• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pengelolaan Usaha Tambak Polikultur Kepiting – Ikan di Daerah Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sistem Pengelolaan Usaha Tambak Polikultur Kepiting – Ikan di Daerah Penelitian

Usaha tambak polikultur kepiting-ikan yang terdapat di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang ini adalah suatu tambak yang membudidayakan kepiting bakau dan ikan nila dalam satu kolam. Pembudidayaan kepiting bakau ini menghasilkan kepiting yang memiliki cangkang lunak dengan sistem pengelolaan yang meliputi beberapa kegiatan diantaranya: Persiapan Tambak, Penebaran Bibit, Teknik Produksi Kepiting soka (kepiting cangkang lunak), Pemberian Pakan, Pemeliharaan air, dan Pengendalian Hama dan Penyakit. Sedangkan pada pembudidayaan ikan teknik budidaya nya meliputi persiapan wadah pembesaran/pemeliharaan, metode dan system pemeliharaan dapat disesuaikan dengan budidaya kepiting bakau, sesuai dengan pernyataan Gustiano, dkk (2010) yang menyatakan bahwa pengelolaan pembesaran ikan nila dapat disesuaikan dengan jenis lahan (kolam, tambak, sawah, keramba jaring apung, dan hampang), metoda (tunggal kelamin, campur kelamin, tunggal jenis, dan terpadu), dan sistem pemeliharaan (ekstensif atau tradisional, semi intensif, dan intensif) yang dipergunakan. Pada daerah penelitian, lahan yang digunakan yaitu kolam tambak dengan menggunakan metoda campuran jenis atau polikultur dimana menurut gustiano, dkk (2010) polikultur atau campuran jenis adalah suatu cara pembesaran ikan yang mempergunakan lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah pemeliharaan. Dimana pemilihan jenis ikan , penentuan komposisi, serta penentuan bobot aawal

individu dilakukan atas pertimbangan dari beberapa hal, yaitu: persediaan pakan alami, kebiasaan makan bagi setiap jenis ikan, dan tujuan usaha pembesaran. Pada daerah penelitian, system pemeliharaan untuk metode polikultur yaitu menggunakan sistem semi intensif. Sistem pemeliharaan semintensif plikultur kepiting-ikan dimana Gustiano, dkk (2010) menyatakan bahwa pemeliharaan semiintensif dapat dilakukan di kolam, tambak, sawah, dan jaring apung. Pada sistem semiintensif ini ditandai oleh pemeliharaan nya yang sudah melakukan kegiatan pemupukan dan pemberian pakan tambahan secara teratur dan prasarana berupa saluran irigasi harus baik. Budidaya ikan nila secara semi intensif dikolam dapat dilakukan secara monokultur maupun polikultur. System semiintensif juga dapat dilakukan secara terpadu dimana kolam ikan di kelola bersama dengan usaha tani maupun industry rumah tangga lain.

Adapun aspek kegiatan budidaya polikultur kepiting-ikan nila di daerah penelitian dapat dilihat sebagai berikut:

1. Persiapan Kolam Tambak

Pada daerah penelitian, usaha tambak polikultur dilakukan pada komoditi kepiting bakau dan ikan nila. Kolam tambak di buat pada daerah air payau, dimana kolam tambak merupakan alihfungsi dari tambak udang. Dengan pH berkisar antara 6-8 dan kadar garam 28 permil. Sesuai dengan pernyataan Soim (1999) kisaran salinitas yang sesuai bagi kepiting adalah 10-30 0/00 atau di golongkan ke dalam air payau atau menurut Rusmiyati (2011) kriteria lokasi yang ideal untuk pembudidayaan kepiting adalah daerah air payau atau air asin dengan kadar garam 15-30 permil dengan pH tanah 4-5 dan salinitas 24-30 ppt. Barus (2001) menyatakan pH yang ideal bagi organisme akuatik pada umumnya terdapat antara

7-8,5 termasuk pada ikan nila. Sedangkan menurut Gustiano, dkk (2010) pada salinitas 15 ppt ikan nila mempunyai tingkat kelangsungan hidup dua kali lipat dengan tingkat adaptasi yang tinggi. Ikan nila dapat dibudidayakan pada air payau dengan teknik adaptasi secara bertahap seperti yang dilakukan pada daerah penelitian.

