• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Sistematika Penulisan

Untuk lebih jelas dan memudahkan pemahaman pembaca dan agar lebih terarahnya penulisan skripsi ini. Adapun sistematika penulisan dibagi kedalam 4 bab, tiap-tiap bab dapat dirinci kedalam beberapa sub bab, yaitu:

BAB I, penulis mengemukakan pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penjelasan judul, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II, merupakan bagnai isi yang terdiri dari landasan teoritis yang berisikan pengertian dan macam-macam perceraian dalam Islam, alasan-alasan perceraian dalam Islam, prosedur dan aturan perceraian bagi PNS dalam perceraian, dasar hukum Pengadilan Agama, dan kompetensi Pengadilan Agama dalam perceraian serta teori efektifitas hukum

BAB III, berisikan tentang Monografi Pengadilan Agama Bukittinggi, Efeketifitas penerapan PP No.45 Tahun 1990 di Pengadilan Agama Bukittinggi, dan alternatif bagi PNS yang ingin melakukan perceraian yang tidak mendapat izin atasan

BAB IV, merupakan penutup yang berisikan kesimpulan pembahasan-pembahasan sebelumnya dan dilengkapi dengan saran-saran

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian dan Macam-Macam Perceraian dalam Islam 1. Pengertian perceraian

a. Pengertian perceraian dalam Islam

Dalam fiqh perceraian dikenal dengan istilah thalaq. Secara bahasa talak terambil dari kata ithlak yang berarti melepaskan atau meninggalkan8. Untuk mengetahui arti talak secara jelas tidak bisa hanya berpegang pada pengertian bahasa saja, Untuk itu perlu diketahui pengertian menurut para fukaha. Dalam memberikan pengertian talak menurut istilah para ulama berbeda-beda dalam mengemukakan defenisi tersebut. Ada ulama yang hanya memaparkan defenisi itu secara umum dan ada juga yang dalam defenisinya memaparkan kapan terjadinya dan dengan lafaz apa perceraian dapat terjadi.

Berikut ini penulis mengemukakan pendapat ulama tentang pengertian talak sebagai berikut:

1) Sayyid Sabid mendefenisikan sebagai berikut :

ةيجوزلا ةقلاعلا الهو خاوزل ا وطىار لح

“Melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”

8 Sayid Sabid, Fiqh Sunnah, (Mesir: Dar al-Fikr, [tth]), Jilid ke-2, h.27

Sayyid Sabid memandang perceraian itu secara umum dari segi sifatnya yaitu melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan tanpa menjelaskan kapan talak itu dipandang jatuh dan dengan cara apa talak itu dapat jatuh.

2) Muhammad Abu Zahrah mendefenisikan talak ialah:

انعم فى وا قلاطلا ةدام نم قتثم ظفلب لالما فىو ا الح ا حاكنل ا ديق عف ر اى

“Melepaskan ikatan perkawinan pada waktu itu juga atau pada masa yang akan datang dengan lafaz mustaq dari lafaz thalak atau lafaz yang semakna dengan lafaz thalak”

Muhammad Abu Zahrah dalam mendefenisikan talak lebih menekankan kepada bentuk-bentuk talak. Hal ini dapat dipahami dari kalimatnya yang membagi talak itu jatuhnya (putusnya ikatan perkawinan) pada waktu itu juga atau pada masa yang akan datang.

Talak yang jatuh pada saat lafaz talak diucapkan dalam istilah fiqh dikenal thalak bain sedangkan talak yang jatuh bukan pada saat lafaz talak diucapkan tetapi putusnya ikatan perkawinan jatuhnya setelah habis masa iddah, baik talak itu dilakukan dengan mempergunakan lafaz talak atau dengan lafaz yang mengandung makna talak yang dikenal dengan istilah thalak kinayah. Talak semacam ini dikenal dengan thalak raj‟i.

