ANALISIS USAHA TAMBAK POLIKULTUR KEPITING – IKAN NILA
(Studi Kasus: Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang)
SKRIPSI
OLEH :
HARIRY FITRA HUMAMY
070304004
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS USAHA TAMBAK POLIKULTUR KEPITING – IKAN NILA
(Studi Kasus: Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang)
SKRIPSI
OLEH :
HARIRY FITRA HUMAMY
070304004
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh
gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
Disetujui Oleh:
Komisi Pembimbing,
Ketua,
NIP. 131 689 798 (M. Mozart B. Darus, MSc)
Anggota,
(Sri Fajar Ayu, SP, MM, DBA) NIP. 197008272008122001
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
HARIRY FITRA HUMAMY, 2012. “Analisis Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila” Studi Kasus di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini dibawah bimbingan Bapak M. Mozart B Darus, MSc dan Ibu Sri Fajar Ayu,SP, MM, DBA.
Daerah penelitian ditentukan secara purposive dan metode penentuan sampel yang digunakan adalah Metode Sensus, dimana total populasi 21 petambak dan seluruhnya dijadikan sampel dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sistem pengelolaan usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila, menganalisis tingkat pendapatan petambak dan menganalisis kelayakan usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sistem pengelolaan usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila ini dilakukan dengan menggunakan sistem semi intensif dengan metode campur jenis yang menggunakan kolam tambak sebagai wadah budidaya. dimana, pendapatan usaha tambak polikultur ini dapat dikatakan tinggi karena lebih besar dari pendapatan usaha polikultur kepiting-ikan nila daerah lain yaitu sebesar Rp.24.868.118 dengan R/C rata-rata sebesar 1,8. Maka, usaha tambak polikultur di daerah penelitian layak untuk dijalankan dan dikembangkan.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian yang berjudul “Analisis Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila” Studi Kasus di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli
Serdang.” Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak M.
Mozart B. Darus, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Sri Fajar Ayu,
SP, MM, DBA selaku Anggota Komisi Pembimbing.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan saran dan kritik untuk memperbaiki. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.
Medan, Januari 2013
DAFTAR ISI
2.3 Kerangka Pemikiran ... 20
2.4 Hipotesis Penelitian ... 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 24
3.2 Metode Penentuan Sampel ... 25
3.3 Metode Pengumpulan Data ... 25
3.4 Metode Analisis Data ... 25
3.5 Definisi dan Batasan Operasional ... 28
3.5.1 Definisi ... 28
3.5.2 Batasan operasional ... 29
IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PETANI SAMPEL ... 30
4.1. Deskripsi Daerah Penelitian ... 30
4.2. Keadaan Penduduk ... 30
4.3. Karakteristik Petani Sampel ... 35
5.2. Biaya Produksi Usaha Tambak Polikultur Kepiting Ikan-Nila ... 46
5.2.1. Biaya Tetap ... 46
5.2.2. Biaya Variabel ... 48
5.3. Produksi dan Penerimaan Usaha Tambak Polikultur Kepiting Ikan-Nila ... 52
5.3.1. Produksi ... 52
5.3.2. Penerimaan ... 52
5.4. Analisis Pendapatan dan Kelayakan Usaha Tambak Polikultur Kepiting Ikan-Nila ... ….53
5.5. Kelayakan ... 56
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59
6.1. Kesimpulan ... 59
6.2. Saran ... 60
Kepada Petani ... 60
Kepada Pemerintah ... 60
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No. Judul Hal.
1. Luas Areal Budidaya Tambak per kecamatan di
Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 ... 24 2. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa
Paluh Manan Tahun 2009 ... 31 3. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian
di Desa Paluh Manan Tahun
2009... ... 31 4. Karakteristik Petani Sampel ... 32 5. Rata-rata Kebutuhan Kapur dan Pupuk di daerah
Penelitian ... ... 37 6. Rata-rata Kebutuhan Bibit Kepiting Pada Usaha
Tambak Polikultur Kepiting – Ikan Nila PerPetani Per
Periode ... ... 38 7. Rata-rata Kebutuhan Pakan Per Petani Per Periode di
daerah Penelitian ... ... 37 8. Rata-rata Kebutuhan Obat-obatan Per Petani Per
Periode di daerah Penelitian
... ... 37 9. Biaya Tetap Rata-rata Usaha Tambak Polikultur
Kepiting – Ikan Nila PerPetani dan Per Ha selama 1
tahun di Daerah Penelitian ... 46 10. Biaya Variabel Rata-rata Usaha Tambak Polikultur
Kepiting – Ikan Nila PerPetani dan Per Ha selama 1
tahun di Daerah Penelitian ... 48 11. Rata-rata Penerimaan Usaha Tambak Polikultur
Kepiting – Ikan Nila PerPetani dan Per Ha selama 1
tahun di Daerah Penelitian ... 53 12. Rata-rata Pendapatan Usaha Tambak Polikultur
Kepiting – Ikan Nila PerPetani dan Per Ha selama 1
13. Nilai Rata-rata R/C ratio Usaha Tambak Polikultur Kepiting – Ikan Nila PerPetani dan Per Ha selama 1
tahun di Daerah Penelitian ... 46 14. Nilai Rata-rata Produktivitas Tenaga Kerja Usaha
Tambak Polikultur Kepiting – Ikan Nila PerPetani dan
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Hal.
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul
1. Karakteristik Petani Sampel Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila di Daerah Penelitian.
2. a. Biaya Penggunaan Bibit Kepiting dan Ikan Nila Per Petani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.
b. Biaya Penggunaan Bibit Kepiting Per Ha Pertahun (10 periode) di Daerah Penelitian.
3. a. Biaya Penggunaan Pakan Per Petani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.
4. b. Biaya Penggunaan Pakan Per Ha Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.
5. a. Biaya Penggunaan Pupuk dan Obat-obatan Per Petani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.
b. Biaya Penggunaan Pupuk dan Obat-obatan Per Ha Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.
6. a. Biaya Penggunaan Alat-alat Pertanian dan Lain-lain Perpetani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.
b. Biaya Penggunaan Alat-alat Pertanian dan Lain-lain Per Ha Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.
7. a. Curahan Tenaga Kerja Perpetani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.
b. Curahan Tenaga Kerja Per Ha Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.
8. a. Biaya Penyusutan Peralatan Perpetani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.
9. a. Produksi dan penerimaan Kepiting dan Ikan Perpetani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.
b. Produksi dan penerimaan Kepiting dan Ikan Per Ha Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.
10. a. Biaya Produksi Per Petani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian. b. Biaya Produksi Per Ha Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.
11. a. Pendapatan Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila Per Petani Per Tahun (10Periode) di Daerah Penelitian
b. Pendapatan Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila Per Ha Per Tahun (10Periode) di Daerah Penelitian
12. a. Nilai R/C Per Petani Pertahun (10 Periode) di Daerah Penelitian b. Nilai R/C Per Ha Pertahun (10 Periode) di Daerah Penelitian
13. a. Produktivitas Tenaga Kerja Per Petani Pertahun (10 Periode) di Daerah Penelitian
ABSTRAK
HARIRY FITRA HUMAMY, 2012. “Analisis Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila” Studi Kasus di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini dibawah bimbingan Bapak M. Mozart B Darus, MSc dan Ibu Sri Fajar Ayu,SP, MM, DBA.
Daerah penelitian ditentukan secara purposive dan metode penentuan sampel yang digunakan adalah Metode Sensus, dimana total populasi 21 petambak dan seluruhnya dijadikan sampel dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sistem pengelolaan usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila, menganalisis tingkat pendapatan petambak dan menganalisis kelayakan usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sistem pengelolaan usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila ini dilakukan dengan menggunakan sistem semi intensif dengan metode campur jenis yang menggunakan kolam tambak sebagai wadah budidaya. dimana, pendapatan usaha tambak polikultur ini dapat dikatakan tinggi karena lebih besar dari pendapatan usaha polikultur kepiting-ikan nila daerah lain yaitu sebesar Rp.24.868.118 dengan R/C rata-rata sebesar 1,8. Maka, usaha tambak polikultur di daerah penelitian layak untuk dijalankan dan dikembangkan.
I. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan
perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan
ragam. Dari sakala usaha, ada yang berskala besar, ada yang berskala menengah
serta ada yang berskala kecil(Said dan lutan, 2001).
Potensi sumberdaya perikanan laut indonesia, baik penangkapan (capture)
maupun budi daya (culture) sangat besar. Potensi perikanan budidaya sangat
prospektif untuk di kembangkan. Ini karena kegiatan perikanan tangkap tidak
dapat di ekspansi lagi, mengingat stok sumberdaya perikanan tangkap telah
dieksploitasi secara optimum (full fishing), bahkan berlebihan (over fishing).
