• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIFITAS PENERAPAN PP NO.45 TAHUN 1990 TERHADAP PENCEGAHAN PERCERAIAN BAGI PNS DI PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EFEKTIFITAS PENERAPAN PP NO.45 TAHUN 1990 TERHADAP PENCEGAHAN PERCERAIAN BAGI PNS DI PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI SKRIPSI"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS PENERAPAN PP NO.45 TAHUN 1990 TERHADAP PENCEGAHAN PERCERAIAN BAGI PNS

DI PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam

Pada Fakultas Syariah

Oleh:

NIKE ARDILA NIM. 1111.034

FAKULTAS SYARIAH JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI

1436 H / 2015 M

(2)

ABSTRAK

Skripsiiniberjudul“EFEKTIFITAS PENERAPAN PP NO.45 TAHUN 1990 TERHADAP PENCEGAHAN PERCERAIAN BAGI PNS DI PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI."Yang disusun oleh Nike Ardila, dengan nomorNIM. 1111.034.

Faktor utama yang memotivasi penulis dalam memilih judul ini adalah karena munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang dirubah dengan Peratura Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 yang isinya igab setiap PNS atau yang akan melakukan perceraian wajib mendapat surat izin atasan terlebih dahulu, Yang mana Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk menekan angka perceraian dikalangan PNS. Maka atas dasar itu timbul pertanyaan bagi penulis yaitu bagaimana efektifitas penerapan PP No.45 Tahun 1990 tentang izin atasan bagi PNS yang akan melakukan perceraian di Pengadilan Agama Bukittinggi.

Untuk menjawab pertanyaan diatas, penulis melakukan penelitian lapangan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah wawancara dan dokumentasi. Wawancara penulis lakukan secara langsung dengan Hakim, Panitera Muda Hukum dan Panitera Muda Permohonan di Pengadilan Agama Bukittinggi. Serta mengumpulkan data- data yang berhubungan dengan pelaksanaan PP No.45 Tahun 1990 tersebut yang kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan metode berfikir induktif dan deduktif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 terhadap pencegahan perkawinan bagi PNS di Pengadilan Agama Bukittinggi telah efektif terlaksana. Sebagaiamana pernyataan Narasumber bahwa Peraturan ini terlaksana sesuai dengan tujuanya yakni untuk menekan angka perceraian dikalangan Pegawai Negeri Sipil.

Dari hasil penelitian juga penulis temukan bahwa bagi PNS yang telah diberi kesempatan selama Enam (6) bulan untuk mengurus surat izin dari atasan untuk melakukan perceraian. Akan tetapi yang pihak yang bersangkutan tidak mendapat surat izin tersebut, maka oleh Majelis Hakim diberikan 2 Alternatif yaitu mencabut perkara atau meneruskan perkara dengan membuat surat pernyataan tertulis oleh yang bersangkutan yang berisikan bahwa yang bersangkutan tetap akan melakukan perceraian dan siap untuk menanggung segala akibat dikemudian hari.

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil „alamin, ungkapansyukursedalam-

dalamnyapenulisucapkankepada Allah SWT, yang telahmemberikanhidayah, taufikdaninayah-Nyasehinggapenulisdapatmenyelesaikankaryailmiahini sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana dalam hukum islam di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

Shalawatbesertasalamkitapersembahkanbagihabibullahjunjunganumatnabi Muhammad SAW, yang telahmengangkatderajatumatmanusiadengan agama danilmupengetahuan, seperti yang kitarasakanpadasaatini. Nikmat ilmu pengetahuan ini telah dibuktikan dengan telah selesainya sebuah karya ilmiah dengan judul “EFEKTIFITAS PENERAPAN PP NO.45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN ATASAN BAGI PNS YANG AKAN MELAKUKAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI”

Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih teristimewa kepada Ibunda Tercinta Nuraham dan Ayahanda Amril yang selalu mendo‟akan serta

memberikan motivasi yang sangat luar biasa baik secara moril dan materil sehingga penulis dapat mencapai cita-cita yang sangat mulia ini. Serta ucapan terima kasih kepada keluarga, Kakak dan Abang”yang telah memberikan semangat yang sangat berarti bagi penulis.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

(4)

1. Rektor Institut Agama Islam Negeri Bukittinggi beserta seluruh jajaran wakil Rektor, Dekan Fakultas Syari‟ah, dan Ketua Jurusan Al-Ahwal Al- Syakhsiyah yang telah menfasilitasi penulis dalam menimba ilmupengetahuan di IAIN Bukitinggi.

2. Bapak Gusril Basir, SH, M.Humdan bapak Hardi Putra Wirman, S.IP, MA yang telah memberikan arahan, petunjuk, dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Pimpinan perpustakaan Institut Agama Islam Negeri Bukittinggibeserta seluruh staf yang telah memberikan fasilitas dan pelayanan terbaik bagi penulis dalam mencari literatur – literatur terkait dengan penelitian ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen Institut Agama Islam Negeri Bukittinggiyang telah memberikan ilmu kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendididkan di IAIN ini. Begitu juga kepada bapak dan ibu karyawan, pelayanan administrasi yang mereka lakukan telah memudahkan penulis dalam menyelesaikan pendidikan.

5. Ketua Pengadilan Agama Bukittinggi beserta staf, yang telah memberikan data-data penelitian yang penulis butuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Keluarga besar IMPEESA Indonesia yang telah memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini serta HMJ Ahwal Al-syakhsiyah terkhusus kepada teman-teman AH-B angkatan 2011.

Akhirnya penulis mendoakan semoga jasa-jasa mereka dibalasi olehAllah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Amiin ya robbal „alamin.

(5)

Bukittinggi, 2015 Penulis

NIKE ARDILA NIM. 1111.034

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Penjelasan Judul ... 5

D. Tinjauan dan Kegunaan Penelitian... 6

E. Metode Penelitian... 6

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian dan Macam-Macam Perceraian Dalam Islam ... 9

1. Pengertian Perceraian ... 9

a. Pengertian Perceraian dalam Islam ... 9

b. Pengertian Perceraian menurut Undang-Undang ... 12

c. Pengertian Perceraian menurut Doktrin Hukum ... 12

2. Macam-macam Perceraian ... 13

a. Talak ... 13

b. Syiqaq ... 14

c. Khulu‟ ... 15

d. Fasakh ... 16

e. Ta‟lik Talak ... 17

f. Ila‟ ... 17

g. Zhihar ... 18

h. Li‟an ... 19

i. Murtad ... 20

B. Alasan Perceraian Dalam Islam ... 21

C. Prosedur dan Aturan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ... 25

1. Pertimbangan Pengaturan Hukum Khusus Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil ( PNS) ... 25

2. Alasan-Alasan dan Proses Hukum Perizinan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ... 27

D. Peradilan Agama ... 32

(7)

1. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama ... 33

E. Kompetensi Peradilan Agama ... 34

1. Kompetensi Relatif... 35

2. Kompetensi Absolut ... 35

F. Teori Efektifitas Hukum ... 39

1. Pengertian Efektifitas Hukum ... 39

2. Berfungsinya Hukum dalam Masyarakat ... 41

BAB III HASIL PENELITIAN A. Monografi Pengadilan Agama Bukittinggi ... 46

1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Bukittinggi ... 46

2. Pengadilan Agama Bukittinggi ... 46

B. Efektifitas Pelaksaan PP No.45 Tahun 1990 Terhadap Pencegahan Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Bukittinggi ... 56

C. Alternatif bagi PNS yang Ingin Melakukan Perceraian yang Tidak Mendapat Surat Izin Atasan ... 73

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 87

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk sempurna ciptaan Tuhan yang mana setiap mereka tentulah mengiginkan kebahagiaan dan selalu berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya tetapi semua itu tidak dapat berjalan sesuai keinginan tanpa mematuhi peraturan yang sudah digariskan oleh agama, salah satu jalan untuk mencapai kebahagiaan adalah melalui perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang mana bertujuan untuk menciptakan sebuah keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah serta mendatangkan sebuah kebahagiaan dan merupakan suatu yang sakral. Sebagai mana terdapat dalam firman Allah:

ْمُكَنْ يَ ب َلَعَجَو اَهْ يَلِإ اوُنُكْسَتِل اًجاَوْزَأ ْمُكِسُفْ نَأ ْنِم ْمُكَل َقَلَخ ْنَأ ِوِتاَياَء ْنِمَو َنوُرَّكَفَ تَ ي ٍمْوَقِل ٍتاَي َلَ َكِلَذ ِفِ َّنِإ ًةَْحَْرَو ًةَّدَوَم (

مورلا : 21 )

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah yang menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. Ar-Rum/30:21)

Perkawinan merupakan peristiwa penting yang memiliki tempat serta kedudukan tersendiri di dalam diri manusia. Namun perkawinan bukanlah sesuatu yang kekal, banyak hal yang menyebabkan putusnya perkawinan, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang terdapat dalam Pasal 38 tentang Putusnya Perkawinan karena:

(1) Kematian

(9)

(2) Perceraian, talak dan (3) Putusan pengadilan

Putusnya perkawinan karena kematian merupakan suatu takdir yang tidak dapat kita hindari karena cepat atau lambat kita pasti akan kembali kepangkuan-Nya. Manusia tidak mampu untuk menahannya, lain halnya dengan putus perkawinan karena perceraian meskipun perceraian adalah perbuatan yang halal namun Allah membenci hal yang demikian karena bertentangan dengan asas-asas hukum Islam,1 bisa dilihat dari hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud sebagai berikut:

نع لص ا و نب ف رعم نع دل اخ نب دممح انث دح ديبع نب يرثك انث دح ق ملس و ويلع للهاا لص بينلا نع رمع نبا نع ر اش د نب ب ر امح ا

ل

ق لاطلا لىاعت للها لىا للالحا ضغبا (

د و د وبا هاور )

Artinya: “Katsir Ibn Ubaid telah menceritakan Muhammad Ibn khalid dari Mua‟rif Ibn Wasil dari Muharib Ibn Ditsar dari Ibn Umar dari Nabi SAW ia telah bersabda: perbuatan halal yang dibenci Allah ta‟ala adalah Talak”(H.R Abu Daud)

Dari hadist di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa memang perceraian tersebut diperbolehkan akan tetapi harus dengan alasan yang kuat dan telah melalui beberapa proses untuk tetap menjaga keutuhan sebuah rumah tangga karena perceraian adalah inisiatif terakhir dalam sebuah perkawinan.

Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memuat asas-asas atau prinsip-prinsip perceraian dipersulit sebagaimana dijabarkan dalam Buku Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam yang

1 Soemiyati, Hukum Perkawinan Indonesia dan Undang-Undang Perkawinan Indonesia

(10)

menyatakan bahwa thalaq dan atau perceraian adalah perbuatan yang kurang disenangi (dibenci) oleh Allah meskipun halal (boleh) hukumnya juga memang memberikan kemungkinan terjadinya talak atau perceraian bagi keluarga yang tidak mungkin mempertahankan kelangsungan rumah tangganya. Secara teoritik keilmuan, semua ulama sepakat untuk tidak menjatuhkan talak secara semena-mena. Selain thalaq atau perceraian akan merugikan rumah tangga itu sendiri tetapi juga berdampak buruk bagi anak- anak dan perempuan serta masyarakat luas. Atas dasar inilah adanya Undang- undang perkawinan yang sepintas nampak mempersulit terjadinya sebuah perceraian.2

Dengan memperhatikan pandangan di atas para pembuat Undang- Undang mengadakan suatu bentuk yang tidak sama sekali melarang ataupun memberikan kebebasan dalam pemutusan perkawinan.3

Munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 pasal (3)

1. PNS yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan terlebih dahulu dari pejabat

2. Bagi PNS yang berkedudukan sebagai penggugat atau bagi PNS yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis

2 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h.160-161

3 R.Soetono Prawirohamidjojo, dkk. Hukum Keluarga dan Orang, (Bandung: Alumni 986).h .107

(11)

3. Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari.

Peraturan pemerintah ini mengharuskan bagi Pegawai Negeri Sipil atau yang dipersamakan (pegawai BUMN, pegawai Bank milik Negara, pegawai BUMD) untuk mendapat surat izin atasan untuk melakukan perkawinan atau perceraian yang dilatar belakangi dengan maraknya perceraian di kalangan masyarakat maka oleh sebab itu dibentuknya peraturan tersebut, Pegawai Negeri Sipil bisa menjadi contoh yang baik serta teladan dalam bermasyarakat termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga, sehingga diharapkan dikalangan Pegawai Negeri Sipil bisa ditekan angka perceraian.

Di bentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 ini sebagai langkah bagi Pemerintah untuk menekan usaha Pegawai Negeri Sipil untuk melakukan perceraian.

Adapun alasan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983

Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 karena dalam pelaksanaannya, beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tidak jelas. Pegawai Negeri Sipil tertentu yang seharusnya terkena ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dapat menghindar, baik secara sengaja maupun tidak, terhadap ketentuan tersebut.

Disamping itu ada kalanya pula Pejabat tidak dapat mengambil

(12)

tindakan yang tegas karena ketidak jelasan rumusan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 itu sendiri, sehingga dapat memberi peluang untuk melakukan penafsiran sendiri sendiri. Oleh karena itu dipandang perlu melakukan penyempurnaan dengan menambah dan atau mengubah beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun l983 tersebut. Beberapa perubahan yang dimaksud adalah mengenai kejelasan tentang keharusan mengajukan permintaan izin dalam hal akan ada perceraian, larangan bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua, ketiga, keempat, pembagian gaji sebagai akibat terjadinya perceraian yang diharapkan dapat lebih menjamin keadilan bagi kedua belah pihak.