Pada persiapan pembuatan kolam tambak, pengelolaan tanah dasar tambak merupakan salah satu tahap yang sangat penting. Pada daerah penelitian, dasar kolam tanah dengan dasar kolam lumpur berpasir yang memiliki pipa paralon yang di letakkan pada pintu masuk kolam atau pintu penghubung antara satu kolam dengan kolam lain nya yang berfungsi sebagai irigasi atau pintu masuk air pada saat pergantian air kolam ataupun pada saat memulai kegiatan budidaya yang dilakukan sebanyak dua kali dalam sebulan yaitu pada saat pasang 30, air pasang menjelang malam hari maupun pasang 15, yaitu menjelang siang hari. Kegiatan persiapan tambak meliputi penjemuran kolam, pembalikan dan pengapuran. Kegiatan persiapan tambak ini membutuhkan waktu selama 2 minggu, yaitu 1 minggu penjemuran sampai dasar tanah mengering dan retak-retak setelah itu dilakukan pembalikan tanah dengan cara mencangkul tujuan dilakukannya pengeringan dan pembalikan tanah ini agar memudahkan dalam penyerapan pupuk dan mineral lainnya seperti pupuk NPK dan pupuk kandang memicu tumbuhnya fitoplankton yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup kepiting terutama ikan yang berada dibawah permukaan air atau di bawah keramba yang setengah mengapung. Sedangkan pengapuran dilakukan secukupnya. Sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011), pengelolaan dasar tambak dilakukan dengan memberikan perlakuan terhadap dasar tambak. Seperti pengapuran dan pemberian

pupuk sesuai kebutuhan, dengan demikian dasar tambak tidak menimbulkan pengaruh negative tgerhadap kualitas air tambak selama pemeliharaan. Kegiatan tambak kegiatan pengelolaan tambak meliputi penjemuran, pembalikan, dan pengapuran.penjemuran tanah dilakukan hingga bagian permukaan sampai retak – retak. Tujuan nya agar semua bahan organik yang didasar tambak terurai menjadi unsure yang tidak membahayakan dan mengikat gas-gas beracun yang terdapat pada dasar kolam atau media tanah. Proses pengeringan tambak dilakukan selama 1 minggu. Pada persiapan lahan tambak juga dilakukan kegiatan pengapuran.

Pengapuran menggunakan kapur CaCO3 (Dholomit). Pengapuran berpengaruh

terhadap nilai pH tanah bertujuan untuk menaikkan atau mempertahankan pH tanah bagian dalam tambak hingga kisaran pH normal (7-8). Pengapuran dilakukan dengan menaburkan kapur dipermukaan pelataran tambak secara merata dan dibiarkan selama 2-4 hari. Pada daerah penelitian jumlah kapur pertanian (Dholomit) dan pupuk yang digunakan dapat dilihat pada table berikut ini:

Tabel 6. Rata-rata Kebutuhan Kapur dan Pupuk di Daerah Penelitian

Uraian Dholomit NPK Pupuk Kandang

(Zak) (Zak) (Goni)

Rante 1 1 7

Ha (8 Kolam) 9 8 48

Sumber : Analisis Data primer Lampiran 4a dan 4b

Dari tabel 6, dapat dilihat pada daerah penelitian, jumlah kebutuhan pengapuran per kolam dengan rata-rata luas kolam tambak yaitu 3,7 rante (1480 m2) yaitu sebanyak 50 kg atau sekitar 450 kg pada luas tambak 4000m2 , kebutuhan tersebut disesuaikan pada keasaman tanah pada daerah penelitian. Sesuai pernyataan Rusmiyati (2011) yang menyatakan bahwa dosis pengapuran dan pemberian

pupuk dapat dilakukan sesuai kebutuhan yang berbeda di setiap daerah. Menurut Gustiano (2010), dosis pupuk anorganik yang diterapkan adalah sesuai dengan tingkat kesuburan di tiap daerah.