Budi daya perairan atau akuakultur (aquaculture) menjadi tulang punggung
produksi perikanan nasional di masa depan, baik untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi dalam negri maupun untuk eskpor. Jumlah penduduk Indonesia yang
besar merupakan potensi pasar bagi produksi budi daya perairan. Di samping itu,
biota – biota akuatik yang dibudidayakan merupakan komoditas yang bernilai jual
tinggi di pasar internasional, sehingga tidak sulit menembus pasar ekspor.
Sumber daya sektor perikanan saat ini memberikan kontribusi penting bagi
perekonomian nasional antara lain, 1) Produk perikanan merupakan pemasok
utama protein hewani bagi 200 juta lebih penduduk Indonesia, 2) Sub sektor
perikanan menyerap lapangan pekerjaan bagi sekitar 4,4 juta masyarakat nelayan/
Kepiting bakau (scylla serrata) sangat digemari konsumen lokal maupun luar
negeri dan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ekspor kepiting meningkat
rata-rata 14,06%. Komoditas ini mempunyai kandungan nilai gizi tinggi, protein
dan lemak, bahkan pada telur kepiting kandungan proteinnya sangat tinggi, yaitu
sebesar 88,55%. Dengan nilai komposisi demikian, komoditas ini sangat digemari
konsumen luar negeri dan menjadi salah satu makanan paling bergengsi di
kalangan mereka. Amerika Serikat merupakan negara penyerap hampir 55%
produksi kepiting dunia, sedang permintaan lainnya datang dari negara-negara di
kawasan Eropa, Australia, Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura, Korea Selatan.
Permintaan ekspor kepiting bakau terus meningkat dan telah menjadikan
komoditas ini sebagai salah satu andalan ekspor non migas
(Ditjen Perikanan, 2000).
Produksi kepiting cenderung meningkat seiring dengan kenaikan permintaan.
Peluang pasar yang cukup besar dan harga yang tinggi menyebabkan bisnis
kepiting ini mulai berkembang di beberapa tempat seperti Medan, Riau, Cilacap,
Surabaya, Kalimantan dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan data statistik perikanan
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006).
Namun kebutuhan ekspor kepiting bakau selama ini masih mengandalkan hasil
penangkapan di muara sungai / kawasan bakau yang apabila eksploitasi kepiting
bakau ini semakin intensif dan tidak terkendali akan mengancam kelestarian
sumber daya tersebut. Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan konsumsi
domestik maupun kebutuhan ekspor yang terus meningkat diperlukan upaya
Menurut Rusmiyati (2011), di Indonesia, sepanjang pantainya yang potesial
sebagai lahan tambak adalah sekitar 1,2 juta Ha. Yang digunakan sebagai tambak
udang baru 300.000 Ha. Sisanya masih tidur, artinya peluang membangunkan
potensi tambak tidur tersebut untuk budidaya kepiting masih terbuka lebar.
Kepiting dapat ditemukan disepanjang pantai di Indonesia.
Ketersediaan berbagai jenis biota laut seperti kepiting, ikan, udang, kerang dan
berbagai jenis lainnya terdapat pada ekosistem hutan tropik yang khas, tumbuh di
sepanjang pantai atau muara serta di pengaruhi oleh pasang surut dengan variasi
lingkungan yang besar dari hutan mangrove. Kawasan hutan mangrove ekosistem
yang sangat produktif dan berpotensi tinggi untuk di manfaatkan. Kawasan hutan
mangrove bukan sekedar penghasil sumberdaya hutan, tetapi juga sangat berperan
dalam menunjang sumberdaya perikanan (Kordi, 2011).
Indonesia sebagai salah satu negara yang kaya dengan keragaman hayati sudah
saatnya mengembangkan potensi tersebut. Pertanian monokultur yang secara
sistematis telah menghancurkan kekayaan alam Indonesia, perlu dihempang
perjalanannya. Kekayaan alam Indonesia perlu tetap di pertahankan, dengan
mengembangkan pola tani yang sesuai dengan kondisi lokal setiap daerah
(Sabirin, dkk, 2010).
Gustiano (2010) menyatakan bahwa ikan nila merupakan salah satu ikan
ekonomis penting di dunia karena cara budidayanya yang mudah, rasanya yang
digemari dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan. Dewasa ini,
ikan nila dipelihara secara komersial di berbagai belahan dunia, baik di kolam
pantai. Cara pembesaran ikan nila juga dapat dilakukan dengan teknik tunggal
kelamin, campur kelamin, tunggal jenis, campur jenis (polikultur) dan terpadu.
Polikultur adalah sebuah cara budidaya yang biasa dipakai untuk membawa
kesejahteraan (jika dilakukan dengan benar) ataupun membawa kehancuran (jika
dipakai dengan salah).
Terwujudnya konsep pertanian polikultur sebagai usaha manusia melakukan
pemadatan areal tanah dengan maksud memperbaiki ekologi lingkungan alam,
dan secara simultan meningkatkan produktifitas lahan yang dapat diukur dari
pendapatan ekonomi ini pada akhirnya akan menghadirkan petani yang mandiri
(soekirman, dkk, 2007).
Kabupaten Deli Serdang secara geografis merupakan bagian dari wilayah pada
posisi silang di kawasan Palung Pasifik Barat yang termasuk dalam wilayah
pengembangan Pantai Timur Sumatera Utara. Dari sebagian besar garis pesisir
pantai Sumatera merupakan hutan mangrove. Kecamatan Hamparan Perak
memiliki sejumlah lahan pesisir yang potensial dijadikan lahan tambak namun
belum termanfaatkan secara optimal, dimana berdasarkan data statistik BPS
(2009) Kecamatan Hamparan Perak merupakan daerah dengan luas tambak
terbesar pada Kabupaten Deli Serdang dan berdasarkan data Penyuluh Perikanan
Lapangan Dinas Perikanan dan Kelautan kabupaten Deli serdang (2010) terdapat
45 ha lahan tambak produktif dan lebih dari 150 ha lahan tambak saat ini masih
terbengkalai. Selain itu mengacu pada data Ditjen Perikanan selama periode
2010-2011 dalam kompas (2010-2011), tingginya permintaan dan peningkatan angka
permintaan ekspor kepiting setiap tahunnya sebesar 10-20%, maka dari itu
kepiting pada daerah Hamparan Perak khususnya pada sistem polikultur
kepiting-ikan nila untuk melihat prospek cerah dari usaha tersebut sehingga dapat menjadi
bahan informasi baik bagi petani tambak, instansi terkait maupun lembaga yang
mendukung usaha ekonomi kerakyatan sehingga usaha ekonomi ini berkembang
lebih pesat lagi.
1.2Identifikasi Masalah
Berdasarkan pernyataan yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang hendak
diteliti adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sistem pengelolaan usaha tambak pola polikultur kepiting-ikan
nila di daerah penelitian?
2. Bagaimana tingkat pendapatan usaha tambak pola polikultur kepiting-ikan
nila di daerah penelitian?
3. Bagaimana kelayakan usaha tambak pola polikultur kepiting-ikan nila di
daerah penelitian?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan tersebut maka tujuan
penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sistem pengelolaan usaha tambak pola polikultur
kepiting-ikan nila di daerah penelitian.
2. Untuk menganalisis tingkat pendapatan usaha tambak pola polikultur
kepiting-ikan nila di daerah penelitian.
3. Untuk mengetahui kelayakan usaha tambak pola polikultur kepiting-ikan
1.4 Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan tersebut, maka kegunaan
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pihak - pihak yang mengusahakan
tambak pola polikultur kepiting-ikan nila dalam mengembangkan usahanya.
2. Sebagai bahan untuk melengkapi skripsi yang merupakan salah satu syarat
dalam menempuh ujian sarjana di Fakultas Pertanian USU Medan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1Polikultur Kepiting Soka – Ikan Nila
Polikultur atau campuran jenis adalah suatu cara pembesaran ikan yang
mempergunakan lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah pemeliharaan.
Dimana pemilihan jenis ikan , penentuan komposisi, serta penentuan bobot aawal
individu dilakukan atas pertimbangan dari beberapa hal, yaitu: persediaan pakan
alami, kebiasaan makan bagi setiap jenis ikan, dan tujuan usaha pembesaran
(Gustiano, dkk, 2010).
Terwujudnya konsep pertanian polikultur sebagai usaha manusia melakukan
pemadatan areal tanah dengan maksud memperbaiki ekologi lingkungan alam,
dan secara simultan meningkatkan produktifitas lahan yang dapat diukur dari
pendapatan ekonomi (soekirman, dkk, 2007).
Dasar pengembangan polikultur adalah membangun keberagaman yang saling
menguntungkan. Semakin beragamnya populasi suatu kawasan maka semakin
stabil kondisi ekosistem yang berjalan di kawasan itu. jadi, pendekatan pertanian
polikultur merupakan wujud penerapan pertanian berkelanjutan. Konsep pertanian
berkelanjutan memiliki cirri-ciri, 1) bernuansa lingkungan (ecologically sound), 2)
layak secara ekonomi (economically viable), 3) adil secara sosial (socially just), 4)
manusiawi (humane), 5)mampu diadaptasikan (adaptable)
(soekirman, dkk, 2007).
