• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Struktur Musikal, Tekstual dan Fungsi Nganggukken tangis Dalam Upacara Nurun Pada Masyarakat Karo di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Struktur Musikal, Tekstual dan Fungsi Nganggukken tangis Dalam Upacara Nurun Pada Masyarakat Karo di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL, TEKSTUAL DAN FUNGSI

NGANGGUKKEN TANGIS DALAM UPACARA NURUN PADA

MASYARAKAT KARO DI DESA SARILABA JAHE KECAMATAN SIBIRU-BIRU KABUPATEN DELI SERDANG

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : MAHARANI N TARIGAN NIM : 100707015

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

ANALISIS STRUKTUR MUSIKAL, TEKSTUAL DAN FUNGSI

NGANGGUKKEN TANGIS DALAM UPACARA NURUN PADA

MASYARAKAT KARO DI DESA SARILABA JAHE KECAMATAN SIBIRU-BIRU KABUPATEN DELI SERDANG

SKRIPSI SARJANA

Nama : MAHARANI N TARIGAN NIM : 100707015

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Bebas Sembiring, M.Si. Drs. Perikuten Tarigan, M.Si. NIP 195703131992031001 NIP 195804021987031003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(3)

PENGESAHAN

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk

melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Medan

Hari : Tanggal :

FAKULTAS ILMU BUDAYA USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.Si NIP. 195110131976031001

PANITIA UJIAN

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Muhammad Takari, M.A., Ph.D ( )

2. Dra. Herestina Dewi, M.Pd ( )

3. Drs. Bebas Sembiring, M.Si ( )

4. Drs. Perikuten Tarigan, M.Si ( )

(4)

Disetujui

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI Ketua,

(5)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul, Analisis Struktur Musikal, Tekstual dan Fungsi Nganggukken tangis Dalam Upacara Nurun Pada Masyarakat Karo di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang. Melalui skripsi ini, penulis menjelaskan bahwa Nganggukken tangis adalah nyanyian ratapan yang

sering kali disajikan saat upacara nurun. Nganggukken tangis ini merupakan sebuah

ungkapan rasa sedih yang sangat mendalam atas kepergian seseorang yang sangat

dikasihi/disayangi yang disajikan dengan cara disenandungkan.

Pendekatan yang akan penulis lakukan adalah dengan menggunakan metode

penelitian kualitatif. Adapun dalam proses kerjanya, penulis akan melakukan

pengamatan terlibat, wawancara, studi pustaka (termasuk pustaka online), perekaman

kegiatan, transkripsi, dan analisis laboratorium. Penelitian ini terfokus kepada

pendapat informan dalam konteks studi emik, namun diimbangi dengan pendekatan

etnik oleh penulis. Informan berjumlah enam orang,yang terdiri dari satu orang

simanteki kuta dan selebihnya penduduk setempat yang pernah melihat juga

melakukan nganggukken tangis dalam upacara nurun. Pada proses pentranskripsian

musik iringannya akan dituliskan ke dalam notasi balok dengan menggunakan

program sibelius.

Dari metode dan teknik tersebut di atas akan didapatkan hasil penelitian, yaitu

deskripsi nganggukken tangis dan struktur melodinya yang secara umum adalah

(6)

ABSTRACT

This thesis is entitled, Analisis Struktur Musikal, Tekstual dan Fungsi Nganggukken tangis Dalam Upacara Nurun Pada Masyarakat Karo di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang. Through this paper, the authors explain that Nganggukken tangis lament are often presented during

the ceremony descending. Nganggukken tangis is an expression of profound grief on

the loss of someone very dear / cherished presented by way of hum.

The approach will writers do is to use qualitative research methods. As in

the working process, the author will conduct participant observation, interviews,

literature (including online library), recording activities, transcription, and laboratory

analysis. This study focused on the opinion of informants in the context of emic

studies, however offset by ethnic approach by the author. Informants of six people,

which consists of one person is a founder of the village and the rest of locals ever see

also do nganggukken tangis in descending ceremony. In the accompaniment of music

transcription process will be written into the block notation using Sibelius program.

Of methods and techniques mentioned above will get the results, namely the

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat

dan karunia-Nya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Skripsi ini berjudul : Analisis Struktur Musikal, Tekstual dan Fungsi Nganggukken tangis Dalam Upacara Nurun Pada Masyarakat Karo di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesikan jenjang S-1 dan memperoleh gelar

Sarjana Seni (S.Sn) pada Departemen etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam tulisan

ini. Oleh karena itu, terlebih dahulu penulis minta maaf kepada para pembaca dan

dapat memakluminya.

Dalam proses penyelesaian tulisan ini, banyak pihak yang telah membantu dan

mendukung penulis baik dalam bentuk doa, semangat juga materi agar proses

penyelesaian serta hal-hal yang dibutuhkan dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu,

dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak yang

telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini.

Dalam kesempatan ini, Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak

(8)

Universitas Sumatera Utara beserta jajarannya dan Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A

selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya beserta jajarannya yang telah memberikan

fasilitas dan sarana pembelajaran selama penulis menuntut ilmu di Universitas

Sumatera Utara ini.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Drs. Muhammad Takari,

M.Hum.,Ph.D. selaku ketua Departemen Etnomusikologi dan kepada Ibu Heristina

Dewi selaku sekretaris Departemen Etnomusikologi. Tidak lupa pula penulis

mengucapkan banyak terima kasih juga kepada Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si,

selaku dosen pembimbing I yang telah sabar dalam membimbing penulis,

memberikan arahan, ilmu, serta saran-saran kepada penulis hingga tulisan ini dapat

diselesaikan. Semoga Tuhan selalu memberkati Bapak. kepada Bapak Drs. Perikuten

Tarigan, M.Si, selaku dosen pembimbing II yang juga telah membimbing dan banyak

memberikan arahan dalam proses penyelesaian skripsi ini. Dan beribu terimakasih

kepada Bapak/Ibu dosen dan staff/pegawai departemen Etnomusikologi yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu, saya mengucapkan banyak terima kasih karena

telah turut membantu lancarnya proses penyelesaian skripsi ini.

Kemudian, ucapan terima kasih dari penulis secara khusus kepada kedua orangtua

tersayang yang senantiasa selalu mendukung dan mendorong penulis dalam setiap

kegiatan, selalu memotivasi penulis dan tanpa lelah mengingatkan anaknya agar

menjadi orang yang sabar dalam menghadapi setiap tantangan hidup. Dan kepada kak

tua/kaka, kak tengah/kaka, abang, dan keponakan tersayang yang selalu mendukung

(9)

Selanjutnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada abang, kakak senior dan

adik junior di Etnomusikologi yang sudah selalu mendukung penulis dalam situasi

apapun.

Kemudian, keluarga besar Ikatan Mahasiswa Etnomusikologi, Keluarga Black Canal

tercinta, Srikandi BC, Lingkaran Salam, Comunal Primitif, Namarhilong,

Ugal-Ugalan Band, Seniman Karo, NSE Project, Kontatra, dan semua teman-teman

seperjuangan stambuk 2010). Juga secara khusus ucapan terima kasih penulis kepada

Franseda sitepu, S.Sn yang sudah sangat memebantu penulis dalam penyelesaian

skripsi ini. Terimakasih buat dukungan kalian semua.

Dan seluruh pihak yang telah membantu mungkin namanya belum disebutkan,

penulis meminta maaf namun tak mengurangi rasa terimakasih yang

sebesar-besarnya. Semoga Tuhan selalu memberi berkat yang melimpah kepada kita semua.

Akhir kata, kiranya tulisan ini bermanfaat bagi setiap pembaca.

Bujur ras Mejuah-juah man banta kerina.

