• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT KARO – DI DESA SARILABA

2.5 Sistem Religi Dan Kepercayaan

Awalnya masyarakat Karo di Desa Sarilaba Jahe menganut animisme dan dinamisme. Dalam tingkat kepercayaan ini dilakukan pemujaan yakni penyembahan kepada yang dianggap suci dan berkuasa, dan pemujaan tersebut dilakukan dimana saja dan kapan saja (E.P. Gintings, 1999:1). Dengan memeluk kepercayaan tersebut

masyarakat Karo selalu berfikir secara mistis dan memakai mitos-mitos untuk memahami hidup dan keadaan lingkungan sekitar. Mitos-mitos inilah yang selanjutnya dijadikan acuan dalam mengatur dan mengarahkan seluruh kegiatan hidupannya.

Sistem kepercayaan animisme berasal dari zaman Pra-Hindu yang dibawa oleh bangsa Proto-Melayu nenek moyang masyarakat Karo ke dalam wilayah Karo. Dalam lapisan sejarah berikutnya, pengaruh Hindu pun memasuki Karo, yang membuat kepercayaan kepada dewata. Kepercayaan ini dibawa oleh pedagang-pedagang dari India (Tamil) yang masuk dari pantai Barat, Barus, dan terus ke Dairi hingga masuk ke Karo10

Gintings dalam bukunya Religi Karo, juga menyebutkan bahwa kepercayaan terhadap Dewata ini merupakan kepercayaan terhadap Dibata Kaci-Kaci atau Dibata

. Selanjutnya terjadilah pertemuan antara kepercayaan animisme (serba roh) dengan kepercayaan terhadap dewata (Dibata dalam bahasa Karo) melalui adanya perkawinan campuran masyarakat Karo dengan bangsa India/ Tamil. Pengaruh Hindulah yang memperkenalkan kepercayaan terhadap Dewata (Dibata) kepada suku Karo (Gintings 1992:2). Penganut kepercayaan terhadap

Dibata ini disebut juga Perbegu. Perbegu berasal dari kata begu yang artinya hantu atau roh orang-orang yang sudah meninggal. Kepercayaan animisme dan dinamisme selanjutnya dapat berbaur serasi dengan pengaruh Hindu, sehingga ritus-ritus yang berhubungan dengan alam dan benda-benda yang dianggap gaib dapat terus berlangsung (Gintings 1992:3).

10

La Idah. Dibata Kaci-Kaci memiliki tiga wilayah kekuasaan yang masing-masing diperintah oleh seorang Dibata sebagai wakil Dibata Kaci-Kaci. Ketiga Dibata

tersebut merupakan satu kesatuan yang dalam bahasa Karo disebut Dibata Sitelu

(Gintings 1992:3). Konsep Dibata Sitelu :

1. Dibata Datas, yang disebut dengan Guru Batara adalah Dibata yang menguasai dunia bagian atas (langit). Guru Batara berfungsi sebagai pemelihara alam, sumber segala berkat dan kebaikan.

2. Dibata Tengah, yang disebut dengan Tuhan Padukah ni Aji adalah Dibata yang menguasai dunia bagian tengah yaitu bumi.

3. Dibata Teruh, yang disebut Tuhan Banua Koling adalah Dibata yang menguasai dunia bagian bawah yaitu dunia roh atau makhluk halus. Masyarakat Karo juga memiliki beberapa kegiatan ritual atau upacara ritual yang berhubungan dengan kehidupan mereka. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilihat pada penjelasan dibawah ini.

a. Erpangir ku Lau

Erpangir ku lau adalah salah satu upacara ritual yang bersifat religious pada kepercayaan tradisional masyarakat Karo. Erpangir ku lau dapat juga diartikan keramas/upacara berkeramas ke sungai. Upacara ini dapat dilakukan dengan/ tanpa bantuan seorang guru (dukun)11

11

Guru atau dukun yang memimpin upacara ini disebut Guru Sibaso. Guru Sibaso biasanya adalah seorang wanita. Guru Sibaso berfungsi sebagai mediator atau pun perantara antara rohrohyang berada disekitar tempat pelaksanaan dengan keluarga yang melaksanakan upacaratersebut.

, tergantung pada permintaan keluarga yang melaksanakannya.

Gambar 2.3. Upacara Erpangir Ku Lau12

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi dilaksanakannya upacara ini, yaitu : sebagai ucapan terimakasih kepada Dibata (Tuhan), untuk menghindari malapetaka, untuk menyembuhkan suatu penyakit, pembersihan diri dari yang kotor, menabalkan seseorang menjadi guru (dukun), dan untuk melaksanakan perkawinan.

b. Raleng Tendi

Raleng tendi adalah upacara memanggil roh seseorang yang telah mengembara atau meninggalkan raganya karena diganggu oleh keramat (roh penunggu suatu tempat) atau karena suatu peristiwa tertentu. Hal tersebut berhubungan dengan berawan13

12

Sumber : www.karokab.go.id

yang membuat seseorang sakit. Roh orang sakit itu lah yang perlu dipanggil pulang ke rumah dan kembali kepada raga orang yang bersangkutan. Raleng tendi dilaksanakan oleh seorang Guru Sibaso yang pandai

ermang-mang (mengucapkan kata-kata puitis dan magis yang menyentuh hati).

13

Roh yang tertinggal atau yang pergi dari tubuh seseorang karena suatu peristiwa yang menakutkan yang mengakibatkan orang tersebut menjadi sakit-saitan (Darwin Prints, Kamus Karo-Indonesia 2002:91).