Menurut Fitzgerald (1997) bahwa pola empang parit (tambak) merupakan model
silvofishery yang umum dikembangkan dengan membuat saluran air tempat
lahan yang digunakan untuk silvofishery, sedangkan tumbuhan mangrove dapat
ditanam dibagian tengah, sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan mangrove
(wana/silvo) dan budidaya ikan (mina/fishery). Kondisi ini dapat diterapkan pada
areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran
tambak (bagian tengah) untuk ditanami mangrove, sedangkan bagian caren atau
parit dibiarkan seperti semula. Dengan menggunakan sistem empang parit ini,
maka lahan yang akan di reforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan
tambak. Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1x1 meter
antar individu. Namun demikian menurut Fitzgerald (1997), kepadatan mangrove
yang ditanam dapat bervariasi antara 0,17 – 2,5 pohon/m². Kepadatan mangrove
tersebut akan mempengaruhi sistem budidaya perikanan, karena produktivitas
tambak silvofishery sangat tergantung pada bahan-bahan organik yang berasal
dari serasah tumbuhan mangrove. Kepadatan vegetasi yang rendah diterapkan
pada ikan bandeng, sedangkan kepadatan vegetasi yang tinggi sesuai diterapkan
pada budidaya ikan nila dan kepiting bakau. Kanal untuk memelihara ikan nila
berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman sekitar 40-80 cm dari permukaan pelataran.
Dengan berbagai modifikasi desain dasar tersebut, maka luasan perairan terbuka
yang dapat digunakan untuk memelihara ikan bandeng/ikan nila dapat disesuaikan
hingga mencapai 40-60%. Berbagai jenis ikan, seperti bandeng, kerapu lumpur,
kakap putih, dan baronang, serta ikan nila dan kepiting bakau, dapat di pelihara
secara intensif di kanal tersebut.
Barus (2001) menyatakan pH yang ideal bagi organisme akuatik pada umumnya
terdapat antara 7-8,5. Akan tetapi untuk kepiting menurut Soim (1999) , kisaran
air payau. Selain itu menurut Rusmiyati (2011) Kriteria lokasi yang ideal untuk
pembudidayaan kepiting adalah daerah air payau atau air asin dengan kadar garam
15-30 permil dengan pH tanah 4-5 dan salinitas 24-30 ppt.
Rukmana (1997) menyatakan, bahwa ikan nila memiliki toleransi yang tinggi
terhadap perubahan lingkungan hidup. Keadaan pH air antara 5-11 dapat di
toleransi oleh ikan nila, akan tetapi pH optimal untuk pertumbuhan untuk
perkembangbiakan dan dan pertumbuhan ikan nila adalah 7-8. Ikan nila masih
dapat tumbuh dalam keadaan air asin pada kadar salinitas 0-35 permil. Oleh
karena itu ikan nila dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak dan perairan
laut, terutama untuk tujuan pembesaran. Sedangkan menurut Gustiano, dkk (2010)
pada salinitas 15 ppt ikan nila mempunyai tingkat kelangsungan hidup dua kali
lipat dengan tingkat adaptasi yang tinggi.
Selain itu ikan nila memiliki keunggulan komparatif dalam sifat biologinya yang
memberi peluang bagi pengembangan usaha budidaya intensif yaitu, pertumbuhan
nya cepat dan efisien terhadap pakan, mudah dipelihara pada berbagai lingkungan
(habitat), rakus terhadap limbah buangan / sisa pakan dan termasuk pemangsa
segalah bahan (omnifora).
Menurut Rusmiyati (2011) Sistem pengelolaan tambak kepiting meliputi beberapa
kegiatan diantaranya: Persiapan Tambak, Penebaran Bibit, Teknik Produksi
Kepiting soka (kepiting cangkang lunak), Pemberian Pakan, Pemeliharaan air, dan
Pengendalian Hama dan Penyakit. Sedangkan untuk ikan nila menurut Gustiano,
dkk (2010) pengelolaan pembesaran ikan nila dapat disesuaikan dengan jenis
lahan (kolam, tambak, sawah, keramba jaring apung, dan hampang), metoda
sistem pemeliharaan (ekstensif atau tradisional, semi intensif, dan intensif) yang
dipergunakan.
Budidaya kepiting bakau diawali penangkapan benih-benih kepiting bakau dalam
perairan di sekitar hutang bakau, benih ini merupakan hasil peranakan alami dari
benih induk atau kepiting dewasa. Kemudian dimasukkan dalam lahan yang telah
disiapkan yaitu berupa keramba yang diletakkan dalam perairan di lahan tambak
atau perairan bakau (Gunarto dan Adi Hanafi, 2000).
Pada persiapan pembuatan kolam tambak, Rusmiyati (2011) menyatakan bahwa
pengelolaan dasar tambak dilakukan dengan memberikan perlakuan terhadap
dasar tambak. Seperti pengapuran dan pemberian pupuk sesuai kebutuhan, dengan
demikian dasar tambak tidak menimbulkan pengaruh negative terhadap kualitas
air tambak selama pemeliharaan. Kegiatan pengelolaan tambak meliputi
penjemuran, pembalikan, dan pengapuran. Penjemuran tanah dilakukan hingga
bagian permukaan sampai retak – retak. Tujuan nya agar semua bahan organik
yang didasar tambak terurai menjadi unsure yang tidak membahayakan dan
mengikat gas-gas beracun yang terdapat pada dasar kolam atau media tanah.
Proses pengeringan tambak dilakukan selama 1 minggu. Pada persiapan lahan
tambak juga dilakukan kegiatan pengapuran. Pengapuran menggunakan kapur
CaCO3 (Dholomit). Pengapuran berpengaruh terhadap nilai pH tanah bertujuan
untuk menaikkan atau mempertahankan pH tanah bagian dalam tambak hingga
kisaran pH normal (7-8). Pengapuran dilakukan dengan menaburkan kapur
dipermukaan pelataran tambak secara merata dan dibiarkan selama 2-4 hari.
Penebaran bibit kepiting dapat dilakukan pada pagi atau sore hari pada keramba.
kepadatan 2000-3000 ekor/ha untuk berat 2-5 gram atau kurang lebih
20.000-30000 ekor/ha untuk berat 0.5 gram atau sebesar 2400-3600 ekor/kolam
(1200m2).
Untuk Pakan pada kolam pemeliharaan Gustiano (2010) menyatakan bahwa
pakan pada kolam pemeliharaan dapat berupa pakan alami yang berasal dari
pemupukan. Fitoplankton, zooplankton, maupun binatang yang hidup di dasar ,
seperti cacing, siput, jentik-jentik nyamuk dan chirinomus dapat menjadi makanan
ikan nila. Selanjutnya ikan dapat diberikan pakan lain selain pakan alami yang
terdapat pada kolam.
Pemberian pakan lebih diutamakan dalam bentuk segar sebanyak 5-10% dari berat
badan dan diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore/ malam hari. Dalam
siklus pemeliharaan, kepiting yang dapat bertahan hidup adalah sebesar 70%.
Dengan pertambahan berat badan sebesar 10%-15% (Rusmiyati,2010).
Sedangkan menurut Gustiano (2010), pada ikan nila, jumlah pakan yang diberikan
setiap hari disesuaikan dengan berat ikan, sering di sebut dengan Tingkat
Pemberian Pakan (TPP). Umumnya ikan yang berukuran besar membutuhkan
TPP dan frekuensi pemberian pakan yang semakin kecil dibandingkan dengan
ikan yang berukuran kecil. Seperti pada daerah penelitian, jumlah pakan yang
diberikan pada kepiting yang tumbuh semakin besar akan mengurangi sisa pakan
yang jatuh kedasar kolam, akan tetapi hal ini justru lebih baik karena kebiutuhan
pakan ikan juga semakin kecil sehingga tidak mengganggu pertumbuhan kedua
komoditi secara bersamaan. Akan tetapi pada saat awal pemeliharaan ikan nila
membutuhkan lebih banyak pakan, sedangkan kepiting membutuhkan lebih
akan menjadi makanan tambahan bagi ikan nila.
Budi daya kepiting di tujukan untuk menghasilkan kepiting konsumsi. Kegiatan
budi daya di kenal dengan kegiatan pembesaran dan penggemukan. Selain
pembesaran dan penggemukan dikenal juga produksi kepiting lunak atau kepiting
soka dan kepiting telur (Kordi, 2011).
Kepiting soka adalah kepiting bakau yang sedang mengalami fase ganti kulit
(molting). Keunggulan kepiting dalam fase ini yaitu mempunyai cangkang yang
lunak “soft shell mud crab” sehingga dapat dikonsumsi secara utuh. Selain tidak
repot memakannya karena kulitnya tidak perlu disisishkan, nilai nutrisinya juga
lebih tinggi, terutama kandungan chitosan dan karotenoid yang biasanya terdapat
pada kulit dapat dimakan. produksi kepiting soka, dilakukan dengan memelihara
kepiting secara individu didalam kotak (keranjang) yang di tempatkan pada
keramba hingga molting (Rusmiyati, 2011).