Medan, Oktober 2014

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

BAB II: ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT KARO – DI DESA SARILABA JAHE KECAMATAN SIBIRU-BIRU ... 19

2.1 Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi Sibiru-biru ... 19

2.2 Masyarakat Karo Di Desa Sarilaba Jahe ... 22

(11)

2.4 Bahasa ... 25

BAB IV: ANALISIS DAN FUNGSI NGANGGUKKEN TANGIS TERHADAP ORANG YANG MENINGGAL DUNIA ... 83

4.1 Fungsi Nganggukken tangis ... 83

4.1.1 Fungsi Pengungkapan Emosional ... 83

4.1.2 Fungsi komunikasi ... 84

4.1.3 Fungsi reaksi jasmani ... 84

4.1.4 Fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial ... 85

4.2 Analisis Musikal Ngangguken tangis... 85

4.2.1 Model Notasi ... 87

4.2.2 Tangga Nada ... 88

(12)

4.2.4 Wilayah Nada ... 89

4.2.5 Frekuensi Pemakaian Nada ... 90

4.2.6 Jumlah Interval ... 91

4.2.7 Bentuk (Form) ... 91

4.2.8 Pola Kadensa ... 94

4.2.9 Kontur ... 95

4.3 Analisis nyanyian vokal ngangguk ... 96

4.3.1. Ngangguk ... 96

BAB V: PENUTUP ... 103

5.1 Kesimpulan ... 103

5.2 Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 107

DAFTAR INFORMAN ... 109

DAFTAR WEBSITE ... 110

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Peta Kecamatan Sibiru-biru ... 21

Gambar 2.2. Indung Surat Aksara Karo ... 27

Gambar 2.3. Upacara Erpangir Ku Lau ... 30

Gambar 2.4. Upacara Perumah Begu ... 33

Gambar 2.5. Sistem Daliken Sitelu ... 40

Gambar 3.1 Instrumen Gendang Keyboard/Kibot (KN 2600) ... 56

Gambar 3.2. Pakaian adat dalam upacara nurun ... 60

Gambar 3.3. Pakaian yang dikenakan oleh almarhum ... 61

Gambar 3.4. Foto bersama Kalimbubu ... 62

Gambar 3.5. Foto dengan anak, menantu dan istri ... 63

Gambar 3.6. Perkolong-kolong ... 64

Gambar 3.7. Kegiatan Nganggukken tangis ... 65

Gambar 3.8. Anak tertua (ngerana) ... 66

Gambar 3.9. Nangketken uis ... 67

Gambar 4.0. Nggalari utang adat ... 68

Gambar 4.1. Ndahi kalimbubu ... 70

Gambar 4.2. Erbagi ... 71

Gambar 4.3. Ngerana kalimbubu ... 72

Gambar 4.4. Bersalaman ... 72

Gambar 4.5. Teman meriah ... 73

(14)

Gambar 4.7. Anak dan cucu almarhum ... 75

Gambar 4.8. Sukut ras gamet ... 76

Gambar 4.9. Sukut dan anak beru ... 77

Gambar 5.0. Menari mengelilingi jenazah ... 78

Gambar 5.1. Kebaktian Gereja ... 79

Gambar 5.2. Proses penguburan... 80

Gambar 5.3. Ngamburken gabur/taneh/kersik ... 81

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Jumlah Desa Dalam Data Kecamatan Sibiru-biru ... 22

Tabel 2.2. Suku Etnis Dalam Data Kependudukan Desa Sarilaba Jahe... 24

Tabel 2.3. Jumlah kepala keluarga dan penduduk berdasarkan jenis kelamin ... 24

Tabel 2.4. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Sarilaba Jahe ... 25

Tabel 2.5 Penggunaan Anak Surat dalam Indung Surat ... 27

Tabel 3.1. Uang atau Batuna ... 68

(16)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul, Analisis Struktur Musikal, Tekstual dan Fungsi Nganggukken tangis Dalam Upacara Nurun Pada Masyarakat Karo di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang. Melalui skripsi ini, penulis menjelaskan bahwa Nganggukken tangis adalah nyanyian ratapan yang

sering kali disajikan saat upacara nurun. Nganggukken tangis ini merupakan sebuah

ungkapan rasa sedih yang sangat mendalam atas kepergian seseorang yang sangat

dikasihi/disayangi yang disajikan dengan cara disenandungkan.

Pendekatan yang akan penulis lakukan adalah dengan menggunakan metode

penelitian kualitatif. Adapun dalam proses kerjanya, penulis akan melakukan

pengamatan terlibat, wawancara, studi pustaka (termasuk pustaka online), perekaman

kegiatan, transkripsi, dan analisis laboratorium. Penelitian ini terfokus kepada

pendapat informan dalam konteks studi emik, namun diimbangi dengan pendekatan

etnik oleh penulis. Informan berjumlah enam orang,yang terdiri dari satu orang

simanteki kuta dan selebihnya penduduk setempat yang pernah melihat juga

melakukan nganggukken tangis dalam upacara nurun. Pada proses pentranskripsian

musik iringannya akan dituliskan ke dalam notasi balok dengan menggunakan

program sibelius.

Dari metode dan teknik tersebut di atas akan didapatkan hasil penelitian, yaitu

deskripsi nganggukken tangis dan struktur melodinya yang secara umum adalah

(17)

ABSTRACT

This thesis is entitled, Analisis Struktur Musikal, Tekstual dan Fungsi Nganggukken tangis Dalam Upacara Nurun Pada Masyarakat Karo di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang. Through this paper, the authors explain that Nganggukken tangis lament are often presented during

the ceremony descending. Nganggukken tangis is an expression of profound grief on

the loss of someone very dear / cherished presented by way of hum.

The approach will writers do is to use qualitative research methods. As in

the working process, the author will conduct participant observation, interviews,

literature (including online library), recording activities, transcription, and laboratory

analysis. This study focused on the opinion of informants in the context of emic

studies, however offset by ethnic approach by the author. Informants of six people,

which consists of one person is a founder of the village and the rest of locals ever see

also do nganggukken tangis in descending ceremony. In the accompaniment of music

transcription process will be written into the block notation using Sibelius program.

Of methods and techniques mentioned above will get the results, namely the

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Karo1

Manusia dalam rangka menjalani kehidupannya di dunia ini, menghasilkan

dan berdasarkan kepada kebudayaan. Budaya ini menjadi identitas seseorang dan

sekelompok orang yang menggunakan dan memilikinya. Kebudayaan tersebut

muncul untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dalam rangka menjaga

kesinambungan generasi yang diturunkan. Kebudayaan ini memainkan peran penting merupakan salah satu sub etnis yang mendiami wilayah Sumatera Utara.

Etnis Karo termasuk kedalam subetnis Batak. Masyarakat Karo memiliki budaya

yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya. Salah satu bentuk warisan

kebudayaan tersebut adalah kesenian. Kesenian pada masyarakat Karo terdiri dari

berbagai macam seperti seni rupa, seni tari, seni ukir dan seni musik. Seni musik

merupakan salah satu warisan budaya yang terdapat pada masyarakat Karo yang

sampai saat ini masih dilestarikan dan memiliki peranan penting untuk

keberlangsungan seni budaya Karo. Hal ini dapat kita amati dari penggunaan seni

musik di dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Karo. Musik mendapat peranan

penting dalam rangkaian upacara-upacara maupun hiburan rakyat dan hiburan pribadi

yang menjadi kebiasaan pada masyarakat Karo.

1

(19)

terhadap perilaku manusia dan benda benda hasil kreativitas mereka. Kebudayaan

juga mengatur siklus atau daur hidup manusia sejak dari janin, lahir, anak, pubertas,

dewasa, tua, sampai meninggal dunia. Demikian juga yang terjadi didalam

kebudayaan masyarakat Karo yang ada di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru

Kabupaten Deli Serdang.

Adat istiadat Karo, sebagaimana adat istiadat masyarakat suku-suku di

wilayah Sumatera Utara umumnya, memiliki kesamaan untuk beberapa hal, termasuk

dalam upacara kematian. Kesamaan tersebut disebabkan oleh karena wilayah

Sumatera Utara cukup lama dipengaruhi Agama Hindu sebelum masuknya Agama

Islam dan Kristen. Menurut kepercayaan Agama Hindu, upacara kematian adalah

sebuah makna yang bersifat sakral, suci dan merupakan kewajiban bagi setiap

individu untuk melaksanakannya, karena di dalam upacara kematian akan tercapai

sebuah keteraturan dalam keluarga inti (nuclear family) maupun keluarga besar

(extended family) (Sarjani Tarigan 2009:108-109).

Tulisan ini akan membahas tentang nganggukken tangis, yaitu salah satu jenis

musik vokal yang biasa disajikan dalam upacara kematian pada masyarakat Karo di

desa Sarilaba Jahe. Secara harafiah, kata ‘nganggukken’ berasal dari kata ‘ngangguk

yang artinya ‘ratapan yang mengalun lembut’, dan kata ‘tangis’ memiliki arti

‘menangis’. Ginting menegaskan bahwa nganggukken tangis pada masyarakat Karo

sama dengan ‘rende’ yang artinya ‘bernyanyi’, karena kegiatan menangis terus

(20)

menyembuhkan luka hati2

Berdasarkan uraian di atas maka nganggukken tangis dapat diartikan sebagai

nyanyian ratapan yang disajikan seseorang ketika berada dalam suasana dukacita. . Dan ‘nurun’ adalah upacara kematian pada masyarakat

Karo yang dilaksanakan sebelum jenazah dikebumikan.

