• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 (lima) bab, guna mempermudah pemahaman akan skripsi ini maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bab I yang terdiri dari pendahuluan, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II yang membahas tentang Tinjauan Umum Tentang Perceraian yang terdiri dari tiga sub bahasan yakni pengertian perceraian dan dasar hukum

perceraian, faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian, upaya-upaya yang dilakukan agar tidak terjadi perceraian.

Bab III yang membahas tentang Tinjauan Umum tentang Mediasi dan Mediator Hakim yang terdiri dari empat sub bahasan yakni tentang pengertian mediasi dan mediator hakim, azas-azas umum yang digunakan dalam mediasi, kelemahan dan kelebihan mediasi, kewenangan dan Tanggung Jawab Mediator Hakim Dalam Proses Mediasi.

Bab IV yang membahas tentang Peran Mediator Hakim Dalam Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama Kota Binjai yang terdiri dari 5 sub bahasan yakni gambaran umum Pengadilan Agama Kota Binjai, proses mediasi yang terjadi secara umum, proses mediasi pada kasus perceraian di Pengadilan Agama Kota Binjai, tingkat keberhasilan mediasi pada kasus perceraian di Pengadilan Kota Binjai, serta kendala kendala yang terjadi dalam proses mediasi pada kasus perceraian di Pengadilan Agama Kota Binjai.

Bab V yang merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan intisari dari penyusunan skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran terkait penulisan skripsi ini.

BAB II

PENYEBAB TERJADINYA PENINGKATAN KASUS PERCERAIAN

A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukum Perceraian

Definisi perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan tidak diberikan definsi yang pasti sebab dalam undang-undang tersebut perceraian dinyatakan sebagai akibat dari putusnya perkawinan 40 . Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perceraian dinyatakan sebagai bercerai antara suami dan istri yang artinya kata bercerai itu sendiri artinya menjatuhkan talak atau memutuskan hubungan sebagai suami isteri. Dalam Pasal 207 KUHPerdata dinyatakan bahwa perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam undang-undang.

Subekti41 menyatakan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan karena keputusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.

Sementara itu, R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Aziz Saefuddin42 menyatakan bahwa perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur di dalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun isteri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan istri. Pernyataan ini ditimpali

40 Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan

41 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXI (Jakarta : PT. Inter Massa, 1987), hal 247

42 R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Aziz Saefuddin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung : Alumni, 1986), hal 109

secara berbeda oleh P.N.H Simanjuntak43 yang menyatakan bahwa perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.

Dalam perspektif hukum islam, perceraian secara harfiah berasal dari kata thalaq yang berarti melepaskan atau meninggalkan. Yang kemudian diperjelas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa talaq adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan44. Definisi ini kemudian dikembangkan dalam dua penjabaran sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa perceraian terbagi atas dua jenis yakni cerai talaq dan cerai gugat45. Lalu diperjelas dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa putusnya perkawinan disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian46. Cerai talaq adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya, sehingga perkawinan mereka menjadi putus. Seorang suami yang hendak menjatuhkan talak kepada istrinya harus mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.47 Sementara itu cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. Dalam cerai gugat ini, gugatan perceraian

43 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, ( Jakarta : Pustaka Djambatan , 2007), hal 53

44 Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam

45 Pasal 66 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

46 Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam

47 Pasal 129 Kompilasi Hukum Islam

diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama.48 Ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam terkait cerai gugat selaras dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. Terkait tata cara mengajukan gugatan perceraian tersebut diatur secara rinci dalam Pasal 20-25 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang memuat tujuan gugatan diajukan hingga pengaturan dapat diterima atau tidaknya gugatan tersebut.

Dengan demikian dapat dianalisa bahwa pengaturan atau dasar hukum tentang perceraian dimuat dalam dua garis besar yakni dalam perspektif peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan juga dalam ketentuan hukum islam yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam.

Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memuat ketentuan imperaktif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Sehubungan dengan pasal ini, Wahyu Ernaningsih dan Putu Sumawati49 menjelaskan bahwa walaupun perceraian adalah urusan pribadi, baik itu atas kehendak satu diantara dua pihak yang seharusnya tidak perlu ikut campur tangan pihak ketiga, tetapi demi menghindari tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami dan juga untuk kepastian hukum, maka perceraian harus melalui saluran lembaga peradilan.

48 Pasal 132 Kompilasi Hukum Islam

49 Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia , ( Palembang:

PT. Rambang Palembang, 2006), hal 110-111

Soemiyati 50 menjelaskan bahwa perceraian walaupun diperbolehkan, tetapi agama islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas-asas hukum islam sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammad dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan dinyatakan shahih oleh Al- Hakim yaitu “yang halal yang paling dibenci oleh Allah ialah perceraian”. Bagi orang yang melakukan perceraian tanpa alasan, Nabi Muhammad bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh al- Nasa‟i dan Ibnu Hibban yaitu, “apakah kamu yang menyebabkan salah seorang kamu mempermainkan hukum Allah, ia mengatakan : Aku sesungguhnya telah mentalak (isteriku) dan sungguh aku telah merujuknya”.Islam telah mensyariatkan agar perkawinan itu dilaksanakan selama-lamanya, diliputi oleh rasa kasih sayang dan saling mencintai sehingga mengharamkan perkawinan yang tujuannya untuk sementara waktu tertentu, hanya sekedar untuk melepaskan hawa nafsu saja.51

Maka dengan demikian dapat diperoleh pemikiran bahwa perceraian walaupun diperbolehkan oleh agama, tetapi pelaksanaannya harus berdasarkan suatu alasan yang kuat dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh suami isteri, apabila cara-cara lain yang telah diusahakan sebelumnya tetap tidak dapat mendamaikan kehidupan rumah tangga suami isteri tersebut.

Penting untuk diketahui, pengaturan perceraian dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diperjelas kembali dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9

50 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, ( Yogyakarta:

Liberty, 1997), hal 105

51 Kamal Mukhtar, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Yogyakarta; Bulan Bintang, 1993), hal 157

Tahun 1975. Ketentuan Pasal 14 sampai Pasal 36 mengatur tentang pelaksanaan perceraian.

Selain pengaturan perceraian dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan peraturan pelaksana lainnya, terdapat juga ketentuan perceraian bagi para pegawai negeri sipil (pns) yang diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 mengatur dengan rinci bahwa perceraian bagi pegawai negeri sipil wajib memperoleh izin atau surat keterangan dari pejabat terkait.

B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kasus Perceraian

Permasalahan didalam rumah tangga sering kali terjadi, dan memang sudah menjadi bagian dalam lika-liku kehidupan didalam rumah tangga, dan dari sini dapat diketahui kasus “perceraian” yang kerap kali menjadi masalah dalam rumah tangga.52 Pada dasarnya faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian sangat unik dan kompleks dan masing-masing keluarga berbeda satu dengan lainnya. Adapun faktor-faktor yang mengakibatkan perceraian dalam rumah tangga yang dapat dikemukakan adalah dikarenakan faktor ekonomi. Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini memaksa kedua pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga seringkali perbedaan

52 Armansyah Matondang, Faktor-faktor Yang Mengakibatkan Perceraian dalam Perkawinan, Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik UMA ,Vol. 2, 2014, hal 143

dalam pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki pekerjaan.53

Selain faktor ekonomi, Naqiyah dalam Armansyah Matondang 54 menjelaskan bahwa penyebab perceraian juga dipicu maraknya pernikahan di bawah umur. Pernikahan di bawah umur membuat mereka belum siap mengatasi pernik-pernik pertikaian yang mereka jumpai. Pernikahan memerlukan kesatuan tekad, kepercayaan dan penerimaan dari setiap pasangan menjalani mahligai perkawinan. Ketidaksiapan pasangan tentu berhubungan dengan tingkat kedewasaan, mengatasi persoalan yang terkait dengan kehidupan, seperti keuangan, hubungan kekeluargaan, pekerjaan setiap pasangan. Cara mereka berpikir, bertindak menentukan cara mereka mengambil keputusan dalam hidup.

