• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila” Studi Kasus di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila” Studi Kasus di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang."

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS USAHA TAMBAK POLIKULTUR KEPITING – IKAN NILA

(Studi Kasus: Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang)

SKRIPSI

OLEH :

HARIRY FITRA HUMAMY

070304004

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS USAHA TAMBAK POLIKULTUR KEPITING – IKAN NILA

(Studi Kasus: Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang)

SKRIPSI

OLEH :

HARIRY FITRA HUMAMY

070304004

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh

gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujui Oleh:

Komisi Pembimbing,

Ketua,

NIP. 131 689 798 (M. Mozart B. Darus, MSc)

Anggota,

(Sri Fajar Ayu, SP, MM, DBA) NIP. 197008272008122001

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRAK

HARIRY FITRA HUMAMY, 2012. “Analisis Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila” Studi Kasus di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini dibawah bimbingan Bapak M. Mozart B Darus, MSc dan Ibu Sri Fajar Ayu,SP, MM, DBA.

Daerah penelitian ditentukan secara purposive dan metode penentuan sampel yang digunakan adalah Metode Sensus, dimana total populasi 21 petambak dan seluruhnya dijadikan sampel dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sistem pengelolaan usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila, menganalisis tingkat pendapatan petambak dan menganalisis kelayakan usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sistem pengelolaan usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila ini dilakukan dengan menggunakan sistem semi intensif dengan metode campur jenis yang menggunakan kolam tambak sebagai wadah budidaya. dimana, pendapatan usaha tambak polikultur ini dapat dikatakan tinggi karena lebih besar dari pendapatan usaha polikultur kepiting-ikan nila daerah lain yaitu sebesar Rp.24.868.118 dengan R/C rata-rata sebesar 1,8. Maka, usaha tambak polikultur di daerah penelitian layak untuk dijalankan dan dikembangkan.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian yang berjudul “Analisis Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila” Studi Kasus di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli

Serdang.” Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak M.

Mozart B. Darus, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Sri Fajar Ayu,

SP, MM, DBA selaku Anggota Komisi Pembimbing.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena

itu, penulis mengharapkan saran dan kritik untuk memperbaiki. Akhir kata penulis

mengucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2013

(5)

DAFTAR ISI

2.3 Kerangka Pemikiran ... 20

2.4 Hipotesis Penelitian ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 24

3.2 Metode Penentuan Sampel ... 25

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 25

3.4 Metode Analisis Data ... 25

3.5 Definisi dan Batasan Operasional ... 28

3.5.1 Definisi ... 28

3.5.2 Batasan operasional ... 29

IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PETANI SAMPEL ... 30

4.1. Deskripsi Daerah Penelitian ... 30

4.2. Keadaan Penduduk ... 30

4.3. Karakteristik Petani Sampel ... 35

(6)

5.2. Biaya Produksi Usaha Tambak Polikultur Kepiting Ikan-Nila ... 46

5.2.1. Biaya Tetap ... 46

5.2.2. Biaya Variabel ... 48

5.3. Produksi dan Penerimaan Usaha Tambak Polikultur Kepiting Ikan-Nila ... 52

5.3.1. Produksi ... 52

5.3.2. Penerimaan ... 52

5.4. Analisis Pendapatan dan Kelayakan Usaha Tambak Polikultur Kepiting Ikan-Nila ... ….53

5.5. Kelayakan ... 56

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

6.1. Kesimpulan ... 59

6.2. Saran ... 60

Kepada Petani ... 60

Kepada Pemerintah ... 60

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(7)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal.

1. Luas Areal Budidaya Tambak per kecamatan di

Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009 ... 24 2. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa

Paluh Manan Tahun 2009 ... 31 3. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian

di Desa Paluh Manan Tahun

2009... ... 31 4. Karakteristik Petani Sampel ... 32 5. Rata-rata Kebutuhan Kapur dan Pupuk di daerah

Penelitian ... ... 37 6. Rata-rata Kebutuhan Bibit Kepiting Pada Usaha

Tambak Polikultur Kepiting – Ikan Nila PerPetani Per

Periode ... ... 38 7. Rata-rata Kebutuhan Pakan Per Petani Per Periode di

daerah Penelitian ... ... 37 8. Rata-rata Kebutuhan Obat-obatan Per Petani Per

Periode di daerah Penelitian

... ... 37 9. Biaya Tetap Rata-rata Usaha Tambak Polikultur

Kepiting – Ikan Nila PerPetani dan Per Ha selama 1

tahun di Daerah Penelitian ... 46 10. Biaya Variabel Rata-rata Usaha Tambak Polikultur

Kepiting – Ikan Nila PerPetani dan Per Ha selama 1

tahun di Daerah Penelitian ... 48 11. Rata-rata Penerimaan Usaha Tambak Polikultur

Kepiting – Ikan Nila PerPetani dan Per Ha selama 1

tahun di Daerah Penelitian ... 53 12. Rata-rata Pendapatan Usaha Tambak Polikultur

Kepiting – Ikan Nila PerPetani dan Per Ha selama 1

(8)

13. Nilai Rata-rata R/C ratio Usaha Tambak Polikultur Kepiting – Ikan Nila PerPetani dan Per Ha selama 1

tahun di Daerah Penelitian ... 46 14. Nilai Rata-rata Produktivitas Tenaga Kerja Usaha

Tambak Polikultur Kepiting – Ikan Nila PerPetani dan

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal.

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul

1. Karakteristik Petani Sampel Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila di Daerah Penelitian.

2. a. Biaya Penggunaan Bibit Kepiting dan Ikan Nila Per Petani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.

b. Biaya Penggunaan Bibit Kepiting Per Ha Pertahun (10 periode) di Daerah Penelitian.

3. a. Biaya Penggunaan Pakan Per Petani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.

4. b. Biaya Penggunaan Pakan Per Ha Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.

5. a. Biaya Penggunaan Pupuk dan Obat-obatan Per Petani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.

b. Biaya Penggunaan Pupuk dan Obat-obatan Per Ha Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.

6. a. Biaya Penggunaan Alat-alat Pertanian dan Lain-lain Perpetani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.

b. Biaya Penggunaan Alat-alat Pertanian dan Lain-lain Per Ha Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.

7. a. Curahan Tenaga Kerja Perpetani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.

b. Curahan Tenaga Kerja Per Ha Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.

8. a. Biaya Penyusutan Peralatan Perpetani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.

(11)

9. a. Produksi dan penerimaan Kepiting dan Ikan Perpetani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.

b. Produksi dan penerimaan Kepiting dan Ikan Per Ha Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.

10. a. Biaya Produksi Per Petani Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian. b. Biaya Produksi Per Ha Per Tahun (10 Periode) di Daerah Penelitian.

11. a. Pendapatan Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila Per Petani Per Tahun (10Periode) di Daerah Penelitian

b. Pendapatan Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila Per Ha Per Tahun (10Periode) di Daerah Penelitian

12. a. Nilai R/C Per Petani Pertahun (10 Periode) di Daerah Penelitian b. Nilai R/C Per Ha Pertahun (10 Periode) di Daerah Penelitian

13. a. Produktivitas Tenaga Kerja Per Petani Pertahun (10 Periode) di Daerah Penelitian

(12)

ABSTRAK

HARIRY FITRA HUMAMY, 2012. “Analisis Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Nila” Studi Kasus di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini dibawah bimbingan Bapak M. Mozart B Darus, MSc dan Ibu Sri Fajar Ayu,SP, MM, DBA.

Daerah penelitian ditentukan secara purposive dan metode penentuan sampel yang digunakan adalah Metode Sensus, dimana total populasi 21 petambak dan seluruhnya dijadikan sampel dalam penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sistem pengelolaan usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila, menganalisis tingkat pendapatan petambak dan menganalisis kelayakan usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sistem pengelolaan usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila ini dilakukan dengan menggunakan sistem semi intensif dengan metode campur jenis yang menggunakan kolam tambak sebagai wadah budidaya. dimana, pendapatan usaha tambak polikultur ini dapat dikatakan tinggi karena lebih besar dari pendapatan usaha polikultur kepiting-ikan nila daerah lain yaitu sebesar Rp.24.868.118 dengan R/C rata-rata sebesar 1,8. Maka, usaha tambak polikultur di daerah penelitian layak untuk dijalankan dan dikembangkan.

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan

perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan

ragam. Dari sakala usaha, ada yang berskala besar, ada yang berskala menengah

serta ada yang berskala kecil(Said dan lutan, 2001).

Potensi sumberdaya perikanan laut indonesia, baik penangkapan (capture)

maupun budi daya (culture) sangat besar. Potensi perikanan budidaya sangat

prospektif untuk di kembangkan. Ini karena kegiatan perikanan tangkap tidak

dapat di ekspansi lagi, mengingat stok sumberdaya perikanan tangkap telah

dieksploitasi secara optimum (full fishing), bahkan berlebihan (over fishing).

Budi daya perairan atau akuakultur (aquaculture) menjadi tulang punggung

produksi perikanan nasional di masa depan, baik untuk memenuhi kebutuhan

konsumsi dalam negri maupun untuk eskpor. Jumlah penduduk Indonesia yang

besar merupakan potensi pasar bagi produksi budi daya perairan. Di samping itu,

biota – biota akuatik yang dibudidayakan merupakan komoditas yang bernilai jual

tinggi di pasar internasional, sehingga tidak sulit menembus pasar ekspor.

