• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII MODEL PENGELOLAAN BBN BIODIESEL DI JAKARTA DAN

7.2. Sintesa Hasil

7.2.3 Sistem Pengelolaan

Secara umum keberhasilan sistem pengelolaan BBN Biodiesel di Jakarta dan sekitarnya sangat terkait dengan aspek institusi atau lembaga pengelolanya, kebijakan atau tata cara pengelolaannya, serta anggaran yang menunjang kelancaran pengelolaan yang telah dibahas sebelumnya. Isu strategis

pengelolaan BBN Biodiesel di Jakarta dan sekitarnya terutama harus diawali oleh terbentuknya struktur kelembagaan yang bertanggung jawab melakukan pengelolaan. Keberadaan lembaga ini akan menjadi pendorong disusunnya tata cara dan sumber pendanaan bagi keberhasilan pengelolaan BBN Biodiesel di Jakarta dan sekitarnya. Kebijakan pengelolaan BBN Biodiesel dituangkan dalam bentuk model konseptual pengelolaan yang terdiri dari penentuan institusi pengelola (manager) dan penyusunan sistem pengelolaannya (management) yang memenuhi prinsip-prinsip keberkelanjutan.

Konsepsi diagram input-output digambarkan secara lebih rinci, secara khusus pada rancangan pengendalian dari pengelolaan pemanfaatan BBN Biodiesel kelapa sawit yang berkelanjutan di Jakarta dan sekitarnya (Gambar 72). Model konseptual ini merupakan hasil sintesa dari berbagai analisis yang dilakukan untuk menyusun strategi pengendalian dari pengelolaan pemanfaatan BBN Biodiesel kelapa sawit yang berkelanjutan di Jakarta dan sekitarnya. Mekanisme pengendalian diperkirakan mampu merekayasa berbagai output tidak dikehendaki menjadi output yang dikehendaki.

Mekanisme pengendalian dari pengelolaan pemanfaatan BBN Biodiesel terbagi menjadi berbagai kebijakan guna mencapai tujuan, menyelesaikan kendala, menata kelembagaan dan memenuhi prioritas kebijakan hasil analisis. Berbagai kebijakan tersebut antara lain kebijakan prioritas penataan kelembagaan, prioritas peningkatan keberlanjutan, prioritas penyelesaian kendala utama, dan prioritas pencapaian tujuan. Sebagai langkah awal dilakukan penataan kelembagaan yang disusun berdasarkan hasil analisis ISM. Sementara prioritas peningkatan keberlanjutan disusun berdasarkan hasil analisis MDS. Selain itu, hasil analisis ISM juga dijadikan sebagai dasar penyusunan kebijakan prioritas penyelesaian kendala utama dan prioritas pencapaian tujuan.

Penyusunan kebijakan diawali dengan penataan kelembagaan, di mana pemerintah pusat masih memegang peranan utama dalam mendorong pengelolaan pemanfaatan BBN biodiesel di Jakarta dan sekitarnya. Pemerintah pusat melalui kementerian terkait (terutama Bappenas dan Kementerian ESDM) harus mendorong Pertamina dan Pemerintah Daerah bersama-sama Aprobi, untuk melakukan efisiensi dan efektivitas pengelolaan pemanfaatan BBN biodiesel di Jakarta dan sekitarnya guna mencapai tujuan keberlanjutan.

Guna meningkatkan keberlanjutan, terdapat beberapa tahap penyelesaian yang dimulai dari penyelesaian dimensi lingkungan (terendah), dimensi kebijakan, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial, serta perbaikan dimensi teknologi. Peningkatan keberlanjutan dimensi lingkungan terutama dengan melakukan pengelolaan isu kunci pengaruh bahan bakar fosil (BBF) terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Hal ini bisa dilakukan dengan sosialisasi ke berbagai tingkat stakeholder tentang kondisi emisi GRK di Jakarta dan sekitarnya yang sudah parah, sehingga bisa dikurangi dengan meningkatkan konsumsi BBN Biodiesel. Kegiatan ini sekaligus akan mendukung peningkatan keberlanjutan dari dimensi sosial, yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan BBN Biodiesel.