Selain itu Pada daerah penelitian di lakukan kegiatan pemupukan dengan menggunakan pupuk NPK sebagai ganti pupuk Urea dan TSP, dengan dosis 1 zak (50 kg) per 3,7 rante (38.5 m) dan 400 kg/Ha. Kebutuhan pupuk kandang sebanyak 7 goni atau 70 kg per kolam dan 48 goni atau 480 kg/ha. Sesuai dengan pernyataan Gustiano (2010) yang menyatakan bahwa dosis pupuk kandang 250-500 gram/m.

2. Penebaran Bibit

Penebaran bibit kepiting maupun ikan di daerah penelitian dilakukan pada pagi hari maupun sore hari pada hari yang berbeda sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011), Penebaran bibit kepiting dapat dilakukan pada pagi atau sore hari pada keramba. Berikut ini adalah tabel rata-rata kebutuhan bibit kepiting pada usaha tambak polikultur kepiting-ikan per petani per periode (1 Bulan) di Daerah penelitian.

Tabel 7. Rata-rata Kebutuhan Bibit Kepiting Pada Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Per Petani Per Periode (1 Bulan) di Daerah Penelitian.

No Luas Kolam Bibit Ikan(Kg) Bibit

Kepiting(Kg)

Keramba (unit)

1 3,7 Rante 0,6 605 125

2 Ha 5 3924 808

Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 2a dan 2b

Dari tabel 7 dapat di lihat, setiap lahan tambak pemeliharaan terdapat 100 unit keramba 1,5x1x1 meter dengan kepadatan tebar benih satu kolam (1200m2) sekitar 605 Kg atau sekitar 6050 ekor/kolam atau 60 ekor/keramba dengan berat rata-rata 1 ons/ekor dan 3924 kg/ha dengan kebutuhan keramba 808 unit/ha. Sesuai dengan

pernyataan Rusmiyati (2011), benih kepiting yang ditebar berukuran kurang lebih 200-300 gram per ekor. Untuk ukuran keramba 1,5 – 2 x 1 x 1 meter kepadatan tebarnya kurang lebih 15-25 kg per keramba atau sebanyak 60-70 ekor/keramba. Sedangkan kepadatan tebar ikan nila di daerah penelitian yaitu 0.6 kg/petani yaitu 1200 ekor per kolam 3,7 rante (1200m2) dengan berat 0.5 gram per ekor dan 5 kg/ha . Sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011) pada budidaya polikultur dengan ikan nila maksimal dapat ditebar dengan kepadatan 2000-3000 ekor/ha untuk berat 2-5 gram atau kurang lebih 20.000-30000 ekor/ha untuk berat 0.5 gram atau sebesar 2400-3600 ekor/kolam (1200m2).

3. Pemberian Pakan

Menurut Rusmiyati (2011), Jenis pakan untuk kepiting tidaklah sulit karena kepiting termasuk dalam hewan pemakan segala jenis makanan begitu juga ikan nila. Menurut Rukmana (1997) ikan nila efisien terhadap pakan, mudah dipelihara pada berbagai lingkungan (habitat), rakus terhadap limbah buangan / sisa pakan dan termasuk pemangsa segalah bahan (omnifora). Ada dua jenis pakan yang dapat diberikan pada kepiting dan ikan, yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pada daerah penelitian pakan alami yang diberikan pada kepiting yaitu ikan runcah dan keong mas. Sedangkan pakan buatan yaitu pelet. Sedangkan untuk pakan ikan pada daerah penelitian adalah sisa pakan kepiting yang berjatuhan kedasar kolam tambak serta pakan alami yang berupa jentik-jentik nyamuk maupun fitoplankton, zooplankton yang tumbuh akibat pemupukan kolam pada saat tahap persiapan tambak maupun pada saat pemupukan susulan. Sesuai dengan pernyataan Gustiano (2010) Pakan pada kolam pemeliharaan dapat berupa pakan alami yang berasal dari pemupukan. Fitoplankton, zooplankton, maupun binatang yang hidup

di dasar , seperti cacing, siput, jentik-jentik nyamuk dan chirinomus dapat menjadi makanan ikan nila. Selanjutnya ikan dapat diberikan pakan lain selain pakan alami yang terdapat pada kolam. Dalam hal ini seperti pellet kepiting yang berjatuhan ke dasar kolam. Berikut ini adalah table kebutuhan pakan per petani per periode (30 hari) didaerah penelitian.

