksi oleh bank.

e. Pengumpulan Data Tambahan

Apabila diterima, maka bank akan mengumpulkan data-data tambahan sebagai tindak lanjut pencairan dana.

f. Pengikatan

Ada dua macam pengikatan, yaitu :

1) Pengikatan di bawah tangan; penandatanganan akad antara bank dengan nasabah,

2) Pengikatan notarial; proses penandatanganan yang disaksikan oleh notaris.

g. Pencairan

Pemberian dana kepada nasabah sesuai dengan akad yang telah disepakati.

h. Monitoring

Monitoring dapat dilakukan dengan memantau realisasi pencapaian target usaha dengan rencana yang dibuat sebelumnya. Bila target tidak tercapai, bank harus mengambil tindakan penyelesaian masalah. Langkah-langkah monitoring antara lain yaitu memantau pengeluaran nasabah,

memantau pelunasan angsuran, melakukan kunjungan rutin ke lokasi usaha, memantau perkembangan usaha sejenis.

2.3.4 Pengakuan dan Pengukuran Pendapatan murabahah

Murabahah merupakan salah satu produk perbankan syariah yang merupakan akad jual beli dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli. Pendapatan ang diperoleh bank syariah dari pembiayaan murabahah ini mencapai antara 60-70% dari total pendapatan yang diperoleh bank dari semua produk-produk pembiayaan, dalam pembiayaan ini, harga yang disepakati adalah harga jual sedangkan harga perolehan harus diberitahukan. Apabila bank selaku penjual mendapatkan potongan dari pemasok, maka potongan tersebut merupakan hak nasabah, dan bila potongan tersebut terjadi setelah akad maka pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat di dalam akad. Potongan tersebut diakui sebagai pengurangan biaya perolehan aktiva murabahah. Transaksi murabahah dapat dibagi menjadi dua berdasarkan akadnya yaitu murabahah berdasarkan pesanan dan murabahah tanpa pesanan.

a) Murabahah berdasarkan pesanan

Murabahah berdasarkan pesanan bersifat lebih mengikat karena bank melakukan pembelian barang setelah ada pesanan yang dilakukan oleh nasabah, sehingga nasabah tidak dapat membatalkan barang yang telah dipesan tersebut. Nasabah diwajibkan membayar kerugian-kerugian

yang telah dikeluarkan oleh bank apabila barang yang telah dipesan tersebut dibatalkan dan jika terjadi penurunan nilai terhadap barang tersebut sebelum diserahkan kepada nasabah, maka hal tersebut menjadi beban bank dan bank akan mengurangi nilai akad.

b) Murabahah tanpa pesanan

Murabahah tanpa pesanan tidak bersifat mengikat, bank menjual barang tanpa pesanan dari nasabah terlebih dahulu.

Menurut IAI (2002: 59.10), pengukuran aktiva murabah setelah perolehan sebagai berikut :

i. aktiva tersedia untuk dijual dalam murabahah pesanan mengikat: A. dinilai sebesar biaya perolehan,

B. jika terjadi penurunan nilai aktiva karena usang, rusak atau kondisi lainnya, penurunan nilai tersebut diakui sebgai beban dan mengurangi nilai kativa.

ii. apabila dlam murabahah tanpa pesanan tidak mengikat terdapat indikasi kuat pembeli batal melakukan transakasi, maka murabahah :

A. dinilai berdarkan biaya perolehan atau nilai bersih yang dapat direalisasikan, mana yang leih rendah,

B. jika nilai bersih yang dapat direalisasikan lebih rendah dari biaya perolehan, maka selisihnya diakui sebagai kerugian.

Kelancaran opersaional dalam memberikan pembiayaan murabahah ini dijaga dengan cara bank dapat meminta nasabah menyediakan agunan/jaminan

atas piutang tersebut, antara lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari bank. Cara lain, bank juga dapat meminta kepada nasabah urbun ataupun uang muka pembelian pada saat akad apabila kedua pihak bersepakat. Uang muka tersebut merupkaan bagian pelunasan piutang merubahah apabila pembiayaan tersebut jadi terlaksana, tapi apabila akad tersebut batal maka uang muka tersebut harus dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi dengan kerugian sesuai dengan kesepakatan, bila uang muka jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan kerugian bank maka bank dapat meminta tambahan dari nasabah.

Pengukuran urbun ataupun barang uang muka adalah sebagaimana yang diatur oleh IAI (2002: 59.11)

a. urbun diakuai sebagai uang muka pembelian sebesar jumlah yang diterima bank pada saat diterima,

b. pada saat barang jadi dibeli leh nasabah, maka urn=bun diakui sebgai pembayaran piutang,

c. jika barang batal dibeli nasabah, maka urbun dikembalikan kepada nasabah diperhitngkan dengna biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh bank.

Pembiayaan murabahah dapat dilakukan secara tunai maupun cicilan sesuai dengan persetujuan antara bank dan nasabah, dan bank dapat membrikan potongan kepada nasabah sebelum jatuh tempo. Bank berhak mengenakan denda kepada nasabah yang mampu memenuhi kewajibannya tetapi menunda-nunda/lalai dalam pembayran tersebut. Kecuali nasabah benar-benar terbukti tidak

mampu memenuhi kewajibannya. Denda diakui sebgai bagian dari dana sosial pada saat diterima.

Piutang murabahah pada saat akad diakui sebesar biaya perolehan aktiva murabah ditambah dengan keuntungan yang telah disepakati, dan pada akhir periode dinilai sebesar nilai bersih yang dapat direalisasi, yaitu saldo piutang dikurangi penyisihan kerugian piutang (piutang ragu-ragu). Keuntungan inilah yang menjadi pendapatan pada transaksi murabahah. Definisi dari pendapatan tersebut sesuai dengan yang telah dinyatakan oleh IAI (2002: 23.1), “pendapatan adalah arus masuk bruto dan manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal perusahaan selama satu periode bila arus masuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal”. Menurut IAI (2002 : 23.4) pendapatan baru dapat diakui bila kondisi berikut ini terpenuhi :

a. bank telah memindahkan resiko secara signifikan dan telah melakukan pengendalian efektif atas barang yang telah dijual,

b. barang tidak lagi mengelola atau melakukan pngendalian efektif atas barang yang dijual,

c. jumlah pendapatan tersebut dapat diukur dengan handal,

d. besar kemungkinan manfaat ekonomi yang dihubungkan dengan transaksi akan mengalir kepada perusahaan.

e. Biaya yang terjadi atau akan terjadi sehubungan dengan transaksi penjualan dapat diukur dengan handal.

Menurut IAI (2002: 59.10) , keuntungan pada transaksi murabahah dapat diakui:

a. Pada periode terjadinya jika akad berakhir pada laporan keuangan tahun yang sama atau,

b. Selama periode akad secara proporsional, jika melampaui satu periode laporan keuangan.

Ada dua dasar yang dapat digunakan dalam pengakuan pendapatan murabahah, yaitu: dasar akrual (accrual basic) dan dasar kas (cash basic). Pada accrual basic pendapatan diakui pada saat diperoleh atau pada periode terjadinya transaksi. Sedangkan cash basic pendapatan diakui pada saat kas diterima.

Dokumen terkait