Hal ini harus didukung oleh ketersediaan kebijakan tingkat daerah sangat mempengaruhi keberhasilan pengelolaan BBN Biodiesel di Jakarta dan sekitarnya. Jika hal ini bisa berjaan dengan baik, maka secara tidak langsung akan meningkatkan keberlanjutan dimensi ekonomi dengan meningkatnya konsumsi BBN Biodiesel. Peningkatan dimensi ekonomi ini didorong oleh makin tingginya nilai tambah produk agroindustri, khususnya tbs kelapa sawit yang dijadikan CPO sebagai bahan baku pembuatan BBN Biodiesel. Meskipun dari dimensi teknologi sudah memenuhi tingkat keberlanjutan, tetapi hal ini bisa ditingkatkan secara lebih optimal dengan memperbanyak ketersediaan sumberdaya manusia dalam mendukung pemanfaatan BBN Biodiesel.

Berdasarkan hasil analisis ISM, diperlukan langkah-langkah penyelesaian kendala utama yang harus dilakukan, terdiri dari:

1. Melakukan perbaikan sistem penyediaan bahan baku; 2. Melakukan kerjasama yg menguntungkan;

3. Memperluas jaringan pemasaran; 4. Meningkatkan koordinasi antar instansi;

5. Meningkatkan akses informasi dan pemasaran; 6. Meningkatkan teknologi dan manajemen; 7. Meningkatkan infrastruktur usaha; 8. Meningkatkan SDM yang terampil; 9. Meningkatkan produktivitas usaha.

Langkah-langkah penyelesaian kendala utama dilakukan secara sistematis dan bertahap sesuai dengan hasil analisis ISM (Bab 6).

Penataan kelembagaan, peningkatan keberlanjutan dan penyelesaian kendala tersebut, akan memudahkan implementasi kebijakan pencapaian tujuan. Tahapan pencapaian tujuan dilakukan secara sistematis sesuai dengan hasil analisis ISM, yang terdiri dari:

1. Memastikan terjaminnya produk Biodisel;

2. Melakukan optimalisasi koordinasi antar lembaga; 3. Memastikan terjaminnya pasokan bahan baku; 4. Meningkatnya kesempatan kerja

5. Memastikan terjaminnya kualitas produk

6. Menurunkan tingkat pencemaran yang mengganggu kesehatan; 7. Menurunkan tingkat pencemaran GRK;

8. Memastikan tersedianya tenaga kerja terampil; 9. Meningkatkan nilai tambah;

10. Meningkatkan posisi tawar terhadap pihak internasional dalam isu perubahan iklim/lingkungan;

11. Memastikan terjaminnya harga jual produk yang stabil; 12. Memastikan tersedianya bantuan permodalan;

1 5 9 (8) Kurangnya Jaringan Pemasaran (10) Kurangnya Kerjasama yg Menguntungkan Level 3 Level 4 (12) Belum Adanya Mekanisme Penyediaan Bahan Baku (3) Keterbatasan Teknologi & Manajemen (6) Keterbatasan Akses

Informasi Pemasaran (2) Keterbatasan

Infrastruktur

Level 5 (4) Rendahnya Keterkaitan Antar Instansi

Level 6 Level 7 (6) Menurunnya Pencemaran Mengganggu Kesehatan Level 3 Level 4 (3) Terjaminnya Pasokan Bahan Baku (5) Terjaminnya Kualitas Produk (9) Meningkatnya Nilai Tambah (12) Tersedianya Bantuan Permodalan Level 5 Level 6 (7) Menurunnya Tingkat Pencemaran GRK (11) Terjaminnya Harga Jual Produk