Tabel 8. Rata-rata Kebutuhan Pakan Per Petani di daerah Penelitian Dalam 1 Periode.

Luas Tambak Bibit Kebutuhan Pakan

(Kg) (Kg)

3,7 Rante 605 898

1 Ha 3924 8505

Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 3a dan 3b

Dari tabel 8 dapat di ketahui pada daerah penelitian, rata-rata kebutuhan pakan yaitu sebesar 898 kg untuk bibit 605 kg atau 898 kg untuk bibit yang berjumlah kurang lebih 6050 ekor. Jumlah kebutuhan pakan ini diperoleh dengan memperhitungkan berat awal kepiting, pertambahan berat serta tingkat kematian kepiting dimana pertambahan berat kepiting dapat mencapai 20%-30% dan tingkat kematian sebesar 25%-30%. Sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011), pemberian pakan lebih diutamakan dalam bentuk segar sebanyak 5-10% dari berat badan dan diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore/ malam hari. Dalam siklus pemeliharaan, kepiting yang dapat bertahan hidup adalah sebesar 70%. Dengan pertambahan berat badan sebesar 10%-15%. Sedangkan menurut Gustiano (2010), pada ikan nila, jumlah pakan yang diberikan setiap hari disesuaikan dengan berat ikan, sering di sebut dengan Tingkat Pemberian Pakan (TPP). Umumnya ikan yang berukuran besar membutuhkan TPP dan frekuensi pemberian pakan yang semakin kecil dibandingkan dengan ikan yang berukuran kecil. Seperti pada daerah penelitian, jumlah pakan yang diberikan pada kepiting

yang tumbuh semakin besar akan mengurangi sisa pakan yang jatuh kedasar kolam, akan tetapi hal ini justru lebih baik karena kebiutuhan pakan ikan juga semakin kecil sehingga tidak mengganggu pertumbuhan kedua komoditi secara bersamaan. Akan tetapi pada saat awal pemeliharaan ikan nila membutuhkan lebih banyak pakan, sedangkan kepiting membutuhkan lebih sedikit pakan, maka jumlah sisa pakan kepiting yang berjatuhan ke dasar kolam akan menjadi makanan tambahan bagi ikan nila hal ini sangat membantu petani dalam meminimalisir limbah organik yang dapat mengurangi kualitas air, selain itu ikan nila juga sangat bermanfaat bagi pemeliharaan kepiting, sifat nya yang lincah dan suka bergerak akan meningkatkan sirkulasi air sehingga secara tidak langsung akan menambah suplai oksigen bagi kepiting.

4. Teknik Budidaya Kepiting soka dan Ikan Nila.

Tujuan pemeliharaan kepiting bakau di daerah penelitian adalah untuk memperoleh kepiting soka atau kepiting cangkang lunak. Pada daerah penelitian tahap awal dalam teknik budidaya kepiting soka yaitu seleksi terhadap kepiting yang akan di molting. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah tingkat kematian dalam pemeliharaan dan kegagalan dalam produksi kepiting soka. Ukuran kepiting yang akan dibudidayakan sebagai kepiting soka yaitu kepiting muda berumur 3 bulan, memiliki berat 100 gram atau 1 ons dengan panjang kerapaks yaitu 10 cm. sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011), kepiting yang sudah tua atau yang sudah pernah bertelur tidak baik untuk dilakukan pemotingan (proses ganti kulit). Ukuaran cangkang kepiting yang dipelihara berkisar 10-15 cm dengan berat 60-150 gram. Ukuan tersebut sangat baik dan sangat cepat dalam proses molting. Kondisi organ tubuh lengkap tak ada cacat dan luka. kepiting

yang cacat ataupun mengalami luka tidak bias molting dan mengalami kematian 1- 4 hari pemeliharaan.