Nganggukken tangis adalah nyanyian yang sering kali disajikan saat upacara

nurun. Nganggukken tangis ini merupakan sebuah ungkapan rasa sedih yang sangat

mendalam atas kepergian seseorang yang sangat dikasihi/disayangi. Namun,

nganggukken tangis yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah nganggukken

tangis yang terkait dengan konteks upacara nurun pada masyarakat Karo di desa

Sarilaba Jahe.

Pada umumnya nganggukken tangis kebanyakan dilakukan oleh perempuan.

Karena perempuan dianggap lebih memiliki perasaan.

Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, Nganggukken tangis adalah sesuatu

yang disajikan dengan cara disenandungkan. Menurut pemahaman masyarakat Karo

di desa Sarilaba Jahe apabila nganggukken tangis diungkapkan tanpa melantunkan

lagunya, maka hal itu tidak disebut ngangguk (bernyanyi) melainkan ngerana

(berbicara), dalam hal ini, khususnya dalam upacara kematian.

Saat penyajian, teks nganggukken tangis biasanya terungkap secara spontan

berdasarkan suasana hati si pelaku. Teks yang disajikan pada saat melakukan

nganggukken tangis selalu menggunakan bahasa sehari-hari, termasuk

ungkapan-ungkapan yang digunakan, seperti ungkapan-ungkapan kesedihan dan penyesalan. Oleh karena

itu skripsi ini akan lebih jauh mengindentifikasi kandungan nilai dan norma tersebut

2

(21)

di dalam teks nganggukken tangis. Dengan mendeskripsikan teks nganggukken tangis

yaitu memahami makna wacana/teks; yang dalam hal ini dapat diartikan melihat arti

yang tersurat maupun tersirat dari teks nganggukken tangis, serta memahami

strukutur teksnya, maka akan dapat dipahami kemudian tentang fungsi nganggukken

tangis yang ada di desa Sarilaba Jahe.

Oleh karena nganggukken tangis merupakan sebuah nyanyian, tentulah juga

memiliki struktur musikal. Melalui penganalisaan dimaksud diharapkan dapat

memberikan gambaran umum struktur musikal nganggukken tangis ini.

Meskipun penyajian dari nganggukken tangis ini masih disajikan pada

upacara kematian masyarakat Karo di desa Sarilaba Jahe, namum hal ini tidak

menjadi perhatian bagi masyarakat serta belum banyak dikaji oleh para peneliti. Hal

itu lah yang menyebabkan penulis terdorong untuk melakukan penelitian ini. Selain

itu penulis tertarik untuk melihat apa fungsi sosial dan budaya nganggukken tangis itu

sendiri dalam kehidupan masyarakat Karo di desa Sarilaba Jahe, dengan mengkaji

teks nganggukken tangis tersebut.

Oleh karena itu penulis memberi judul Analisis Struktur Musikal, Tekstual dan Fungsi Nganggukken tangis Dalam Upacara Nurun Pada Masyarakat Karo di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deli Serdang pada tulis

1.2Pokok Permasalahan

Ada beberapa hal pokok yang menjadi perhatian utama dalam skripsi ini,

(22)

1. Apa fungsi nganggukken tangis dalam sebuah upacara nurun pada

masyarakat Karo di desa Sarilaba Jahe?

2. Bagaimana struktur musikal nganggukken tangis?

3. Bagaimana struktur tekstual nganggukken tangis?

1.3Tujuan dan Manfaat penelitian 1.3.1Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui fungsi nganggukken tangis dalam kehidupan

masyarakat Karo di desa Sarilaba Jahe.

2. Untuk menganalisa struktur musikal nganggukken tangis.

3. Untuk menganalisa struktur tekstual nganggukken tangis.

1.3.2Manfaat Penelitian

Sebagai usaha untuk memperluas informasi mengenai kebudayaan Karo,

penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut :

a. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai

nganggukken tangis dalam upacara nurun pada masyarakat Karo di

Departemen Etnomusikologi, Fakultas sastra, Universitas Sumatera Utara.

b. Sebagai bahan masukan maupun perbandingan bagi yang memerlukan

untuk penelitian selanjutnya.

c. Sebagai bahan pendokumentasian terhadap kesenian tradisional Karo.

d. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis selama

(23)

1.4Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Nganggukken tangis adalah salah satu nyanyian atau musik vokal yang

terdapat pada masyarakat Karo yang disajikan dalam konteks kematian. Nganggukken

tangis merupakan nyanyian yang tidak memiliki teks yang baku, dengan kata lain

teks muncul dengan spontan berdasarkan suasana hati si penyaji (dalam konteks

upacara kematian masyarakat Karo). Nganggukken yang artinya ‘mengalunkan ’,

tangis yang artinya ‘menangis’, dan nurun artinya ‘upacara kematian yang

dilaksanakan sebelum jenazah dikebumikan’. Jadi, nganggukken tangis adalah

tangisan yang disajikan untuk orang yang sudah meninggal dalam sebuah upacara

sebelum dikebumikan. Namun nganggukken tangis yang penulis maksud disini

adalah nganggukken tangis yang terdapat dalam upacara nurun pada masyarakat Karo

di desa Sarilaba Jahe yang disajikan oleh sangkep nggeluh3

Nyanyian merupakan bagian dari musik, secara umum musik terbagi atas tiga

bagian yaitu: (1) musik vokal, (2) musik instrumental, dan (3) gabungan antara

instrumental dan vokal. Yang dimaksud dengan musik vokal adalah bunyi yang

dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti mulut, bibir, lidah, dan kerongkongan yang

memiliki irama, nada, ritem, dinamik, melodi dan mempunyai pola-pola serta aturan

untuk bunyi tersebut. Musik vokal dapat juga disebut nyanyian. Hal ini sesuai dengan

pendapat yang dikemukakan Poerwadarminta (1985:680), bahwa nyanyian adalah dari orang yang sudah

meninggal.

3

(24)

sesuatu yang berhubungan dengan suara/bunyi yang berirama yang merupakan alat

atau media untuk menyampaikan maksud seseorang tanpa iringan musik.

Berdasarkan uraian di atas maka nganggukken tangis dapat juga disebut sebagai

musik vokal atau nyanyian, karena menghasilkan bunyi yang memiliki irama, nada,

dinamik, dan pola-pola melodi.

Analisis dapat diartikan menguraikan atau memilah-milah suatu hal atau ide

ke dalam setiap bagian-bagian sehingga dapat diketahui bagaimana sifat,

perbandingan, fungsi, maupun hubungan dari bagian-bagian tersebut.Analisis yang

penulis maksud disini adalah menelaah dan menguraikan struktur musikal nyanyian

nganggukken tangis, seperti melodi, pola ritem, kualitas suara, dan keras lembutnya

suara.

Struktur adalah cara bagaimana sesuatu itu dibangun/dibentuk dari beberapa

unsur-unsur tertentu. Struktur musikal adalah unsur-unsur yang terdapat dalam

sebuah musik, seperti unsur melodi, pola ritem, dan lain sebagainya.

Fungsi dapat dikatakan adalah manfaat atau kegunaan dari suatu hal. Sosial

merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Fungsi

sosial adalah manfaat maupun kegunaan suatu hal dalam kehidupan masyarakat.

Dalam hal ini penulis akan melihat apa fungsi atau pun kegunaan nganggukken tangis

dalam kehidupan masyarakat Karo.

Sebagai landasan penelitian ini, tekstual merupakan hal-hal yang berkaitan

dengan teks atau tulisan dari suatu nyanyian. Istilah teks dalam musik vokal berarti

syair. Teks atau syair dari nyanyian tersebut akan menghasilkan suatu makna. Makna

(25)

teks yang kemudian terbagi menjadi dua bagian, yaitu makna konotatif dan makna

denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang terkandung arti tambahan

sedangkan makna denotatif adalah kata yang tidak mengandung arti tambahan atau

disebut makna sebenarnya (Keraf, 1991:25). Istilah musikal menunjukkan kata sifat

yang artinya bersifat musik, memiliki unsur-unsur musik seperti melodi, tangga nada,

modus, dinamika, interval, frasa, serta pola ritem.

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu

sistem adat-istiadat yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas

bersama (Koentjaraningrat 2002 : 146-147). Menurut para ahli antropologi

masyarakat adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah dan yang

memakai suatu bahasa umum yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk

tetangganya (Carol R. Ember dan Melvin Ember dalam T.O. Ihromi 1994 : 22).