Menurut Rusmiyati (2011), kepiting yang sudah tua atau yang sudah pernah
bertelur tidak baik untuk dilakukan pemotingan (proses ganti kulit). Ukuaran
cangkang kepiting yang dipelihara berkisar 10-15 cm dengan berat 60-150 gram.
Ukuan tersebut sangat baik dan sangat cepat dalam proses molting. Kondisi organ
tubuh lengkap tak ada cacat dan luka. kepiting yang cacat ataupun mengalami
luka tidak bias molting dan mengalami kematian 1- 4 hari pemeliharaan.
Selama masa pertumbuhan kepiting menjadi dewasa, kepiting bakau akan
mengalami proses ganti kulit antara 17-20 kali. Hal ini terjadi karena rangka luar
yang membungkus tubuhnya tidak dapat membesar sehingga perlu dibuat dan
diganti dengan yang lebih besar. Pertambahan berat yang dicapai setelah molting
dalam masa pemeliharaan 15-20 hari. Pemoltingan tersebut di pengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu informasi eksternal dari lingkungan seperti cahaya,
temperature, dan ketersediaan makanan. Selain itu informasi internal juga sangat
berperan, seperti ukuran tubuh yang membutuhkan tempat yang lebih luas. Kedua
faktor ini akan mempengaruhi otak dan menstimulasi organ-Y untuk
menghasilkan hormon molting yaitu ekdisteroid. Selain itu penggantian air
dilakukan bila terjadi penurunan kualitas air dan sampling dilakukan setiap 5 hari
untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan dan kesehatan kepiting. Dengan
pengelolaan pakan yang cermat, cocok dan tepat jumlah maka dalam tempo 10
hari pertumbuhan kepiting akan dapat diketahui (Rusmiyati, 2011).
Dalam pemeliharaan kepiting bakau, penggantian air sangat diperlukan. Hal ini
memegang peranan penting dalam kberhasilan budidaya kepiting. Penggantian air
yang baik dilakukan sebanyak 50-70%. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas
air selama masa pemeliharaan. Kondisi air yang tidak layak digunakan ditandai
dengan keruhnya air sehingga kepiting akan banyak yang mati. Pada kolam
dengan sistem resirkulasi air cenderung menjadi lebih asam karena proses
nitrifikasi dari bahan organik akan menghasilkan karbondioksida dan ion
hydrogen. Pada kolam atau tambak banyak dijumpai tumbuhan renik, yang dapat
mempengaruhi pH, semakin tinggi nilai pH maka semakin tinggi nilai alkalinitas
dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Berdasarkan nilai kisaran pH
menurut EPA (Environtmental Protection Agency) untuk kehidupan organisme air
adalah 6,5 – 8,5. Menurun nya kualitas air ditandai dengan semakin keruhnya air.
Selain itu salinitas juga sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik air. Air
Sedangkan nilai oksigen sangat penting bagi pernafasan kepiting maupun ikan dan
merupakan komponen utama bagi metabolism kepiting dan organisme perairan
lainnya. Kandungan oksigen terlarut yang terbaik untuk kehidupan organisme
perairan berkisar antara 5-5,69 ppm. Kandungan oksigen lebih rendah akan
mengakibatkan selera makan oranisme menurun. Dalam usaha budidaya kepiting
soka sirkulasi air harus selalu dijaga untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut
tersebut. Kepiting bakau sangat sensitif terhadap white spot syndrome virus, hal
ini karena udang dan kepiting masih berada dalam satu kelas, yaitu
Crustaceaserta dan memiliki habitat yang sama yaitu pada perairan payau atau
estuaria. Pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit ini yaitu: 1)
mensucihamakan induk yang akan memijah. 2) pemberian klorin pada air yang
ditempati kepiting 3) perlakuan karantina bagi kepiting yang membawa penyakit
4)pemeliharaan yang intensif dengan memperhatikan kebersihan lingkungan
(Rusmiyati, 2011).
Landasan Teori
Menurut Mosher (1981) usahatani pada dasarnya adalah tanah. Usahatani dapat
sebagai suatu cara hidup (a way of life). Jenis ini termasuk usahatani untuk
memenuhi kebutuhan sendiri atau subsistem dan primitif. Jenis usahatani seperti
itu pada saat sekarang sudah langka ditemui. Pada saat sekarang, pada umumnya
jenis usahatani yang termasuk perusahaan (the farm business). Setiap petani pada
hakikatnya menjalankan perusahaan pertanian di atas usahataninya. Itu merupakan
bisnis karena tujuan setiap petani bersifat ekonomis, memproduksi hasil-hasil
untuk dijual ke pasar atau untuk di konsumsi sendiri oleh keluarganya. Usahatani
Usahatani hendaklah senantiasa berubah, baik di dalam ukuran (size) maupun
susunannya, untuk memanfaatkan metode usahatani yang senantiasa berkembang
secara lebih efisien. Corak usahatani yang cocok bagi pertanian yang masih
primitif bukanlah corak yang paling produktif apabila sudah tersedia
metode-metode yang modern (Mosher, 1981).
Polikultur adalah praktek kultur lebih dari satu jenis organisme akuatik di kolam
yang sama. Prinsip yang memotivasi adalah bahwa produksi ikan di kolam dapat
dimaksimalkan dengan meningkatkan kombinasi spesies yang berbeda
(Singgih, 2010).
Usahatani dalam operasinya bertujuan untuk memperoleh pendapatan yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan serta dana untuk kegiatan di luar
usahatani. Untuk memperoleh tingkat pendapatan yang diinginkan maka petani
seharusnya mempertimbangkan harga jual dari produksinya. Melakukan
perhitungan terhadap semua unsur biaya dan selanjutnya menentukan harga pokok
hasil usahataninya, keadaan ini tidak dapat dilakukan oleh petani, akibatnya
efektivitas usahatani menjadi rendah. Volume produksi, produktivitas serta harga
yang diharapkan jauh di luar harapan yang dikhayalkan (Fhadoli, 1991).
Biaya produksi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh
faktor-faktor produksi yang akan digunakan untuk menghasilkan barang-barang produksi
yang dijual. Biaya produksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu : biaya tetap (FC) dan
biaya variabel (VC). Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak tergantung
dari banyak sedikitnya jumlah output, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang
besarnya berubah-ubah tergantung dari banyak sedikitnya output yang dihasilkan.
total (TC) yang merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk
menghasilkan produksi. Jadi, TC = TFC + TVC (Nuraini, 2001).
Kurva biaya produksi adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara jumlah
biaya produksi yang dipergunakan dan jumlah produk yang dihasilkan. Maka pola
kurva biaya tetap total (TFC), biaya variabel total (TVC) dan biaya total (TC)
dapat dilihat sebagai berikut :
Rp
Pada Gambar 2, dapat dilihat pada biaya tetap total (TFC) dilukiskan sebagai garis
lurus (horizontal) sejajar dengan sumbu kuantitas. Hal ini menunjukkan bahwa
berapapun jumlah output yang dihasilkan, besarnya biaya tetap total tidak berubah
yaitu sebesar n. Pada biaya variabel total (TVC) menunjukkan bahwa kurva biaya
variabel total terus menerus naik. Jadi, semakin banyak output yang dihasilkan
maka biaya variabel akan semakin tinggi. Namun demikian, laju peningkatan
biaya tersebut berbeda-beda (tidak konstan). Laju peningkatan mula-mula dari
titik asal adalah menurun hingga titik A. Pada titik A ini tidak terjadi peningkatan
sama sekali. Kemudian sesudah titik A laju kenaikannya terus menerus naik,
dengan kurva TVC secara vertikal. Biaya total (TC) berada pada jarak vertikal di
semua titik antara biaya tetap total (TFC) dan biaya variabel total (TVC), yaitu:
sebesar n (Nuraini, 2001).
Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan
harga jual. Pernyataan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
TR1 = Y1 . Py1 Yaitu :
TR = Total Penerimaan
Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani
Py = Harga y.
Sedangkan pendapatan usahatani diperoleh dengan cara mengurangi keseluruhan
penerimaan dan biaya. Rumus yang digunakan untuk mencari pendapatan
usahatani, adalah :
Pd = TR – TC
Dimana :
Pd = Pendapatan usahatani
TR = Total Penerimaan
TC = Total Biaya (Soekartawi, 2002).