Sumber daya sektor perikanan saat ini memberikan kontribusi penting bagi

perekonomian nasional antara lain, 1) Produk perikanan merupakan pemasok

utama protein hewani bagi 200 juta lebih penduduk Indonesia, 2) Sub sektor

perikanan menyerap lapangan pekerjaan bagi sekitar 4,4 juta masyarakat nelayan/

(14)

Kepiting bakau (scylla serrata) sangat digemari konsumen lokal maupun luar

negeri dan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ekspor kepiting meningkat

rata-rata 14,06%. Komoditas ini mempunyai kandungan nilai gizi tinggi, protein

dan lemak, bahkan pada telur kepiting kandungan proteinnya sangat tinggi, yaitu

sebesar 88,55%. Dengan nilai komposisi demikian, komoditas ini sangat digemari

konsumen luar negeri dan menjadi salah satu makanan paling bergengsi di

kalangan mereka. Amerika Serikat merupakan negara penyerap hampir 55%

produksi kepiting dunia, sedang permintaan lainnya datang dari negara-negara di

kawasan Eropa, Australia, Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura, Korea Selatan.

Permintaan ekspor kepiting bakau terus meningkat dan telah menjadikan

komoditas ini sebagai salah satu andalan ekspor non migas

(Ditjen Perikanan, 2000).

Produksi kepiting cenderung meningkat seiring dengan kenaikan permintaan.

Peluang pasar yang cukup besar dan harga yang tinggi menyebabkan bisnis

kepiting ini mulai berkembang di beberapa tempat seperti Medan, Riau, Cilacap,

Surabaya, Kalimantan dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan data statistik perikanan

(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006).

Namun kebutuhan ekspor kepiting bakau selama ini masih mengandalkan hasil

penangkapan di muara sungai / kawasan bakau yang apabila eksploitasi kepiting

bakau ini semakin intensif dan tidak terkendali akan mengancam kelestarian

sumber daya tersebut. Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan konsumsi

domestik maupun kebutuhan ekspor yang terus meningkat diperlukan upaya

(15)

Menurut Rusmiyati (2011), di Indonesia, sepanjang pantainya yang potesial

sebagai lahan tambak adalah sekitar 1,2 juta Ha. Yang digunakan sebagai tambak

udang baru 300.000 Ha. Sisanya masih tidur, artinya peluang membangunkan

potensi tambak tidur tersebut untuk budidaya kepiting masih terbuka lebar.

Kepiting dapat ditemukan disepanjang pantai di Indonesia.

Ketersediaan berbagai jenis biota laut seperti kepiting, ikan, udang, kerang dan

berbagai jenis lainnya terdapat pada ekosistem hutan tropik yang khas, tumbuh di

sepanjang pantai atau muara serta di pengaruhi oleh pasang surut dengan variasi

lingkungan yang besar dari hutan mangrove. Kawasan hutan mangrove ekosistem

yang sangat produktif dan berpotensi tinggi untuk di manfaatkan. Kawasan hutan

mangrove bukan sekedar penghasil sumberdaya hutan, tetapi juga sangat berperan

dalam menunjang sumberdaya perikanan (Kordi, 2011).

Indonesia sebagai salah satu negara yang kaya dengan keragaman hayati sudah

saatnya mengembangkan potensi tersebut. Pertanian monokultur yang secara

sistematis telah menghancurkan kekayaan alam Indonesia, perlu dihempang

perjalanannya. Kekayaan alam Indonesia perlu tetap di pertahankan, dengan

mengembangkan pola tani yang sesuai dengan kondisi lokal setiap daerah

(Sabirin, dkk, 2010).

Gustiano (2010) menyatakan bahwa ikan nila merupakan salah satu ikan

ekonomis penting di dunia karena cara budidayanya yang mudah, rasanya yang

digemari dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap lingkungan. Dewasa ini,

ikan nila dipelihara secara komersial di berbagai belahan dunia, baik di kolam

(16)

pantai. Cara pembesaran ikan nila juga dapat dilakukan dengan teknik tunggal

kelamin, campur kelamin, tunggal jenis, campur jenis (polikultur) dan terpadu.

Polikultur adalah sebuah cara budidaya yang biasa dipakai untuk membawa

kesejahteraan (jika dilakukan dengan benar) ataupun membawa kehancuran (jika

dipakai dengan salah).

Terwujudnya konsep pertanian polikultur sebagai usaha manusia melakukan

pemadatan areal tanah dengan maksud memperbaiki ekologi lingkungan alam,

dan secara simultan meningkatkan produktifitas lahan yang dapat diukur dari

pendapatan ekonomi ini pada akhirnya akan menghadirkan petani yang mandiri

(soekirman, dkk, 2007).

Kabupaten Deli Serdang secara geografis merupakan bagian dari wilayah pada

posisi silang di kawasan Palung Pasifik Barat yang termasuk dalam wilayah

pengembangan Pantai Timur Sumatera Utara. Dari sebagian besar garis pesisir

pantai Sumatera merupakan hutan mangrove. Kecamatan Hamparan Perak

memiliki sejumlah lahan pesisir yang potensial dijadikan lahan tambak namun

belum termanfaatkan secara optimal, dimana berdasarkan data statistik BPS

(2009) Kecamatan Hamparan Perak merupakan daerah dengan luas tambak

terbesar pada Kabupaten Deli Serdang dan berdasarkan data Penyuluh Perikanan

Lapangan Dinas Perikanan dan Kelautan kabupaten Deli serdang (2010) terdapat

45 ha lahan tambak produktif dan lebih dari 150 ha lahan tambak saat ini masih

terbengkalai. Selain itu mengacu pada data Ditjen Perikanan selama periode

2010-2011 dalam kompas (2010-2011), tingginya permintaan dan peningkatan angka

permintaan ekspor kepiting setiap tahunnya sebesar 10-20%, maka dari itu

(17)

kepiting pada daerah Hamparan Perak khususnya pada sistem polikultur

kepiting-ikan nila untuk melihat prospek cerah dari usaha tersebut sehingga dapat menjadi

bahan informasi baik bagi petani tambak, instansi terkait maupun lembaga yang

mendukung usaha ekonomi kerakyatan sehingga usaha ekonomi ini berkembang

lebih pesat lagi.

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan pernyataan yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang hendak

diteliti adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana sistem pengelolaan usaha tambak pola polikultur kepiting-ikan

nila di daerah penelitian?

2. Bagaimana tingkat pendapatan usaha tambak pola polikultur kepiting-ikan

nila di daerah penelitian?

3. Bagaimana kelayakan usaha tambak pola polikultur kepiting-ikan nila di

daerah penelitian?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan tersebut maka tujuan

penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui sistem pengelolaan usaha tambak pola polikultur

kepiting-ikan nila di daerah penelitian.

2. Untuk menganalisis tingkat pendapatan usaha tambak pola polikultur

kepiting-ikan nila di daerah penelitian.

3. Untuk mengetahui kelayakan usaha tambak pola polikultur kepiting-ikan

(18)

1.4 Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan tersebut, maka kegunaan

penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pihak - pihak yang mengusahakan

tambak pola polikultur kepiting-ikan nila dalam mengembangkan usahanya.

2. Sebagai bahan untuk melengkapi skripsi yang merupakan salah satu syarat

dalam menempuh ujian sarjana di Fakultas Pertanian USU Medan.

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Polikultur Kepiting Soka – Ikan Nila

Polikultur atau campuran jenis adalah suatu cara pembesaran ikan yang

mempergunakan lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah pemeliharaan.

Dimana pemilihan jenis ikan , penentuan komposisi, serta penentuan bobot aawal

individu dilakukan atas pertimbangan dari beberapa hal, yaitu: persediaan pakan

alami, kebiasaan makan bagi setiap jenis ikan, dan tujuan usaha pembesaran

(Gustiano, dkk, 2010).

Terwujudnya konsep pertanian polikultur sebagai usaha manusia melakukan

pemadatan areal tanah dengan maksud memperbaiki ekologi lingkungan alam,

dan secara simultan meningkatkan produktifitas lahan yang dapat diukur dari

pendapatan ekonomi (soekirman, dkk, 2007).

Dasar pengembangan polikultur adalah membangun keberagaman yang saling

menguntungkan. Semakin beragamnya populasi suatu kawasan maka semakin

stabil kondisi ekosistem yang berjalan di kawasan itu. jadi, pendekatan pertanian

polikultur merupakan wujud penerapan pertanian berkelanjutan. Konsep pertanian

berkelanjutan memiliki cirri-ciri, 1) bernuansa lingkungan (ecologically sound), 2)

layak secara ekonomi (economically viable), 3) adil secara sosial (socially just), 4)

manusiawi (humane), 5)mampu diadaptasikan (adaptable)

(soekirman, dkk, 2007).