Menikah di bawah umur yang disertai pendidikan rendah menyebabkan tidak dewasa.

Faktor selanjutnya adalah faktor kurangnya pendidikan agama. Daradjat55 menyatakan bahwa orang yang melaksanakan ajaran agama dalam hidupnya, moralnya dapat dipertanggungjawabkan, sebaliknya orang yang akhlaknya merosot biasanya keyakinannya terhadap agama kurang atau tidak ada sama sekali. Demikian pula dalam keluarga bila tidak mengamalkan ilmu agama dengan segenap ajarannya, maka keluarga itu akan kehilangan arah dan pegangan dalam membina kehidupan keluarga. Hal senada dikatakan oleh Aziz dalam Armansyah Nasution 56 yang menyatakan bahwa banyak terjadi perceraian dikarenakan kurangnya pengajaran terhadap agama, dikarenakan ajaran agamalah

53 Ibid

54 Ibid

55 Z. Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, ( Jakarta:Bulan Bintang, 1991), hal 30

56 Armansyah Matondang, Op cit

yang dapat dijadikan pedoman dalam menetralkan suatu keluarga. Kemudian, George Levinger dalam Robby Darwis Nasution57 menyatakan bahwa penyebab perceraian disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :

a. Pasangannya sering mengabaikan kewajibannya terhadap rumah tangga dan anak, seperti jarang pulang ke rumah, tidak adanya kedekatan emosional dengan anak dan pasangan;

b. Masalah keuangan yang tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga;

c. Adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan;

d. Pasangan sering membentak dan mengeluarkan katakata kasar dan menyakitkan;

e. Tidak setia lagi, seperti mempunyai kekasih lain;

f. Ketidakcocokan dalam masalah hubungan seksual dengan pasangannya, seperti sering menolak dan tidak bisa memberikan kepuasan;

g. Sering mabuk;

h. Adanya keterlibatan atau campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangannya;

i. Seringnya muncul kecurigaan, kecemburuan serta ketidak-percayaan dari pasangannya;

j. Berkurangnya perasaan cinta sehingga jarang berkomunikasi, kurang perhatian dan kebersamaan di antara pasangan;

k. Adanya tuntutan yang dianggap terlalu berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak sabar, tidak ada toleransi dan dirasakan terlalu menguasai

57 Robby Darwis Nasution, Upaya Pemerintah dalam Upaya Penanggulangan Perceraian di Kabupaten Ponorogo, (Ponorogo :Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Ponorogo, 2019), hal 5

Kemudian Dariyo dalam Robby Darwis58 menyatakan bahwa perceraian merupakan titik puncak dari pengumpulan berbagai permasalahan yang menumpuk beberapa waktu sebelumnya dan jalan terakhir yang harus ditempuh ketika hubungan perkawinan itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Faktor penyebab perceraian adalah Pertama, ketidaksetiaan salah satu pasangan hidup.

Kedua, tekanan kebutuhan ekonomi keluarga, ketiga, tidak mempunyai keturunan, keempat, perbedaan prinsip hidup dan agama. Yang kemudian dilengkapi dengan penjelasan Sulistyowati59 bahwa faktor yang mempengaruhi perceraian adalah kurangnya kesiapan mental, permasalahan ekonomi. kurangnya komunikasi antar pasangan, campur tangan keluarga pasangan; dan, perselingkuhan.