Perubahan lainnya yang bersifat mendasar dan lebih memberi kejelasan terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 ialah mengenai pengertian hidup bersama yang tidak diatur sebelumnya.

Dalam Peraturan Pemerintah ini disamping diberikan batasan yang lebih jelas, juga ditegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil dilarang melakukan hidup bersama. Pegawai Negeri Sipil yang melakukan hidup bersama dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang dirubah ini, maka seorang Pegawai Negeri Sipil atau yang dipersamakan tidak akan bisa sesuka hatinya melakukan perceraian tanpa izin dari atasannya.

Begitu pula dengan hakim, tidak dapat memutuskan perkara perceraian tanpa adanya izin ini.

(13)

Dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 pasal (3) ini, pada dasarnya dilandasi dengan tujuan yang baik yakni demi menekan angka perceraian di kalangan Pegawai Negeri Sipil yang akhir-akhir ini marak terjadi. Padahal, dalam hukum agama pun perceraian adalah sesuatu yang buruk untuk dilakukan. Mempertahankannya lebih baik jika memungkinkan.

Sehingga, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang dirubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 ini diharapkan dapat secara efektif mengurangi angka perceraian di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dari itu penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai penerapan PP No. 45 Tahun 1990 ini kedalam sebuah karya ilmiah yang berjudul “EFEKTIFITAS PENERAPAN PP NO.45 TAHUN 1990 TERHADAP PENCEGAHAN PERCERAIAN BAGI PNS DI PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah pokok yang muncul yang akan diselesaikan dalam penelitian adalah bagaimana efektivitas penerapan PP No 45 Tahun 1990 Pasal 3 terhadap pencegahan perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Bukittinggi

C. Penjelasan Judul

Efektivitas :Ada akibat atau pengaruh mulai berlaku undang-undang, peraturan4. Penulis maksud adalah sejauh mana akibat diberlakukannya Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1990 tentang perceraian Pegawai Negeri

4Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta:Balai

(14)

Sipil.

Perceraian Pegawai Negeri Sipil :Perpisahan, perihal perceraian suami istri, perpecahan5. Penulis maksud adalah perceraian bagi suami istri yang istrinya sebagai PNS yang melakukan perceraian tanpa izin atasan.

Pengadilan Agama : Merupakan salah satu lembaga peradilan yang menyelesaikan persoalan umat Islam.6 Yang dimaksud penulis adalah lembaga yang melaksanakan proses perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil dan lembaga yang menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan penulisan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk lebih memahami tentang Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990

b. Untuk mengetahui efektifitas penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 di Pengadilan Agama Bukittinggi.

2. Kegunaan penelitian yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

a. Untuk melengkapi salah satu persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana pada Fakultas Syari‟ah Jurusan Hukum Keluarga Islam (Ahwalul Al-Syaksyah) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

b. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis terhadap

5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. …, h.164

6Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Indonesia, (Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.1998). cet.2.h.6

(15)

permasalahan yang dibahas.

c. Sebagai sumbangan pemikiran masyarakat muslim secara umum.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Disebut kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan bercorak deskriptif yang menggambarkan efektivitas penerapan PP No 45 Tahun 1990 di Pengadilan Agama Bukittinggi.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Wawancara

Wawancara merupakan salah satu cara pengumpulan data dengan jalan komunikasi (lisan) antara penelitian dengan responden, yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung.

b. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan suatu cara pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada atau catatan-catatan yang tersimpan, baik itu berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, dan lain sebagainya7. c. Informan

Informan adalah orangyang dimanfaatkan untuk memberikan

7 Http://Dunia –Penelitian.Blogspot.com/2011/12/Pengertian-dan-Penggunaan-

(16)

informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.

3. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data

Setelah penulis mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, maka selanjutnya data tersebut akan dianalisa untuk kevalidan data. Data yang bersifat kualitatif yang diperoleh dari wawancara, cara pengelolaan dan penganalisaan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Reduksi data

Reduksi data adalah teknik analisa data dengan memilih data- data mana saja yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian.

b. Display data

Display data adalah teknik analisa data dengan cara memaparkan data-data yang telah terpilih dalam tahapan reduksi data.

c. Verivikasi data

Verikikasi data adalah tahapan data terakhir yakni dengan cara menarik kesimpulan

F. Sistematika Penulisan

Untuk lebih jelas dan memudahkan pemahaman pembaca dan agar lebih terarahnya penulisan skripsi ini. Adapun sistematika penulisan dibagi kedalam 4 bab, tiap-tiap bab dapat dirinci kedalam beberapa sub bab, yaitu:

BAB I, penulis mengemukakan pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penjelasan judul, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

(17)

BAB II, merupakan bagnai isi yang terdiri dari landasan teoritis yang berisikan pengertian dan macam-macam perceraian dalam Islam, alasan- alasan perceraian dalam Islam, prosedur dan aturan perceraian bagi PNS dalam perceraian, dasar hukum Pengadilan Agama, dan kompetensi Pengadilan Agama dalam perceraian serta teori efektifitas hukum

BAB III, berisikan tentang Monografi Pengadilan Agama Bukittinggi, Efeketifitas penerapan PP No.45 Tahun 1990 di Pengadilan Agama Bukittinggi, dan alternatif bagi PNS yang ingin melakukan perceraian yang tidak mendapat izin atasan

BAB IV, merupakan penutup yang berisikan kesimpulan pembahasan- pembahasan sebelumnya dan dilengkapi dengan saran-saran

(18)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian dan Macam-Macam Perceraian dalam Islam 1. Pengertian perceraian

a. Pengertian perceraian dalam Islam

Dalam fiqh perceraian dikenal dengan istilah thalaq. Secara bahasa talak terambil dari kata ithlak yang berarti melepaskan atau meninggalkan8. Untuk mengetahui arti talak secara jelas tidak bisa hanya berpegang pada pengertian bahasa saja, Untuk itu perlu diketahui pengertian menurut para fukaha. Dalam memberikan pengertian talak menurut istilah para ulama berbeda-beda dalam mengemukakan defenisi tersebut. Ada ulama yang hanya memaparkan defenisi itu secara umum dan ada juga yang dalam defenisinya memaparkan kapan terjadinya dan dengan lafaz apa perceraian dapat terjadi.

Berikut ini penulis mengemukakan pendapat ulama tentang pengertian talak sebagai berikut:

1) Sayyid Sabid mendefenisikan sebagai berikut :

ةيجوزلا ةقلاعلا الهو خاوزل ا وطىار لح

“Melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”

8 Sayid Sabid, Fiqh Sunnah, (Mesir: Dar al-Fikr, [tth]), Jilid ke-2, h.27

(19)

Sayyid Sabid memandang perceraian itu secara umum dari segi sifatnya yaitu melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan tanpa menjelaskan kapan talak itu dipandang jatuh dan dengan cara apa talak itu dapat jatuh.