Masyarakat Karo yang dimaksud penulis disini adalah masyarakat Karo yang tinggal

dan menempati daerah Kabupaten Deli Serdang, khususnya masyarakat Karo yang

tinggal di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru, di mana penulis melakukan

pengamatan terhadap upacara kematian yang pernah dilaksanakan disana.

1.4.2Teori

Dalam tulisan ini ada tiga pokok permasalahan yang penulis teliti dengan

menggunakan teori dari para ahli, yang akan membantu penulis untuk mengerjakan

pokok masalah tersebut. Tiga pokok permasalahan itu adalah : fungsi, musikal, dan

tekstual, yang akan menggunakan tiga teori utama.

Untuk mengkaji penggunaan dan fungsi nganggukken tangis sebagai nyanyian

(26)

Allan P. Merriam (1964). Teori fungsi adalah salah satu teori yang dipergunakan

pada ilmu sosial, yang menekankan kepada saling ketergatungan anatara

institusi-institusi dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Kajian atau analisis

terhadap fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi. Dalam

disiplin etnomusikologi, Merriam (1964:7-18) menyatakan bahwa dalam studi

etnomusikologi, maka para ahlinya tidak bisa terlepas dari konteks kebudayaan secara

keseluruhan. Untuk memahami penggunaan dan fungsi musik, khususnya dalam

nganggukken tangis, penulis berpedoman pada pendapat Allan P.Merriam (1962,

209-226) yang menyatakan tentang penggunaan musik yang meliputi perihal

pemakaian musik dan konteks pemakaiannya atau bagaimana musik itu digunakan.

Berkenaan dalam hal penggunaan yang dikemukakan pleh Allan P.Merriam (1964,

217-218) menyatakan perihal penggunaan musik sebagai berikut: (1) penggunaan

musik dengan kebudayaan material, (2) penggunaan musik dengan kelembagaan

sosial, (3) penggunaan musik dengan manusia dan alam, (4) penggunaan musik

dengan nila-nilai estetika, dan (5) penggunaan musik dengan bahasa.

Untuk menemukan jawaban perihal fungsi musik, Merriam yang

menyebutkan bahwa terdapat sepuluh fungsi musik dalam ilmu etnomusikologi yaitu:

(1) fungsi pengungkapan emosional, (2) fungsi pengungkapan estetika, (3) fungsi

hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlmabangan, (6) fungsi reaksi jasmani,

(7) fungsi yang berkaitan dengan norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga sosial,

(9) fungsi kesinambungan budaya, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat.

Lebih lanjut, secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua

(27)

penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para ahli etnomusikologi pada masa

lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang

penggunaa musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik

dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai

bahagian daripada pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri

maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih lanjut Merriam

menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagi berikut.

Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to who his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and the perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the appoarch his god, he is employing a particular mechanism in conjuction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is ensperable here from the function religion which may perhaps be interpreted as establishment of a sense of security vis-à-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “Function” concerns the reason for its employment and particularly the broader purpose which it serves (1964:210).

Dari kutipan diatas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian

penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan pengaruhnya dalam

sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bahagian

dari situasi tersebut. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih

dalam. Dia memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian yang

ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis sebagai

perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia, yaitu untuk

memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin, berumah tangga, dan pada akhirnya

(28)

untuk mendekatkan dari kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut berhubungan

dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan

kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai

dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si

pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa

yang dapat dilayani oleh adanya musik itu.

Dalam mengkaji aspek musikal ngangguken tangis yang disajikan secara

melodis, penulis berpedoman kepada teori yang dikemukakan oleh Malm yang

dikenal dengan teori weighted scale. Pada prinsipnya teori weighted scale adalah teori

yang lazim dipergunakan di dalam disiplin etnomusikologi untuk menganalisis

melodi baik itu berupa musik vokal atau instrumental. Ada delapan parameter atau

criteria yang perlu diperhatikan dalam menganalisis melodi, yaitu: (1) tangga nada

(sacle), (2) nada dasar (pitch center), (3) wilayah nada (range), (4) jumlah nada

(frequency of note), (5) jumlah interval, (6) pola-pola kadensa (cadence patterns), (7)

formula melodi (melody formula), dan (8) kontur (contour) (Malm dalam terjemahan

Takari 1993:13).

Dalam penelitian ini, sebelum menganalisis melodi nganggukken tangis yang

disajikan oleh narasumber penulis, maka terlebih dahulu data audio ditranskripsi ke

dalam notasi balok dengan pendekatan etnomusikologis. Setelah dapat ditransmisikan

ke dalam bentuk notasi yang bentuknya visual, barulah notasi tersebut di analisis.

Untuk melihat nganggukken tangis tergolong ke dalam bagian nyanyian

tradisional atau nyanyian rakyat yang bagaimana, penulis menngambil teori

(29)

1. Nyanyian rakyat yang berfungsi (Functional folk song) adalah nyanyian yang

katakata dan lagunya memegang peranan yang sama penting dan cocok dengan

irama di dalam aktivitas tertentu.

2. Nyanyian rakyat yang bersifat liris (lirycal folk song) adalah nyanyian rakyat yang

teksnya bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru si penyanyi tanpa

menceritakan kisah yang bersambung (koheren).

3. Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah (Narative folk song) adalah nyanyian

rakyat yang menceritakan suatu kisah. (Danandjaya, 1984:146-152).

Dari keterangan di atas, nganggukken tangis merupakan nyanyian rakyat yang

berfungsi dalam kebudayaannya, karena berhubungan langsung dengan kebudayaan

masyarakat Karo desa Sarilaba Jahe.

Selanjutnya, untuk menganalisis teks-teks yang dinyanyikan dalam

ngangguken tangis ini, penulis juga menggunakan teori William P. Malm. Ia

menyatakan bahwa dalam musik vokal, hal yang sangat penting diperhatikan adalah

hubungan antara musik dengan teksnya. Apabila setiap nada dipakai untuk setiap

silabel atau suku kata, gaya ini disebut silabis. Sebaliknya, bila satu suku kata

dinyanyikan dengan beberapa nada disebut melismatik. Studi tentang teks juga

memberikan kesempatan untuk menemukan hubungan antara aksen dalam bahasa

dengan aksen pada musik, serta sangat membantu melihat reaksi musikal bagi sebuah

kata yang dianggap penting dan pewarnaan kata-kata dalam puisi (Malm dalam

(30)

1.5Metode penelitian

Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran

ilmu yang bersangkutan. (Koentjaraningrat 1997:16). Sedangkan penelitian diartikan

sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memproleh

fakta-fakta dan prinsip –prinsip dengan sabar dan hati-hati serta sistematis untuk

mewujudkan kebenaran.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam

Moleong, 1989:3). Sejalan dengan defenisi tersebut, Kirk dan Miller mendefenisikan

bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang

secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya

sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam

peristilahannya (Kirk dan Miller dalam Moleong, 1989 : 3).

Menurut Curt Sachs dalam Nettl (1962:16) penelitian dalam etnomusikologi

dapat dibagi menjadi dua, yaitu: kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium

(desk work). Kerja lapangan meliputi pengumpulan dan perekaman data dari aktivitas

musikal dalam sebuah kebudayaan manusia, sedangkan kerja laboratorium meliputi

pentranskripsian, menganalisis data dan membuat kesimpulan dari keseluruhan data4

Dalam rangka mendeskripsikan sebuah musik, kita dianjurkan memperhatikan

strukturnya, maka dilakukanlah transkripsi terhadap musik tersebut. Dalam

melakukan transkripsi terhadap suatu musik, kita dapat menggunakan dua .

4

(31)

pendekatan, seperti yang diungkapkan oleh Nettl; pertama kita dapat menganalisa dan

mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan kedua kita dapat mendeskripsikan apa

yang kita lihat dan menuliskannya di atas kertas dengan cara penulisan tertentu

(1964:98).

Apa yang dikemukakan oleh Nettl ini akan dijadikan pedoman oleh penulis

dalam menganalisis. Dengan berpedoman pada pendekatan yang ke dua, gaya melodi

yang terdapat dalam nganggukken tangis. Penulis juga melakukan pendekatan emik

dan etik dalam penelitian ini, karena penulis adalah ‟orang dalam‟ (insider). Penulis

menganggap hal ini penting karena dapat membantu penulis untuk mendapatkan

semua informasi. Conrad dalam bukunya Cultural Anthropology mengemukakan:

Emic approaches focus on native perceptions and explanations. Etic approaches give priority to the ethnographer’s own observations and conclusions.