Menurut Fitzgerald (1997) bahwa pola empang parit (tambak) merupakan model

silvofishery yang umum dikembangkan dengan membuat saluran air tempat

(20)

lahan yang digunakan untuk silvofishery, sedangkan tumbuhan mangrove dapat

ditanam dibagian tengah, sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan mangrove

(wana/silvo) dan budidaya ikan (mina/fishery). Kondisi ini dapat diterapkan pada

areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran

tambak (bagian tengah) untuk ditanami mangrove, sedangkan bagian caren atau

parit dibiarkan seperti semula. Dengan menggunakan sistem empang parit ini,

maka lahan yang akan di reforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan

tambak. Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1x1 meter

antar individu. Namun demikian menurut Fitzgerald (1997), kepadatan mangrove

yang ditanam dapat bervariasi antara 0,17 – 2,5 pohon/m². Kepadatan mangrove

tersebut akan mempengaruhi sistem budidaya perikanan, karena produktivitas

tambak silvofishery sangat tergantung pada bahan-bahan organik yang berasal

dari serasah tumbuhan mangrove. Kepadatan vegetasi yang rendah diterapkan

pada ikan bandeng, sedangkan kepadatan vegetasi yang tinggi sesuai diterapkan

pada budidaya ikan nila dan kepiting bakau. Kanal untuk memelihara ikan nila

berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman sekitar 40-80 cm dari permukaan pelataran.

Dengan berbagai modifikasi desain dasar tersebut, maka luasan perairan terbuka

yang dapat digunakan untuk memelihara ikan bandeng/ikan nila dapat disesuaikan

hingga mencapai 40-60%. Berbagai jenis ikan, seperti bandeng, kerapu lumpur,

kakap putih, dan baronang, serta ikan nila dan kepiting bakau, dapat di pelihara

secara intensif di kanal tersebut.

Barus (2001) menyatakan pH yang ideal bagi organisme akuatik pada umumnya

terdapat antara 7-8,5. Akan tetapi untuk kepiting menurut Soim (1999) , kisaran

(21)

air payau. Selain itu menurut Rusmiyati (2011) Kriteria lokasi yang ideal untuk

pembudidayaan kepiting adalah daerah air payau atau air asin dengan kadar garam

15-30 permil dengan pH tanah 4-5 dan salinitas 24-30 ppt.

Rukmana (1997) menyatakan, bahwa ikan nila memiliki toleransi yang tinggi

terhadap perubahan lingkungan hidup. Keadaan pH air antara 5-11 dapat di

toleransi oleh ikan nila, akan tetapi pH optimal untuk pertumbuhan untuk

perkembangbiakan dan dan pertumbuhan ikan nila adalah 7-8. Ikan nila masih

dapat tumbuh dalam keadaan air asin pada kadar salinitas 0-35 permil. Oleh

karena itu ikan nila dapat dibudidayakan di perairan payau, tambak dan perairan

laut, terutama untuk tujuan pembesaran. Sedangkan menurut Gustiano, dkk (2010)

pada salinitas 15 ppt ikan nila mempunyai tingkat kelangsungan hidup dua kali

lipat dengan tingkat adaptasi yang tinggi.

Selain itu ikan nila memiliki keunggulan komparatif dalam sifat biologinya yang

memberi peluang bagi pengembangan usaha budidaya intensif yaitu, pertumbuhan

nya cepat dan efisien terhadap pakan, mudah dipelihara pada berbagai lingkungan

(habitat), rakus terhadap limbah buangan / sisa pakan dan termasuk pemangsa

segalah bahan (omnifora).

Menurut Rusmiyati (2011) Sistem pengelolaan tambak kepiting meliputi beberapa

kegiatan diantaranya: Persiapan Tambak, Penebaran Bibit, Teknik Produksi

Kepiting soka (kepiting cangkang lunak), Pemberian Pakan, Pemeliharaan air, dan

Pengendalian Hama dan Penyakit. Sedangkan untuk ikan nila menurut Gustiano,

dkk (2010) pengelolaan pembesaran ikan nila dapat disesuaikan dengan jenis

lahan (kolam, tambak, sawah, keramba jaring apung, dan hampang), metoda

(22)

sistem pemeliharaan (ekstensif atau tradisional, semi intensif, dan intensif) yang

dipergunakan.

Budidaya kepiting bakau diawali penangkapan benih-benih kepiting bakau dalam

perairan di sekitar hutang bakau, benih ini merupakan hasil peranakan alami dari

benih induk atau kepiting dewasa. Kemudian dimasukkan dalam lahan yang telah

disiapkan yaitu berupa keramba yang diletakkan dalam perairan di lahan tambak

atau perairan bakau (Gunarto dan Adi Hanafi, 2000).

Pada persiapan pembuatan kolam tambak, Rusmiyati (2011) menyatakan bahwa

pengelolaan dasar tambak dilakukan dengan memberikan perlakuan terhadap

dasar tambak. Seperti pengapuran dan pemberian pupuk sesuai kebutuhan, dengan

demikian dasar tambak tidak menimbulkan pengaruh negative terhadap kualitas

air tambak selama pemeliharaan. Kegiatan pengelolaan tambak meliputi

penjemuran, pembalikan, dan pengapuran. Penjemuran tanah dilakukan hingga

bagian permukaan sampai retak – retak. Tujuan nya agar semua bahan organik

yang didasar tambak terurai menjadi unsure yang tidak membahayakan dan

mengikat gas-gas beracun yang terdapat pada dasar kolam atau media tanah.

Proses pengeringan tambak dilakukan selama 1 minggu. Pada persiapan lahan

tambak juga dilakukan kegiatan pengapuran. Pengapuran menggunakan kapur

CaCO3 (Dholomit). Pengapuran berpengaruh terhadap nilai pH tanah bertujuan

untuk menaikkan atau mempertahankan pH tanah bagian dalam tambak hingga

kisaran pH normal (7-8). Pengapuran dilakukan dengan menaburkan kapur

dipermukaan pelataran tambak secara merata dan dibiarkan selama 2-4 hari.

Penebaran bibit kepiting dapat dilakukan pada pagi atau sore hari pada keramba.

(23)

kepadatan 2000-3000 ekor/ha untuk berat 2-5 gram atau kurang lebih

20.000-30000 ekor/ha untuk berat 0.5 gram atau sebesar 2400-3600 ekor/kolam

(1200m2).

Untuk Pakan pada kolam pemeliharaan Gustiano (2010) menyatakan bahwa

pakan pada kolam pemeliharaan dapat berupa pakan alami yang berasal dari

pemupukan. Fitoplankton, zooplankton, maupun binatang yang hidup di dasar ,

seperti cacing, siput, jentik-jentik nyamuk dan chirinomus dapat menjadi makanan

ikan nila. Selanjutnya ikan dapat diberikan pakan lain selain pakan alami yang

terdapat pada kolam.

Pemberian pakan lebih diutamakan dalam bentuk segar sebanyak 5-10% dari berat

badan dan diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore/ malam hari. Dalam

siklus pemeliharaan, kepiting yang dapat bertahan hidup adalah sebesar 70%.

Dengan pertambahan berat badan sebesar 10%-15% (Rusmiyati,2010).

Sedangkan menurut Gustiano (2010), pada ikan nila, jumlah pakan yang diberikan

setiap hari disesuaikan dengan berat ikan, sering di sebut dengan Tingkat

Pemberian Pakan (TPP). Umumnya ikan yang berukuran besar membutuhkan

TPP dan frekuensi pemberian pakan yang semakin kecil dibandingkan dengan

ikan yang berukuran kecil. Seperti pada daerah penelitian, jumlah pakan yang

diberikan pada kepiting yang tumbuh semakin besar akan mengurangi sisa pakan

yang jatuh kedasar kolam, akan tetapi hal ini justru lebih baik karena kebiutuhan

pakan ikan juga semakin kecil sehingga tidak mengganggu pertumbuhan kedua

komoditi secara bersamaan. Akan tetapi pada saat awal pemeliharaan ikan nila

membutuhkan lebih banyak pakan, sedangkan kepiting membutuhkan lebih

(24)

akan menjadi makanan tambahan bagi ikan nila.

Budi daya kepiting di tujukan untuk menghasilkan kepiting konsumsi. Kegiatan

budi daya di kenal dengan kegiatan pembesaran dan penggemukan. Selain

pembesaran dan penggemukan dikenal juga produksi kepiting lunak atau kepiting

soka dan kepiting telur (Kordi, 2011).

Kepiting soka adalah kepiting bakau yang sedang mengalami fase ganti kulit

(molting). Keunggulan kepiting dalam fase ini yaitu mempunyai cangkang yang

lunak “soft shell mud crab” sehingga dapat dikonsumsi secara utuh. Selain tidak

repot memakannya karena kulitnya tidak perlu disisishkan, nilai nutrisinya juga

lebih tinggi, terutama kandungan chitosan dan karotenoid yang biasanya terdapat

pada kulit dapat dimakan. produksi kepiting soka, dilakukan dengan memelihara

kepiting secara individu didalam kotak (keranjang) yang di tempatkan pada

keramba hingga molting (Rusmiyati, 2011).

Menurut Rusmiyati (2011), kepiting yang sudah tua atau yang sudah pernah

bertelur tidak baik untuk dilakukan pemotingan (proses ganti kulit). Ukuaran

cangkang kepiting yang dipelihara berkisar 10-15 cm dengan berat 60-150 gram.

Ukuan tersebut sangat baik dan sangat cepat dalam proses molting. Kondisi organ

tubuh lengkap tak ada cacat dan luka. kepiting yang cacat ataupun mengalami

luka tidak bias molting dan mengalami kematian 1- 4 hari pemeliharaan.