8.1. Kesimpulan

1. Hasil analisis keberlanjutan pengelolaan BBN Biodiesel di Jakarta dan sekitarnya saat ini menunjukkan bahwa, dari lima dimensi keberlanjutan hanya dimensi lingkungan (skor 52,56) dan dimensi teknologi (skor 52,95) yang melewati batas indeks keberlanjutan. Sementara dimensi lainnya, yaitu dimensi kebijakan (skor 46,13), dimensi sosial (skor 46,38), dan dimensi ekonomi (skor 43,20) belum memenuhi batas indeks keberlanjutan. Sehingga secara keseluruhan nilai rata-rata keberlanjutan pengelolaan BBN Biodiesel di Jakarta dan sekitarnya (skor 48,24) juga belum memenuhi indeks keberlanjutan yang disyaratkan (skor 50,00). Nilai indeks keberlanjutan tersebut sangat dipengaruhi berbagai atribut yang memiliki sensitivitas paling tinggi dalam setiap dimensi. Atribut tingkat pengaruh bahan bakar fosil (BBF) terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) merupakan isu paling sensitif dan berpengaruh dalam dimensi lingkungan. Atribut ketersediaan kebijakan tingkat daerah merupakan isu paling sensitif dan berpengaruh dalam dimensi kebijakan. Atribut tingkat kesadaran masyarakat terhadap penggunaan BBN Biodiesel merupakan isu paling sensitif dan berpengaruh dalam dimensi sosial. Atribut tingkat pengaruh BBN Biodiesel terhadap nilai tambah produk agroindustri isu paling sensitif dan berpengaruh dalam dimensi ekonomi. Sementara atribut ketersediaan sumberdaya manusia dalam mendukung pemanfaatan BBN Biodiesel merupakan isu paling sensitif dan berpengaruh dalam dimensi teknologi.

2. Tingkat diskonto (discount rate) pada investasi produksi biodiesel sesuai biaya modal rata-rata tertimbang dengan pertimbangan lainnya dalam studi ini diperoleh sebesar 15,19%. Benefit cost ratioatau profitability index diperoleh sebesar 1,02300 yang menunjukkan bahwa proyek ini dapat menghasilkan pendapatan yang lebih besar dari biaya investasi yang akan. NPV dengan asumsi discount rate 15,19% diperoleh sebesar Rp4.359.133.645,00 atau bernilai positif, sehingga investasi tersebut layak diberikan. Internal Rate of Return (IRR) diperoleh sebesar 15,72% lebih besar dibandingkan Required Rate of Return yang ditentukan (15,19%), sehingga disimpulkan bahwa rencana investasi tersebut dari sisi investor layak untuk direalisasikan. Sementara Payback Period yang dihasilkan dengan discount

rate 15,19% adalah 7 tahun. Hasil analisa sensitivitas menunjukkan proyek lebih sensitif terhadap perubahan komposisi CPO dengan kadar FFA< 5% sebagai bahan baku, harga jual, harga CPO, komposisi PFAD sebagai bahan baku, harga CPO sebagai bahan baku. Persentasi harga CPO terhadap harga jual biodiesel diperoleh sebesar 0.741, atau 74%. Jika menggunakan CPO standar, maka harga jual biodiesel akan bekisar Rp8.772,00/liter.

3. Analisis kebijakan pengelolaan BBN Biodiesel kelapa sawit secara umum menghasilkan tiga hal pokok, yaitu: (a) dasar regulasi menggunakan analisis isi; (b) strukturisasi kendala, tujuan, dan pelaku menggunakan analisis ISM; serta (c) pilihan prioritas kebijakan melalui AHP.

(a) Secara umum setiap regulasi memiliki keterkaitan dengan aspek kunci yang dikaji. Sebaran aspek kunci pada setiap regulasi bervariasi, hal ini menunjukkan perlunya berbagai regulasi yang mengatur berbagai isu terkait pengelolaan BBN Biodiesel di Jakarta dan sekitarnya. Terdapat 29 aspek kunci yang dikaji dalam 18 regulasi yang menunjukkan masih terdapat 3 aspek kunci yang tidak tercantum dalam satupun regulasi. Ketiga aspek kunci tersebut adalah kata implementasi, polusi, dan global warming (pemanasan global). Sementara aspek kunci pengelolaan (14) dan lingkungan hidup (13) menjadi aspek kunci yang paling banyak terdapat dalam regulasi. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun aspek kunci lingkungan hidup dan pengelolaan sudah banyak masuk dalam ranah kebijakan, tetapi isu tentang polusi dan pemanasan global masih perlu ditingkatkan dalam ranah regulasi. Selain itu, masih diperlukan regulasi yang bisa mengatur tentang tataran implementasi yang tidak terdapat dalam semua regulasi yang dikaji. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah masih minimnya peraturan daerah di luar DKI Jakarta (Bodetabek) yang terkait dengan isu yang dikaji saat ini.