3) Badran Abu „Ainaini Badran mendefenisikan talak sebagai berikut:

ةح ا رص كلذ يىفي ظفلب لالما فى وا لالحا فى عيلمح ا ج ا وزل ا ديق عفر

ةسي انكوا

“Melepaskan ikatan perkawinan yang shahih pada masa sekarang atau pada masa yang akan datang dengan lafaz yang mempaedahkan talak secara jelas atau secara sindiran”

Mendefenisikan bahwa talak hampir sama dengan defenisi yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah yang membagi bentuk talak kepada dua macam yaitu talak yang jatuh pada saat lafaz talak diucapkan dan talak yang jatuh bukan pada saat lafaz talak diucapkan tetapi jatuh setelah habis masa iddah. Badran Abu

„Ainaini Badran yang membagi lafaz talak itu kepada dua yaitu talak yang diucapkan secara jelas dan talak yang diucapkan dengan kata-kata sindiran yang mengandung atau mengarah kepada arti talak.

Sehubungan dengan hal ini, fuqaha berbeda-beda dalam mengemukakan defenisi talak menurut versi masing-masing.

Namun mereka sepakat menyatakan bahwa talak ialah putusnya atau lepasnya ikatan perkawinan.

Dari ketiga defenisi yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa talak ialah melepaskan ikatan perkawinan dengan mempergunakan lafaz talak atau yang semakna dengan lafaz talak, baik lafaz itu jatuh pada saat talak diucapkan (talak ba‟in) maupun jatuhnya pada masa yang akan datang (talak belum jatuh pada saat talak diucapkan tetapi jatuhnya terkait dengan habis masa iddah perempuan), disebut dengan talak raj‟

b. Pengertian perceraian menurut Undang-Undang

Perceraian menurut Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 adalah

“Putusnya perkawinan”. Perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami isteri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan isteri tersebut.9

Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain adalah perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada pengadilan agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan sidang Pengadilan Agama.10

Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan gugatan cerainya oleh dan inisiatif isteri kepada Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.11

c. Pengertian perceraian menurut doktrin hukum

Perceraian menurut Subekti adalah “Penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam

9Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 18

10Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 20

11

perkawinan itu.” Jadi, pengertian perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan, baik dengan putusan hakim atau tuntutan suami dan isteri.12

Pengertian perceraian menurut hukum adat adalah peristiwa luar biasa, merupakan problema sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah.

2. Macam-macam perceraian a. Talak

Secara harfiyah, talak berarti lepas dan bebas. Dihubungkannya kata talak dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan, karena antara suami dan isteri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas. Dalam mengemukakan arti talak secara terminologis, ulama mengemukakan rumusan yang berbeda, namun esesnsinya sama, yakni melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan sejenisnya.13

Abdu Ghofur Anshori menjelaskan bahwa dalam hukum Islam hak talak ini hanya diberikan kepada suami (laki-laki) dengan pertimbangan, bahwa pada umumnya suami lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu dari pada isteri (wanita) yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Hal ini dimaksudkan agar

12Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Internusa, 1985), h. 42

13Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan Hukum Positif), (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 105-106

terjadinya perceraian lebih dapat diminimalisasi dari pada jika hak talak diberikan kepada isteri.14

b. Syiqaq

Konflik antara suami isteri itu ada beberapa sebab dan macamnya. Sebelum konflik membuat suami mengalami keputusan berpisah yang berupa tahalaq, maka konflik-konflik tersebut antara lain adalah syiqaq.

Soemiyati menjelaskan bahwa syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah fiqh berarti perselisihan suami isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan satu orang dari pihak isteri. Pengangkatan hakam kalau terjadi syiqaq ini merujuk pada al-Qur‟an Surah An-Nisa‟ ayat 35 yang berbunyi:

ْنِإَو

laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui dan Maha mengenal.”

Pengangkatan hakam yang dimaksud dalam ayat tersebut, terutama bertugas untuk mendamaikan suami isteri itu. Hanya dalam keadaan terpaksa sekali dan sudah sekuat tenaga berusaha

