• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN MEDIATOR HAKIM DALAM KASUS PERCERAIAN (STUDI: PENGADILAN AGAMA KOTA BINJAI) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERAN MEDIATOR HAKIM DALAM KASUS PERCERAIAN (STUDI: PENGADILAN AGAMA KOTA BINJAI) SKRIPSI"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

LUTHFI MUQTADIR 150200477

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

NAMA : LUTHFI MUQTADIR

NIM : 150200477

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

JUDUL SKRIPSI : PERAN MEDIATOR HAKIM DALAM KASUS PERCERAIAN (STUDI DI PENGADILAN AGAMA KOTA BINJAI)

Dengan ini menyatakan:

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau kaarya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa adanya paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Mei 2020

LUTHFI MUQTADIR NIM: 150200477

(4)

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran Mediator Hakim dalam Kasus Perceraian (Studi Di Pengadilan Agama Kota Binjai)”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini membahas mengenai peran serta mediator hakim dalam kasus perceraian dengan memfokuskan kajian pada Pengadilan Agama Kota Binjai.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam hal penulisan dan jauh dari kata sempurna, sehingga kritik dan saran sangat di harapkan demi kebaikan di kemudian hari.

Penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah memberikan doa, semangat serta bantuan dalam bentuk apapun sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini:

1. Prof. Budiman Ginting, SH.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. OK Saidin, SH.,M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(5)

4. Bapak Dr. Jelly Leviza., SH.,M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya dan mengajarkan banyak hal kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;

6. Bapak Syamsul Rizal, SH.,M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan selaku Dosen Pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan;

7. Seluruh Dosen dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selama ini telah banyak membimbing dan membantu penulis;

8. Hakim di Pengadilan Agama Kota Binjai tempat penelitian penulis;

9. Teman-teman Mahasiswa Fakultas Hukum stambuk 2015;

10. Teman yang sudah membantu saya dalam hal apapun Liza;

11. Serta semua pihak yang telah membantu dan memberikan semangat dalam hal apapun yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Khususnya penulis sangat berterimakasih kepada keluarga yang penulis sayangi yang sangat banyak berjasa dalam hidup penulis yaitu Papa Drs.H.

(6)

Penulis berharap skripsi ini berguna dan bermanfaat bagi pembaca serta memberikan tambahan ilmu pengetahuan khususnya mengenai peran serta mediator hakim dalam kasus perceraian.

Medan, 20 Mei 2020

Penulis,

Luthfi Muqtadir 150200477

(7)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Metode Penelitian ... 9

E. Tinjauan Pustaka ... 13

F. Keaslian Penulisan ... 33

G. Sistematika Penulisan ... 34

BAB II :

PENYEBAB TERJADINYA PENINGKATAN KASUS PERCERAIAN

A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukum Perceraian ... 36

B. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kasus Perceraian ... 40

C. Upaya-upaya yang dilakukan agar tidak terjadi perceraian ... 48

BAB III : PERAN MEDIATOR HAKIM DALAM KASUS PERCERAIAN A. Pengaturan Wewenang dan Tanggung Jawab Mediator Hakim .. 54

(8)

BAB IV : TINGKAT KEBERHASILAN MEDIATOR HAKIM DALAM MENYELESAIKAN KASUS PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA KOTA BINJAI

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Kota Binjai ... 72 B. Proses Mediasi di PA Kota Binjai Secara Umum ... 75 C. Proses Mediasi Pada Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama Kota

Binjai ... 79 D. Tingkat Keberhasilan Mediasi Pada Kasus Perceraian Di Pengadilan

Kota Binjai ... 81 E. Kendala Kendala Yang Terjadi Dalam Proses Mediasi Pada Kasus

Perceraian Di Pengadilan Agama Kota Binjai serta Solusinya . .. 84 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 91 DAFTAR PUSTAKA ... 92

LAMPIRAN

(9)

Maria Kaban

Dewasa ini terjadi tren terjadinyakasus perceraian antara pasangan suami isteri mengalami peningkatan.Hal tersebut tentu menimbulkan dampak yang buruk tidak hanya bagi keluarga tapi juga bagi anak-anak yang sangat rentan posisinya apabila perceraian terjadi sehingga hal tersebut sangat ditentang terjadi sebab lebih banyak mudharat daripada kebaikannya. Sebagai perbandingan, di Pengadilan Agama Kota Binjai, kasus perceraian yang terdaftar sejak tahun 2017 sampai dengan tahun 2018 mencapai ratusan kasus per tahunnya, ini menandakan bahwa perlu adanya suatu tindakan khusus dalam pencegahan dan penanganan perkara perceraian. Salah satu cara yang dapat dilakukan sebenarnya adalah dengan mengoptimalkan peran mediator hakim dalam melakukan mediasi terhadap kasus perceraian. Seorang mediator hakim sangat diperlukan perannya untuk meminimalisir terjadinya perceraian. Oleh karena itu mediator hakim harus memiliki kemampuan- kemampuan khusus dalam memediasi kasus perceraian. Hal yang menarik untuk dikaji adalah melihat peran mediator hakim dalam mediasi kasus percercaian yang terjadi di Pengadilan Agama, sekaligus mencermati tingkat keberhasilan mediasi yang dilakukan oleh mediator hakim

Metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini yaitu metode penelitian yuridis normatif yang ditujukan untuk mengkaji hukum tertulis yang berkaitan dengan peran mediator hakim dalam menangani kasus perceraian disertai dengan wawancara terhadap narasumber yang ada di Pengadilan Agama Binjai guna memperoleh informasi mengenai peran mediator hakim dalam penanganan perkara perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Binjai serta kuantitas keberhasilan mediasi yang dilakukan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa terjadinya peningkatan kasus perceraian disebabkan oleh banyak hal mulai dari permasalahan ekonomi, salah satu pasangan tidak setia, kekerasan dalam rumah tangga, tidak ada lagi keharmonisan lagi dalam keluarga, salah satu pasangan terkena hukuman pidana, kurangnya kesiapan mental, tidak memiliki keturunan (produktivitas). Dengan terjadinya peningkatan kasus percercaian, maka diperlukan langkah konkrit untuk mencegahnya, salah satunya yakni dengan melakukan mediasi terhadap kasus perceraian yang dilakukan oleh mediator hakim.

Dalam melakukan mediasi, mediator hakim harus memiliki keterampilan-keterampilan tertentu yakni keterampilan mendengarkan, keterampilan membangun rasa memiliki bersama, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan meredam ketegangan, keterampilan merumuskan kesepakatan. Di Pengadilan Agama Binjai, tingkat keberhasilan mediasi yang dilakukan untuk perkara perceraian masih rendah dikarenakan keterbatasan jumlah hakim mediator disertai kondisi bahwa hakim mediator yang memiliki sertifikat keterampilan sebagai mediator juga terbatas jumlahnya hal itu sangat berpengaruh terhadap proses dan tingkat keberhasilan mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama Binjai.

Mahasiswa Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

 Dosen Pembimbing 1, Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara



(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak zaman penciptaan, manusia sudah diberi mandat oleh Yang Maha Kuasa untuk melanjutkan keturunan dan memenuhi isi bumi. Hal ini ditandai dengan diciptakannya manusia berpasang-pasangan pria dan wanita dengan nafsu biologis masing masing yang menimbulkan ketertarikan antara satu sama lain. Hal ini mendorong manusia untuk kemudian menjalin hubungan yang ditandai dengan adanya ikatan tertentu untuk dapat melanjutkan keturunan. Ikatan yang dimaksud disini dinamakan dengan ikatan perkawinan.

Ikatan perkawinan merupakan pertemuan dua insan yang berbeda sifat dan karakter yang tentu saja dapat menimbulkan adanya gesekan atau perbedaan- perbedaan kepentingan yang dapat berujung pada terciptanya konflik antar pasangan tersebut. Konflik yang terjadi tersebut apabila tidak ditangani bisa menimbulkan ketidakcocokan antar pasangan yang mengarah pada terjadinya perceraian antar pasangan yang melakukan ikatan perkawinan tersebut. Perceraian sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan salah satu penyebab putusnya ikatan perkawinan.1 Menurut Undang-Undang Perkawinan, ada beberapa hal yang dapat menyebabkan putusanya hubungan perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena :

1 Pasal 38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(11)

a. Kematian

Putusnya hubungan perkawinan karena kematian dari salah satu pihak ini tidak banyak menimbulkan persoalan. Sebab putusnya hubungan perkawinan tersebut bukan atas kehendak bersama ataupun kehendak dari salah satu pihak, akan tetapi karena kehendak dari Tuhan

b. Perceraian 1. Cerai talak

Talak adalah salah satu bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami kepada isterinya di depan sidang pengadilan, yang dikenal umum dan banyak terjadi di Indonesia. Dalam hal ini seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.2 Yang dimaksud dengan talak itu sendiri menurut Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Lebih rinci dalam Pasal 129 KHI dinyatakan bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

2 Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(12)

2. Cerai Gugat

Yaitu perceraian yang diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya.