(b) Hasil penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual para pelaku menunjukkan bahwa sub-elemen pemerintah pusat (Kementerian terkait) (11) berada pada posisi tertinggi atau level 7. Hal ini menunjukkan bahwa sub-elemen tersebut merupakan sub-elemen yang memiliki kekuatan penggerak dan pengaruh terbesar terhadap sub-elemen lain yang berada di level yang lebih rendah. Sedangkan sub-elemen yang berada pada level 6, yaitu PT. Pertamina (Persero) (7), level 5 adalah Pemerintah Daerah (2). Sub-elemen pada kelompok berikutnya adalah Asosiasi Produsen Biodiesel (1) yang berada pada

level 4. Kelompok terakhir yang merupakan kelompok yang punya kebergantungan tinggi (dependent) adalah Perguruan Tinggi (6) dan Lembaga Litbang (10) pda level 3, serta masyarakat pengguna (4) pada level 2, selanjutnya pengusaha transportasi BBM (8) pada level 1.

Hubungan kontekstual dan level hierarki elemen tujuan pengelolaan BBN Biodiesel secara berkelanjutan di wilayah Jakarta dan sekitarnya menunjukkan bahwa sub-elemen tersedianya tenaga kerja terampil (8), tersedianya bantuan teknologi dan manajeman (1), serta optimalisasi koordinasi antar lembaga (2) berada pada posisi terendah atau level 1. Hal ini menunjukkan bahwa sub-elemen tersebut merupakan sub-sub-elemen yang paling dipengaruhi dan digerakkan oleh kekuatan penggerak dari sub-elemen lain yang berada di level yang lebih tinggi. Jika dipertimbangkan kekuatan daya dorong dan tingkat ketergantungannya maka sub-elemen dalam level 1 bersama-sama dengan sub-elemen dalam level 2 memiliki daya dorong yang rendah dan dipengaruhi secara kuat dari elemen yang berada pada level 3 dan 4. Sedangkan sub-elemen yang berada pada level 4, yaitu meningkatnya nilai tambah (9), terjaminnya harga jual produk (5) dan terjaminnya kualitas produk (11) peranannya saling mendukung satu sama lain dan berpengaruh terhadap sub-elemen lain dalam pengelolaan BBN Biodiesel secara berkelanjutan di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

Keluaran model struktur hierarki sub-elemen pada elemen kendala utama memperlihatkan bahwa sub-elemen belum adanya mekanisme penyediaan bahan baku (12), kurangnya jaringan pemasaran (8) dan kurangnya kerjasama yang menguntungkan (10) berada pada level 7 dan 6. Hal ini berarti bahwa ketiga sub-elemen ini menjadi elemen kunci dan pendorong utama yang mempengaruhi sub-elemen pada level dibawahnya. Sedangkan sub-elemen rendahnya keterkaitan antar instansi (4), keterbatasan akses informasi pemasaran (6), keterbatasan teknologi dan manajemen, keterbatasan infrastruktur (2), keterbatasan SDM yang terampil (5), dan rendahnya kualitas produk yang dihasilkan (9), serta rendahnya produktivitas usaha (7) berada pada level 1, 2, 3, 4 dan 5 sangat dipengaruhi dan bergantung pada sub-elemen yang berada pada level 6 dan 7.

(c) Hasil AHP menggunakan preferensi berbagai pakar (consistency index < 0,1) menunjukkan bobot terbesar dalam level hirarki faktor adalah 0,413 untuk harga

bahan baku. Selain itu bobot terbesar dalam level hierarki aktor adalah 0,279 untuk pihak pemerintah pusat. Bobot terbesar dalam level hierarki tujuan adalah 0,225 untuk terjaganya ketersediaan BBM di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Sementara bobot alternatif terbesar pengelolaan BBN Biodiesel secara berkelanjutan di wilayah Jakarta dan sekitarnya adalah peningkatan kandungan biodiesel dengan bobot sebesar 0,283. Hal ini memberikan keyakinan bahwa peningkatan kandungan biodiesel masih merupakan prioritas yang harus dilakukan guna menunjang pengelolaan BBN Biodiesel secara berkelanjutan di wilayah Jakarta dan sekitarnya.