2) Muhammad Abu Zahrah mendefenisikan talak ialah:

انعم فى وا قلاطلا ةدام نم قتثم ظفلب لالما فىو ا الح ا حاكنل ا ديق عف ر اى

“Melepaskan ikatan perkawinan pada waktu itu juga atau pada masa yang akan datang dengan lafaz mustaq dari lafaz thalak atau lafaz yang semakna dengan lafaz thalak”

Muhammad Abu Zahrah dalam mendefenisikan talak lebih menekankan kepada bentuk-bentuk talak. Hal ini dapat dipahami dari kalimatnya yang membagi talak itu jatuhnya (putusnya ikatan perkawinan) pada waktu itu juga atau pada masa yang akan datang.

Talak yang jatuh pada saat lafaz talak diucapkan dalam istilah fiqh dikenal thalak bain sedangkan talak yang jatuh bukan pada saat lafaz talak diucapkan tetapi putusnya ikatan perkawinan jatuhnya setelah habis masa iddah, baik talak itu dilakukan dengan mempergunakan lafaz talak atau dengan lafaz yang mengandung makna talak yang dikenal dengan istilah thalak kinayah. Talak semacam ini dikenal dengan thalak raj‟i.

3) Badran Abu „Ainaini Badran mendefenisikan talak sebagai berikut:

ةح ا رص كلذ يىفي ظفلب لالما فى وا لالحا فى عيلمح ا ج ا وزل ا ديق عفر

ةسي انكوا

(20)

“Melepaskan ikatan perkawinan yang shahih pada masa sekarang atau pada masa yang akan datang dengan lafaz yang mempaedahkan talak secara jelas atau secara sindiran”

Mendefenisikan bahwa talak hampir sama dengan defenisi yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah yang membagi bentuk talak kepada dua macam yaitu talak yang jatuh pada saat lafaz talak diucapkan dan talak yang jatuh bukan pada saat lafaz talak diucapkan tetapi jatuh setelah habis masa iddah. Badran Abu

„Ainaini Badran yang membagi lafaz talak itu kepada dua yaitu talak yang diucapkan secara jelas dan talak yang diucapkan dengan kata-kata sindiran yang mengandung atau mengarah kepada arti talak.

Sehubungan dengan hal ini, fuqaha berbeda-beda dalam mengemukakan defenisi talak menurut versi masing-masing.

Namun mereka sepakat menyatakan bahwa talak ialah putusnya atau lepasnya ikatan perkawinan.

Dari ketiga defenisi yang dikemukakan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa talak ialah melepaskan ikatan perkawinan dengan mempergunakan lafaz talak atau yang semakna dengan lafaz talak, baik lafaz itu jatuh pada saat talak diucapkan (talak ba‟in) maupun jatuhnya pada masa yang akan datang (talak belum jatuh pada saat talak diucapkan tetapi jatuhnya terkait dengan habis masa iddah perempuan), disebut dengan talak raj‟

(21)

b. Pengertian perceraian menurut Undang-Undang

Perceraian menurut Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 adalah

“Putusnya perkawinan”. Perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami isteri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan isteri tersebut.9

Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain adalah perceraian dalam pengertian cerai talak, yaitu perceraian yang diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisiatif suami kepada pengadilan agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak saat perceraian itu dinyatakan (diikrarkan) di depan sidang Pengadilan Agama.10

Perceraian dalam pengertian cerai gugat, yaitu perceraian yang diajukan gugatan cerainya oleh dan inisiatif isteri kepada Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.11

c. Pengertian perceraian menurut doktrin hukum

Perceraian menurut Subekti adalah “Penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam

9Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 18

10Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 20

11

(22)

perkawinan itu.” Jadi, pengertian perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan, baik dengan putusan hakim atau tuntutan suami dan isteri.12

Pengertian perceraian menurut hukum adat adalah peristiwa luar biasa, merupakan problema sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah.

2. Macam-macam perceraian a. Talak

Secara harfiyah, talak berarti lepas dan bebas. Dihubungkannya kata talak dalam arti kata ini dengan putusnya perkawinan, karena antara suami dan isteri sudah lepas hubungannya atau masing-masing sudah bebas. Dalam mengemukakan arti talak secara terminologis, ulama mengemukakan rumusan yang berbeda, namun esesnsinya sama, yakni melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak dan sejenisnya.13

Abdu Ghofur Anshori menjelaskan bahwa dalam hukum Islam hak talak ini hanya diberikan kepada suami (laki-laki) dengan pertimbangan, bahwa pada umumnya suami lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu dari pada isteri (wanita) yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Hal ini dimaksudkan agar

12Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Internusa, 1985), h. 42

13Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan Hukum Positif), (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 105-106

(23)

terjadinya perceraian lebih dapat diminimalisasi dari pada jika hak talak diberikan kepada isteri.14

b. Syiqaq

Konflik antara suami isteri itu ada beberapa sebab dan macamnya. Sebelum konflik membuat suami mengalami keputusan berpisah yang berupa tahalaq, maka konflik-konflik tersebut antara lain adalah syiqaq.

Soemiyati menjelaskan bahwa syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah fiqh berarti perselisihan suami isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan satu orang dari pihak isteri. Pengangkatan hakam kalau terjadi syiqaq ini merujuk pada al-Qur‟an Surah An-Nisa‟ ayat 35 yang berbunyi:

ْنِإَو ْمُتْفِخ َقاَقِش اَمِهِنْيَ ب اوُثَعْ باَف اًمَكَح ْنِم ِوِلْىَأ اًمَكَحَو ْنِم

اَهِلْىَأ ْنِإ اَديِرُي

اًح َلاْصِإ ِقفِّفَوُ ي

ُوَّللا اَمُهَ نْ يَ ب َّنِإ

َوَّللا َناَك اًميِلَع اًيرِبَخ ( ءاسنلا : 35 )

“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara kedua suami isteri, maka utuslah seorang hakam dari keluarga laki- laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui dan Maha mengenal.”

Pengangkatan hakam yang dimaksud dalam ayat tersebut, terutama bertugas untuk mendamaikan suami isteri itu. Hanya dalam keadaan terpaksa sekali dan sudah sekuat tenaga berusaha

14

(24)

mendamaikan suami isteri itu tidak berhasil, maka hakam boleh mengambil keputusan menceraikan suami isteri tersebut.15

c. Khulu‟

Khulu‟ yang terdiri dari lafaz kha-la-„a secara etimologi berarti

menanggalkan atau membuka pakaian. Dihubungkannya dengan kata khulu‟ dengan perkawinan, karena dalam al-Qur‟an Surah al-Baqarah

ayat 187, disebutkan suami itu sebagai pakaian bagi isterinya dan isteri itu merupakan pakaian bagi suaminya. Penggunaan kata khulu‟ untuk putusnya perkawinan, karena isteri sebagai pakaian bagi suaminya berusaha menanggalkan pakaiannya itu dari suaminya. Dalam arti istilah hukum dalam beberapa kitab fikih khulu‟ diartikan dengan putusnya perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan ucapan talak atau khulu‟. Khulu‟ itu merupakan suatu bentuk dari putusnya perkawinan, namun beda dengan bentuk lain dari putusnya perkawinan itu, dalam khulu‟ terdapat uang tebusan, atau ganti rugi atau „iwadh.16