Berdasarkan penjelasan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Penjelsana Undang-Undang Nomor 1 Tahunn1974 tentang Perkawinan, gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam dan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama islam.

c. Atas Keputusan Pengadilan

Dalam Pasal 39 ayat (1) telah dinyatakan bahwa peceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selain itu dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.

Perceraian dapat menimbulkan dampak buruk bagi siapa saja yang terlibat, terutama bagi pasangan yang sudah memiliki anak atau sudah berkeluarga.

Dampak buruk tersebut tidak hanya bagi pasangan yang melakukan perceraian akan tetapi juga terhadap keluarga besar pasangan dan juga anak-anak bagi para pasangan tersebut. Dampak buruk daripada perceraian dapat dijelaskan dalam uraian sebagai berikut:

a. Anak menjadi korban dan mengarah pada penyimpangan sosial.

Rusaknya tatanan akan menjadikan anak mudah terjatuh dalam

(13)

penyalahgunaan penggunaan obat-obatan terlarang dan dapat melakukan penyimpangan moral.3

b. Timbulnya perselisihan atau permusuhan

Bila hubungan rumah tangga terputus akibat permusuhan, hal ini umumnya akan sangat merenggangkan silaturahmi di kemudian hari.

Tidak hanya diawali dengan permusuhan, pasangan yang awalnya ingin berpisah secara baik-baik pun bisa menjadi saling tidak suka akibat perceraian. Contohnya, masalah yang cukup sulit untuk diselesaikan saat bercerai adalah urusan harta atau hak asuh anak.

Dalam hal ini, tak jarang pasangan suami istri yang awalnya berniat cerai baik-baik, kemudian menjadi saling bermusuhan.4

c. Pengalaman Traumatis Pada Salah Satu Pasangan dan Anak-Anak Perceraian

Suami istri terkadang menimbulkan trauma bagi pasangan itu sendiri.

Kegagalan rumah tangga menjadi kenangan buruk dan kadang menghambat seseorang untuk kembali menikah dengan orang lain.

Trauma perceraian tidak hanya menghinggapi perasaan suami istri yang baru saja berpisah, tapi juga berimbas pada anak. Trauma yang terjadi pada anak bisa berupa timbulnya ketakutan untuk menikah atau takut menerima orang tua tiri yang baru. 5

3 Banu Garawiyan, Memahami Gejala Emosi Anak, ( Bogor : Cahaya, 2003), hal.8

4 Nur Albantany, Plus Minus Perceraian Wanita dalam Kaca Mata Islam Menurut Al- Quran dan As- Sunah ( Tangerang Selatan : Sealova Media, 2014), hal 75

5 Ibid, hal.117

(14)

Berdasarkan atas dampak buruk dari perceraian sebagaimana yang dijelaskan di atas maka dengan itu jika ada perkara gugatan cerai, para pihak selalu dianjurkan untuk berunding terlebih dahulu agar dapat berdamai dan mengurungkan niatnya untuk bercerai. Dalam Undang-Undang Perkawinan, dinyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.6 Dengan demikian apabila mengacu rumusan pasal tersebut serta mengacu pada dampak buruk dari perceraian, maka kepada para pihak yang ingin bercerai dianjurkan untuk mengupayakan terjadinya perdamaian. Upaya perdamaian bagi para pihak yang ingin bercerai dapat ditempuh dengan upaya mediasi.

Dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi dinyatakan bahwa semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzeti) maupun pihak ketiga (darden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap wajib terlebih dahulu diuapayakan penyelesaian melalui mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamaha Agung ini. Mediasi sebagaimana dimaksud dalam Perma tentang mediasi yakni cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.7

6 Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

7 Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi.

(15)

Priyatna Aabdurrasyid menyatakan bahwa mediasi merupakan suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yang mengatur pertemuan antara dua pihak atau lebih yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa biaya besar tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa.8 Jadi, mediasi dalam perkara perceraian merupakan penyelesaian sengketa perceraian melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator sebagaimana dimaksud dalam pengertian mediasi yang telah diuraikan sebelumnya apabila merujuk pada Perma Nomor 1 Tahun 2016 adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki sertifkat mediator sebagai pihak netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakaan sebuah penyelesaian.9 Mediator sebagai pihak yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa merupakan salah satu faktor penting guna mencapai apakah mediasi dapat berhasil dan berujung pada kesepakatan perdamaian. Dengan demikian merupakan suatu hal yang sangat urgen untuk mengetahui sejauh mana peran mediator dalam membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa terutama dalam kasus perceraian.