Untuk dapat meningkatkan pendapatan sangat tergantung pada cepat tidaknya
mengadopsi inovasi tergantung dari faktor ekstern dan faktor intern itu sendiri,
yaitu faktor ekonomi dan sosial. Faktor ekonomi itu diantaranya jumlah
tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki dan ada tidaknya usahatani yang
dimilikinya. Sedangkan faktor sosial diantaranya umur, tingkat pendidikan dan
Pendapatan total untuk usaha tani pola polikultur adalah pendapatan yang di
peroleh dari pengurangan seluruh penerimaan dari semua jenis komoditi dan
seluruh biaya dari setiap komoditi yang terdapat dalam satu lahan. Sehingga dapat
ditulis dengan rumus:
n n n
Σ Pd = Σ TR
–
Σ TC
i = I i = I i = I
Keterangan:
i = komoditi ( jenis komoditi budidaya)
n = jumlah komoditi
(Mosher, 1987).
Keuntungan adalah selisih antara total penerimaan (TR) dan total biaya (TC).
Tujuan ini dapat diformulasikan sebagai berikut : π = pq – c (q). Keuntungan juga
merupakan insentif bagi produsen untuk melakukan proses produksi. Keuntungan
inilah yang mengarahkan produsen untuk mengalokasikan sumber daya ke proses
produksi tertentu. Produsen bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan dengan
kendala yang dihadapi (Sunaryo, 2001).
Menurut Soekartawi (1995) kelayakan usaha tambak kepiting dapat juga
dianalisis dengan metode analisis R/C, Analisis R/C ini membandingkan nilai
penerimaan (Revenue) dengan total biaya, yaitu dengan kriteria, bila R/C > 1 ,
maka usahatani layak bila R/C = 1 maka usahatani berada pada titik impas dan
bila nilai R/C < 1 maka usaha tani tidak layak (Soekartawi, 1995).
Produktivitas tenaga kerja yaitu perbandingan antara penerimaan dengan total
tenaga kerja yang dicurahkan per usaha tani dengan satuan Rp/HKO. Atau dapat
Produktivitas tenaga kerja = Penerimaan Total tenaga kerja yang dicurahkan
Kriteria uji :
- Jika produktivitas tenaga kerja > tingkat upah yang berlaku, maka usaha
tani layak diusahakan.
- Jika produktivitas tenaga kerja < tingkat upah yang berlaku, maka usaha
tani tidak layak diusahakan.
Dalam perhitungan curahan tenaga kerja maka digunakan standar perhitungan
berdasarkan umur tenaga kerja dengan standar konversi sebagai berikut:
1. Tenaga anak-anak (1-14 tahun) : laki-laki = 0,5 HKP, wanita 0,4 HKP
2. Tenaga laki-laki dewasa ≥ 15 tahun = 1 HKP
3. Tenaga wanita dewasa ≥ 15 tahun = 0,8 HKP
Standar konversi tersebut berlaku dengan jumlah jam kerja yang sama dalam satu
hari kerjamyakni 7 jam efektif dengan rincian:
Jam 8.00 – 12.00 → kerja (4 jam)
Jam 12.00 – 14.00 → istirahat / makan siang (2 jam) Jam 14.00 – 17.00 → kerja (3 jam)
Untuk menghitung curahan tenaga kerja dari setiap individu/anggota keluarga
yang bekerja pada usahatani dengan usia dan jenis kelamin tertentu harus melihat
jumlah jam kerja dikalikan standar men equivalen (Me)/HKP (Hari Kerja setara
Pria) seperti yang telah disebutkan diatas ( Butar-butar, 2010).
2.2Kerangka Pemikiran
Petani tambak polikultur kepiting-ikan nila merupakan pengelola usaha yang
faktor-faktor produksi dalam usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila.
Petani tentunya mengharapkan nilai pendapatan yang maksimal dari setiap jenis
kegiatan pemanfaatan lahan yang dilakukan. Upaya untuk mencapai manfaat
maksimum jangka panjang dapat dilakukan apabila pemanfaatan lahan tambak
dapat dialokasikan secara optimal.
Petani tambak di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli
Serdang pada prakteknya memanfaatkan sistem usaha pola polikultur, dimana
ikan nila diusahakan pada kolam tambak bersama dengan kepiting bakau.
Usaha tambak kepiting di tujukan untuk menghasilkan kepiting soka konsumsi.
Sistem budi daya nya dapat di lakukan dengan menggunakan sistem keramba,
hampang, ataupun jaring apung. Dimana kegiatan budidaya mencakup Persiapan
Tambak, Penebaran Bibit, Teknik Produksi Kepiting soka (kepiting cangkang
lunak), Pemberian Pakan, Pemeliharaan air, dan Pengendalian Hama dan
Penyakit.
Usaha tambak kepiting dan ikan nila memiliki beberapa input produksi
diantaranya benih, pakan, obat-obatan dan tenaga kerja. Input produksi ini
menjadi komponen biaya dalam pengelolaan usaha tambak polikultur
kepiting-ikan nila.
Input dan Output dari usaha tambak mencakup biaya dan hasil biaya pada usaha
pertanian umumnya adalah biaya produksi yang meliputi biaya investasi, yaitu :
biaya yang digunakan untuk pembelian atau sewa tanah, penyediaan keramba,
maupun jaring yang mendukung usaha tambak kepiting bakau tersebut dan biaya
operasional yang meliputi: pembelian benih, obat-obatan, pakan, tenaga kerja,
tambak kepiting tersebut.
Pendapatan yang diperoleh adalah total penerimaan yang besarnya dinilai dalam
bentuk uang dan dikurangi dengan nilai total seluruh pengeluaran selama proses
produksi berlangsung.
Penerimaan adalah hasil perkalian dari jumlah produksi total dengan harga satuan,
sedangkan pengeluaran adalah nilai penggunaan sarana produksi atau input yang
diperlukan pada proses produksi yang bersangkutan.
Kelayakan usaha tambak kepiting di daerah penelitian, akan menentukan peluang
pengembangan usaha tambak ini, yaitu dengan menganalisis apakah layak atau
tidak untuk diusahakan di daerah penelitian. Oleh karena itu, untuk menganalisis
kelayakan usaha tambak kepiting dianalisis dengan metode analisis R/C. Analisis
R/C ini membandingkan nilai penerimaan (Revenue) dengan total biaya produksi
(Cost) dengan menggunakan kriteria, bila nilai R/C >1, maka usaha tambak ini
layak, bila nilai R/C = 1, maka usaha tambak berada pada titik impas dan bila nilai
R/C < 1, maka usaha tambak ini tidak layak. Secara sistematis kerangka
Keterangan : = Ada Hubungan
2.3Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori dan identifikasi masalah, maka dapat dirumuskan
hipotesis penelitian, yaitu :
1. Pendapatan usaha polikultur tambak kepiting didaerah penelitian adalah
tinggi.
III.METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian
Penentuan daerah dilakukan secara purposive (sengaja), yaitu di Desa Paluh
Manan Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang. Daerah ini dipilih
karena Kecamatan Hamparan Perak merupakan salah satu daerah pengembangan
pantai timur dengan luas lahan terbesar dan Desa Paluh manan merupakan sentra
produksi kepiting bakau di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli serdang.
Berikut tabel luas areal budidaya perikanan tambak per kecamatan di Kabupaten
Deli Serdang Tahun 2009.
Tabel 1. Luas Areal Budidaya Perikanan Tambak Per Kecamatan di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009
No Kecamatan Luas Lahan (Ha)
3.2 Metode Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani tambak yang mengusahakan
system tambak polikultur kepiting-ikan nila di Desa Paluh Manan Kecamatan
Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang, yang berjumlah 21 orang. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan metode penentuan sampel secara sensus di
daerah penelitian.
Arikunto (1990) menyatakan apabila subjek kurang dari 100 lebih baik diambil
semua, sehingga penelitian merupakan metode sensus. Berdasarkan pendapat
tersebut maka sampel penelitian ini di ambil seluruhnya yairu 21 orang sampel
yang diambil dengan metode sensus dimana semua individu dalam populasi
diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari petani tambak polikultur kepiting-ikan nila
di Desa Paluh Manan Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang
dengan wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan daftar
kuisioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Sedangkan data sekunder
diperoleh dari instansi dan dinas yang terkait dengan penelitian ini seperti Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Deli Serdang, Kantor Kecamatan Hamparan
Perak, Kantor Desa Paluh Manan dan Penyuluh Pertanian Kabupaten Deli
Serdang serta literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini.
3.4 Metode Analisis Data
Data yang dikumpulkan dengan melakukan tabulasi, kemudian dibuat hipotesis
tersebut.
Untuk identifikasi masalah yang pertama (1) dianalisis dengan menggunakan
metode analisis deskriptif, yaitu untuk mengetahui sistem pengelolaan usaha
tambak kepiting di daerah penelitian.