Khulu‟ atau talak tebus menurut soemiyati ialah bentuk

perceraian atas persetujuan suami isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak yang menginginkan cerai dengan khulu‟ itu.17 Jadi, dapat dikatakan bahwa

15Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 129

16Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 131

17Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 131

(25)

khulu‟ adalah perceraian atas keinginan pihak isteri, sedang suami tidak menghendaki.18

d. Fasakh

Secara etimologi, fasakh berarti membatalkan. Apabila dihubungkan dengan perkawinan fasakh berarti membatalkan perkawinan atau merusakkan perkawinan. Kemudian, secara terminologis fasakh bermakna pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan isteri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.19

Pengertian fasakh dijelaskan oleh Sajuti Thalib ialah lembaga pemutusan hubungan perkawinan karena tertipu atau karena tidak mengetahui sebelum perkawinan bahwa isteri yang telah dinikahinya itu adat cacat celanya. Salah satu hadis Rasul yang membolehkan seorang wanita yang sudah dinikahi baru diketahui bahwa dia tidak sekufu‟ (tidak sederajat dengan suaminya), untuk memilih tetap diteruskan hubungan perkawinannya itu apakah dia ingin difasakhkan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Atsar, Umar bin Khattab pernah memfasakh suatu perkawinan pada masa beliau menjadi khalifah karena penyakit bershak (semacam penyakit menular) dan gila, rawahul Daruquthni.20

18Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 232

19Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 131

20

(26)

e. Ta‟lik Talak

Pada prinsipnya ta‟lik talak, menurut penjelasan Sudarsono, adalah suatu pengantungan terjadinya jatuhnya talak terhadap peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya antara suami dan isteri. Ta‟lik talak ini adalah realisasi dari ketentuan yang terdapat dalam Surah An-Nisa‟ ayat 128 yang berbunyi:

ِنِإَو ةٌةَأَرْما ْ َفاَخ ْنِم

اَهِلْعَ ب اًزوُشُن ْوَأ اًضاَرْعِإ َلاَف

َحاَنُج اَمِهْيَلَع ْنَأ

اَحِلْصُي

اَمُهَ نْ يَ ب اًحْلُص

ُ ْلصُّصلاَو ةٌرْ يَخ

ِتَرِ ْحُأَو ُ ُفْ نَْاا

َّ صُّشلا ْنِإَو اوُنِسُْتُ

اوُقَّ تَ تَو َّنِ َف

َوَّللا َناَك اَِبِ

َنوُلَمْعَ ت اًيرِبَخ

( ءاسنلا : 128 )

“Jika seorang perempuan melihat kesalahan suaminya atau telah berpaling darinya, maka tiada berdosa keduanya, jika keduanya mengadakan perdamaian antara keduanya.

Berdamai itulah terlebih baik (dari pada bercerai). (memang) manusia itu berperangai amat kikir. Jika kamu berbuat baik (kepada isterimu) dan bertaqwa, sungguh Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.”

f. Ila‟

Ila‟ berasal dari bahasa Arab, yang secara arti kata berarti

“tidak mau melakukan sesuatu dengan cara bersumpah” atau

“Sumpah”. Dalam artian definitif terdapat beberapa rumusan yang hampir atau berdekatan maksudnya.21

Ila‟ menurut penjelasan Soedarsono adalah suatu bentuk

perceraian sebagai akibat dari sumpah suami yang menyatakan bahwa ia (suami) tidak akan menggauli isteri. Apabila suami telah bersumpah

21Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 148

(27)

tidak akan menggauli isterinya (telah terjadi ila‟), maka suami diberi kesempatan dalam jangka waktu empat bulan untuk memikirkan dua pilihan yang sangat penting dan mendasar sebagai alternatif bagi suami untuk rujuk dengan isteri atau menalak isterinya. Pengertian ila‟

tersebut didasarkan atas surat al-Baqarah ayat 226 yang berbunyi:

َنيِ َّلِل َنوُلْ ُ ي ْنِم ْمِهِااَسِن ُ صُّبَرَ ت

ِةَعَ بْرَأ ٍرُهْشَأ ْنِ َف اوُءاَف َّنِ َف َوَّللا ةٌروُفَ

ةٌميِحَر

( ةرقبلا : 226 )

“Orang-orang yang bersumpah dengan perempuannya (tiada akan bersetubuh) diberi janji empat bulan lamanya, maka jika mereka kembali, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

g. Zhihar

Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila‟.

Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Ibarat seperti ini erat sekali kaitannya dengan kebiasaan masyarakat Arab, apabila masyarakat Arab marah, maka ibarat/penyamaan tadi sering terucap. Apabila ini terjadi berarti suami tidak akan menggauli isterinya.22

Menurut hukum Islam, jika terjadi zhihar, maka suami telah menceraikan isterinya. Ketentuan mengenai zihar ini diatur dalam al- Qur‟an Surah Al-Mujadalah ayat 2-4, yang isinya:

1) Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu keadaan di mana seorang suami bersumpah bahwa

22

(28)

baginya isterinya itu sama dengan punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri isterinya lagi.

2) Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi oleh Allah dan sekaligus merupakan perkataan dusta dan paksa.

3) Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami isteri, kalau hendak hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami membayar kafarat-nya lebih dahulu.

4) Bentuk kafarat-nya ialah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan berurut menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang bersangkutan, yaitu memerdekakan seorang budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang miskin.23

h. Li‟an

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 125, dinyatakan bahwa li‟an adalah penyebab putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya. Pada pasal 126 dinyatakan, “Li‟an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut.24

23Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 156

24Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, . . . h. 228

(29)

Menurut penjelasan Ahmad Azhar Basyir, arti kata li‟an ialah sumpah laknat, yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan. Hal ini terjadi apabila suami menuduh isteri berbuat zina, padahal tidak mempunyai saksi, kecuali dirinya sendiri, seharusnya ia dikenai hukuman menuduh zina tanpa saksi yang cukup, yaitu dera 80 (delapan puluh) kali. Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Al-Qur‟an Surah An-Nur ayat 4 yang berbunyi:

َنيِ َّلاَو َنوُمْرَ ي

ِتاَنَصْحُمْلا َُّ

َْ

اوُتْأَي ِةَعَ بْرَأِب َءاَدَهُش ْمُىوُدِلْجاَف

َ ِناََ

ًةَدْلَج

َ َو اوُلَ بْقَ ت ْمَُله ًةَداَهَش اًدَبَأ َكِ َلوُأَو ُمُى

َنوُقِساَفْلا (

رونلا : 4 )

“Dalam hal yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik itu berzina dan mereka tidak mempunyai 4 (empat) orang saksi, maka deralah mereka yang menuduh itu 80 (delapan puluh) kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama- lamanya.”

i. Murtad

Syaikh Hasan Ayyub menjelaskan bahwa apabila salah seorang suami isteri murtad sebelum terjadi persetubuhan, maka nikah terkena fasakh menurut pendapat mayoritas ulama. Menurut Mohd. Idris Ramulyo, apabila salah seorang dari suami isteri keluar dari agama Islam atau murtad, maka putuslah hubungan perkawinan mereka.