Selama masa pertumbuhan kepiting menjadi dewasa, kepiting bakau akan

mengalami proses ganti kulit antara 17-20 kali. Hal ini terjadi karena rangka luar

yang membungkus tubuhnya tidak dapat membesar sehingga perlu dibuat dan

diganti dengan yang lebih besar. Pertambahan berat yang dicapai setelah molting

(25)

dalam masa pemeliharaan 15-20 hari. Pemoltingan tersebut di pengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu informasi eksternal dari lingkungan seperti cahaya,

temperature, dan ketersediaan makanan. Selain itu informasi internal juga sangat

berperan, seperti ukuran tubuh yang membutuhkan tempat yang lebih luas. Kedua

faktor ini akan mempengaruhi otak dan menstimulasi organ-Y untuk

menghasilkan hormon molting yaitu ekdisteroid. Selain itu penggantian air

dilakukan bila terjadi penurunan kualitas air dan sampling dilakukan setiap 5 hari

untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan dan kesehatan kepiting. Dengan

pengelolaan pakan yang cermat, cocok dan tepat jumlah maka dalam tempo 10

hari pertumbuhan kepiting akan dapat diketahui (Rusmiyati, 2011).

Dalam pemeliharaan kepiting bakau, penggantian air sangat diperlukan. Hal ini

memegang peranan penting dalam kberhasilan budidaya kepiting. Penggantian air

yang baik dilakukan sebanyak 50-70%. Hal ini bertujuan untuk menjaga kualitas

air selama masa pemeliharaan. Kondisi air yang tidak layak digunakan ditandai

dengan keruhnya air sehingga kepiting akan banyak yang mati. Pada kolam

dengan sistem resirkulasi air cenderung menjadi lebih asam karena proses

nitrifikasi dari bahan organik akan menghasilkan karbondioksida dan ion

hydrogen. Pada kolam atau tambak banyak dijumpai tumbuhan renik, yang dapat

mempengaruhi pH, semakin tinggi nilai pH maka semakin tinggi nilai alkalinitas

dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Berdasarkan nilai kisaran pH

menurut EPA (Environtmental Protection Agency) untuk kehidupan organisme air

adalah 6,5 – 8,5. Menurun nya kualitas air ditandai dengan semakin keruhnya air.

Selain itu salinitas juga sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik air. Air

(26)

Sedangkan nilai oksigen sangat penting bagi pernafasan kepiting maupun ikan dan

merupakan komponen utama bagi metabolism kepiting dan organisme perairan

lainnya. Kandungan oksigen terlarut yang terbaik untuk kehidupan organisme

perairan berkisar antara 5-5,69 ppm. Kandungan oksigen lebih rendah akan

mengakibatkan selera makan oranisme menurun. Dalam usaha budidaya kepiting

soka sirkulasi air harus selalu dijaga untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut

tersebut. Kepiting bakau sangat sensitif terhadap white spot syndrome virus, hal

ini karena udang dan kepiting masih berada dalam satu kelas, yaitu

Crustaceaserta dan memiliki habitat yang sama yaitu pada perairan payau atau

estuaria. Pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit ini yaitu: 1)

mensucihamakan induk yang akan memijah. 2) pemberian klorin pada air yang

ditempati kepiting 3) perlakuan karantina bagi kepiting yang membawa penyakit

4)pemeliharaan yang intensif dengan memperhatikan kebersihan lingkungan

(Rusmiyati, 2011).

Landasan Teori

Menurut Mosher (1981) usahatani pada dasarnya adalah tanah. Usahatani dapat

sebagai suatu cara hidup (a way of life). Jenis ini termasuk usahatani untuk

memenuhi kebutuhan sendiri atau subsistem dan primitif. Jenis usahatani seperti

itu pada saat sekarang sudah langka ditemui. Pada saat sekarang, pada umumnya

jenis usahatani yang termasuk perusahaan (the farm business). Setiap petani pada

hakikatnya menjalankan perusahaan pertanian di atas usahataninya. Itu merupakan

bisnis karena tujuan setiap petani bersifat ekonomis, memproduksi hasil-hasil

untuk dijual ke pasar atau untuk di konsumsi sendiri oleh keluarganya. Usahatani

(27)

Usahatani hendaklah senantiasa berubah, baik di dalam ukuran (size) maupun

susunannya, untuk memanfaatkan metode usahatani yang senantiasa berkembang

secara lebih efisien. Corak usahatani yang cocok bagi pertanian yang masih

primitif bukanlah corak yang paling produktif apabila sudah tersedia

metode-metode yang modern (Mosher, 1981).

Polikultur adalah praktek kultur lebih dari satu jenis organisme akuatik di kolam

yang sama. Prinsip yang memotivasi adalah bahwa produksi ikan di kolam dapat

dimaksimalkan dengan meningkatkan kombinasi spesies yang berbeda

(Singgih, 2010).

Usahatani dalam operasinya bertujuan untuk memperoleh pendapatan yang

digunakan untuk memenuhi kebutuhan serta dana untuk kegiatan di luar

usahatani. Untuk memperoleh tingkat pendapatan yang diinginkan maka petani

seharusnya mempertimbangkan harga jual dari produksinya. Melakukan

perhitungan terhadap semua unsur biaya dan selanjutnya menentukan harga pokok

hasil usahataninya, keadaan ini tidak dapat dilakukan oleh petani, akibatnya

efektivitas usahatani menjadi rendah. Volume produksi, produktivitas serta harga

yang diharapkan jauh di luar harapan yang dikhayalkan (Fhadoli, 1991).

Biaya produksi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh

faktor-faktor produksi yang akan digunakan untuk menghasilkan barang-barang produksi

yang dijual. Biaya produksi dapat dibagi menjadi dua, yaitu : biaya tetap (FC) dan

biaya variabel (VC). Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak tergantung

dari banyak sedikitnya jumlah output, sedangkan biaya variabel adalah biaya yang

besarnya berubah-ubah tergantung dari banyak sedikitnya output yang dihasilkan.

(28)

total (TC) yang merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk

menghasilkan produksi. Jadi, TC = TFC + TVC (Nuraini, 2001).

Kurva biaya produksi adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara jumlah

biaya produksi yang dipergunakan dan jumlah produk yang dihasilkan. Maka pola

kurva biaya tetap total (TFC), biaya variabel total (TVC) dan biaya total (TC)

dapat dilihat sebagai berikut :

Rp

Pada Gambar 2, dapat dilihat pada biaya tetap total (TFC) dilukiskan sebagai garis

lurus (horizontal) sejajar dengan sumbu kuantitas. Hal ini menunjukkan bahwa

berapapun jumlah output yang dihasilkan, besarnya biaya tetap total tidak berubah

yaitu sebesar n. Pada biaya variabel total (TVC) menunjukkan bahwa kurva biaya

variabel total terus menerus naik. Jadi, semakin banyak output yang dihasilkan

maka biaya variabel akan semakin tinggi. Namun demikian, laju peningkatan

biaya tersebut berbeda-beda (tidak konstan). Laju peningkatan mula-mula dari

titik asal adalah menurun hingga titik A. Pada titik A ini tidak terjadi peningkatan

sama sekali. Kemudian sesudah titik A laju kenaikannya terus menerus naik,

(29)

dengan kurva TVC secara vertikal. Biaya total (TC) berada pada jarak vertikal di

semua titik antara biaya tetap total (TFC) dan biaya variabel total (TVC), yaitu:

sebesar n (Nuraini, 2001).

Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan

harga jual. Pernyataan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

TR1 = Y1 . Py1 Yaitu :

TR = Total Penerimaan

Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani

Py = Harga y.

Sedangkan pendapatan usahatani diperoleh dengan cara mengurangi keseluruhan

penerimaan dan biaya. Rumus yang digunakan untuk mencari pendapatan

usahatani, adalah :

Pd = TR – TC

Dimana :

Pd = Pendapatan usahatani

TR = Total Penerimaan

TC = Total Biaya (Soekartawi, 2002).

Untuk dapat meningkatkan pendapatan sangat tergantung pada cepat tidaknya

mengadopsi inovasi tergantung dari faktor ekstern dan faktor intern itu sendiri,

yaitu faktor ekonomi dan sosial. Faktor ekonomi itu diantaranya jumlah

tanggungan keluarga, luas lahan yang dimiliki dan ada tidaknya usahatani yang

dimilikinya. Sedangkan faktor sosial diantaranya umur, tingkat pendidikan dan

(30)

Pendapatan total untuk usaha tani pola polikultur adalah pendapatan yang di

peroleh dari pengurangan seluruh penerimaan dari semua jenis komoditi dan

seluruh biaya dari setiap komoditi yang terdapat dalam satu lahan. Sehingga dapat

ditulis dengan rumus:

n n n

Σ Pd = Σ TR

Σ TC

i = I i = I i = I

Keterangan:

i = komoditi ( jenis komoditi budidaya)

n = jumlah komoditi

(Mosher, 1987).

Keuntungan adalah selisih antara total penerimaan (TR) dan total biaya (TC).