Untuk identifikasi masalah kedua (2) dianalisis dengan menggunakan metode
tabulasi sederhana, yaitu menggunakan rumus analisis pendapatan, yaitu:
n n n
Σ Pd = Σ TR – Σ TC
i = I i = I i = I
Keterangan:
i = komoditi ( jenis komoditi budidaya)
n = jumlah komoditi
(Mosher, 1987)
Kriteria pengambilan keputusan:
- Jika nilai pendapatan usaha di daerah penelitian > pendapatan usaha
polikultur kepiting-ikan nila daerah lain, maka pendapatan usahatani
tersebut tinggi
- Jika nilai pendapatan usaha di daerah penelitian < pendapatan usaha
polikultur kepiting-ikan nila daerah lain, maka pendapatan usahatani
tersebut rendah
- Jika nilai pendapatan usaha di daerah penelitian = pendapatan usaha
polikultur kepiting-ikan nila daerah lain, maka pendapatan usahatani
tersebut normal
Untuk identifikasi masalah ketiga (3) juga dapat dianalisis dengan menggunakan
perbandingan (nisbah) antara penerimaan dengan biaya, yaitu untuk menganalisis
kelayakan usaha tambak di daerah penelitian, secara matematis dapat dituliskan :
a = R/C R = Py.Y C = FC + VC
a = (Py.Y)/(FC + VC)
Keterangan :
R = Penerimaan (Rp)
C = Biaya (Rp)
Py = Harga Output (Rp)
Y = Output (Kg)
FC = Biaya Tetap (Rp)
VC = Biaya Variabel (Rp)
Kriteria Uji : - R/C > 1 maka usaha tambak layak diusahakan
- R/C = 1 maka usaha tambak berada di titik impas
- R/C < 1 maka usaha tambak tidak layak diusahakan
Dari sisi produktifitas tenaga kerja, kelayakan usaha tambak polikultur
kepiting-ikan nila dapat dianalisis menggunakan analisis Produktivitas tenaga kerja yaitu,
perbandingan antara penerimaan dengan total tenaga kerja yang dicurahkan per
usaha tani dengan satuan Rp/HKO.
Produktivitas tenaga kerja = Penerimaan Total tenaga kerja yang dicurahkan
- Jika produktivitas tenaga kerja > tingkat upah yang berlaku, maka usaha
tani layak diusahakan.
- Jika produktivitas tenaga kerja < tingkat upah yang berlaku, maka usaha
tani tidak layak diusahakan.
3.5 Defenisi dan Batasan Operasional
Untuk menghindari kesalah pahaman dalam penelitian ini maka dibuat definisi
dan batasan operasional sebagai berikut:
3.5.1 Defenisi
1. Petani sampel adalah petani yang mengusahakan tambak kepiting secara
polikultur dengan ikan nila di daerah penelitian.
2. Sistem usaha pilikoltur yaitu praktek kultur lebih dari satu jenis organisme
akuatik di kolam yang sama dalam hal ini petambak mengupayakan ikan
nila dengan kepiting.
3. Usaha polikultur tambak kepiting-ikan nila adalah sistem budidaya yang
mengusahakan kepiting dan ikan nila secara campur jenis dengan
menggunakan keramba sebagai wadah pemeliharaan kepiting, dengan ikan
nila di bawahnya mulai dari pembenihan sampai penjualan dengan
berupaya untuk memanfaatkan sumber daya seoptimal mungkin.
4. Produksi usaha tambak kepiting adalah kepiting soka dan ikan nila yang
sudah layak konsumsi.
5. Kepiting soka merupakan kepiting bakau yang sedang mengalami fase
ganti kulit (molting). Keunggulan kepiting dalam fase ini yaitu mempunyai
cangkang yang lunak sehingga dapat dikonsumsi secara utuh.
berdasarkan jumlah berat.
7. Harga adalah besarnya nilai penjualan kepiting per Kg.
8. Penerimaan adalah nilai yang diperoleh dari perkalian total produksi
dengan harga jual.
9. Biaya produksi adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh petani tambak
selama proses produksi berlangsung sampai siap dipasarkan.
10.Produktivitas tenaga kerja yaitu perbandingan antara penerimaan dengan
total tenaga kerja yang dicurahkan per usaha tani dengan satuan Rp/HKO.
3.5.2 Batasan Operasional
1. Daerah penelitian adalah di Desa Paluh manan Kecamatan Hamparan Perak
Kabupaten Deli serdang.
2. Waktu penelitian adalah pada tahun 2012.
3. Petani Sampel adalah petani tambak yang mengusahakan usaha polikultur
tambak kepiting-ikan nila.
4. Kepiting yang siap dijual berumur 15 – 30 hari atau berat telah mencapai
200gr/ekor. Sedangkan ikan nila yang dijual yaitu minimal telah mencapai
IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PETANI SAMPEL
4.1. Deskripsi Daerah Penelitian
Daerah penelitian yaitu Desa Paluh Manan Kecamatan Hamparan Perak
Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, dengan luas wilayah 1936 Ha.
Jumlah penduduk di Desa Paluh Manan sebanyak 3209 jiwa. Desa Paluh Manan
ini terdiri dari 9 dusun.
Desa Paluh Manan memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Paluh Kurau Kecamatan Hamparan
Perak
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lama Kecamatan Hamparan Perak
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kota Rantang Kecamatan
Hamparan Perak
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kota Datar Kecamatan Hamparan
Perak
4.2. Keadaan Penduduk
Penduduk Desa Paluh Manan berjumlah 3209 jiwa meliputi 1619 jiwa laki-laki
dan 1590 jiwa perempuan, dengan jumlah rumah tangga sebanyak 857 KK. Untuk
Tabel 3. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa Paluh Manan Tahun 2010
No Umur (Tahun) Jumlah Penduduk (Jiwa) Persentase (%)
1 0-6 592 18,4
Sumber : Profil Desa Paluh Manan 2009
Tabel 3. menunjukkan bahwa kelompok umur 0-6 tahun terdapat 592 jiwa
(18,4%), kelompok umur 7-15 tahun terdapat 669 jiwa (20,8%), kelompok umur
16-21 tahun terdapat 682 jiwa (21,3%), kelompok umur 22-59 tahun terdapat 837
jiwa (26,1%) dan kelompok umur > 60 tahun terdapat 429 jiwa (13,4%).
Berdasarkan data diatas dapat dikemukakan bahwa penduduk menurut kelompok
umur 22-59 tahun adalah penduduk yang paling tinggi jumlahnya, yaitu 837 jiwa
(26,1%). Hal ini menunjukkan bahwa di desa ini memiliki tenaga kerja yang
produktif yang masih dapat menghasilkan pendapatan bagi keluarga.
Mata pencaharian penduduk di Desa Paluh Manan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di Desa Paluh Manan Tahun 2009
No Uraian Jumlah Penduduk
(Jiwa)
Persentase (%)
1 Petani 1289 40
2 Nelayan 240 7,5
3 Pedagang 73 3
4 Budidaya Perikanan/Kepiting 21 0,7
5 Wiraswasta 42 1,3
Sumber : Profil Desa Paluh Manan
pekerjaan. Sebagai Petani sebanyak 1289 jiwa (40%), Nelayan sebanyak 240 jiwa
(7.,5%), Pedagang sebanyak 73 jiwa (3%), Budidaya Perikanan/Kepiting
sebanyak 21 jiwa (0,7%), Wiraswasta sebanyak 42 jiwa (1,3%), PNS sebanyak 7
jiwa (0,2%), Guru sebanyak 23 jiwa (0,7%), TNI/ POLRI sebanyak 3 jiwa (0,1%),
Buruh sebanyak 88 jiwa (2,7%), Pengangguran sebanyak 250 jiwa (7,8%) dan
Usia tidak dalam kelompok lerja sebesar 1173 (36%).
4.3. Karakteristik Petani Sampel
Karakteristik petani sampel di daerah penelitian ini meliputi luas lahan, umur,
tingkat pendidikan, jumlah tanggungan dan pengalaman bertani dari petani
sampel. Gambaran karakteristik petani sampel ini dapat dilihat pada Tabel 5
berikut ini :
Tabel 5. Karakteristik Petani Sampel di Desa Paluh Manan
No Uraian Range Rataan
Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 1
Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa rata-rata petani sampel di daerah penelitian
memiliki luas lahan usaha tambak polikultur kepiting-ikan yaitu dengan range 3 –
6 rante dengan rataan 3,7 rante. Hal ini menunjukkan bahwa petani sampel di
daerah penelitian termasuk petani yang memiliki lahan yang tidak terlalu luas
untuk berusaha tambak kepiting-ikan nila karena besarnya modal dalam berusaha
tambak polikultur kepiting-ikan nila dan hanya sebagian petani yang memiliki
lahan sewa untuk melakukan usahatani ini.
Umur petani sampel di daerah penelitian memiliki rata-rata 43 tahun dengan range
usia yang produktif untuk melakukan usaha polikultur tambak kepiting-ikan.
Tingkat pendidikan petani sampel di daerah penelitian memiliki rata-rata 10 tahun
dengan range 6 – 12 tahun. Berdasarkan data ini dapat dilihat bahwa tingkat
pendidikan petani sampel adalah tingkat SMA. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan petani sampel sudah baik.