Dasar hukumnya dapat diambil i‟tibar dari al-Qur‟an Surat al-Baqarah ayat 221, yang melarang menikah baik laki-laki dengan wanita maupun sebaliknya wanita dengan laki-laki yang tidak beragama Islam.25

25

(30)

B. Alasan Perceraian dalam Islam

Perceraian harus disertai dengan alasan-alasan hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, yaitu:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

6. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukum lagi dalam rumah tangga.

Selanjutnya, alasan-alasan hukum perceraian menurut hukum nasional tersebut, dapat dijelaskan secara komparatif dengan alasan-alasan hukum perceran menurut hukum Islam dan hukum sebagai berikut:

(31)

1. Zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan tabiat buruk lainnya yang sukar disembuhkan

Zina dapat dijadikan alasan hukum bagi suami atau isteri yang berkehendak melakukan perceraian. “Zina” menurut Kamu Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda (n), yang berarti: 1. Perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan). 2. Perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan isterinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.26

Perzinaan atau perbuatan zina seringkali bermula dari perselingkuhan yang menghianati kesucian dan kesetiaan dalam perkawinan. Kesucian dan kesetiaan sangat diperlukan untuk terjalinnya ikatan lahir batin yang kuat antara suami dan isteri sebagai pondasi bagi terbentuknya keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu, jika kesucian dan kesetiaan sudah tidak ada lagi dalam perkawinan, pihak suami atau isteri yang kesucian dan kesetiaannya dikhianati mempunyai hak untuk menuntut perceraian.

Ditinjau dari segi kesehatan, para dokter pun telah sepakat perzinaan itu menyebabkan penyakit-penyakit kotor, di mana banyak orang melakukan pekerjaan keji itu, maka di sanalah muncul penyakit- penyakit kotor.

26Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

(32)

2. Meninggalkan pihak lain tanpa izin dan alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya.

Meninggalkan pihak lain tanpa alasan yang sah menunjukkan secara tegas bahwa suami atau isteri sudah tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan isteri, baik kewajiban yang bersifat lahiriyah maupun batiniah. Ini berarti bahwa tidak ada harapan lagi untuk mempertahankan kelangsungan rumah tangga, karena telah hilangnya perasaan sayang dan cinta, sehingga tega menelantarkan atau mengabaikan hak suami dan isteri yang ditinggalkannya. Jadi, perceraian adalah solusi untuk keluar dari rumah tangga yang secara hukum faormal ada, tetapi secara faktual sudah tidak ada lagi.27

3. Hukuman penjara 5 tahun atau hukuman berat lainnya.

Secara psikologi hukum, tindak pidana yang dilakukan oleh suami atau isteri yang kemudian dihukum penjara atau hukuman berat lainnya berdasarkan keputusan hakim di pengadilan, menunjukkan bahwa suami atau isteri sebagai pelaku tindak pidana mempunyai perilaku hukum yang sangat buruk, yang bermula dan bersumber dari ketidakmampuan suami atau isteri untuk mengendalikan hati, pikiran, emosi, dan perilaku itulah yang dapat menjadi penyebab ketidakharmonisan dalam rumah tangga, karena terdapat potensi yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tindak pidana yang sama yang pernah dilakukan oleh suami atau istri akan terulang atau terjadi lagi.28

27Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h 192

28Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h 195

(33)

4. Perilaku kejam dan aniaya berat yang membahayakan.

Kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan dapat berdampak penderitaan fisik dan mental (psikologis) bagi suami atau isteri yang menerima kekejaman dan penganiayaan berat sebagai bentuk tindak kekerasan yang membahayakan “nyawa” tersebut. Tindak kekerasan, terutama tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap isteri terjadi hampir di semua lapisan masyarakat Indonesia, meskipun data resminya sendiri tidak tersedia.29

5. Cacat badan atau penyakit yang menghalangi pelaksanaan kewajiban.

Cacat badan atau penyakit adalah kekurangan yang ada pada diri suami atau isteri, baik yang bersifat badaniah (misalnya cacat atau sakit tuli, buta dan sebagainya) maupun bersifat rohaniah (misalnya cacat mental, gila, dan sebagainya) yang mengakibatkan terhalangnya suami dan isteri untuk melaksanakan kewajibannya sebagai suami dan isteri, sehingga dengan keadaan yang demikian itu dapat menggagalkan tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal.30 6. Perselisihan dan pertengkaran terus-menerus

Perselisihan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kata benda yang artinya: 1. Perbedaan (pendapat, dsb); 2. Pertikaian, percekcokan dan sengketa.31

29Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h 198

30Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h 204

31Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

(34)

Tujuan perkawinan ialah hidup bersama dalam keadaan tentram dan damai. Jika cekcok sedemikian hebat, sehingga keadaannya tidak dapat baik lagi, maka sangat layak, apabila ada perceraian, oleh karena tujuan utama perkawinan, yaitu hidup bersama secara memuaskan, ternyata tidak tercapai. Hanya saja perlu di camkan, bahwa harus betul- betul cekcok yang hebat itu. Untuk itu, hakim di depan sidang pengadilan yang akan menetapkan ada atau tidak ada cekcok itu harus mendengarkan keterangan dari pihak yang menuntut perceraian dan seberapa boleh juga dari pihak yang lain dan orang-orang keluarga atau teman sahabat karib dari suami dan isteri. Dengan demikian, dapat diusahakan, agar hakim dapat mengetahui sungguh-sungguh keadaan yang sebenarnya dalam rumah tangga suami isteri.

C. Prosedur dan Aturan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1. Pertimbangan pengaturan hukum khusus perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Pengaturan hukum khusus perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil terdapat dalam PP No. 10 Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disingkat PP No. 45 Tahun 1990). Oleh karena itu, pertimbangan pengaturan hukum khusus bagi Pegawai Negeri Sipil dapat dipahami dari pertimbangan pemberlakuan kedua PP tersebut.

(35)

PP No. 10 Tahun 1983 jo. PP No 45 Tahun 1990 diberlakukan secara khusus bagi Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan percerain berdasarkan beberapa pertimbangan, sebagai berikut:

a. Pertimbangan hukum (Peraturan Perundang-undangan)

Pertimbangan hukum pemberlakuan PP No.10 Tahun 1983 jo.