Tujuan ini dapat diformulasikan sebagai berikut : π = pq – c (q). Keuntungan juga

merupakan insentif bagi produsen untuk melakukan proses produksi. Keuntungan

inilah yang mengarahkan produsen untuk mengalokasikan sumber daya ke proses

produksi tertentu. Produsen bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan dengan

kendala yang dihadapi (Sunaryo, 2001).

Menurut Soekartawi (1995) kelayakan usaha tambak kepiting dapat juga

dianalisis dengan metode analisis R/C, Analisis R/C ini membandingkan nilai

penerimaan (Revenue) dengan total biaya, yaitu dengan kriteria, bila R/C > 1 ,

maka usahatani layak bila R/C = 1 maka usahatani berada pada titik impas dan

bila nilai R/C < 1 maka usaha tani tidak layak (Soekartawi, 1995).

Produktivitas tenaga kerja yaitu perbandingan antara penerimaan dengan total

tenaga kerja yang dicurahkan per usaha tani dengan satuan Rp/HKO. Atau dapat

(31)

Produktivitas tenaga kerja = Penerimaan Total tenaga kerja yang dicurahkan

Kriteria uji :

- Jika produktivitas tenaga kerja > tingkat upah yang berlaku, maka usaha

tani layak diusahakan.

- Jika produktivitas tenaga kerja < tingkat upah yang berlaku, maka usaha

tani tidak layak diusahakan.

Dalam perhitungan curahan tenaga kerja maka digunakan standar perhitungan

berdasarkan umur tenaga kerja dengan standar konversi sebagai berikut:

1. Tenaga anak-anak (1-14 tahun) : laki-laki = 0,5 HKP, wanita 0,4 HKP

2. Tenaga laki-laki dewasa ≥ 15 tahun = 1 HKP

3. Tenaga wanita dewasa ≥ 15 tahun = 0,8 HKP

Standar konversi tersebut berlaku dengan jumlah jam kerja yang sama dalam satu

hari kerjamyakni 7 jam efektif dengan rincian:

Jam 8.00 – 12.00 → kerja (4 jam)

Jam 12.00 – 14.00 → istirahat / makan siang (2 jam) Jam 14.00 – 17.00 → kerja (3 jam)

Untuk menghitung curahan tenaga kerja dari setiap individu/anggota keluarga

yang bekerja pada usahatani dengan usia dan jenis kelamin tertentu harus melihat

jumlah jam kerja dikalikan standar men equivalen (Me)/HKP (Hari Kerja setara

Pria) seperti yang telah disebutkan diatas ( Butar-butar, 2010).

2.2Kerangka Pemikiran

Petani tambak polikultur kepiting-ikan nila merupakan pengelola usaha yang

(32)

faktor-faktor produksi dalam usaha tambak polikultur kepiting-ikan nila.

Petani tentunya mengharapkan nilai pendapatan yang maksimal dari setiap jenis

kegiatan pemanfaatan lahan yang dilakukan. Upaya untuk mencapai manfaat

maksimum jangka panjang dapat dilakukan apabila pemanfaatan lahan tambak

dapat dialokasikan secara optimal.

Petani tambak di Desa Paluh Manan, Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli

Serdang pada prakteknya memanfaatkan sistem usaha pola polikultur, dimana

ikan nila diusahakan pada kolam tambak bersama dengan kepiting bakau.

Usaha tambak kepiting di tujukan untuk menghasilkan kepiting soka konsumsi.

Sistem budi daya nya dapat di lakukan dengan menggunakan sistem keramba,

hampang, ataupun jaring apung. Dimana kegiatan budidaya mencakup Persiapan

Tambak, Penebaran Bibit, Teknik Produksi Kepiting soka (kepiting cangkang

lunak), Pemberian Pakan, Pemeliharaan air, dan Pengendalian Hama dan

Penyakit.

Usaha tambak kepiting dan ikan nila memiliki beberapa input produksi

diantaranya benih, pakan, obat-obatan dan tenaga kerja. Input produksi ini

menjadi komponen biaya dalam pengelolaan usaha tambak polikultur

kepiting-ikan nila.

Input dan Output dari usaha tambak mencakup biaya dan hasil biaya pada usaha

pertanian umumnya adalah biaya produksi yang meliputi biaya investasi, yaitu :

biaya yang digunakan untuk pembelian atau sewa tanah, penyediaan keramba,

maupun jaring yang mendukung usaha tambak kepiting bakau tersebut dan biaya

operasional yang meliputi: pembelian benih, obat-obatan, pakan, tenaga kerja,

(33)

tambak kepiting tersebut.

Pendapatan yang diperoleh adalah total penerimaan yang besarnya dinilai dalam

bentuk uang dan dikurangi dengan nilai total seluruh pengeluaran selama proses

produksi berlangsung.

Penerimaan adalah hasil perkalian dari jumlah produksi total dengan harga satuan,

sedangkan pengeluaran adalah nilai penggunaan sarana produksi atau input yang

diperlukan pada proses produksi yang bersangkutan.

Kelayakan usaha tambak kepiting di daerah penelitian, akan menentukan peluang

pengembangan usaha tambak ini, yaitu dengan menganalisis apakah layak atau

tidak untuk diusahakan di daerah penelitian. Oleh karena itu, untuk menganalisis

kelayakan usaha tambak kepiting dianalisis dengan metode analisis R/C. Analisis

R/C ini membandingkan nilai penerimaan (Revenue) dengan total biaya produksi

(Cost) dengan menggunakan kriteria, bila nilai R/C >1, maka usaha tambak ini

layak, bila nilai R/C = 1, maka usaha tambak berada pada titik impas dan bila nilai

R/C < 1, maka usaha tambak ini tidak layak. Secara sistematis kerangka

(34)

Keterangan : = Ada Hubungan

(35)

2.3Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori dan identifikasi masalah, maka dapat dirumuskan

hipotesis penelitian, yaitu :

1. Pendapatan usaha polikultur tambak kepiting didaerah penelitian adalah

tinggi.

(36)

III.METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian

Penentuan daerah dilakukan secara purposive (sengaja), yaitu di Desa Paluh

Manan Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang. Daerah ini dipilih

karena Kecamatan Hamparan Perak merupakan salah satu daerah pengembangan

pantai timur dengan luas lahan terbesar dan Desa Paluh manan merupakan sentra

produksi kepiting bakau di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli serdang.

Berikut tabel luas areal budidaya perikanan tambak per kecamatan di Kabupaten

Deli Serdang Tahun 2009.

Tabel 1. Luas Areal Budidaya Perikanan Tambak Per Kecamatan di Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009

No Kecamatan Luas Lahan (Ha)

(37)

3.2 Metode Penentuan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani tambak yang mengusahakan

system tambak polikultur kepiting-ikan nila di Desa Paluh Manan Kecamatan

Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang, yang berjumlah 21 orang. Dalam

penelitian ini, penulis menggunakan metode penentuan sampel secara sensus di

daerah penelitian.

Arikunto (1990) menyatakan apabila subjek kurang dari 100 lebih baik diambil

semua, sehingga penelitian merupakan metode sensus. Berdasarkan pendapat

tersebut maka sampel penelitian ini di ambil seluruhnya yairu 21 orang sampel

yang diambil dengan metode sensus dimana semua individu dalam populasi

diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dari petani tambak polikultur kepiting-ikan nila

di Desa Paluh Manan Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang

dengan wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan daftar

kuisioner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Sedangkan data sekunder

diperoleh dari instansi dan dinas yang terkait dengan penelitian ini seperti Dinas

Perikanan dan Kelautan Kabupaten Deli Serdang, Kantor Kecamatan Hamparan

Perak, Kantor Desa Paluh Manan dan Penyuluh Pertanian Kabupaten Deli

Serdang serta literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4 Metode Analisis Data

Data yang dikumpulkan dengan melakukan tabulasi, kemudian dibuat hipotesis

(38)

tersebut.

Untuk identifikasi masalah yang pertama (1) dianalisis dengan menggunakan

metode analisis deskriptif, yaitu untuk mengetahui sistem pengelolaan usaha

tambak kepiting di daerah penelitian.

Untuk identifikasi masalah kedua (2) dianalisis dengan menggunakan metode

tabulasi sederhana, yaitu menggunakan rumus analisis pendapatan, yaitu:

n n n

Σ Pd = Σ TR – Σ TC

i = I i = I i = I

Keterangan:

i = komoditi ( jenis komoditi budidaya)

n = jumlah komoditi

(Mosher, 1987)

Kriteria pengambilan keputusan:

- Jika nilai pendapatan usaha di daerah penelitian > pendapatan usaha

polikultur kepiting-ikan nila daerah lain, maka pendapatan usahatani

tersebut tinggi

- Jika nilai pendapatan usaha di daerah penelitian < pendapatan usaha

polikultur kepiting-ikan nila daerah lain, maka pendapatan usahatani

tersebut rendah

- Jika nilai pendapatan usaha di daerah penelitian = pendapatan usaha

polikultur kepiting-ikan nila daerah lain, maka pendapatan usahatani

tersebut normal

Untuk identifikasi masalah ketiga (3) juga dapat dianalisis dengan menggunakan

(39)

perbandingan (nisbah) antara penerimaan dengan biaya, yaitu untuk menganalisis

kelayakan usaha tambak di daerah penelitian, secara matematis dapat dituliskan :

a = R/C R = Py.Y C = FC + VC

a = (Py.Y)/(FC + VC)

Keterangan :

R = Penerimaan (Rp)

C = Biaya (Rp)

Py = Harga Output (Rp)

Y = Output (Kg)

FC = Biaya Tetap (Rp)

VC = Biaya Variabel (Rp)

Kriteria Uji : - R/C > 1 maka usaha tambak layak diusahakan

- R/C = 1 maka usaha tambak berada di titik impas

- R/C < 1 maka usaha tambak tidak layak diusahakan

Dari sisi produktifitas tenaga kerja, kelayakan usaha tambak polikultur

kepiting-ikan nila dapat dianalisis menggunakan analisis Produktivitas tenaga kerja yaitu,

perbandingan antara penerimaan dengan total tenaga kerja yang dicurahkan per

usaha tani dengan satuan Rp/HKO.