Jumlah tanggungan petani sampel di daerah penelitian memiliki rata-rata 4 jiwa
dengan range 1 – 8 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tanggungan petani
sampel tergolong rendah. Jumlah ini sangat berpengaruh terhadap beban
tanggungan keluarga, dimana sebagian petani memiliki anak yang sudah dewasa
dan telah menikah sehingga tidak lagi menjadi tanggungan keluarga.
Pengalaman bertani petani sampel di daerah penelitian memiliki rata-rata 16 tahun
dengan range 3 – 27 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman petani dalam
bertani sudah lama, sehingga keahlian dan pengetahuan petani dalam berusahatani
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Sistem Pengelolaan Usaha Tambak Polikultur Kepiting – Ikan di Daerah Penelitian
Usaha tambak polikultur kepiting-ikan yang terdapat di Desa Paluh Manan,
Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang ini adalah suatu tambak
yang membudidayakan kepiting bakau dan ikan nila dalam satu kolam.
Pembudidayaan kepiting bakau ini menghasilkan kepiting yang memiliki
cangkang lunak dengan sistem pengelolaan yang meliputi beberapa kegiatan
diantaranya: Persiapan Tambak, Penebaran Bibit, Teknik Produksi Kepiting soka
(kepiting cangkang lunak), Pemberian Pakan, Pemeliharaan air, dan Pengendalian
Hama dan Penyakit. Sedangkan pada pembudidayaan ikan teknik budidaya nya
meliputi persiapan wadah pembesaran/pemeliharaan, metode dan system
pemeliharaan dapat disesuaikan dengan budidaya kepiting bakau, sesuai dengan
pernyataan Gustiano, dkk (2010) yang menyatakan bahwa pengelolaan
pembesaran ikan nila dapat disesuaikan dengan jenis lahan (kolam, tambak,
sawah, keramba jaring apung, dan hampang), metoda (tunggal kelamin, campur
kelamin, tunggal jenis, dan terpadu), dan sistem pemeliharaan (ekstensif atau
tradisional, semi intensif, dan intensif) yang dipergunakan. Pada daerah
penelitian, lahan yang digunakan yaitu kolam tambak dengan menggunakan
metoda campuran jenis atau polikultur dimana menurut gustiano, dkk (2010)
polikultur atau campuran jenis adalah suatu cara pembesaran ikan yang
mempergunakan lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah pemeliharaan.
individu dilakukan atas pertimbangan dari beberapa hal, yaitu: persediaan pakan
alami, kebiasaan makan bagi setiap jenis ikan, dan tujuan usaha pembesaran.
Pada daerah penelitian, system pemeliharaan untuk metode polikultur yaitu
menggunakan sistem semi intensif. Sistem pemeliharaan semintensif plikultur
kepiting-ikan dimana Gustiano, dkk (2010) menyatakan bahwa pemeliharaan
semiintensif dapat dilakukan di kolam, tambak, sawah, dan jaring apung. Pada
sistem semiintensif ini ditandai oleh pemeliharaan nya yang sudah melakukan
kegiatan pemupukan dan pemberian pakan tambahan secara teratur dan prasarana
berupa saluran irigasi harus baik. Budidaya ikan nila secara semi intensif dikolam
dapat dilakukan secara monokultur maupun polikultur. System semiintensif juga
dapat dilakukan secara terpadu dimana kolam ikan di kelola bersama dengan
usaha tani maupun industry rumah tangga lain.
Adapun aspek kegiatan budidaya polikultur kepiting-ikan nila di daerah penelitian
dapat dilihat sebagai berikut:
1. Persiapan Kolam Tambak
Pada daerah penelitian, usaha tambak polikultur dilakukan pada komoditi kepiting
bakau dan ikan nila. Kolam tambak di buat pada daerah air payau, dimana kolam
tambak merupakan alihfungsi dari tambak udang. Dengan pH berkisar antara 6-8
dan kadar garam 28 permil. Sesuai dengan pernyataan Soim (1999) kisaran
salinitas yang sesuai bagi kepiting adalah 10-30 0/00 atau di golongkan ke dalam
air payau atau menurut Rusmiyati (2011) kriteria lokasi yang ideal untuk
pembudidayaan kepiting adalah daerah air payau atau air asin dengan kadar garam
15-30 permil dengan pH tanah 4-5 dan salinitas 24-30 ppt. Barus (2001)
7-8,5 termasuk pada ikan nila. Sedangkan menurut Gustiano, dkk (2010) pada
salinitas 15 ppt ikan nila mempunyai tingkat kelangsungan hidup dua kali lipat
dengan tingkat adaptasi yang tinggi. Ikan nila dapat dibudidayakan pada air payau
dengan teknik adaptasi secara bertahap seperti yang dilakukan pada daerah
penelitian.
Pada persiapan pembuatan kolam tambak, pengelolaan tanah dasar tambak
merupakan salah satu tahap yang sangat penting. Pada daerah penelitian, dasar
kolam tanah dengan dasar kolam lumpur berpasir yang memiliki pipa paralon
yang di letakkan pada pintu masuk kolam atau pintu penghubung antara satu
kolam dengan kolam lain nya yang berfungsi sebagai irigasi atau pintu masuk air
pada saat pergantian air kolam ataupun pada saat memulai kegiatan budidaya yang
dilakukan sebanyak dua kali dalam sebulan yaitu pada saat pasang 30, air pasang
menjelang malam hari maupun pasang 15, yaitu menjelang siang hari. Kegiatan
persiapan tambak meliputi penjemuran kolam, pembalikan dan pengapuran.
Kegiatan persiapan tambak ini membutuhkan waktu selama 2 minggu, yaitu 1
minggu penjemuran sampai dasar tanah mengering dan retak-retak setelah itu
dilakukan pembalikan tanah dengan cara mencangkul tujuan dilakukannya
pengeringan dan pembalikan tanah ini agar memudahkan dalam penyerapan
pupuk dan mineral lainnya seperti pupuk NPK dan pupuk kandang memicu
tumbuhnya fitoplankton yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup kepiting
terutama ikan yang berada dibawah permukaan air atau di bawah keramba yang
setengah mengapung. Sedangkan pengapuran dilakukan secukupnya. Sesuai
dengan pernyataan Rusmiyati (2011), pengelolaan dasar tambak dilakukan dengan
pupuk sesuai kebutuhan, dengan demikian dasar tambak tidak menimbulkan
pengaruh negative tgerhadap kualitas air tambak selama pemeliharaan. Kegiatan
tambak kegiatan pengelolaan tambak meliputi penjemuran, pembalikan, dan
pengapuran.penjemuran tanah dilakukan hingga bagian permukaan sampai retak –
retak. Tujuan nya agar semua bahan organik yang didasar tambak terurai menjadi
unsure yang tidak membahayakan dan mengikat gas-gas beracun yang terdapat
pada dasar kolam atau media tanah. Proses pengeringan tambak dilakukan selama
1 minggu. Pada persiapan lahan tambak juga dilakukan kegiatan pengapuran.
Pengapuran menggunakan kapur CaCO3 (Dholomit). Pengapuran berpengaruh
terhadap nilai pH tanah bertujuan untuk menaikkan atau mempertahankan pH
tanah bagian dalam tambak hingga kisaran pH normal (7-8). Pengapuran
dilakukan dengan menaburkan kapur dipermukaan pelataran tambak secara
merata dan dibiarkan selama 2-4 hari. Pada daerah penelitian jumlah kapur
pertanian (Dholomit) dan pupuk yang digunakan dapat dilihat pada table berikut
ini:
Tabel 6. Rata-rata Kebutuhan Kapur dan Pupuk di Daerah Penelitian
Uraian Dholomit NPK Pupuk Kandang
(Zak) (Zak) (Goni)
Rante 1 1 7
Ha (8 Kolam) 9 8 48
Sumber : Analisis Data primer Lampiran 4a dan 4b
Dari tabel 6, dapat dilihat pada daerah penelitian, jumlah kebutuhan pengapuran
per kolam dengan rata-rata luas kolam tambak yaitu 3,7 rante (1480 m2) yaitu
sebanyak 50 kg atau sekitar 450 kg pada luas tambak 4000m2 , kebutuhan tersebut
disesuaikan pada keasaman tanah pada daerah penelitian. Sesuai pernyataan
pupuk dapat dilakukan sesuai kebutuhan yang berbeda di setiap daerah. Menurut
Gustiano (2010), dosis pupuk anorganik yang diterapkan adalah sesuai dengan
tingkat kesuburan di tiap daerah.
Selain itu Pada daerah penelitian di lakukan kegiatan pemupukan dengan
menggunakan pupuk NPK sebagai ganti pupuk Urea dan TSP, dengan dosis 1 zak
(50 kg) per 3,7 rante (38.5 m) dan 400 kg/Ha. Kebutuhan pupuk kandang
sebanyak 7 goni atau 70 kg per kolam dan 48 goni atau 480 kg/ha. Sesuai dengan
pernyataan Gustiano (2010) yang menyatakan bahwa dosis pupuk kandang
250-500 gram/m.