14

mendamaikan suami isteri itu tidak berhasil, maka hakam boleh mengambil keputusan menceraikan suami isteri tersebut.15

c. Khulu‟

Khulu‟ yang terdiri dari lafaz kha-la-„a secara etimologi berarti

menanggalkan atau membuka pakaian. Dihubungkannya dengan kata khulu‟ dengan perkawinan, karena dalam al-Qur‟an Surah al-Baqarah

ayat 187, disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi isterinya dan isteri itu merupakan pakaian bagi suaminya. Penggunaan kata khulu‟ untuk putusnya perkawinan, karena isteri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaiannya itu dari suaminya. Dalam arti istilah hukum dalam beberapa kitab fikih khulu‟ diartikan dengan putusnya perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan ucapan talak atau khulu‟. Khulu‟ itu merupakan suatu bentuk dari putusnya perkawinan, namun beda dengan bentuk lain dari putusnya perkawinan itu, dalam khulu‟ terdapat uang tebusan, atau ganti rugi atau „iwadh.16

Khulu‟ atau talak tebus menurut soemiyati ialah bentuk

perceraian atas persetujuan suami isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak yang menginginkan cerai dengan khulu‟ itu.17 Jadi, dapat dikatakan bahwa

15Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 129

16Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 131

17Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 131

khulu‟ adalah perceraian atas keinginan pihak isteri, sedang suami tidak menghendaki.18

d. Fasakh

Secara etimologi, fasakh berarti membatalkan. Apabila dihubungkan dengan perkawinan fasakh berarti membatalkan perkawinan atau merusakkan perkawinan. Kemudian, secara terminologis fasakh bermakna pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan isteri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.19

Pengertian fasakh dijelaskan oleh Sajuti Thalib ialah lembaga pemutusan hubungan perkawinan karena tertipu atau karena tidak mengetahui sebelum perkawinan bahwa isteri yang telah dinikahinya itu adat cacat celanya. Salah satu hadis Rasul yang membolehkan seorang wanita yang sudah dinikahi baru diketahui bahwa dia tidak sekufu‟ (tidak sederajat dengan suaminya), untuk memilih tetap diteruskan hubungan perkawinannya itu apakah dia ingin difasakhkan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Atsar, Umar bin Khattab pernah memfasakh suatu perkawinan pada masa beliau menjadi khalifah karena penyakit bershak (semacam penyakit menular) dan gila, rawahul Daruquthni.20

18Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 232

19Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 131

20

e. Ta‟lik Talak

Pada prinsipnya ta‟lik talak, menurut penjelasan Sudarsono, adalah suatu pengantungan terjadinya jatuhnya talak terhadap peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya antara suami dan isteri. Ta‟lik talak ini adalah realisasi

“Jika seorang perempuan melihat kesalahan suaminya atau telah berpaling darinya, maka tiada berdosa keduanya, jika keduanya mengadakan perdamaian antara keduanya.

Berdamai itulah terlebih baik (dari pada bercerai). (memang) manusia itu berperangai amat kikir. Jika kamu berbuat baik

“Sumpah”. Dalam artian definitif terdapat beberapa rumusan yang hampir atau berdekatan maksudnya.21

Ila‟ menurut penjelasan Soedarsono adalah suatu bentuk

perceraian sebagai akibat dari sumpah suami yang menyatakan bahwa ia (suami) tidak akan menggauli isteri. Apabila suami telah bersumpah

21Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 148

tidak akan menggauli isterinya (telah terjadi ila‟), maka suami diberi kesempatan dalam jangka waktu empat bulan untuk memikirkan dua pilihan yang sangat penting dan mendasar sebagai alternatif bagi suami untuk rujuk dengan isteri atau menalak isterinya. Pengertian ila‟

tersebut didasarkan atas surat al-Baqarah ayat 226 yang berbunyi:

َنيِ َّلِل

“Orang-orang yang bersumpah dengan perempuannya (tiada akan bersetubuh) diberi janji empat bulan lamanya, maka jika mereka kembali, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

g. Zhihar

Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila‟.

Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Ibarat seperti ini erat sekali kaitannya dengan kebiasaan masyarakat Arab, apabila masyarakat Arab marah, maka ibarat/penyamaan tadi sering terucap. Apabila ini terjadi berarti suami tidak akan menggauli isterinya.22

Menurut hukum Islam, jika terjadi zhihar, maka suami telah menceraikan isterinya. Ketentuan mengenai zihar ini diatur dalam al-Qur‟an Surah Al-Mujadalah ayat 2-4, yang isinya:

1) Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu keadaan di mana seorang suami bersumpah bahwa

22

baginya isterinya itu sama dengan punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri isterinya lagi.

2) Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi oleh Allah dan sekaligus merupakan perkataan dusta dan paksa.

3) Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami isteri, kalau hendak hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami membayar kafarat-nya lebih dahulu.

4) Bentuk kafarat-nya ialah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan berurut menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang bersangkutan, yaitu memerdekakan seorang budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin.23

h. Li‟an

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 125, dinyatakan bahwa li‟an adalah penyebab putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya. Pada pasal 126 dinyatakan, “Li‟an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut.24

23Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 156

24Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, . . . h. 228

Menurut penjelasan Ahmad Azhar Basyir, arti kata li‟an ialah sumpah laknat, yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan. Hal ini terjadi apabila suami menuduh isteri berbuat zina, padahal tidak mempunyai saksi, kecuali dirinya sendiri, seharusnya ia dikenai hukuman menuduh zina tanpa saksi yang cukup, yaitu dera 80 (delapan puluh) kali. Hal ini berzina dan mereka tidak mempunyai 4 (empat) orang saksi, maka deralah mereka yang menuduh itu 80 (delapan puluh) kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya.”

i. Murtad

Syaikh Hasan Ayyub menjelaskan bahwa apabila salah seorang suami isteri murtad sebelum terjadi persetubuhan, maka nikah terkena fasakh menurut pendapat mayoritas ulama. Menurut Mohd. Idris Ramulyo, apabila salah seorang dari suami isteri keluar dari agama Islam atau murtad, maka putuslah hubungan perkawinan mereka.

Dasar hukumnya dapat diambil i‟tibar dari al-Qur‟an Surat al-Baqarah ayat 221, yang melarang menikah baik laki-laki dengan wanita maupun sebaliknya wanita dengan laki-laki yang tidak beragama Islam.25

25

B. Alasan Perceraian dalam Islam

Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

6. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukum lagi dalam rumah tangga.

Selanjutnya, alasan-alasan hukum perceraian menurut hukum nasional tersebut, dapat dijelaskan secara komparatif dengan alasan-alasan hukum perceran menurut hukum Islam dan hukum sebagai berikut:

1. Zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan tabiat buruk lainnya yang sukar disembuhkan

Zina dapat dijadikan alasan hukum bagi suami atau isteri yang berkehendak melakukan perceraian. “Zina” menurut Kamu Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda (n), yang berarti: 1. Perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan). 2. Perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan isterinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.26

Perzinaan atau perbuatan zina seringkali bermula dari perselingkuhan yang menghianati kesucian dan kesetiaan dalam perkawinan. Kesucian dan kesetiaan sangat diperlukan untuk terjalinnya ikatan lahir batin yang kuat antara suami dan isteri sebagai pondasi bagi terbentuknya keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu, jika kesucian dan kesetiaan sudah tidak ada lagi dalam perkawinan, pihak suami atau isteri yang kesucian dan kesetiaannya dikhianati mempunyai hak untuk menuntut perceraian.

Ditinjau dari segi kesehatan, para dokter pun telah sepakat perzinaan itu menyebabkan penyakit-penyakit kotor, di mana banyak orang melakukan pekerjaan keji itu, maka di sanalah muncul penyakit-penyakit kotor.

26Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

2. Meninggalkan pihak lain tanpa izin dan alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya.

Meninggalkan pihak lain tanpa alasan yang sah menunjukkan secara tegas bahwa suami atau isteri sudah tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan isteri, baik kewajiban yang bersifat lahiriyah maupun batiniah. Ini berarti bahwa tidak ada harapan lagi untuk mempertahankan kelangsungan rumah tangga, karena telah hilangnya perasaan sayang dan cinta, sehingga tega menelantarkan atau mengabaikan hak suami dan isteri yang ditinggalkannya. Jadi, perceraian adalah solusi untuk keluar dari rumah tangga yang secara hukum faormal ada, tetapi secara faktual sudah tidak ada lagi.27