4. Model pengelolaan BBN Biodiesel kelapa sawit secara berkelanjutan di Jabotabek didesain berdasarkan analisis data situasional (data base), strukturisasi dan pemilihan alternatif kebijakan prioritas (knowledge base), maupun model hasil analisis sistem dinamik (model base). Pengembangan kebijakan berupa regulasi, terutama yang bersifat operasional di daerah menjadi dasar pengelolaan BBN Biodiesel di Jakarta dan sekitarnya. Sementara stakeholder yang terlibat disusun berdasarkan strukturisasi hasil analisis ISM yang menunjukkan peran pemerintah pusat yang mendorong Pertamina dan pemerintah daerah sebagai pengelola operasional. Prioritas kebijakan yang harus diambil adalah dengan melakukan peningkatan kandungan biodiesel. Sementara langkah-langkah kebijakan strategis dan operasional yang harus dilakukan mengikuti model prioritas perbaikan keberlanjutan berdasarkan analisis berbagai dimensi keberlanjutan. Selain itu, dilakukan kebijakan untuk mencapai tujuan dan menyelesaikan kendala sesuai hasil analisis ISM. Pendanaan pengelolaan diupayakan melalui dukungan pemerintah pusat dan daerah, serta sharing dari hasil keuntungan pihak swasta dalam mengelola BBN Biodiesel di Jakarta dan sekitarnya.

8.2. Saran

1. Guna meningkatkan indeks keberlanjutan setiap dimensi, diperlukan upaya memperbaiki kinerja berbagai atribut yang paling berpengaruh dalam setiap dimensi. Pengelolaan secara tepat isu pengaruh bahan bakar fosil (BBF) terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) merupakan langkah terbaik guna meningkatkan keberlanjutan dimensi lingkungan. Melakukan perbaikan dan pemenuhan kebijakan tingkat daerah merupakan langkah yang bisa diambil guna memperbaiki keberlanjutan dimensi kebijakan. Sementara peningkatan keberlanjutan dimensi

sosial dilakukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan BBN Biodiesel. Selain itu diperlukan upaya peningkatan pengaruh BBN Biodiesel terhadap nilai tambah produk agroindustri sebagai langkah meningkatkan keberlanjutan dimensi ekonomi. Meskipun sudah memenuhi batas indeks keberlanjutan, dimensi teknologi bisa ditingkatkan dengan menyediakan sumberdaya manusia dalam mendukung pemanfaatan BBN Biodiesel.

2. Berdasarkan hasil analisis kelayakan ekonomi pengelolaan pemanfataan bahan bakar nabati biodiesel di Jakarta dan sekitarnya, meskipun potensi ekonominya memungkinkan tetapi masih perlu dorongan kebijakan pemerintah dan partisipasi semua pihak terkait. Instrumen ekonomi yang bisa dilakukan pemerintah adalah mekanisme insentif dan disinsentif. Insentif terhadap upaya pemanfaatan BBN Biodiesel akan sangat mendorong dunia usaha dan masyarakat dalam keterlibatan pemanfaatannya. Sementara disinsentif terhadap pemakaian BBM fosil akan mengurangi keinginan berbagai pihak memanfaatkannya.

3. Optimalisasi kebijakan pengelolaan BBN Biodiesel kelapa sawit secara umum dapat diperbaiki melalui tiga hal pokok, yaitu: (a) perbaikan regulasi; (b) penyelesaian kendala, pencapaian tujuan, dan perbaikan kelembagaan; serta (c) implementasi prioritas kebijakan. Perbaikan regulasi bisa ditempuh dengan memprioritaskan dukungan kebijakan melalui regulasi di tingkat daerah sebagai dasar pengelolaan yang terpadu dengan regulasi di tingkat pusat. Hal ini harus didukung juga dengan penyelesaian berbagai kendala utama, pemenuhan tujuan dan penyusunan kelembagaan yang sesuai dengan hasil studi. Regulasi dan kelembagaan tersebut bisa menjadi dasar pengelolaan berbagai isu yang bisa mendukung pencapaian keberlanjutan sesuai hasil analisis keberlanjutan, analisis kelayakan ekonomi, analisis isi, analisis ISM dan AHP. Pilihan-pilihan tindakan tersebut bisa dicoba melalui berbagai simulasi model dinamik yang telah dibangun, sehingga bisa ditentukan kebijakan yang tepat sesuai tujuan yang diinginkan di masa mendatang.

Adel UA, 1995. Kebijaksanaan Pengendalian Emisi Gas Buangan Kendaraan Bermotor di Jakarta. Jakarta: 23 Agustus 1995.19-32.