2. Penebaran Bibit
Penebaran bibit kepiting maupun ikan di daerah penelitian dilakukan pada pagi
hari maupun sore hari pada hari yang berbeda sesuai dengan pernyataan
Rusmiyati (2011), Penebaran bibit kepiting dapat dilakukan pada pagi atau sore
hari pada keramba. Berikut ini adalah tabel rata-rata kebutuhan bibit kepiting pada
usaha tambak polikultur kepiting-ikan per petani per periode (1 Bulan) di Daerah
penelitian.
Tabel 7. Rata-rata Kebutuhan Bibit Kepiting Pada Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Per Petani Per Periode (1 Bulan) di Daerah Penelitian.
Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 2a dan 2b
Dari tabel 7 dapat di lihat, setiap lahan tambak pemeliharaan terdapat 100 unit
keramba 1,5x1x1 meter dengan kepadatan tebar benih satu kolam (1200m2) sekitar
605 Kg atau sekitar 6050 ekor/kolam atau 60 ekor/keramba dengan berat rata-rata
pernyataan Rusmiyati (2011), benih kepiting yang ditebar berukuran kurang lebih
200-300 gram per ekor. Untuk ukuran keramba 1,5 – 2 x 1 x 1 meter kepadatan
tebarnya kurang lebih 15-25 kg per keramba atau sebanyak 60-70 ekor/keramba.
Sedangkan kepadatan tebar ikan nila di daerah penelitian yaitu 0.6 kg/petani yaitu
1200 ekor per kolam 3,7 rante (1200m2) dengan berat 0.5 gram per ekor dan 5
kg/ha . Sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011) pada budidaya polikultur
dengan ikan nila maksimal dapat ditebar dengan kepadatan 2000-3000 ekor/ha
untuk berat 2-5 gram atau kurang lebih 20.000-30000 ekor/ha untuk berat 0.5
gram atau sebesar 2400-3600 ekor/kolam (1200m2).
3. Pemberian Pakan
Menurut Rusmiyati (2011), Jenis pakan untuk kepiting tidaklah sulit karena
kepiting termasuk dalam hewan pemakan segala jenis makanan begitu juga ikan
nila. Menurut Rukmana (1997) ikan nila efisien terhadap pakan, mudah dipelihara
pada berbagai lingkungan (habitat), rakus terhadap limbah buangan / sisa pakan
dan termasuk pemangsa segalah bahan (omnifora). Ada dua jenis pakan yang
dapat diberikan pada kepiting dan ikan, yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pada
daerah penelitian pakan alami yang diberikan pada kepiting yaitu ikan runcah dan
keong mas. Sedangkan pakan buatan yaitu pelet. Sedangkan untuk pakan ikan
pada daerah penelitian adalah sisa pakan kepiting yang berjatuhan kedasar kolam
tambak serta pakan alami yang berupa jentik-jentik nyamuk maupun fitoplankton,
zooplankton yang tumbuh akibat pemupukan kolam pada saat tahap persiapan
tambak maupun pada saat pemupukan susulan. Sesuai dengan pernyataan
Gustiano (2010) Pakan pada kolam pemeliharaan dapat berupa pakan alami yang
di dasar , seperti cacing, siput, jentik-jentik nyamuk dan chirinomus dapat menjadi
makanan ikan nila. Selanjutnya ikan dapat diberikan pakan lain selain pakan alami
yang terdapat pada kolam. Dalam hal ini seperti pellet kepiting yang berjatuhan ke
dasar kolam. Berikut ini adalah table kebutuhan pakan per petani per periode (30
hari) didaerah penelitian.
Tabel 8. Rata-rata Kebutuhan Pakan Per Petani di daerah Penelitian Dalam 1 Periode.
Luas Tambak Bibit Kebutuhan Pakan
(Kg) (Kg)
3,7 Rante 605 898
1 Ha 3924 8505
Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 3a dan 3b
Dari tabel 8 dapat di ketahui pada daerah penelitian, rata-rata kebutuhan pakan
yaitu sebesar 898 kg untuk bibit 605 kg atau 898 kg untuk bibit yang berjumlah
kurang lebih 6050 ekor. Jumlah kebutuhan pakan ini diperoleh dengan
memperhitungkan berat awal kepiting, pertambahan berat serta tingkat kematian
kepiting dimana pertambahan berat kepiting dapat mencapai 20%-30% dan
tingkat kematian sebesar 25%-30%. Sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011),
pemberian pakan lebih diutamakan dalam bentuk segar sebanyak 5-10% dari berat
badan dan diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore/ malam hari. Dalam
siklus pemeliharaan, kepiting yang dapat bertahan hidup adalah sebesar 70%.
Dengan pertambahan berat badan sebesar 10%-15%. Sedangkan menurut
Gustiano (2010), pada ikan nila, jumlah pakan yang diberikan setiap hari
disesuaikan dengan berat ikan, sering di sebut dengan Tingkat Pemberian Pakan
(TPP). Umumnya ikan yang berukuran besar membutuhkan TPP dan frekuensi
pemberian pakan yang semakin kecil dibandingkan dengan ikan yang berukuran
yang tumbuh semakin besar akan mengurangi sisa pakan yang jatuh kedasar
kolam, akan tetapi hal ini justru lebih baik karena kebiutuhan pakan ikan juga
semakin kecil sehingga tidak mengganggu pertumbuhan kedua komoditi secara
bersamaan. Akan tetapi pada saat awal pemeliharaan ikan nila membutuhkan lebih
banyak pakan, sedangkan kepiting membutuhkan lebih sedikit pakan, maka
jumlah sisa pakan kepiting yang berjatuhan ke dasar kolam akan menjadi
makanan tambahan bagi ikan nila hal ini sangat membantu petani dalam
meminimalisir limbah organik yang dapat mengurangi kualitas air, selain itu ikan
nila juga sangat bermanfaat bagi pemeliharaan kepiting, sifat nya yang lincah dan
suka bergerak akan meningkatkan sirkulasi air sehingga secara tidak langsung
akan menambah suplai oksigen bagi kepiting.
4. Teknik Budidaya Kepiting soka dan Ikan Nila.
Tujuan pemeliharaan kepiting bakau di daerah penelitian adalah untuk
memperoleh kepiting soka atau kepiting cangkang lunak. Pada daerah penelitian
tahap awal dalam teknik budidaya kepiting soka yaitu seleksi terhadap kepiting
yang akan di molting. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah tingkat kematian
dalam pemeliharaan dan kegagalan dalam produksi kepiting soka. Ukuran
kepiting yang akan dibudidayakan sebagai kepiting soka yaitu kepiting muda
berumur 3 bulan, memiliki berat 100 gram atau 1 ons dengan panjang kerapaks
yaitu 10 cm. sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011), kepiting yang sudah tua
atau yang sudah pernah bertelur tidak baik untuk dilakukan pemotingan (proses
ganti kulit). Ukuaran cangkang kepiting yang dipelihara berkisar 10-15 cm
dengan berat 60-150 gram. Ukuan tersebut sangat baik dan sangat cepat dalam
yang cacat ataupun mengalami luka tidak bias molting dan mengalami kematian
1- 4 hari pemeliharaan.
Rusmiyati (2011) menyatakan, produksi kepiting soka, dilakukan dengan
memelihara kepiting secara individu didalam kotak (keranjang) yang di tempatkan
pada keramba hingga molting. Seperti yang terdapat pada daerah penelitian.
Pertumbuhan kepiting terjadi secara berkala pada setiap rangkaian proses
pergantian kulit atau molting. Pada daerah penelitian pergantian kulit ini dapat
terjadi hingga beberapa kali molting. Penambahan bobot kepiting dapat mencapai
25% dari berat awal. Pemoltingan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan dan
wadah tempat pemeliharaan kepiting, pencahayaan, suhu atau temperature serta
makanan. Selain itu penggantian air dan pemberian pakan juga sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan pemoltingan kepiting. Kepiting yang sedang
mengalami pergantian kulit inilah yang akan di panen menjadi kepiting soka.
Sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011) bahwa selama masa pertumbuhan
kepiting menjadi dewasa, kepiting bakau akan mengalami proses ganti kulit antara
17-20 kali. Hal ini terjadi karena rangka luar yang membungkus tubuhnya tidak
dapat membesar sehingga perlu dibuat dan diganti dengan yang lebih besar.
Pertambahan berat yang dicapai setelah molting 20-25% dari berat awal dengan
rata-rata berat awal penebaran 80-100 g/ekor dalam masa pemeliharaan 15-20
hari. Pemoltingan tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu informasi
eksternal dari lingkungan seperti cahaya, temperature, dan ketersediaan makanan.
Selain itu informasi internal juga sangat berperan, seperti ukuran tubuh yang
membutuhkan tempat yang lebih luas. Kedua faktor ini akan mempengaruhi otak