Goode, dan Scanzoni menyatakan bahwa perubahan pada tingkat perceraian merupakan indikasi terjadinya perubahan-perubahan lainnya didalam masyarakat yakni :60

1. Berkaitan dengan perubahan pada nilai dan norma tentang perceraian, masyarakat pada umumnya tidak lagi memandang perceraian sebagai suatu hal yang memalukan dan mentoleransi perceraian sebagai suatu alternatif jalan terbaik bagi pasangan itu

2. Adanya perubahan pada tekanan-tekanan sosial dari lingkungan keluarga atau kerabat, teman-teman dan lingkungan ketetanggaan terhadap ketahanan sebuah perkawinan

58 Ibid

59 Ibid

60 Fachrina dan Rinaldi Eka Putra, Upaya Pencegahan Perceraian Berbasis Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, Jurnal Antroplogi Indonesia, Vol. 34 No.2, 2013, hal 103

3. Menguatnya gejala individualis dan menjadikan persoalan rumah tangga adalah urusan pribadi

4. Peralihan fungsi-fungsi keluarga kepada lembaga lainnya di luar keluarga dan

5. Adanya etos kesamaan derajat dan tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Pendapat-pendapat sebagaimana yang dikemukakan di atas diperjelas dalam sebuah pernyataan bahwa penyebab terjadinya perceraian disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :61

1. Penyebab kemungkinan terjadinya perceraian di tengah masyarakat yang pertama adalah status sosial ekonomi. Pasangan yang memiliki income atau pendapatan yang rendah adalah golongan yang lebih gampang bercerai.

2. Penyebab kedua kemungkinan terjadinya perceraian adalah usia saat menikah. Usia saat menikah adalah prediksi yang sangat kuat kemungkinannya untuk bercerai. Berdasarkan berbagai penelitian didapati fakta bahwa pasangan yang menikah di usia 20 atau pada usia yang lebih muda memiliki kemungkinan perceraian lebih tinggi terutama selama 5 tahun pertama usia pernikahan.

3. Penyebab kemungkinan selanjutnya tentang perceraian adalah tidak dipunyainya keturunan/anak. Tidak dipunyainya keturunan/anak merupakan alasan terjadinya perceraian.

61http://etheses.uin-malang.ac.id/276/6/12780011%20Bab%202.pdf, diakses pada tanggal 04-01-2020, pukul 13.18

4. Penyebab kemungkinan terjadinya perceraian karena perceraian saat ini sudah menjadi hal yang sudah sangat dimaklumi dan gampang diterima oleh masyarakat. Berbeda dengan beberapa dasawarsa lalu, bahwa perceraian merupakan hal yang sangat tabu, dan layak untuk dihindari, tetapi kini zaman telah berubah. Fakta seperti yang disebutkan di atas mendorong banyak orang menggampangkan menyelesaiakan suatu pertengkaran dengan perceraian.

5. Penyebab kemungkinan terjadinya perceraian adalah permasalahan perbedaan keyakinan antara suami dan istri yang memang pada dasarnya rentan dengan hal perceraian.

Selain beberapa pendapat yang telah diuraikan sebelumnya dalam beberapa peraturan perundang-undangan, telah dirumuskan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian, salah satunya terdapat dalam Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksana atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa penyebab terjadinya perceraian disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemandat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disebuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga

Ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Presiden tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwasanya perceraian dapat terjadi karena alasan sebaga berikut:62

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

e. salah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

g. Suami melanggar taklik talak;

62 Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam

h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.63 Jadi perceraian dalam Kompilasi Hukum merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan sama seperti yang diuraikan pada Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan.

Dari dua ketentuan tersebut yakni antara Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 1975 dengan Kompilasi Hukum Islam, terdapat banyak kesamaan, hanya saja yang membedakannya adalah dua point tambahan dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa perceraian dapat terjadi dikarenakan suami melanggar taklik talak dan peralihan agama.

Sebagai tambahan, sesuai perkara perceraian yang ditangani oleh Pengadilan Agama Binjai pada tahun 2019 diperoleh rincian penyebab perkara perceraian yakni dikarenakan poligami tidak sehat, krisis moral, mabuk, kawin paksa, ekonomi, tidak ada tanggung jawab, kawin dibawah umur, menyakiti jasmani, menyakiti mental, dihukum, cacat biologis, poligami, gangguan pihak ketiga, gangguan pihak ketiga, tidak ada keharmonisan, dan lain-lain.

C. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Agar Tidak Terjadi Perceraian

Setiap perceraian pasti akan menimbulkan akibat negatif bagi setiap orang yang berkaitan dengan pasangan suami istri yang bercerai tersebut, baik dari pihak

63 Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam

istri,suami, maupun bagi keluarga kedua belah pihak, terlebih lagi percerian tersebut akan berpengaruh si buah hati, baik perceraian tersebut dilakukan di luar Pengadilan maupun di dalam pengadilan64. Bagi seorang anak suatu perpisahan (perceraian) kedua orang tuanya merupakan hal yang dapat mengganggu kondisi kejiwaan, yang tadinya si anak berada dalam lingkungan keluarga yang harmonis, penuh kasih sayang dari kedua orang tuanya, hidup bersama dengan memiliki figur seorang ayah, dengan figur seorang ibu, tiba-tiba berada dalam lingkungan keluarga yang penuh masalah yang pada akhirnya harus tinggal hanya dengan salah satu figur, ibu ataupun ayah. Perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan akan berpengaruh pada kondisi kejiwaan anak, karena sering terjadi si ayah tidak memberi nafkah secara teratur dan jumlah yang tetap. Perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga tidak dapat memaksa si ayah ataupun ibu memberi nafkahnya secara teratur baik dari waktu memberi nafkah maupun dari jumlah materi atau nafkah yang diberikan.

Jika perceraian dilakukan di pengadilan agama hal tersebut akan ditetapkan oleh Pengadilan, sesuai dengan Pasal 156 poin f Kompilasi Hukum Islam.65

Walaupun tidak ada sanksi pidana secara langsung, akan tetapi banyak sekali dampak negatif yang masyarakat akan merasakan. Status perceraian mereka yang tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak diputuskan di depan sidang pengadilan, yang menyebabkan tidah dapat menikah kembali di Kantor Urusan Agama karena tidak memiliki Akta Cerai. Dampak negatif dari perceraian di luar pengadilan tidak hanya berdampak terhadap suami istri saja tetapi terhadap anak pun mempunyai dampak negatif. Si anak tidak mendapatkan nafkah secara teratur

64 Samudera Keadilan, Dampak Yuridis Perceraian di Luar Pengadilan, Vol. 10 No.2, Juli-Desember 2015, hal 225

65 Ibid

karena tidak ada suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum sehingga tidak dapat memaksa pihak ayah untuk memberikan nafkah nya secara teratur baik dari waktu pemberiannya maupun jumlah materi yang diberikan66. Dikarenakan banyaknya dampak buruk dari perceraian, maka sudah seharusnya ada upaya yang dilakukan agar perceraian dapat dicegah atau diminimalisir. Undang-undang Perkawinan yang cenderung mempersulit perceraian merupakan salah satu upaya terjadinya perceraian di tengah masyarakat yang ditunjukkan dengan meningkatnya tingkat perceraian setiap tahunnya.67

Di Indonesia terdapat lembaga formal yang menangani berbagai persoalan perkawinan dan perceraian yaitu Badan Penasehat Perselisihan Perceraian &

Perkawinan (BP4) yang berubah menjadi Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan yang dibentuk dalam rangka menunjang tugas-tugas Kementerian Agama, yakni mitra kerja Kementerian Agama dalam membina, mengupayakan, dan mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan wa rahmah. Disamping membina, menasehati para calon pasangan pengantin selama ini, BP-4 juga berusaha menekan tingkat perceraian dengan terlebih dahulu memediasikan pasangan yang mengajukan perceraian sebelum putusan perceraian dilakukan, dengan harapan setelah itu perceraian tidak terjadi, dan terdapat juga program Gerakan Keluarga Sakinah (GKS) dibawah Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam . Dalam kinerjanya, BP-4 mempunyai tujuan untuk mempertinggi mutu perkawinan guna mewujudkan keluarga sakinah menurut

66 Ibid

67Jurnal Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sosial, Ekonomi, dan Humaniora, Vol.7, No.2, Tahun 2017, hal 278

ajaran islam untuk mencapai masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju,

ajaran islam untuk mencapai masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju,

Dokumen terkait