Berdasarkan atas uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai peran serta mediator hakim dalam kasus perceraian dengan

8Prasyid, Mediasi dalam Pengertian Umum, ,https://id.wikipedia.org/wiki/Mediasi, diakses pada tanggal 25/12/2019, pukul 17.22 WIB

9 Pasal 1 angka 2 Perma Nomor 1 Tahun 2016

(16)

memfokuskan kajian pada Pengadilan Agama Kota Binjai. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk mengetahui urgensi mediator hakim dalam melakukan mediasi pada kasus kasus perceraian khususnya di Pengadilan Agama Kota Binjai. Hal ini tampak dengan semakin seringnnya para pihak yang berperkara terkait kasus perceraian berupaya untuk berdamai dengan perantaraan hakim mediator, sebagi perbandingan adalah ketika hakim mediator di Pengadilan Agama Ranto10 berhasil mendamaikan para pihak yang ingin bercerai dengan mediasi melalui perantaraan hakim mediator. Selain itu di Pengadilan Agama Penyabungan11 juga hal demikian terjadi dimana peran hakim mediator dalam mediasi berhasil mendamaikan para pihak yang ingin bercerai. Jadi perlu juga untuk melihat peran mediator hakim di Pengadilan Agama Binjai dalam mendamaikan para pihak yang ingin bercerai.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka didapat beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa yang menyebabkan terjadinya peningkatan kasus perceraian ? 2. Bagaimana peran mediator hakim dalam penanganan kasus perceraian?

3. Bagaimana tingkat keberhasilan mediator hakim dalam menyelesaikan kasus perceraian di Pengadilan Agama Kota Binjai?

10 https://pa-rantau.go.id/seputar-peradilan/386-hakim-mediator-pa-rantau-berhasil- melakukan-mediasi-perkara-cerai-talak, diakes pada tanggal 29 Januari 2020, Pukul 22.00 WIB

11 https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-peradilan-agama/berita-daerah/hakim- mediator-pa-panyabungan-berhasil-mediasi-perkara-perceraian-6-11, diakses pada tanggal 29 Januari 2020, pada Pukul 22.10 WIB

(17)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan kasus perceraian di Kota Binjai

2. Untuk mengetahui peran mediator hakim dalam penanganan kasus perceraian

3. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan maupun kegagalan mediator hakim dalam menyelesaikan kasus perceraian di PA Kota Binjai

Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis

Penulisan skripsi tentang peran mediator hakim dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama Kota Binjai diharapkan dapat menjadi bahan bahan bacaaan yang menambah wawasan mengenai peran mediator hakim dalam membantu menyelesaikan suatu perkara terutama dalam kasus perceraian dan tata cara penanganan perkara yang dilakukan secara mediasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penulisan skripsi ini yakni agar para praktisi hukum terutama para mahasiswa hukum mengetahui tata cara penyelesaian sengketa perceraian yang diupayakan melalui upaya mediasi dengan mengetahui pihak-pihak yang terlibat di dalam

(18)

penyelesaian sengketa tersebut terkhusus peran dari mediator hakim dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi.

D. Metode Penelitian

Nasir menjelaskan bahwa metode penelitian ialah cara utama yang dipergunakan peneliti untuk mencapai tujuan dan menentukan jawaban atas masalah yang diajukan. Penelitian juga merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.12 Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui Peran Mediator Hakim Dalam Kasus Perceraian (Studi Di Pengadilan Agama Kota Binjai).

1. Spesifikasi Penelitian

Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif (penelitian hukum doktriner) yang disertai dengan wawancara terhadap narasumber yang relevan dengan penulisan skripsi. Metode penelitian normatif dalam penulisan skripsi ini ditujukan untuk mengkaji hukum tertulis yang berkaitan dengan peran mediator hakim dalam menangani kasus perceraian disertai dengan regulasi yang mengaturnya. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan mengenai peraturan perundang-undangan tentang mediasi, dan juga peran mediator dalam mediasi. Metode penelitian yang bersifat

12 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Sutu Tinjauan Singkat ,( Jakarta :Raja Grafindo, 2001), hal 1

(19)

yuridis empiris dilakukan dengan studi lapangan untuk mengetahui peran mediator hakim dalam menyelesaikan perkara perceraian di Pengadilan Agama Kota Binjai melalui mediasi disertai dengan proses mediasi yang dilakukan.

Sifat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian bersifat deskiptif yaitu penelitian yang menggambarkan secara jelas, rinci, dan sistematis mengenai obyek yang akan diteliti.13 Penelitian deskriptif ini dilakukan untuk melihat secara jelas, rinci, sistematis mengenai peran mediator hakim dalam kasus perceraian.