Amin S, Wahyudi MD dan Nuramin M. 2003. Membandingkan Emisi Gas Buang Bahan Bakar Solar dan Biodiesel. J Sains dan Teknologi Indonesia 5:69-172.

Anonim. 2005. Average Carbon Dioxide Emissions Resulting from Gasoline and Diesel Fuel, Emission Fact. EPA 420-F-05-00.

_______. 2011. Subsidi. http://id.wikipedia.org/wiki/Subsidi. html [20 September 2011]

Aunn. 2006. Produktifitas Tumbuhan Penghasil Minyak Nabati. Di dalam: Hendroko R, Pattiwiri AW, Tambunan AH, Mujdalipah S, Hambali E. Teknologi Bioenergi. Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka.

Barbier EB. 1987. The Concept of Sustainable Economic Development. Environment Conservation Chapter 14.

Barlas Y. 1998. A Behavior Validity Testing Software (BTS). http:/www.ie.boun.edu.tr/labs/sesdyn. html [20 Agu 2012].

Barrutia JM, Aguado I, Echebarria C. 2007. Networking for Local Agenda 21 Implementation : Learning from Experiences with Udaltalde and Udalsarea in The Basque Autonomous Community. Spain: Faculty of Economics and Business Administration, University of The Basque Country.

Basili M, Fontini F. 2012. Biofuel from Jatropha curcas: Environmental sustainability and option value. J Ecological Economics. Vol 78 :1-8.

Bowman M, Hilligoss D, Rasmussen S, Thomas R. 2006. Biodiesel: a renewabel and biodegradation fuel. J Hydrocarbon Processing [terhubung berkala]. http://www.hydrocarbonprocessing.com [10 Feb 2012].

[BPHMIGAS] Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas. 2005. BPHMIGAS Website. http://www.bphmigas.go.id. html [12 Jan 2010].

[BPLHD] Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah. 2007. Pencemaran Udara. Jakarta: BPLHD Press.

[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2010. Indikator Kesejahteraan Rakyat Provinsi DKI Jakarta.Jakarta: BPS DKI Jakarta.

Budianto S. 2001. Pengolahan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Perspektif Antropologi [makalah seminar sehari]. Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

Budiharsono S. 2005. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

___________. 2007. Peningkatan Ketahanan Pangan Melalui Pengembangan Ekonomi Lokal. Bappeda Kabupaten Bogor.

[BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2011. Outlook Energi Indonesia 2011: Energi Masa Depan di Sektor Transportasi dan Ketenagalistrikan. Jakarta: BPPT-Press.

[CSD] Commission on Sustainable Development. 2001. Indicators of Sustainable Development: Framework and Methodology. Commission on Sustainable Development. Background Paper No.3. New York: Division for Sustainable Development.

Dariah AR. 2007. Dampak pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan terhadap degradasi lingkungan di Jawa Barat [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Darmoko, Herawan T, Guritno P. 2001. Penggunaan Biodiesel Sawit Sebagai Bahan Bakar Alternatif.Prosiding Seminar Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim Pada Sektor Energi. Jakarta. Danuri. 2011. Efek Rumah kaca dan dampak terhadap lingkungan.

http://persma.com. html [20 Sep 2011].

[Dirjen Migas] Direktorat Jendral Minyak dan Gas. 2006. Surat Keputusan Direktorat Jendral Minyak dan Gas Republik Indinesia Nomor 051 Tahun 2006 tentang Tata Niaga Biodiesel. Jakarta: Dirjen Migas.

______. Surat Keputusan Direktorat Jendral Minyak dan Gas Republik Indinesia Nomor 3675K Tahun 2006 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) BBM Jenis Minyak Solar yang Dipasarkan di Dalam Negeri. Jakarta: Dirjen Migas.

Djogo T, Sunaryo, Suharjito D, Sirait M. 2003. Kelembagaan dan Kebijakan Dalam Pengembangan Agroforestri. Bogor:World Agroforestry Centre(ICRAF). Dunn W. 2003. Public Policy Analysis: An Introduction, New Jersey: Pearson

Education. Edisi bahasa Indonesia diterjemahkan dari edisi kedua (1994) diterbitkan sejak 1999 dengan judul Pengantar Analisis Kebijakan Publik.

Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Dye TR. 1992. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall.

Eibsteiner F, Danner H. 2000. Economic Of Scale In Biodiesel Production. Di Dalam: Friedirch S. A World Wide Review Of The Commercial Production Of Biodiesel. Wien: Des Institutes Fur Technologie Und Nachhalitiges Produktmanagement.

Elisabeth J, Haryati T. 2002. Biodiesel sawit bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, Pusat Penelitian Kelapa sawit, Medan. http://www.geocities.com/kincir2002. html [20 Agustus 2011].

[EIA]. Energy Information Administration. 2011. Country Analysis Briefs, Indonesia. http://www.eia.gov/emeu/cabs/indonesia/full. html [12 Agustus 2011]. Eriyanto. 2011. Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk penelitian ilmu komunikasi

dan ilmu-ilmu sosial. Jakarta: Predana Media Group.

Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press.

Eriyatno, Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian Untuk Pascasarjana. Bogor: IPB Press.

Fargion J, Hill J, Tilman D, Polasky S, Hawthrone P. 2008. Land Clearing and the Biofuel Carbon Debt.J Science2008;319.

Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Fauzi A, Anna A. 2005. Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Field BC. 2001. Natural Resource Economics: An Introduction. hal. 116-118. 43 Ibid.,hal. 118. New York.

Firdaus A. 2003. Analisis pengaruh faktor lalu lintas jalan terhadap tingkat pencemaran udara di DKI Jakarta. [skripsi]. Bandung: Bidang Khusus Manajemen Industri Program Studi Teknik dan Manajemen Industri, Program Pascasarjana, ITB.

Forrester JW. 1969. Urban Dynamics. Cambridge: The MIT Press.

Goodstein ES. 1999. Economics and The Environment. New York. pp. 81-127. Google map 2012, Area yang Dipasok PT Pertamina (Persero) Direktorat

Pemasaran Dalam Negeri Distribusi JBB Operation Group Jakarta Plumpang. https://maps.google.co.id. html [4 Januari 2012].

Google map 2012, Peta Daerah Lokasi Blending Biosolar di DKI Jakarta dan Sekitarnya. https://maps.google.co.id. html [4 Januari 2012].

[GTZ]Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit. 2004. Natural Resources and Governance: Incentives for Sustainable Resource Use. Manual. Königsdruck GmbH. Berlin.

Handoko I. 2005. Quantitative Modelling of System Dynamics for Natural Resources Management. Bogor: SEAMEO BIOTROP Southeast Asia Regional Centre for Tropical Biology.

Hendroko R, Pattiwiri AW, Tambunan AH, Mujdalipah S, Hambali E. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka.

Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Pemodelan Untuk Industri dan Lingkungan. Bogor: SEAMEO BIOTROP.

Haryadi P, Andarwulan N, Nuraida L, Sukmawati Y, editor. 2005. Kajian Kebijakan Dan Kumpulan Artikel Penelitiian Biodiesel. Bogor: IPB Press.

Hasan. 2003. Model tata ruang Kota Tani yang berorientasi ekonomis dan ekologis (Studi kasus di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan) [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hermawan TT, Affianto A, Susanti A, Soraya E, Wardhana W, Riyanto S. 2005. Pemanfaatan Ruang dan Lahan di Taman Nasional Gunung Ciremai: Suatu Rancangan Model. Bogor: Pustaka Latin.

Hogwood BW, Gunn LA. 1984. Policy Analysis for the Real World. New York: Oxford University.

Holsti KJ. 1969. Politik Internasional, Kerangka Analisa. Tim penerjemah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. Terjemahan dari: International Politics, AS Framework for Analysis.

Husnan S, Muhammad S. 2008. Studi Kelayakan Proyek. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan.

Hutabarat L. 1998. Telaah hubungan polutan udara primer (NO, NO2, SO2, CO) dengan polutan udara sekunder (O3) di DKI Jakarta [laporan praktek lapangan]. Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Indrawan N, Wijaya EW, Addressing Palm Biodiesel as Renewable Fuel for the Indonesian Power Generation Sector: Jawa-Bali-Madura, IPTEK.The J for Technology and Science2011;22.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai Bahan Bakar Lain. IPCC. 1992. Climate Change. Third Assessment Report Working Group II. Impacts,

Dokumen terkait