Conrad menyebutkan pendekatan emik merupakan fokus pendekatan menurut pandangan dan keterangan pemilik budaya tersebut, sedangkan pendekatan etik adalah pendekatan berdasarkan pengamatan dan kesimpulan peneliti itu sendiri5. Dalam hal

ini penulis bisa memandang budaya Karo denganpendekatan emik maupun etik. Kedua

pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan data yang objektif. Adapun

metode-metode yang penulis lakukan dalam penulisan skripsi ini adalah: studi kepustakaan,

penelitian lapangan dan kerja laboratorium. Untuk lebih jelas lagi ke tiga metode

tersebut akan dijelaskan selajutnya.

5

(32)

1.5.1 Studi kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan salah satu landasan dalam melakukan sebuah

penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk

mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Dengan melakukan studi

kepustakaan penulis akan mendapat input atau masukan tentang apa yang sudah dan

belum diteliti. Studi kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan

dasar tentang apa yang akan diteliti.

Untuk melengkapi pengetahuan penulis dalam menulis skripsi ini, penulis

juga melakukan studi kepustakaan terhadap topik-topik lain yang berhubungan

dengan penelitian skripsi ini. Studi kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh

pengetahuan dasar tentang apa yang akan diteliti. Dalam hal ini penulis mempelajari

skripsi yang sudah pernah ditulis oleh salah seorang sarjana Etnomusikologi yaitu

Tety Silva Kurnia Ginting dengan judul Analisis Struktur Musikal, Tekstual Dan

Fungsi Sosial Didong Doah Bibi Si Rembah Ku Lau Pada Masyarakat Karo Di

Berastagi (2012), Marliana Manik dengan judul Analisis Fungsi, Tekstual, dan

Musikal Tangis Simate Suatu Genre Nyanyian Ratapan dalam Konteks Kematian

pada Masyarakat Pakpak-Dairi di Desa Siompin, Aceh Singkil (2012), Ucok

Haleluya Silalahi dengan judul Ahoi Mengirik Padi Pada Masyarakat Melayu Daerah

Batang kuis, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara : Suatu Kajian

Tekstual dan Musikal (2011), Vanesia Sebayang dengan judul Dalan Gendang:

Analisis Pola Ritme Dalam Ensambel Gendang Lima Sendalanen Oleh Tiga Pemusik

Karo (2011). Dengan mempelajari skripsi ini penulis menemukan cara yang akan

(33)

Disamping itu, penulis juga membaca dan mendapat informasi dari beberapa buku,

seperti The Anthropology of Music, tulisan Alan P. Merriam, 1964; Theory and

Method in Ethnomusicology, karya Bruno Nettl, 1864; Pokok-pokok Antropologi

Budaya, karya T.O. Ihromi, 1987; Drs. Sarjani Tarigan, MSP (2010), M. Ukur

Ginting (Bp. Sulngam) (2013) Darwan Prints S.H (2008). Adapun informasi yang

penulis peroleh dari buku-buku tersebut adalah berupa pengetahuan menganai adat

istiadat dalam upacara kematian pada masyarakat Karo, sistem kekerabatan, dan

sistem religinya.

1.5.2 Kerja lapangan 1.5.2.1Observasi

Dalam kerja lapangan penulis melakukan kegiatan pengamatan dan

pengambilan data terhadap jalannya upacara kematian tersebut. Penelitian

lapangan dilakukan agar penulis dapat mengetahui secara keseluruhan mengenai

objek yang diteliti. Dengan melakukan penelitian lapangan, penulis dapat terlibat

langsung dengan objek yang sedang diteliti dan mendapat lebih banyak informasi.

1.5.2.2 Wawancara

Penulis akan melakukan berbagai wawancara dengan beberapa tokoh adat,

penyaji maupun individu-individu yang pernah terlibat dalam menyajikan

nganggukken tangis ini. Wawancara dengan informan yang pernah terlibat

melaksanakan nganggukken tangis penulis lakukan di desa Sarilaba Jahe, tempat

dimana informan tersebut menetap. Adapun teknik wawancara yang penulis lakukan

adalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu melakukan pertanyaan selalu

(34)

interview) yaitu pertanyaan tidak hanya terfokus pada pokok permasalahan tetapi

pertanyaan dapat berkembang ke pokok permasalahan lainnya yang bertujuan untuk

memperoleh berbagai ragam data, namun tidak menyimpang dari pokok

permasalahan (Koentjaraningrat, 1985:139). Hal ini penulis lakukan untuk

mendukung data yang telah diperoleh dari kerja lapangan maupun dari studi

kepustakaan.

1.5.2.3 Rekaman

Perekaman terhadap upacara kematian yang menyajikan nganggukken tangis

dilakukan di Jambur Kuta desa Sarilaba Jahe. Penulis juga melakukan perekaman

tambahan dengan meminta informan yang pernah terlibat dalam penyajian

nganggukken tangis untuk menyajikan nganggukken tangis itu sendiri. Perekaman

audio-visual juga dilakukan selama upacara berlangsung. Perekaman audio

menggunakan kamera DSLR Canon 700D yang sudah dilengkapi dengan alat

perekam di dalamnya. Selain itu ada juga rekaman yang dibuat di luar kegiatan.

Rekaman ini dimaksudkan untuk memperjelas detil-detil yang tak terekam dengan

baik pada saat kegiatan. Rekaman ini dilakukan secara digital. Gelombang suara yang

muncul dari suara si penyaji sesuai dengan permintaan penulis. Direkam secara

langsung juga dari kamera digital DSLR Canon 700D. Sedangkan rekaman audiovisual

untuk mengabadikan adegan-adegan yang terjadi dalam upacara juga tetap dilakukan

dengan menggunakan kamera digital DSLR Canon 700D.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Dalam kerja laboratorium akan dilakukan proses penganalisisan terhadap

(35)

maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan

data dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan

pentranskripsian dan selanjutnya dianalisis. Pada akhirnya, data-data hasil

pengolahan dan analisis disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka

penulisan.

1.6Lokasi penelitian

Lokasi yang penulis pilih adalah di lokasi yang merupakan tempat tinggal

masyarakat karo yang ada di Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten

Deli Serdang.

Adapun alasan penulis memilih lokasi ini adalah, karena Sarilaba Jahe

merupakan salah satu daerah tempat bermukimnya sebagian masyarakat suku Karo di

Kabupaten Deli Serdang, dengan begitu praktek penyajian nganggukken tangis masih

sangat mudah ditemukan. Selain itu Desa Sarilaba Jahe juga merupakan daerah yang

tidak jauh letaknya dari kampung halaman penulis dan semua kerabat dekat penulis

menetap disana, sehingga mudah bagi penulis untuk mencari dan mendapatkan

informan. Dalam melakukan wawancara dengan beberapa informan penulis juga

tidak menemukan adanya kendala ataupun kesulitan, karena penulis menguasai

bahasa Karo dengan baik, yang merupakan bahasa pengantar masyarakat di Desa

Sarilaba Jahe. Dekatnya jarak dari kampus penulis yang berada di Medan dengan

Sarilaba Jahe merupakan salah satu alasan penulis memilih lokasi ini. Karena

dekatnya jarak tempuh tersebut, penulis dapat melakukan perjalanan pulang dan pergi

(36)

BAB II

ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT KARO - DI DESA SARILABA JAHE KECAMATAN SIBIRU-BIRU

Pada bab II ini, penulis akan menguraikan tentang etnografi umum

masyarakat Karo yang tinggal di desa Sarilaba Jahe serta menggambarkan lokasi

penelitian yang diteliti. Penulis akan menjelaskan beberapa hal, seperti lokasi

lingkungan alam dan demografi, mata pencaharian dan sistem bahasa, serta etnografi

umum masyarakat Karo seperti sistem religi, sistem kekerabatan maupun sistem

keseniannya. Beberapa aspek tersebut menurut penulis juga penting untuk di jelaskan,

karena selain untuk mengenalkan daerah penelitian penulis kepada pembaca,

beberapa aspek seperti sistem bahasa, sistem kekerabatan dan sistem keseniannya

juga berhubungan dengan nganggukken tangis. Penyajian nganggukken tangis

menggunakan bahasa Karo dan disajikan dalam upacara kematian, dimana upacara

nurun disini berhubungan erat dengan sistem kekerabatan. Penulis juga berpendapat

bahwa sistem kesenian juga menjadi aspek yang sangat penting untuk dibahas disini,

karena nganggukken tangis merupakan salah satu bentuk seni vokal dari kebudayaan

musikal Karo. Berikut ini akan dijelaskan beberapa aspek tersebut secara umum.