Raleng tendi dilaksanakan pada malam hari di rumah sukut (tuan rumah) yang dihadiri oleh sangkep nggeluh (kalimbubu, sembuyak, anak beru) dan hari pelaksanaannya disesuaikan dengan hari yang baik menurut guru simeteh wari

(dukun yang mengetahui primbon hari).

Perlengkapan yang diperlukan untuk melaksanakan upacara ini adalah baka

(keranjang), bulung simelias gelar (dedaunan yang namanya mempunyai makna baik), beras meciho ibas pernakan (beras putih di dalam bakul nasi)14

14

Beras meciho merupakan sebutan untuk beras putih yang digunakan untuk keperluan suatu

,tinaruh manuk raja mulia ( telur ayam yang disimbolkan sebagai kemuliaan), amak mbentar (tikar putih yang terbuat dari anyaman pandan), dagangen mbentar (kain putih), kumenen

(kemenyan). Sebelum upacara dimulai sukut terlebih dahulu memberikan sesajian kepada begu (roh orang mati) yang dianggap sebagai pelindung keluarga. Setelah itu

guru pun ersentabi (meminta ijin) dan memanggil tendinya (rohnya) atau jinujungnya (begu yang menjadi junjungannya). Orang yang rohnya dipanggil tersebut dipersilahkan duduk diatas sebuah amak mbentar dan ditutupi dengan dagangen mbentar (kain putih). Baka diangkat diatas kepalanya oleh dua orang gadis yang masih lengkap kedua orang tuanya. Lalu guru pun mulai ermang-mang dengan melantunkan beberapa lirik yang berhubungan dengan upacara tersebut. Setelah

ermang-mang dukun pun menggoncang-goncangkan beras yang ada dalam pernakan

(bakul nasi), bila baka yang dipegang ke dua gadis tersebut bergetar, menandakan bahwa tendi yang dipanggil tadi telah kembali ke rumah. Setelah itu dukun

memasukkan telur ayam ke dalam pernakan, sebagai tanda bahwa rohnya telah kembali ke raganya (orang yang sakit tersebut).

c. Perumah Begu

Perumah begu adalah upacara memanggil roh orang yang telah meninggal.

Perumah begu merupakan salah satu kepercayaan tradisional yang hidup pada orang Karo. Menurut aliran kepercayaan ini bahwa orang yang sudah meninggal, rohnya masih bisa di panggil melalui seorang dukun atau Guru Sibaso. Guru Sibaso disini berfungsi sebagai mediator atau penghubung antara roh tersebut dengan keluarga yang bersangkutan melaksanakan upacara.

Salah satu tujuan diadakannya upacara ini adalah karena adanya perselisihan yang terjadi diantara keluarga yang bersangkutan, untuk itu perlu di panggil roh nenek moyang mereka untuk mendamaikannya15

.

Gambar 2.4. Upacara Perumah Begu16

15

Wawancara dengan Piyai Br Ginting, 21 Agustus 2014) 16

d. Ndilo Wari Udan

Ndilo wari udan adalah salah satu upacara dalam kebudayaan masyarakat Karo yang bersifat magis. Tujuan upacara ini dilaksanakan adalah untuk memohon hujan kepada dibata (Tuhan) karena kemarau yang berkepanjangan. Dalam tradisi kepercayaan tersebut dipahami bahwa adanya bencana yang dialami manusia atau sekelompok manusia karena terganggunya hubungan manusia dengan alam sekitarnya akibat ulah manusia itu sendiri. Misalnya jika terjadi kemarau, hal ini dapat mengganggu kegiatan pertanian masyarakat yang berakibat pada siklus menanam pada para petani. Maka untuk menghindari kemarau yang berkepanjangan diadakanlah upacara ndilo wariudan.

Upacara ndilo wari udan juga dikenal dengan kebiasaan ersimbu (perang air). Acara ini dimulai pada pagi hari, semua warga desa berkumpul di kesain (alun-alun). Pembukaan ersimbu dibuka dengan mencurahkan air secara simbolis kepada beberapa orang penting, seperti: simantek kuta (pendiri desa, pengulu), anak beru kuta, kalimbubu kuta, senina dari simantek kuta, guru (dukun) yang ada di desa tersebut. Setelah itu maka acara ersimbu sudah resmi dimulai. Dengan melakukan upacara ini, diharapkan agar hujan pun turun.

e. Pagar dan Mere Buah Huta-huta

Pagar dan Buah huta-huta adalah roh pelindung keluarga dan atau roh pelindung kampung. Pagar merupakan pemujaan penduduk di suatu kampong terhadap begu (roh) leluhur sebagai tanda penghormatan. Letak pagar biasanya disekeliling kampung. Mere buah huta-huta juga memiliki persamaan dengan pagar, bedanya adalah pada tempatnya saja. Jika pagar dilakukan disekeliling kampung,

maka mere buah huta-huta terletak di tengah kampung. Buah huta-huta adalah nama pohon kayu nabar (sejenis pohon beringin) yang ditanam di tengah kampong dan dijadikan sebagai tempat pemujaan. Mere artinya memuja roh tersebut. Pemujaan dilakukan dengan membuat anjap telu suki17

Pada umumnya masyarakat Karo di Berastagi sudah menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan kata lain setiap individu sudah memeluk agama yang diyakininya masing-masing. Agama yang umum dianut oleh masyarakat Karo di Berastagi adalah Islam, Kristen Protestan dan Katolik.

. Pelaksanaan pemujaan ini biasanya dilakukan oleh beberapa orang Guru Sibaso.

Mengenai kegiatan-kegiatan ritual seperti yang dijelaskan diatas, masyarakat Karo di Berastagi sudah sangat jarang melakukannya, terutama bagi individu yang sudah memeluk agama.

Dokumen terkait