PP No. 45 Tahun 1990 adalah penjabaran hukum dari UU No. 10 Tahun 1974 dan sinkronisasi hukum terhadap PP No. 9 Tahun 1975 yang didasarkan atas asas-asas hukum perceraian. Yaitu asas mempersukar proses hukum perceraian, asas kepastian pranata dan kelembagaan hukum perceraian, serta asas perlindungan hukum yang seimbang selama dan setelah proses hukum perceraian.32

b. Pertimbangan sosial (kemasyarakatan)

Pertimbangan sosial (kemasyarakatan) pemberlakuan PP No.

10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 berkaitan dengan kedudukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang wajib memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan keluarga.33

c. Pertimbangan institusional (kelembagaan)

Pertimbangan institusional (kelembagaan) pemberlakuan PP No. 10 Tahun 1983 jo. PP. No. 45 Tahun 1990 adalah usaha

32Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 444

33

(36)

meningkatkan disiplin Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan perkawinan dan perceraian yang merefleksikan kedisiplinan dalam melaksanakan kewajiban institusional (kelembagaan).

2. Alasan-alasan dan proses hukum perizinan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

a. Alasan-alasan hukum perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

Permohonan izin untuk bercerai yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil juga harus berdasarkan pada alasan-alasan hukum yang ditetapkan dalam pasal 39 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 PP. No. 9 Tahun 1975 yaitu:

1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut- turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penaykit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

6) Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan

(37)

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.34

b. Proses hukum perizinan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.

Menurut Pasal 3 PP. No. 45 Tahun 1990, Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian, wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat.

Untuk menjamin kelancaran dan keseragaman dalam pelaksanaan PP No.45 Tahun 1990 yang merupakan perubahan atas PP No. 10 Tahun 1983, maka diterbitkan Petunjuk Pelaksanan berdasarkan Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor: 48/SE/1990 (selanjutnya disingkat Surat Edaran Kepala BAKN No. 48/ SE/1990. Petunjuk pelaksanaan untuk menyelesaikan masalah perceraian Pegawai Negeri Sipil menurut Surat Edaran Kepala BAKN No. 48/ SE/ 1990 tersebut, sebagai berikut:35

1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian, wajib memperoleh izin tertulis atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat.

2) Pegawai Negeri Sipil baik pria ataupun wanita yang akan melakukan perceraian dan berkedudukan sebagai penggugat, wajib memperoleh izin tertulis dahulu dari pejabat.

34Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, . . . h. 450-451

35

(38)

3) Pegawai Negeri Sipil baik pria ataupun wanita yang akan melakukan perceraian dan berkedudukan sebagai tergugat, wajib memberitahukan secara tertulis adanya gugatan dari suami atau istrinya melalui saluran hirarki kepada pejabat untuk mendapatkan surat keterangan, dalam waktu selambat-lambatnya 6 hari kerja setelah ia menerima gugatan perceraian yang dibuat menurut contoh yang telah ditentukan.

4) Suami isteri yang akan melakukan perceraian dan keduanya berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil baik dalam satu lingkungan departemenya atau instansi maupun pada departemen/instansi yang berbeda, masing-masing Pegawai Negeri Sipil tersebut wajib memperoleh izin tertulis atau suarat keterangan lebih dahulu dari pejabat.

5) Pegawai Negeri Sipil hanya dapat melakukan perceraian apabila ada alasan yang sah.

6) Alasan perceraian sebagaimana dimaksud dalam angka 5 di atas, harus dikuatkan dengan bukti sebagaimana yang ditentukan dalam angka III angka 2 Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 08/SE/1983 tanggal 26 Tahun 1983.

7) Tata cara penyampaian pemberitahuan adanya gugatan perceraian dari suami/isteri tersebut dilaksanakan sebagaimana halnya penyampaian surat permintaan izin perceraian.

(39)

8) Setiap alasan dan pejabat yang menerima surat pemberitahuan adanya gugatan perceraian harus melaksanakan tugas dan wewenangnya seperti dalam hal menerima permintaan izin perceraian, yaitu wajib merukunkan kembali kedua belah pihak dan apabila perlu dapat memanggil atau meminta keterangan dari pihak-pihak yang bersangkutan.

9) Untuk membantu Pejabat dalam melaksanakan kewajibannya agar dibentuk Tim Pelaksana PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990 di lingkungan masing-masing.

10) Pejabat harus memperhatikan Surat Keterangan untuk melakukan perceraian kepada setiap Pegawai Negeri Sipil yang menyampaikan surat pemberitahuan adanya gugatan, menurut contoh yang telah ditentukan.

11) Apabila dalam waktu yang telah ditentukan Pejabat tidak juga menetapkan keputusan yang sifatnya tidak mengabulkan atau tidak menolak permintaan izin untuk melaksanakan perceraian kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, maka dalam hal demikian pejabat tersebut dianggap telah menolak permintaan izin perceraian yang disampaikan oleh Pegawai Negeri Sipil bawahannya.

12) Apabila hal tersebut dalam angka 11 di atas, ternyata semata-mata merupakan kelalaian dari pejabat, maka pejabat yang bersangkutan dikenakan hukuman disiplin.

(40)

13) Apabila usaha untuk merukunkan kembali tidak berhasil dan perceraian itu terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil, maka ia wajib menyerahkan bagian gajinya untuk penghidupan bekas isterinya dan anak-anaknya.

14) Pegawai Negeri Sipil yang diwajibkan menyerahkan bagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri, wajib membuat pernyataan tertulis, menurut contoh yang telah ditentukan.

15) Hak atas bagian gaji untuk bekas isteri sebagaimana dimaksud dalam angka 13 tidak diberikan, apabila perceraian terjadi karena isteri terbukti telah berzina dan atau isteri terbukti telah melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami dan atau isteri terbukti pemabuk, pemadat, penjudi, yang sukar disembuhkan dan atau isteri telah terbukti meninggalkan suami selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

16) Meskipun perceraian terjadi atas kehendak isteri yang bersangkutan, haknya atas bagian untuk bekas isteri tetap diberikan apabila ternyata alasan isteri mengajukan gugatan cerai karena dimadu, dan atau karena suami terbukti telah berzina, dan atau suami terbuktitelah melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap isteri, dan atau suami terbukti

(41)

pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan dan atau suami terbukti telah meninggalkanisteri 2 tahun berturut-turut tanpa izin isteri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain yang di luar kemampuannya.

17) Yang dimaksud dengan gaji adalah penghasilan yang diterima oleh suami dan tidak terbatas pada penghasilan suami pada waktu terjadinya perceraian.

18) Bendaharawan gaji wajib menyerahkan secara langsung bagian gaji yang menjadi hak bekas isteri dan anak-anaknya sebagai akibat perceraian, tanpa terlebih dahulu menunggu pengambilan gaji Pegawai Negeri Sipil bekas suami yang telah menceraikannya.

19) Bekas isteri dapat mengambil bagian gaji yang menjadi haknya secara langsung dari bendaharawan gaji, atau dengan surat kuasa, atau dapat meminta untuk dikirimkan kepadanya.

20) Apabila ada gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak isteri dan setelah dilakukan upaya merukunkan kembali oleh Pejabat tidak berhasil, maka proses pemberian izin agar diselesaikan secepatnya mematuhi dan sesuai dengan ketentuan jangka waktu yang telah ditentukan.