2.1 Lokasi Lingkungan Alam dan Demografi Sibiru-biru

Daerah yang penulis ambil sebagai lokasi penelitian adalah Sarilaba Jahe,

Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang. Sarilaba Jahe berjarak ± 65 km dari

(37)

umum, dengan lama perjalanan sekitar 1,5 jam (jika kondisi arus lalu lintas dalam

keadaan normal).

Gambar 2.1. Peta Kecamatan Sibiru-biru6

Berdasarkan data monografi yang diperoleh penulis dari kantor kecamatan

Sibiru-biru, luas wilayah daerah tersebut adalah 8.969 ha yang terdiri dari 17 desa, 89

dusun dan ibukota kecamatan. Daerah Sibiru-biru beriklim sedang yang terdiri dari

musim hujan dan musim kemarau, kedua musim ini dipengaruhi oleh dua arah mata

angin yang terdiri dari angin laut dan angin gunung. Angin laut yang membawa hujan

6

(38)

sedangkan udara gunung membawa udara panas dan lembab. Curah hujan pada

umumnya pada bulan September s/d Desember, sedangkan musim kemarau pada

bulan Januari s/d Agustus.

No Desa/Kelurahan Luas (KM2) Jumlah Penduduk

1 Mardingding Julu 6.69 547

Tabel 2.1. Jumlah Desa Dalam Data Kecamatan Sibiru-biru

Kecamatan Sibiru-biru berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua di sebelah

(39)

Kecamatan Namo Rambe, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan

Patumbak. (Data Statistik Kecamatan Sibiru-biru tahun 2011)7

Masyarakat yang mendiami kecamatan sibiru-biru bermacam-macam suku

bangsa dan mayoritas beragama Islam, Kristen Psotestan dan Katolik. Namun

masyarakatnya hidup harmonis dan mampu memelihara adat-istiadat masing-masing.

Sumber mata pencaharian penduduk umumnya adalah bertani. .

2.2 Masyarakat Karo Di Desa Sarilaba Jahe

Lokasi penelitian yang penulis ambil terletak di Desa Sarilaba Jahe,

Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang dimana merupakan salah satu

daerah/wilayah bermukimnya suku Karo yang ada di Sumatera Utara.

Selain suku Karo, di desa Sarilaba Jahe juga terdapat juga etnis lain seperti

suku Batak Toba, Jawa, Batak Simalungun, Nias, Aceh, dan juga Pak-Pak.. Mereka

adalah orang-orang pendatang yang pada akhirnya menetap disana.

Berikut adalah data kependudukan menurut etnis yang diperoleh dari Kantor

Kepala Desa Sarilaba Jahe.

(40)

5 BATAK TOBA 12 40

6 ACEH 1 3

7 NIAS 6 320

8 PAK PAK 3 13

9 MANDAILING - 6

10 MINANG - 1

Jumlah 334 1.260

Tabel 2.2. Suku Etnis Dalam Data Kependudukan Desa Sarilaba Jahe

Berdasarkan data kependudukanyang diperoleh dari Kantor Kepala Desa

Sarilaba Jahe, pada tahun 2011 jumlah keseluruhan penduduk desa adalah 1.260 jiwa,

yang terdiri dari 611 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 649 jiwa berjenis kelamin

perempuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa perempuan lebih banyak 38 orang

dibandingkan laki-laki. Dari total 1.260 jiwa penduduk desa Sarilaba Jahe ini,

terdapat sebanyak 334 kepala keluarga. Dapat dilihat dari table berikut.

No Keterangan Jumlah

1 Jumlah Laki-laki 611 jiwa

2 Jumlah Perempuan 649 jiwa

3 Jumlah Total 1.260 jiwa

4 Jumlah Kepala Keluarga 334 jiwa

(41)

Data kependudukan lainnya masyarakat di desa Sarilaba Jahe adalah menurut

pendidikannya. Dari tabel berikut ini dapat diketahui bahwa masyarakat Sarilaba Jahe

masih sangat jauh tertinggal dalam dunia pendidikan. Kebanyakan diantara mereka

lebih mengutamakan cara untuk mengumpulkan tenaga agar mampu mengerjakan

pekerjaan bertani mereka dibandingkan pendidikan. Namun alasan lainnya adalah

faktor ekonomi yang tidak mendukung sehingga kebanyakan masyarakatnya

mengalami putus sekolah. Ini dapat dibuktikan oleh data yang penulis peroleh dari

kantor kepala desa Sarilaba Jahe melalui tabel berikut.

No Data Penduduk Menurut Pendidikan

Jumlah LK/PR

11 Tidak Tamat SLTA Sederajat 150

12 Masih Sekolah SLTA 104

13 Tamat Kuliah Diploma I (D1) Sederajat 3

14 Tidak Tamat Kuliah Diploma II (D2) Sederajat 3

16 Tidak Tamat Kuliah Diploma III (D3) Sederajat 6

17 Masih Kuliah Diploma III (D3) Sederajat 12

18 Tamat Kuliah Diploma III (D3) Sederajat 3

19 Tidak Tamat Kuliah S1 Sederajat 3

20 Masih Kuliah S1 Sederajat 5

J U M L A H 1.260

(42)

2.3 Mata Pencaharian

Pada umumnya, mata pencaharian penduduk desa Sarilaba Jahe adalah

bertani. Melihat kondisi tanah yang sangat subur serta sangat mendukung untuk

bercocok tanam, maka tidak heran jika sebagian besar mata pencaharian

penduduknya adalah bertani terutama penduduk asli yang turun temurun telah

menetap di sana. Namun demikian sebagian penduduknya juga ada yang bermata

pencaharian sebagai pegawai (swasta maupun negeri), pedagang, maupun kuli di

tanah-tanah perkebunan. Biasanya penduduk yang bermata pencaharian sebagai

pedagang maupun kuli adalah penduduk (suku) pendatang8, karena sebagian besar

dari mereka tidak memiliki sawah atau kebun sendiri untuk diolah.

2.4 Bahasa

Desa Sarilaba Jahe Kecamatan Sibiru-biru merupakan salah satu daerah di

Kabupaten Deli Serdang yang penduduknya adalah mayoritas suku Karo. Bahasa

Karo merupakan bahasa ibu dari masyarakat Karo yang menetap disana. Hampir

seluruh masyarakat Karo menggunakan bahasa Karo sebagai media komunikasi

dalam percakapan formal maupun percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan

sebagian penduduk yang tidak bersuku Karo pun mengerti dan fasih menggunakan

bahasa ini, karena bahasa Karo lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan

bahasa nasional (bahasa indonesia). Hal ini mengharuskan mereka untuk beradaptasi

dengan penduduk asli yang dalam kesehariannya menggunakan bahasa karo.

8

(43)

Masyarakat Karo juga memiliki aksara atau tulisan sendiri yang disebut

dengan indung surat. Aksara Karo terdiri dari 21 huruf. Adapun bunyi huruf-huruf itu

menurut Barus dan Sembiring dalam buku mereka ”Sejemput Adat Budaya Karo”

adalah : ha, ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, ya, nga, la, ca, nda, mba, i,

u.

Gambar 2.2. Indung Surat Aksara Karo9

Aksara Karo tersebut juga di lengkapi dengan beberapa aksara tambahan yang disebut

dengan anak surat. Adapun fungsi dari anak surat ini adalah untuk merubah bunyi

indung surat. Berikut ini dapat kita lihat beberapa anak surat pada aksara karo serta

contoh-contoh penggunaannya.

9

(44)

TABEL 2.5

Penggunaan Anak Surat dalam Indung Surat Sumber : Roberto Bangun (2005)

2.5 Sistem Religi Dan Kepercayaan

Awalnya masyarakat Karo di Desa Sarilaba Jahe menganut animisme dan

dinamisme. Dalam tingkat kepercayaan ini dilakukan pemujaan yakni penyembahan

kepada yang dianggap suci dan berkuasa, dan pemujaan tersebut dilakukan dimana

(45)

masyarakat Karo selalu berfikir secara mistis dan memakai mitos-mitos untuk

memahami hidup dan keadaan lingkungan sekitar. Mitos-mitos inilah yang

selanjutnya dijadikan acuan dalam mengatur dan mengarahkan seluruh kegiatan

hidupannya.

Sistem kepercayaan animisme berasal dari zaman Pra-Hindu yang dibawa

oleh bangsa Proto-Melayu nenek moyang masyarakat Karo ke dalam wilayah Karo.