3. Hukuman penjara 5 tahun atau hukuman berat lainnya.

Secara psikologi hukum, tindak pidana yang dilakukan oleh suami atau isteri yang kemudian dihukum penjara atau hukuman berat lainnya berdasarkan keputusan hakim di pengadilan, menunjukkan bahwa suami atau isteri sebagai pelaku tindak pidana mempunyai perilaku hukum yang sangat buruk, yang bermula dan bersumber dari ketidakmampuan suami atau isteri untuk mengendalikan hati, pikiran, emosi, dan perilaku itulah yang dapat menjadi penyebab ketidakharmonisan dalam rumah tangga, karena terdapat potensi yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tindak pidana yang sama yang pernah dilakukan oleh suami atau istri akan terulang atau terjadi lagi.28

27Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h 192

28Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h 195

4. Perilaku kejam dan aniaya berat yang membahayakan.

Kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan dapat berdampak penderitaan fisik dan mental (psikologis) bagi suami atau isteri yang menerima kekejaman dan penganiayaan berat sebagai bentuk tindak kekerasan yang membahayakan “nyawa” tersebut. Tindak kekerasan, terutama tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri terjadi hampir di semua lapisan masyarakat Indonesia, meskipun data resminya sendiri tidak tersedia.29

5. Cacat badan atau penyakit yang menghalangi pelaksanaan kewajiban.

Cacat badan atau penyakit adalah kekurangan yang ada pada diri suami atau isteri, baik yang bersifat badaniah (misalnya cacat atau sakit tuli, buta dan sebagainya) maupun bersifat rohaniah (misalnya cacat mental, gila, dan sebagainya) yang mengakibatkan terhalangnya suami dan isteri untuk melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan isteri, sehingga dengan keadaan yang demikian itu dapat menggagalkan tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal.30 6. Perselisihan dan pertengkaran terus-menerus

Perselisihan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda yang artinya: 1. Perbedaan (pendapat, dsb); 2. Pertikaian, percekcokan dan sengketa.31

29Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h 198

30Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h 204

31Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

Tujuan perkawinan ialah hidup bersama dalam keadaan tentram dan damai. Jika cekcok sedemikian hebat, sehingga keadaannya tidak dapat baik lagi, maka sangat layak, apabila ada perceraian, oleh karena tujuan utama perkawinan, yaitu hidup bersama secara memuaskan, ternyata tidak tercapai. Hanya saja perlu di camkan, bahwa harus betul-betul cekcok yang hebat itu. Untuk itu, hakim di depan sidang pengadilan yang akan menetapkan ada atau tidak ada cekcok itu harus mendengarkan keterangan dari pihak yang menuntut perceraian dan seberapa boleh juga dari pihak yang lain dan orang-orang keluarga atau teman sahabat karib dari suami dan isteri. Dengan demikian, dapat diusahakan, agar hakim dapat mengetahui sungguh-sungguh keadaan yang sebenarnya dalam rumah tangga suami isteri.

C. Prosedur dan Aturan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Pertimbangan pengaturan hukum khusus perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Pengaturan hukum khusus perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil terdapat dalam PP No. 10 Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disingkat PP No. 45 Tahun 1990). Oleh karena itu, pertimbangan pengaturan hukum khusus bagi Pegawai Negeri Sipil dapat dipahami dari pertimbangan pemberlakuan kedua PP tersebut.

PP No. 10 Tahun 1983 jo. PP No 45 Tahun 1990 diberlakukan secara khusus bagi Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan percerain berdasarkan beberapa pertimbangan, sebagai berikut:

a. Pertimbangan hukum (Peraturan Perundang-undangan)

Pertimbangan hukum pemberlakuan PP No.10 Tahun 1983 jo.

PP No. 45 Tahun 1990 adalah penjabaran hukum dari UU No. 10 Tahun 1974 dan sinkronisasi hukum terhadap PP No. 9 Tahun 1975 yang didasarkan atas asas-asas hukum perceraian. Yaitu asas mempersukar proses hukum perceraian, asas kepastian pranata dan kelembagaan hukum perceraian, serta asas perlindungan hukum yang seimbang selama dan setelah proses hukum perceraian.32

b. Pertimbangan sosial (kemasyarakatan)

Pertimbangan sosial (kemasyarakatan) pemberlakuan PP No.

10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 berkaitan dengan kedudukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang wajib memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang

10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 berkaitan dengan kedudukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang wajib memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang

Dokumen terkait