Produktivitas tenaga kerja = Penerimaan Total tenaga kerja yang dicurahkan

(40)

- Jika produktivitas tenaga kerja > tingkat upah yang berlaku, maka usaha

tani layak diusahakan.

- Jika produktivitas tenaga kerja < tingkat upah yang berlaku, maka usaha

tani tidak layak diusahakan.

3.5 Defenisi dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalah pahaman dalam penelitian ini maka dibuat definisi

dan batasan operasional sebagai berikut:

3.5.1 Defenisi

1. Petani sampel adalah petani yang mengusahakan tambak kepiting secara

polikultur dengan ikan nila di daerah penelitian.

2. Sistem usaha pilikoltur yaitu praktek kultur lebih dari satu jenis organisme

akuatik di kolam yang sama dalam hal ini petambak mengupayakan ikan

nila dengan kepiting.

3. Usaha polikultur tambak kepiting-ikan nila adalah sistem budidaya yang

mengusahakan kepiting dan ikan nila secara campur jenis dengan

menggunakan keramba sebagai wadah pemeliharaan kepiting, dengan ikan

nila di bawahnya mulai dari pembenihan sampai penjualan dengan

berupaya untuk memanfaatkan sumber daya seoptimal mungkin.

4. Produksi usaha tambak kepiting adalah kepiting soka dan ikan nila yang

sudah layak konsumsi.

5. Kepiting soka merupakan kepiting bakau yang sedang mengalami fase

ganti kulit (molting). Keunggulan kepiting dalam fase ini yaitu mempunyai

cangkang yang lunak sehingga dapat dikonsumsi secara utuh.

(41)

berdasarkan jumlah berat.

7. Harga adalah besarnya nilai penjualan kepiting per Kg.

8. Penerimaan adalah nilai yang diperoleh dari perkalian total produksi

dengan harga jual.

9. Biaya produksi adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh petani tambak

selama proses produksi berlangsung sampai siap dipasarkan.

10.Produktivitas tenaga kerja yaitu perbandingan antara penerimaan dengan

total tenaga kerja yang dicurahkan per usaha tani dengan satuan Rp/HKO.

3.5.2 Batasan Operasional

1. Daerah penelitian adalah di Desa Paluh manan Kecamatan Hamparan Perak

Kabupaten Deli serdang.

2. Waktu penelitian adalah pada tahun 2012.

3. Petani Sampel adalah petani tambak yang mengusahakan usaha polikultur

tambak kepiting-ikan nila.

4. Kepiting yang siap dijual berumur 15 – 30 hari atau berat telah mencapai

200gr/ekor. Sedangkan ikan nila yang dijual yaitu minimal telah mencapai

(42)

IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PETANI SAMPEL

4.1. Deskripsi Daerah Penelitian

Daerah penelitian yaitu Desa Paluh Manan Kecamatan Hamparan Perak

Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara, dengan luas wilayah 1936 Ha.

Jumlah penduduk di Desa Paluh Manan sebanyak 3209 jiwa. Desa Paluh Manan

ini terdiri dari 9 dusun.

Desa Paluh Manan memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Paluh Kurau Kecamatan Hamparan

Perak

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lama Kecamatan Hamparan Perak

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kota Rantang Kecamatan

Hamparan Perak

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Kota Datar Kecamatan Hamparan

Perak

4.2. Keadaan Penduduk

Penduduk Desa Paluh Manan berjumlah 3209 jiwa meliputi 1619 jiwa laki-laki

dan 1590 jiwa perempuan, dengan jumlah rumah tangga sebanyak 857 KK. Untuk

(43)

Tabel 3. Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa Paluh Manan Tahun 2010

No Umur (Tahun) Jumlah Penduduk (Jiwa) Persentase (%)

1 0-6 592 18,4

Sumber : Profil Desa Paluh Manan 2009

Tabel 3. menunjukkan bahwa kelompok umur 0-6 tahun terdapat 592 jiwa

(18,4%), kelompok umur 7-15 tahun terdapat 669 jiwa (20,8%), kelompok umur

16-21 tahun terdapat 682 jiwa (21,3%), kelompok umur 22-59 tahun terdapat 837

jiwa (26,1%) dan kelompok umur > 60 tahun terdapat 429 jiwa (13,4%).

Berdasarkan data diatas dapat dikemukakan bahwa penduduk menurut kelompok

umur 22-59 tahun adalah penduduk yang paling tinggi jumlahnya, yaitu 837 jiwa

(26,1%). Hal ini menunjukkan bahwa di desa ini memiliki tenaga kerja yang

produktif yang masih dapat menghasilkan pendapatan bagi keluarga.

Mata pencaharian penduduk di Desa Paluh Manan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di Desa Paluh Manan Tahun 2009

No Uraian Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Persentase (%)

1 Petani 1289 40

2 Nelayan 240 7,5

3 Pedagang 73 3

4 Budidaya Perikanan/Kepiting 21 0,7

5 Wiraswasta 42 1,3

Sumber : Profil Desa Paluh Manan

(44)

pekerjaan. Sebagai Petani sebanyak 1289 jiwa (40%), Nelayan sebanyak 240 jiwa

(7.,5%), Pedagang sebanyak 73 jiwa (3%), Budidaya Perikanan/Kepiting

sebanyak 21 jiwa (0,7%), Wiraswasta sebanyak 42 jiwa (1,3%), PNS sebanyak 7

jiwa (0,2%), Guru sebanyak 23 jiwa (0,7%), TNI/ POLRI sebanyak 3 jiwa (0,1%),

Buruh sebanyak 88 jiwa (2,7%), Pengangguran sebanyak 250 jiwa (7,8%) dan

Usia tidak dalam kelompok lerja sebesar 1173 (36%).

4.3. Karakteristik Petani Sampel

Karakteristik petani sampel di daerah penelitian ini meliputi luas lahan, umur,

tingkat pendidikan, jumlah tanggungan dan pengalaman bertani dari petani

sampel. Gambaran karakteristik petani sampel ini dapat dilihat pada Tabel 5

berikut ini :

Tabel 5. Karakteristik Petani Sampel di Desa Paluh Manan

No Uraian Range Rataan

Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 1

Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa rata-rata petani sampel di daerah penelitian

memiliki luas lahan usaha tambak polikultur kepiting-ikan yaitu dengan range 3 –

6 rante dengan rataan 3,7 rante. Hal ini menunjukkan bahwa petani sampel di

daerah penelitian termasuk petani yang memiliki lahan yang tidak terlalu luas

untuk berusaha tambak kepiting-ikan nila karena besarnya modal dalam berusaha

tambak polikultur kepiting-ikan nila dan hanya sebagian petani yang memiliki

lahan sewa untuk melakukan usahatani ini.

Umur petani sampel di daerah penelitian memiliki rata-rata 43 tahun dengan range

(45)

usia yang produktif untuk melakukan usaha polikultur tambak kepiting-ikan.

Tingkat pendidikan petani sampel di daerah penelitian memiliki rata-rata 10 tahun

dengan range 6 – 12 tahun. Berdasarkan data ini dapat dilihat bahwa tingkat

pendidikan petani sampel adalah tingkat SMA. Hal ini menunjukkan bahwa

tingkat pendidikan petani sampel sudah baik.

Jumlah tanggungan petani sampel di daerah penelitian memiliki rata-rata 4 jiwa

dengan range 1 – 8 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah tanggungan petani

sampel tergolong rendah. Jumlah ini sangat berpengaruh terhadap beban

tanggungan keluarga, dimana sebagian petani memiliki anak yang sudah dewasa

dan telah menikah sehingga tidak lagi menjadi tanggungan keluarga.

Pengalaman bertani petani sampel di daerah penelitian memiliki rata-rata 16 tahun

dengan range 3 – 27 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman petani dalam

bertani sudah lama, sehingga keahlian dan pengetahuan petani dalam berusahatani

(46)

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Sistem Pengelolaan Usaha Tambak Polikultur Kepiting – Ikan di Daerah Penelitian

Usaha tambak polikultur kepiting-ikan yang terdapat di Desa Paluh Manan,

Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang ini adalah suatu tambak

yang membudidayakan kepiting bakau dan ikan nila dalam satu kolam.