Rusmiyati (2011) menyatakan, produksi kepiting soka, dilakukan dengan memelihara kepiting secara individu didalam kotak (keranjang) yang di tempatkan pada keramba hingga molting. Seperti yang terdapat pada daerah penelitian.

Pertumbuhan kepiting terjadi secara berkala pada setiap rangkaian proses pergantian kulit atau molting. Pada daerah penelitian pergantian kulit ini dapat terjadi hingga beberapa kali molting. Penambahan bobot kepiting dapat mencapai 25% dari berat awal. Pemoltingan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan dan wadah tempat pemeliharaan kepiting, pencahayaan, suhu atau temperature serta makanan. Selain itu penggantian air dan pemberian pakan juga sangat mempengaruhi pertumbuhan dan pemoltingan kepiting. Kepiting yang sedang mengalami pergantian kulit inilah yang akan di panen menjadi kepiting soka. Sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011) bahwa selama masa pertumbuhan kepiting menjadi dewasa, kepiting bakau akan mengalami proses ganti kulit antara 17-20 kali. Hal ini terjadi karena rangka luar yang membungkus tubuhnya tidak dapat membesar sehingga perlu dibuat dan diganti dengan yang lebih besar. Pertambahan berat yang dicapai setelah molting 20-25% dari berat awal dengan rata-rata berat awal penebaran 80-100 g/ekor dalam masa pemeliharaan 15-20 hari. Pemoltingan tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu informasi eksternal dari lingkungan seperti cahaya, temperature, dan ketersediaan makanan. Selain itu informasi internal juga sangat berperan, seperti ukuran tubuh yang membutuhkan tempat yang lebih luas. Kedua faktor ini akan mempengaruhi otak dan menstimulasi organ-Y untuk menghasilkan hormon molting yaitu ekdisteroid.

Selain itu penggantian air dilakukan bila terjadi penurunan kualitas air dan sampling dilakukan setiap 5 hari untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan dan kesehatan kepiting. Dengan pengelolaan pakan yang cermat, cocok dan tepat jumlah maka dalam tempo 10 hari pertumbuhan kepiting akan dapat diketahui.

5. Pemeliharaan Air

Pemeliharaan air merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam kebrhasilan kegitan pembudidayaan kepiting. Pada daerah penelitian pemeliharaan air dilakukan dengan penggantian air setiap pasang atau 2 kali dalam 1 periode, selain itu manfaat dari polokultur yang dilakukan oleh para petambak didaerah penelitian yaitu menjaga agar limbah sisa pakan kepiting serta lumut-lumut yang tumbuh pada keramba tidak menyebabkan kualitas air menjadi terganggu karena ikan nila akan memakan kedua makanan tersaebut. Sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011) bahwa dalam pemeliharaan kepiting bakau, penggantian air sangat diperlukan. Hal ini memegang peranan penting dalam kberhasilan budidaya kepiting. Penggantian air yang baik dilakukan sebanyak 50-70%. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas air selama masa pemeliharaan. Kondisi air yang tidak layak digunakan ditandai dengan keruhnya air sehingga kepiting akan banyak yang mati. Penrgantian air dilakukan secara bertahap pada pagi dan sore hari. Hal ini dikarenakan proses penrgantian air harus menunggu air laut pasang.