Dalam lapisan sejarah berikutnya, pengaruh Hindu pun memasuki Karo, yang

membuat kepercayaan kepada dewata. Kepercayaan ini dibawa oleh

pedagang-pedagang dari India (Tamil) yang masuk dari pantai Barat, Barus, dan terus ke Dairi

hingga masuk ke Karo10

Gintings dalam bukunya Religi Karo, juga menyebutkan bahwa kepercayaan

terhadap Dewata ini merupakan kepercayaan terhadap Dibata Kaci-Kaci atau Dibata

. Selanjutnya terjadilah pertemuan antara kepercayaan

animisme (serba roh) dengan kepercayaan terhadap dewata (Dibata dalam bahasa

Karo) melalui adanya perkawinan campuran masyarakat Karo dengan bangsa India/

Tamil. Pengaruh Hindulah yang memperkenalkan kepercayaan terhadap Dewata

(Dibata) kepada suku Karo (Gintings 1992:2). Penganut kepercayaan terhadap

Dibata ini disebut juga Perbegu. Perbegu berasal dari kata begu yang artinya hantu

atau roh orang-orang yang sudah meninggal. Kepercayaan animisme dan dinamisme

selanjutnya dapat berbaur serasi dengan pengaruh Hindu, sehingga ritus-ritus yang

berhubungan dengan alam dan benda-benda yang dianggap gaib dapat terus

berlangsung (Gintings 1992:3).

10

(46)

La Idah. Dibata Kaci-Kaci memiliki tiga wilayah kekuasaan yang masing-masing

diperintah oleh seorang Dibata sebagai wakil Dibata Kaci-Kaci. Ketiga Dibata

tersebut merupakan satu kesatuan yang dalam bahasa Karo disebut Dibata Sitelu

(Gintings 1992:3). Konsep Dibata Sitelu :

1. Dibata Datas, yang disebut dengan Guru Batara adalah Dibata yang menguasai

dunia bagian atas (langit). Guru Batara berfungsi sebagai pemelihara alam,

sumber segala berkat dan kebaikan.

2. Dibata Tengah, yang disebut dengan Tuhan Padukah ni Aji adalah Dibata yang

menguasai dunia bagian tengah yaitu bumi.

3. Dibata Teruh, yang disebut Tuhan Banua Koling adalah Dibata yang menguasai

dunia bagian bawah yaitu dunia roh atau makhluk halus. Masyarakat Karo juga

memiliki beberapa kegiatan ritual atau upacara ritual yang berhubungan dengan

kehidupan mereka. Adapun kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilihat pada

penjelasan dibawah ini.

a. Erpangir ku Lau

Erpangir ku lau adalah salah satu upacara ritual yang bersifat religious pada

kepercayaan tradisional masyarakat Karo. Erpangir ku lau dapat juga diartikan

keramas/upacara berkeramas ke sungai. Upacara ini dapat dilakukan dengan/ tanpa

bantuan seorang guru (dukun)11

11

Guru atau dukun yang memimpin upacara ini disebut Guru Sibaso. Guru Sibaso biasanya adalah seorang wanita. Guru Sibaso berfungsi sebagai mediator atau pun perantara antara rohrohyang berada disekitar tempat pelaksanaan dengan keluarga yang melaksanakan upacaratersebut.

, tergantung pada permintaan keluarga yang

(47)

Gambar 2.3. Upacara Erpangir Ku Lau12

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi dilaksanakannya upacara ini, yaitu :

sebagai ucapan terimakasih kepada Dibata (Tuhan), untuk menghindari malapetaka,

untuk menyembuhkan suatu penyakit, pembersihan diri dari yang kotor, menabalkan

seseorang menjadi guru (dukun), dan untuk melaksanakan perkawinan.

b. Raleng Tendi

Raleng tendi adalah upacara memanggil roh seseorang yang telah

mengembara atau meninggalkan raganya karena diganggu oleh keramat (roh

penunggu suatu tempat) atau karena suatu peristiwa tertentu. Hal tersebut

berhubungan dengan berawan13

12

Sumber : www.karokab.go.id

yang membuat seseorang sakit. Roh orang sakit itu

lah yang perlu dipanggil pulang ke rumah dan kembali kepada raga orang yang

bersangkutan. Raleng tendi dilaksanakan oleh seorang Guru Sibaso yang pandai

ermang-mang (mengucapkan kata-kata puitis dan magis yang menyentuh hati).

13

(48)

Raleng tendi dilaksanakan pada malam hari di rumah sukut (tuan rumah) yang

dihadiri oleh sangkep nggeluh (kalimbubu, sembuyak, anak beru) dan hari

pelaksanaannya disesuaikan dengan hari yang baik menurut guru simeteh wari

(dukun yang mengetahui primbon hari).

Perlengkapan yang diperlukan untuk melaksanakan upacara ini adalah baka

(keranjang), bulung simelias gelar (dedaunan yang namanya mempunyai makna

baik), beras meciho ibas pernakan (beras putih di dalam bakul nasi)14

14

Beras meciho merupakan sebutan untuk beras putih yang digunakan untuk keperluan suatu

,tinaruh manuk

raja mulia ( telur ayam yang disimbolkan sebagai kemuliaan), amak mbentar (tikar

putih yang terbuat dari anyaman pandan), dagangen mbentar (kain putih), kumenen

(kemenyan). Sebelum upacara dimulai sukut terlebih dahulu memberikan sesajian

kepada begu (roh orang mati) yang dianggap sebagai pelindung keluarga. Setelah itu

guru pun ersentabi (meminta ijin) dan memanggil tendinya (rohnya) atau jinujungnya

(begu yang menjadi junjungannya). Orang yang rohnya dipanggil tersebut

dipersilahkan duduk diatas sebuah amak mbentar dan ditutupi dengan dagangen

mbentar (kain putih). Baka diangkat diatas kepalanya oleh dua orang gadis yang

masih lengkap kedua orang tuanya. Lalu guru pun mulai ermang-mang dengan

melantunkan beberapa lirik yang berhubungan dengan upacara tersebut. Setelah

ermang-mang dukun pun menggoncang-goncangkan beras yang ada dalam pernakan

(bakul nasi), bila baka yang dipegang ke dua gadis tersebut bergetar, menandakan

bahwa tendi yang dipanggil tadi telah kembali ke rumah. Setelah itu dukun

(49)

memasukkan telur ayam ke dalam pernakan, sebagai tanda bahwa rohnya telah

kembali ke raganya (orang yang sakit tersebut).

c. Perumah Begu

Perumah begu adalah upacara memanggil roh orang yang telah meninggal.

Perumah begu merupakan salah satu kepercayaan tradisional yang hidup pada orang

Karo. Menurut aliran kepercayaan ini bahwa orang yang sudah meninggal, rohnya

masih bisa di panggil melalui seorang dukun atau Guru Sibaso. Guru Sibaso disini

berfungsi sebagai mediator atau penghubung antara roh tersebut dengan keluarga

yang bersangkutan melaksanakan upacara.

Salah satu tujuan diadakannya upacara ini adalah karena adanya perselisihan

yang terjadi diantara keluarga yang bersangkutan, untuk itu perlu di panggil roh

nenek moyang mereka untuk mendamaikannya15

.

Gambar 2.4. Upacara Perumah Begu16

15

Wawancara dengan Piyai Br Ginting, 21 Agustus 2014)

16

(50)

d. Ndilo Wari Udan

Ndilo wari udan adalah salah satu upacara dalam kebudayaan masyarakat

Karo yang bersifat magis. Tujuan upacara ini dilaksanakan adalah untuk memohon

hujan kepada dibata (Tuhan) karena kemarau yang berkepanjangan. Dalam tradisi

kepercayaan tersebut dipahami bahwa adanya bencana yang dialami manusia atau

sekelompok manusia karena terganggunya hubungan manusia dengan alam

sekitarnya akibat ulah manusia itu sendiri. Misalnya jika terjadi kemarau, hal ini

dapat mengganggu kegiatan pertanian masyarakat yang berakibat pada siklus

menanam pada para petani. Maka untuk menghindari kemarau yang berkepanjangan

diadakanlah upacara ndilo wariudan.

Upacara ndilo wari udan juga dikenal dengan kebiasaan ersimbu (perang air).

Acara ini dimulai pada pagi hari, semua warga desa berkumpul di kesain (alun-alun).