Pembudidayaan kepiting bakau ini menghasilkan kepiting yang memiliki

cangkang lunak dengan sistem pengelolaan yang meliputi beberapa kegiatan

diantaranya: Persiapan Tambak, Penebaran Bibit, Teknik Produksi Kepiting soka

(kepiting cangkang lunak), Pemberian Pakan, Pemeliharaan air, dan Pengendalian

Hama dan Penyakit. Sedangkan pada pembudidayaan ikan teknik budidaya nya

meliputi persiapan wadah pembesaran/pemeliharaan, metode dan system

pemeliharaan dapat disesuaikan dengan budidaya kepiting bakau, sesuai dengan

pernyataan Gustiano, dkk (2010) yang menyatakan bahwa pengelolaan

pembesaran ikan nila dapat disesuaikan dengan jenis lahan (kolam, tambak,

sawah, keramba jaring apung, dan hampang), metoda (tunggal kelamin, campur

kelamin, tunggal jenis, dan terpadu), dan sistem pemeliharaan (ekstensif atau

tradisional, semi intensif, dan intensif) yang dipergunakan. Pada daerah

penelitian, lahan yang digunakan yaitu kolam tambak dengan menggunakan

metoda campuran jenis atau polikultur dimana menurut gustiano, dkk (2010)

polikultur atau campuran jenis adalah suatu cara pembesaran ikan yang

mempergunakan lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah pemeliharaan.

(47)

individu dilakukan atas pertimbangan dari beberapa hal, yaitu: persediaan pakan

alami, kebiasaan makan bagi setiap jenis ikan, dan tujuan usaha pembesaran.

Pada daerah penelitian, system pemeliharaan untuk metode polikultur yaitu

menggunakan sistem semi intensif. Sistem pemeliharaan semintensif plikultur

kepiting-ikan dimana Gustiano, dkk (2010) menyatakan bahwa pemeliharaan

semiintensif dapat dilakukan di kolam, tambak, sawah, dan jaring apung. Pada

sistem semiintensif ini ditandai oleh pemeliharaan nya yang sudah melakukan

kegiatan pemupukan dan pemberian pakan tambahan secara teratur dan prasarana

berupa saluran irigasi harus baik. Budidaya ikan nila secara semi intensif dikolam

dapat dilakukan secara monokultur maupun polikultur. System semiintensif juga

dapat dilakukan secara terpadu dimana kolam ikan di kelola bersama dengan

usaha tani maupun industry rumah tangga lain.

Adapun aspek kegiatan budidaya polikultur kepiting-ikan nila di daerah penelitian

dapat dilihat sebagai berikut:

1. Persiapan Kolam Tambak

Pada daerah penelitian, usaha tambak polikultur dilakukan pada komoditi kepiting

bakau dan ikan nila. Kolam tambak di buat pada daerah air payau, dimana kolam

tambak merupakan alihfungsi dari tambak udang. Dengan pH berkisar antara 6-8

dan kadar garam 28 permil. Sesuai dengan pernyataan Soim (1999) kisaran

salinitas yang sesuai bagi kepiting adalah 10-30 0/00 atau di golongkan ke dalam

air payau atau menurut Rusmiyati (2011) kriteria lokasi yang ideal untuk

pembudidayaan kepiting adalah daerah air payau atau air asin dengan kadar garam

15-30 permil dengan pH tanah 4-5 dan salinitas 24-30 ppt. Barus (2001)

(48)

7-8,5 termasuk pada ikan nila. Sedangkan menurut Gustiano, dkk (2010) pada

salinitas 15 ppt ikan nila mempunyai tingkat kelangsungan hidup dua kali lipat

dengan tingkat adaptasi yang tinggi. Ikan nila dapat dibudidayakan pada air payau

dengan teknik adaptasi secara bertahap seperti yang dilakukan pada daerah

penelitian.

Pada persiapan pembuatan kolam tambak, pengelolaan tanah dasar tambak

merupakan salah satu tahap yang sangat penting. Pada daerah penelitian, dasar

kolam tanah dengan dasar kolam lumpur berpasir yang memiliki pipa paralon

yang di letakkan pada pintu masuk kolam atau pintu penghubung antara satu

kolam dengan kolam lain nya yang berfungsi sebagai irigasi atau pintu masuk air

pada saat pergantian air kolam ataupun pada saat memulai kegiatan budidaya yang

dilakukan sebanyak dua kali dalam sebulan yaitu pada saat pasang 30, air pasang

menjelang malam hari maupun pasang 15, yaitu menjelang siang hari. Kegiatan

persiapan tambak meliputi penjemuran kolam, pembalikan dan pengapuran.

Kegiatan persiapan tambak ini membutuhkan waktu selama 2 minggu, yaitu 1

minggu penjemuran sampai dasar tanah mengering dan retak-retak setelah itu

dilakukan pembalikan tanah dengan cara mencangkul tujuan dilakukannya

pengeringan dan pembalikan tanah ini agar memudahkan dalam penyerapan

pupuk dan mineral lainnya seperti pupuk NPK dan pupuk kandang memicu

tumbuhnya fitoplankton yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup kepiting

terutama ikan yang berada dibawah permukaan air atau di bawah keramba yang

setengah mengapung. Sedangkan pengapuran dilakukan secukupnya. Sesuai

dengan pernyataan Rusmiyati (2011), pengelolaan dasar tambak dilakukan dengan

(49)

pupuk sesuai kebutuhan, dengan demikian dasar tambak tidak menimbulkan

pengaruh negative tgerhadap kualitas air tambak selama pemeliharaan. Kegiatan

tambak kegiatan pengelolaan tambak meliputi penjemuran, pembalikan, dan

pengapuran.penjemuran tanah dilakukan hingga bagian permukaan sampai retak –

retak. Tujuan nya agar semua bahan organik yang didasar tambak terurai menjadi

unsure yang tidak membahayakan dan mengikat gas-gas beracun yang terdapat

pada dasar kolam atau media tanah. Proses pengeringan tambak dilakukan selama

1 minggu. Pada persiapan lahan tambak juga dilakukan kegiatan pengapuran.

Pengapuran menggunakan kapur CaCO3 (Dholomit). Pengapuran berpengaruh

terhadap nilai pH tanah bertujuan untuk menaikkan atau mempertahankan pH

tanah bagian dalam tambak hingga kisaran pH normal (7-8). Pengapuran

dilakukan dengan menaburkan kapur dipermukaan pelataran tambak secara

merata dan dibiarkan selama 2-4 hari. Pada daerah penelitian jumlah kapur

pertanian (Dholomit) dan pupuk yang digunakan dapat dilihat pada table berikut

ini:

Tabel 6. Rata-rata Kebutuhan Kapur dan Pupuk di Daerah Penelitian

Uraian Dholomit NPK Pupuk Kandang

(Zak) (Zak) (Goni)

Rante 1 1 7

Ha (8 Kolam) 9 8 48

Sumber : Analisis Data primer Lampiran 4a dan 4b

Dari tabel 6, dapat dilihat pada daerah penelitian, jumlah kebutuhan pengapuran

per kolam dengan rata-rata luas kolam tambak yaitu 3,7 rante (1480 m2) yaitu

sebanyak 50 kg atau sekitar 450 kg pada luas tambak 4000m2 , kebutuhan tersebut

disesuaikan pada keasaman tanah pada daerah penelitian. Sesuai pernyataan

(50)

pupuk dapat dilakukan sesuai kebutuhan yang berbeda di setiap daerah. Menurut

Gustiano (2010), dosis pupuk anorganik yang diterapkan adalah sesuai dengan

tingkat kesuburan di tiap daerah.

Selain itu Pada daerah penelitian di lakukan kegiatan pemupukan dengan

menggunakan pupuk NPK sebagai ganti pupuk Urea dan TSP, dengan dosis 1 zak

(50 kg) per 3,7 rante (38.5 m) dan 400 kg/Ha. Kebutuhan pupuk kandang

sebanyak 7 goni atau 70 kg per kolam dan 48 goni atau 480 kg/ha. Sesuai dengan

pernyataan Gustiano (2010) yang menyatakan bahwa dosis pupuk kandang

250-500 gram/m.

2. Penebaran Bibit

Penebaran bibit kepiting maupun ikan di daerah penelitian dilakukan pada pagi

hari maupun sore hari pada hari yang berbeda sesuai dengan pernyataan

Rusmiyati (2011), Penebaran bibit kepiting dapat dilakukan pada pagi atau sore

hari pada keramba. Berikut ini adalah tabel rata-rata kebutuhan bibit kepiting pada

usaha tambak polikultur kepiting-ikan per petani per periode (1 Bulan) di Daerah

penelitian.

Tabel 7. Rata-rata Kebutuhan Bibit Kepiting Pada Usaha Tambak Polikultur Kepiting-Ikan Per Petani Per Periode (1 Bulan) di Daerah Penelitian.

Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 2a dan 2b

Dari tabel 7 dapat di lihat, setiap lahan tambak pemeliharaan terdapat 100 unit

keramba 1,5x1x1 meter dengan kepadatan tebar benih satu kolam (1200m2) sekitar

605 Kg atau sekitar 6050 ekor/kolam atau 60 ekor/keramba dengan berat rata-rata

(51)

pernyataan Rusmiyati (2011), benih kepiting yang ditebar berukuran kurang lebih

200-300 gram per ekor. Untuk ukuran keramba 1,5 – 2 x 1 x 1 meter kepadatan

tebarnya kurang lebih 15-25 kg per keramba atau sebanyak 60-70 ekor/keramba.