D. Peradilan Agama

Peradilan Agama merupakan Peradilan Negara yang sah, disamping sebagai Peradilan Khusus, yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi

(42)

wewenang oleh peraturan perundang-undangan Negara, untuk mewujudkan hukum materiil Islam dalam batas-batas kekuasaannya.36

1. Sumber hukum acara Peradilan Agama

Menurut pasal 54 UU No 57 Tahun 1989 bahwa secara garis besar, sumber hukum peradilan agama terdapat dalam dua aturan, yaitu: 1. Yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan 2. Yang berlaku di lingkungan peradilan umum.

a. Peraturan Perundang-Undangan tentang hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Agama dan Peradilan Umum:

1) UU No 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 Tentang perkawinan dan pelaksanaannya.

2) UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

3) UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

4) UU No 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

5) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

b. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Pengadilan Umum:

1) HIR.

2) RBG.

3) RSV.

4) BW.

36Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama, (Bukittinggi: STAIN Press, 2010), h. 3

(43)

c. Peraturan perundang-undangan yang berlaku khusus di Pengadilan Agama:

1) UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

3) UU No. 38 Tahun 1999 Tentang pengelolaan zakat.

4) UU Nomor 41 Tahun 2004 Tentang wakaf.

5) UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

6) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

d. Sumber-sumber lainnya.

1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

2) Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia.

3) Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.

4) Kitab-kitab Fiqh dan sumber-sumber lainnya yang tidak tertulis.37

E. Kompetensi Peradilan Agama

Berbicara tentang kekuasaan yang sering disebut dengan kompetensi atau kewenangan peradilan dalam kaitannya dengan hukum acara perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang kompetensi relatif dan kompetensi absolut.

37

(44)

1. Kompetensi relatif

(Relative competence) diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya. Artinya kompetensi relatif ini didasarkan pada patokan batas kewenangan mengadili berdasarkan kekuasaan daerah hukum masing-masing peradilan dalam suatu lingkungan yang telah ditetapkan batas-batas wilayah hukumnya. Isalnya Pengadilan Negri Bukittinggi dengan Pengadilan Negeri Padang Panjang, antara Pengadilan Agama Batusangkar dengan Pengadilan Agama Payakumbuh.38

2. Kompetensi absolut (Absolute Competence)

Kompetensi absolut (Absolute Competence) adalah kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam pembedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya.39

Menurut UU No 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, dan sedekah. Akan tetapi, dengan diberlakukannya UU No. 3 Tahun 2006, menandai lahirnya paradigma baru peradilan Agama.

Paradigma baru tersebut antara lain menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan bahwa, “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku

38Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama, . . . h. 14

39Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama, . . . h. 16

(45)

kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Kata-kata perkara tertentu merupakan hasil perubahan terhadap kata-kata perkara perdata tertentu sebagaimana disebutkan dalam UU No. 7 Tahun1989.

Penghapusan kata perdata di sini dimaksudkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kompetensi pengadilan agama.

Dengan adanya penegasan tentang perluasan kewenangan peradilan agama tersebut, juga dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada peradilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu. Termasuk pelanggaran atas undang-undang tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syar‟iyah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun.40

Jenis perkara yang menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama terdapat dalam pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang berbunyi: Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

1. Perkawinan.

2. Waris.

3. Wasiat.

40Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

(46)

4. Hibah.

5. Wakaf.

6. Zakat.

7. Infaq.

8. Shadaqah.

9. Ekonomi syari‟ah.

Perkara perkawinan yang dimaksud oleh Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari‟ah, antara lain:

1. Izin beristri lebih dari seorang.

2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang berumur kurang dari 21 tahun.

3. Dispensasi kawin.

4. Pencegahan perkawinan.

5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

6. Pembatalan perkawinan.

7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri.

8. Perceraian karena talak.

9. Gugatan perceraian.

10. Penyelesaian harta bersama.

(47)

11. Mengenai penguasaan atas anak-anak.

12. Hadanah ibu.

13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penetuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.

14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.

15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.

16. Pencabutan kekuasaan wali.

17. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalamhal kekuasaan seorang wali dicabut.

18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya.

19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya.

20. Penetapan asal-usul seorang anak.

21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran.

22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.41

41

(48)

Semua perkara yang terjadi antara orang-orang Islam menyangkut perkara perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf , sadaqah, dan ekonomi syari‟ah yang telah disebutkan di atas, merupakan kompetensi/wewenang absolut Peradilan Agama yang telah ditetapkan menjadi kompetensinya secara mutlak berdasarkan Undang-Undang.

Kompetensi Pengadilan Agama di luar dari uraian di atas adalah memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam, kecuali dalam hal yang berhubungan dengan perkara yang sedang atau akan diperiksa di pengadilan.42

F. Teori Efektifitas Hukum

1. Pengertian Efektifitas Hukum

Pengertian etimologi kata efektifitas berasal dari kata efektif dalam bahasa Inggris “effective” yang telah mengintervensi kedalam bahasa Indonesia dan memiliki makna “berhasil” dalam bahasa Belanda

“effectief” memiliki makna “berhasil guna” (Salma, 1986:31). Sedangkan efektifitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasil- gunaan hukum, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu sendiri.

Adapun secara terminologi para pakar hukum dan sosiologi hukum memberikan pendekatan tentang makna efektifitas sebuah hukum beragam, bergantung pada sudut pandang yang di ambil. Berbicara

42Nofiardi, Hukum Acara Peradilan Agama, . . . h. 26

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang selalu penulis panjatkan atas nikmat, taufik dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

Untuk jasa Konsultansi Pekerjaan seperti tersebut diatas atas dasar Penetapan Kualifikasi dengan Nomor : 03/PAN-PU/BA-SU.4/PSW/2013, Tanggal 14 Februari 2013 dengan uraian

 Provided direction for day-to-day operations of Company in all areas, including sales, marketing, administration and financial reporting creating a more unified operation. 

Berdasarkan perhitungan ES tersebut maka pembelajaran dengan menggunakan model problem based learning memberikan pengaruh yang sedang terhadap hasil belajar siswa pada

Kadangkala, wasir internal ini dapat menonjol keluar dari anus sehingga anda dapat merasakannya sebagai suatu tonjolan kulit yang basah yang tampak lebih merah

Untuk mencapai target, masing-masing daerah dapat mengakomodir semua potensi daerah dan dapat dilakukan revisi POK. Target akseptor untuk

Berdasarkan masalah yang ada, maka dalam penelitian ini peneliti merumuskan masalah yakni untuk mengetahui “adakah perbandingan kemampuan menyikat gigi sebelum dan

Solusi yang terdapat pada pemberitaan konflik etnis Rohingya dan militer Myanmar di Tirto.id berasal dari narasumber yang dipilih Tirto.id, dan bukan berasal dari redaksi