Pembukaan ersimbu dibuka dengan mencurahkan air secara simbolis kepada

beberapa orang penting, seperti: simantek kuta (pendiri desa, pengulu), anak beru

kuta, kalimbubu kuta, senina dari simantek kuta, guru (dukun) yang ada di desa

tersebut. Setelah itu maka acara ersimbu sudah resmi dimulai. Dengan melakukan

upacara ini, diharapkan agar hujan pun turun.

e. Pagar dan Mere Buah Huta-huta

Pagar dan Buah huta-huta adalah roh pelindung keluarga dan atau roh

pelindung kampung. Pagar merupakan pemujaan penduduk di suatu kampong

terhadap begu (roh) leluhur sebagai tanda penghormatan. Letak pagar biasanya

disekeliling kampung. Mere buah huta-huta juga memiliki persamaan dengan pagar,

(51)

maka mere buah huta-huta terletak di tengah kampung. Buah huta-huta adalah nama

pohon kayu nabar (sejenis pohon beringin) yang ditanam di tengah kampong dan

dijadikan sebagai tempat pemujaan. Mere artinya memuja roh tersebut. Pemujaan

dilakukan dengan membuat anjap telu suki17

Pada umumnya masyarakat Karo di Berastagi sudah menganut kepercayaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan kata lain setiap individu sudah memeluk

agama yang diyakininya masing-masing. Agama yang umum dianut oleh masyarakat

Karo di Berastagi adalah Islam, Kristen Protestan dan Katolik.

. Pelaksanaan pemujaan ini biasanya

dilakukan oleh beberapa orang Guru Sibaso.

Mengenai kegiatan-kegiatan ritual seperti yang dijelaskan diatas, masyarakat

Karo di Berastagi sudah sangat jarang melakukannya, terutama bagi individu yang

sudah memeluk agama.

2.6 Sistem Kekerabatan

Masyarakat Karo memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan nama

merga silima, tutur siwaluh, dan rakut/ daliken sitelu. Ketiga sistem tersebut selalu

diperlukan dan hadir dalam setiap upacara adat pada masyarakat Karo, termasuk juga

dalam sebuah upacara kematian (nurun).

2.6.1 Merga Silima

Masyarakat Karo mempunyai sistem marga (klan). Marga atau merga dalam

bahasa Karo tersebut disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut

17

(52)

beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga atau beru

ini diperoleh dari marga ayah (garis keturunanpatrilineal). Garis keturunan patrilineal

inilah yang selanjutnya dapat memberikan arah dengan siapa seseorang boleh kawin

dan tidak boleh kawin. Orang yang mempunyai merga atau beru yang sama,

dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau

laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut ersenina (bersaudara), demikian juga

antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka

disebut juga ersenina. Namun bila ditemukan seorang laki-laki dengan perempuan

yang bermerga sama, mereka disebut erturang, dan dilarangmelakukan perkawinan,

kecuali pada merga Sembiring yang ada dapat menikahdiantara mereka.

Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut

dengan merga silima, yang berarti marga yang lima. Kelima merga tersebut adalah:

Ginting, Karo-Karo, Perangin-angin, Sembiring, dan Tarigan. Kelima merga ini

masih mempunyai submerga masing-masing. Submerga ini biasanya dipakai di

belakang merga, sehingga tidak terlihat kerancuan mengenai pemakaian merga dan

submerga. Berikut akan disajikan merga danpembagiannya :

1. Ginting : Pase, Munthe, Manik, Sinusinga, Seragih, Suka, Babo,

Sugihen, Gurupatih, Suka, Beras, Bukit, Garamata,

Ajartambun, Jadibata, Jawak, Tumangger, Capah

2. Karo-Karo : Purba, Ketaren, Sinukaban, Sekali, Sinuraya, Sinuhaji,

Jong/ Jung, Kemit, Samura, Bukit, Sinulingga, Kaban,

Kacaribu, Surbakti, Sitepu, Barus, Manik, Gurusinga,

(53)

3. Perangin-perangin : Sukatendel, Kutabuloh, Jomborberingen, Jenabun,

Kacinambun, Bangun, Keliat, Beliter, Mano, Pinem,

Sebayang, Laksa, Penggarun, Uwir, Sinurat, Pincawan/

Pencawan, Singarimbun, Limbeng, Prasi, Benjerang,

Namohaji, Perbesi, Simanjorang, Tanjung, Ulunjadi.

4. Sembiring.

Merga sembiring terbagi menjadi dua kelompok submerga, yang pertama

adalah sembiring si man biang (kelompok yang tidak memantangkan daging anjing

dan tidak melakukan perkawinan dengan submerga sembiring lainnya), dan yang

kedua adalah sembiring simantangken biang (kelompok yang memantangkan daging

anjing dan boleh melakukan perkawinan dengan submerga sembiring lainnya).

Uraiannya dapat dilihat sebagai berikut :

(a). Sembiring Siman Biang : Kembaren, Keloko, Sinulaki dan Sipayung.

(b). Sembiring Simantangken Biang : Brahmana, Gurukinayan, Colia, Muham,

Pandia, Keling, Depari, Bunuaji, Milala/Meliala, Pelawi, Sinukapor, Tekang, Busuk,

Pandebayang dan Sinukapar.

5. Tarigan : Tua, Bondong, Jampang, Gersang, Cingkes, Ganagana,

Peken/ Pekan, Tambak, Purba, Sibero, Silangit/

Selangit, Kerendam, Tegur, Tambun, Sahing, Gerneng.

2.6.2 Daliken si Telu

Secara harafiah daliken si telu berarti "tungku yang tiga". Daliken berarti batu

tungku, si berarti yang, telu berarti tiga. Secara nyata hal ini menunjukkan pada

(54)

Sebagian orang mengartikannya sebagai rakut si telu (ikatan yang tiga), ada juga

yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup). Konsep ini

tidak hanya terdapat pada masyarakat Karosaja, tetapi juga dimiliki oleh suku Batak

yang lain dengan nama yang berbeda. Masyarakat Batak Toba dan Mandailing

mengenalnya dengan sebutan dalihan na tolu. Adapun unsur daliken si telu ini adalah

Kalimbubu, sembuyak/senina,dan anakberu.

Kalimbubu

Anak Beru Sembuyak/Senina Gambar 2.5. Sistem Daliken Sitelu18

Daliken si telu berfungsi sebagai alat pemersatu pada masyarakat Karo, dan

dapat mengikat hubungan kekerabatan. Dalam segala aspek kehidupan masyarakat

Karo daliken sitelu ini sangat berperan penting, karena daliken sitelu merupakan

dasar dalam sistem kekerabatan dan menjadi landasan bagi semua kegiatan yang

berhubungan dengan semua kegiatan adat dan hubungan antara sesama masyarakat

Karo, serta sebagai dasar untuk saling menghormati dan memperkuat sikap gotong

18

Gambar

Gambar 2.1. Peta Kecamatan Sibiru-biru6
Tabel 2.1. Jumlah Desa Dalam Data Kecamatan Sibiru-biru
Tabel 2.3. Jumlah kepala keluarga dan penduduk berdasarkan jenis kelamin
Tabel 2.4. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Sarilaba Jahe
+7

Referensi

Dokumen terkait

Judul skripsi yang penulis ajukan adalah: Pelaksanaan Hukum Waris Pada Masyarakat Karo Muslim Di Desa Talun Kenas Kecamatan Stm Hilir Kabupaten Deli Serdang.. Penulis menyadari

Metode yang digunakan untuk membahas Landek dalam upacara Perumah Begu pada masyarakat Karo di desa Pernantin, Kecamatan Juhar kabupataen Karo adalah metode deskriptif

Skripsi ini berjudul ―Analisis Fungsi dan Struktur Ritme Repertoar Gendang Mengkerboi dalam Upacara Ncayur Ntua Masyarakat pakpak di Desa Natam Jehe, Kecamatan

Skripsi ini berjudul ―Analisis Fungsi dan Struktur Ritme Repertoar Gendang Mengkerboi dalam Upacara Ncayur Ntua Masyarakat pakpak di Desa Natam Jehe, Kecamatan

Tujuan penelitian (1) mendeskripsikan klasifikasi istilah kekerabatan tiga generasi di atas dan tiga generasi di bawah ego dalam bahasa Batak Karo Jahe di desa

Studi Deskriptif Musik Vokal Gendang Keramat dalam Upacara Erpangir Kulau Perumah II Nujung Meriah Ukur pada Masyarakat Karo.. Medan: Program Studi Etnomusikologi FS USU

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada umumnya merasa khawatir jika anak-anak mereka sebagai generasi penerus, tidak tahu atau

Skripsi penulis dengan judul: “Bentuk Dan Fungsi Kesenian Raksasa Dalam Upacara Bersih Desa Di Desa Salamrejo Kecamatan Binangun Kabupaten Blitar” merupakan hasil