Sedangkan kepadatan tebar ikan nila di daerah penelitian yaitu 0.6 kg/petani yaitu

1200 ekor per kolam 3,7 rante (1200m2) dengan berat 0.5 gram per ekor dan 5

kg/ha . Sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011) pada budidaya polikultur

dengan ikan nila maksimal dapat ditebar dengan kepadatan 2000-3000 ekor/ha

untuk berat 2-5 gram atau kurang lebih 20.000-30000 ekor/ha untuk berat 0.5

gram atau sebesar 2400-3600 ekor/kolam (1200m2).

3. Pemberian Pakan

Menurut Rusmiyati (2011), Jenis pakan untuk kepiting tidaklah sulit karena

kepiting termasuk dalam hewan pemakan segala jenis makanan begitu juga ikan

nila. Menurut Rukmana (1997) ikan nila efisien terhadap pakan, mudah dipelihara

pada berbagai lingkungan (habitat), rakus terhadap limbah buangan / sisa pakan

dan termasuk pemangsa segalah bahan (omnifora). Ada dua jenis pakan yang

dapat diberikan pada kepiting dan ikan, yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pada

daerah penelitian pakan alami yang diberikan pada kepiting yaitu ikan runcah dan

keong mas. Sedangkan pakan buatan yaitu pelet. Sedangkan untuk pakan ikan

pada daerah penelitian adalah sisa pakan kepiting yang berjatuhan kedasar kolam

tambak serta pakan alami yang berupa jentik-jentik nyamuk maupun fitoplankton,

zooplankton yang tumbuh akibat pemupukan kolam pada saat tahap persiapan

tambak maupun pada saat pemupukan susulan. Sesuai dengan pernyataan

Gustiano (2010) Pakan pada kolam pemeliharaan dapat berupa pakan alami yang

(52)

di dasar , seperti cacing, siput, jentik-jentik nyamuk dan chirinomus dapat menjadi

makanan ikan nila. Selanjutnya ikan dapat diberikan pakan lain selain pakan alami

yang terdapat pada kolam. Dalam hal ini seperti pellet kepiting yang berjatuhan ke

dasar kolam. Berikut ini adalah table kebutuhan pakan per petani per periode (30

hari) didaerah penelitian.

Tabel 8. Rata-rata Kebutuhan Pakan Per Petani di daerah Penelitian Dalam 1 Periode.

Luas Tambak Bibit Kebutuhan Pakan

(Kg) (Kg)

3,7 Rante 605 898

1 Ha 3924 8505

Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 3a dan 3b

Dari tabel 8 dapat di ketahui pada daerah penelitian, rata-rata kebutuhan pakan

yaitu sebesar 898 kg untuk bibit 605 kg atau 898 kg untuk bibit yang berjumlah

kurang lebih 6050 ekor. Jumlah kebutuhan pakan ini diperoleh dengan

memperhitungkan berat awal kepiting, pertambahan berat serta tingkat kematian

kepiting dimana pertambahan berat kepiting dapat mencapai 20%-30% dan

tingkat kematian sebesar 25%-30%. Sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011),

pemberian pakan lebih diutamakan dalam bentuk segar sebanyak 5-10% dari berat

badan dan diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore/ malam hari. Dalam

siklus pemeliharaan, kepiting yang dapat bertahan hidup adalah sebesar 70%.

Dengan pertambahan berat badan sebesar 10%-15%. Sedangkan menurut

Gustiano (2010), pada ikan nila, jumlah pakan yang diberikan setiap hari

disesuaikan dengan berat ikan, sering di sebut dengan Tingkat Pemberian Pakan

(TPP). Umumnya ikan yang berukuran besar membutuhkan TPP dan frekuensi

pemberian pakan yang semakin kecil dibandingkan dengan ikan yang berukuran

(53)

yang tumbuh semakin besar akan mengurangi sisa pakan yang jatuh kedasar

kolam, akan tetapi hal ini justru lebih baik karena kebiutuhan pakan ikan juga

semakin kecil sehingga tidak mengganggu pertumbuhan kedua komoditi secara

bersamaan. Akan tetapi pada saat awal pemeliharaan ikan nila membutuhkan lebih

banyak pakan, sedangkan kepiting membutuhkan lebih sedikit pakan, maka

jumlah sisa pakan kepiting yang berjatuhan ke dasar kolam akan menjadi

makanan tambahan bagi ikan nila hal ini sangat membantu petani dalam

meminimalisir limbah organik yang dapat mengurangi kualitas air, selain itu ikan

nila juga sangat bermanfaat bagi pemeliharaan kepiting, sifat nya yang lincah dan

suka bergerak akan meningkatkan sirkulasi air sehingga secara tidak langsung

akan menambah suplai oksigen bagi kepiting.

4. Teknik Budidaya Kepiting soka dan Ikan Nila.

Tujuan pemeliharaan kepiting bakau di daerah penelitian adalah untuk

memperoleh kepiting soka atau kepiting cangkang lunak. Pada daerah penelitian

tahap awal dalam teknik budidaya kepiting soka yaitu seleksi terhadap kepiting

yang akan di molting. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah tingkat kematian

dalam pemeliharaan dan kegagalan dalam produksi kepiting soka. Ukuran

kepiting yang akan dibudidayakan sebagai kepiting soka yaitu kepiting muda

berumur 3 bulan, memiliki berat 100 gram atau 1 ons dengan panjang kerapaks

yaitu 10 cm. sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011), kepiting yang sudah tua

atau yang sudah pernah bertelur tidak baik untuk dilakukan pemotingan (proses

ganti kulit). Ukuaran cangkang kepiting yang dipelihara berkisar 10-15 cm

dengan berat 60-150 gram. Ukuan tersebut sangat baik dan sangat cepat dalam

(54)

yang cacat ataupun mengalami luka tidak bias molting dan mengalami kematian

1- 4 hari pemeliharaan.

Rusmiyati (2011) menyatakan, produksi kepiting soka, dilakukan dengan

memelihara kepiting secara individu didalam kotak (keranjang) yang di tempatkan

pada keramba hingga molting. Seperti yang terdapat pada daerah penelitian.

Pertumbuhan kepiting terjadi secara berkala pada setiap rangkaian proses

pergantian kulit atau molting. Pada daerah penelitian pergantian kulit ini dapat

terjadi hingga beberapa kali molting. Penambahan bobot kepiting dapat mencapai

25% dari berat awal. Pemoltingan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan dan

wadah tempat pemeliharaan kepiting, pencahayaan, suhu atau temperature serta

makanan. Selain itu penggantian air dan pemberian pakan juga sangat

mempengaruhi pertumbuhan dan pemoltingan kepiting. Kepiting yang sedang

mengalami pergantian kulit inilah yang akan di panen menjadi kepiting soka.

Sesuai dengan pernyataan Rusmiyati (2011) bahwa selama masa pertumbuhan

kepiting menjadi dewasa, kepiting bakau akan mengalami proses ganti kulit antara

17-20 kali. Hal ini terjadi karena rangka luar yang membungkus tubuhnya tidak

dapat membesar sehingga perlu dibuat dan diganti dengan yang lebih besar.

Pertambahan berat yang dicapai setelah molting 20-25% dari berat awal dengan

rata-rata berat awal penebaran 80-100 g/ekor dalam masa pemeliharaan 15-20

hari. Pemoltingan tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu informasi

eksternal dari lingkungan seperti cahaya, temperature, dan ketersediaan makanan.

Selain itu informasi internal juga sangat berperan, seperti ukuran tubuh yang

membutuhkan tempat yang lebih luas. Kedua faktor ini akan mempengaruhi otak

Gambar

Gambar 2. kurva biaya produksi
Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran Analisis Usaha Polikultur Tambak Kepiting – Ikan Nila
Tabel 1. Luas Areal Budidaya Perikanan Tambak  Per Kecamatan di
Tabel 4. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di Desa Paluh Manan Tahun 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini, maka dapat meningkatkan kompetensi desain photoshop bagi pemuda pemudi karang taruna Desa Lawang dalam

Masalah yang timbul dalam penentuan rute angkutan barang ini adalah merancang rute yang optimal sehingga diperoleh ongkos, waktu dan jarak yang optimal untuk ditempuh

Mekanisme kerja sudah berjalan dengan baik tetapi SDM penanggulangan radikalisme masih kurang, karena anggota yang melaksanakan tugas belum memiliki pemahaman yang cukup terhadap

materi tentang energi panas, bunyi dan alternatif o Menyebutkan contoh energi panas o Memberikan contoh sumber energi panas - Lilin yang menyala menghasilkan panas -

Diagram 2 : Aktivitas Siswa Dalam Penerapan Model TGT di kelas IV pada Siklus I dan II Dari berbagai diagram aktivitas yang telah siswa lakukan dalam penelitian mengalami kenaikan

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “ STRATEGI GURU DALAM MENGEMBANGKAN INSTRUMEN EVALUASI SKALA SIKAP PADA

Dalam penelitian ini terbukti bahwa ekstrak buah delima terstandar memiliki efek antifibrotik dengan menghambat peningkatan derajat nekroinflamasi, ekspresi IL-6, TGF- β1, MMP

Suatu pengamatan dilakukan dengan memberikan jerami padi terfermentasi yang diberikan pada 24 ekor kambing perah PE (S UTAMA et al., 2003) dengan tiga perlakuan ransum yaitu