Pada daerah penelitian beberapa hal yang sangat diperhatikan oleh petambak selama masa pemeliharaan kepiting adalah pH, Kandungan oksigen yang terlarut dalam air, salinitas, dan perubahan suhu. pH sangat berpengaruh terhadap reaksi kimia dan toksisitas yang dapat mengakibatkan kematian pada kepiting, salah satu

penanganan terhadap tingkat pH air yang sangat rendah/basa maupun sangat tinggi/asam yaitu dengan cara penambahan kapur Dholomit pada saat kualitas air mulai tampak menurun, selain itu toksisitas reaksi kimia juga dapat terjadi akibat limbah bahan organik yang dihasilkan oleh sisa pakan yang tidak termakan, bangkai hewan dan tumbuhan, kotoran kepiting dan ikan nila, serta bahan organik lain yang membusuk, hal ini dapat diantisipasi dengan pemilihan pakan yang berkualitas. Sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011), pada kolam dengan sistem resirkulasi air cenderung menjadi lebih asam karena proses nitrifikasi dari bahan organik akan menghasilkan karbondioksida dan ion hydrogen. Pada kolam atau tambak banyak dijumpai tumbuhan renik, yang dapat mempengaruhi pH, semakin tinggi nilai pH maka semakin tinggi nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Berdasarkan nilai kisaran pH menurut EPA (Environtmental Protection Agency) untuk kehidupan organisme air adalah 6,5 – 8,5. Menurun nya kualitas air ditandai dengan semakin keruhnya air. Selain itu salinitas juga sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik air. Air yang digunakan dalam pemeliharaan kepiting sebaiknya antara 15-35 permil. Sedangkan nilai oksigen sangat penting bagi pernafasan kepiting maupun ikan dan merupakan komponen utama bagi metabolism kepiting dan organisme perairan lainnya. Kandungan oksigen terlarut yang terbaik untuk kehidupan organisme perairan berkisar antara 5-5,69 ppm. Kandungan oksigen lebih rendah akan mengakibatkan selera makan oranisme menurun. Dalam usaha budidaya kepiting soka sirkulasi air harus selalu dijaga untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut tersebut. Pada daerah penelitian penanganan terhadap sirkulasi air yaitu dengan

meadukan ikan nila dengan kepiting dengan merujuk pada sifat ikan nilai tersebut. Berikut ini adalah rata-rata kebutuhan obat-obatan dalam pemeliharaan air yaitu:

Tabel 9. Rata-rata Kebutuhan Obat-obatan Per Petani dan Per Ha di daerah Penelitian Dalam 1 Periode.

No

Luas Kolam Samponen Lodan

(Zak) (Kg)

1 3.7 Rante 1 12

2 1 Ha 8 74

Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 4a dan 4b

Dari tabel 9 dapat di ketahui pada daerah penelitian, kebutuhan obat-obatan untuk pemeliharaan air pada saat proses budidaya yaitu 1 zak /50 kg perpetani dan 8 zak atau 400 kg/ha (8 kolam) dengan luas kolam rata-rata 3,7 rante untuk samponen dan 12 kg lodan perpetani dan 74 kg/ha.

6. Pencegahan Hama dan Penyakit.

Hama dan penyakit yang terdapat didaerh penelitian yaitu white spot dan

berkurangnya nafsu makan kepiting. Penyebab white spot syndrome virus (wssv)

adalah karena kolam tambak yang digunakan adalah bekas tambak udang yang pernah tercemar virus. Sedangkan berkurangnya nafsu makan pada kepiting dapat di sebabkan oleh kualitas air yang kurang baik. Penanganan terhadap kualitas air yang kurang baik yaitu dilakukan nya pengapuran sedangkan penanganan pada infeksi wssv adalah mengkarantina kepiting yang terjangkit. Pemberian klorin serta pemeliharaan yang intensif. Sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011), kepiting bakau sangat sensitif terhadap white spot syndrome virus, hal ini karena udang dan kepiting masih berada dalam satu kelas, yaitu Crustaceaserta dan memiliki habitat yang sama yaitu pada perairan payau atau estuaria. Pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit ini yaitu: 1) mensucihamakan induk yang akan memijah. 2) pemberian klorin pada air yang ditempati kepiting 3) perlakuan

karantina bagi kepiting yang membawa penyakit 4)pemeliharaan yang intensif dengan memperhatikan kebersihan lingkungan.

Dokumen terkait