2. Data Penelitian

Materi dalam skripsi ini diambil dari data primer dan data sekunder sebagaimana yang dimaksud di bawah ini :

a. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian di lapangan. Dalam penulisan skripsi ini, data primer diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dengan mediator hakim Pengadilan Agama Kota Binjai Ibu Helmilawati, S.HI.,M.A mengenai tata cara/proses mediasi yang dilakukan oleh mediator hakim di Pengadilan Agama Binjai.

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang pembahasannya terkait dengan penanaman modal atau investasi serta insentif terhadap penanaman modal atau investasi. Data sekunder diperoleh dari bahan-bahan hukum sebagai berikut :

13 Muhamad Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2004), hal 155

(20)

(1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penulisan skripsi ini terdiri dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perceraian dan mediasi yakni dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi.

(2) Bahan hukum sekunder

Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen yang dapat menjadi sumber informasi mengenai tata cara mediasi yang dilakukan oleh mediator hakim, penyelesaian kasus perceraian melalui upaya mediasi seperti hasil seminar atau makalah dari pakar hukum. Koran, majalah, kasus-kasus yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini, dan juga sumber-sumber lain yakni internet yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas.

(3) Bahan hukum tertier

Bahan hukum tertier mencakup kamus bahasa untuk pembenahan tata bahasa Indonesia dan juga sebagai alat bantu pengalih bahasa beberapa istilah asing.

(21)

3. Teknik Pengumpulan Data dan Pengolahan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :

a. Studi pustaka yang dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder, dengan cara membaca dan mempelajari instrumen hukum serta literatur yang relevan dan berkaitan dengan upaya mediasi yang dilakukan oleh mediator hakim dalam kasus perceraian untuk kemudian dijadikan data yang sesuai dengan pokok bahasan skripsi ini.

b. Studi lapangan yakni dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan data secara langsung ke lapangan dengan menggunakan teknik pengamatan langsung mengenai tata cara serta proses mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama Binjai..

4. Analisis Data

Adapun data-data yang diperoleh dalam penelitian yang terkait dalam penulisan skripsi ini diolah dengan menggunakan metode analisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang tersusun secara teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif. Sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisa.14 Data dalam penelitian ini akan diuraikan ke dalam kalimat-kalimat yang tersusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan secara induktif sebagai jawaban singkat dari permasalahan yang diteliti.

14 Muhamad Abdulkadir, Op cit, hal 127

(22)

E. Tinjauan Pustaka

1. Mediasi dan Dasar Hukumnya

Pada dasarnya munculnya mediasi secara resmi dilatarbelakangi adanya realitas sosial di mana pengadilan sebagai satu satu lembaga penyelesaian perkara dipandang belum mampu menyelesaikan perkaranya sesuai dengan harapan masyarakat. Kritik terhadap lembaga peradilan disebabkan karena banyak faktor, antara lain penyelesaian jalur litigasi pada umumnya lambat (waste of time), pemeriksaan sangat formal (formalistic), sangat teknis (technically) dan perkara yang masuk pengadilan sudah overloade (penuh)15

Penyelesaian damai terhadap sengketa atau konflik melalui mediasi merupakan suatu hal yang diharapkan. Cara ini dipandang lebih baik dari pada penyelesaian dengan cara kekerasan atau bertanding (contentious) karena hal seperti itu tidak memberikan nilai positif bagi mereka bahkan memberikan dampak buruk, maka dicarilah jalan keluarnya melalui jalan damai terhadap sengketa ataupun konflik yang ada16.

Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang dapat digunakan oleh para pihak pengadilan. Lembaga ini memberikan kesempatan kepada para pihak kepada untuk berperan guna menyelesaikan sengketa tersebut dengan dibantu pihak ketiga sebagai mediator. Prinsip dari mediasi ini adalah sama-sama menang (win-win solution) sehingga para pihak yang bersengketa tidak merasa ada pihak yang menang ataupun kalah. Penerapan Konsep Mediasi akan membawa hasil yang maksimal apabila semua pihak mempunyai komitmen yang

15 Rina Antasari, Pelaksanaan Mediasi dalam Sistem Peradilan Agama (Kajian Implementasi Mediasi dalam Penyelesaian Perkara di Pengadilan Agama Kelas I A Palembang), Intizar, Vol. 19, No. 1, 2013, hal 149

16 Ibid

(23)

sama, niat baik dan saling memahami konsep-konsep yang ditawarkan oleh semua pihak, termasuk mengutamakan pikiran positif yang ditawarkan oleh mediator.17 Kesamaan prinsip ini perlu dibangun sejak awal agar semua pihak tidak terjebak dalam rasa egoistis dan merasa paling benar. Semua pihak harus memiliki tekad untuk sepakat mengakhiri perselisihan dan mencari solusi jitu yang saling menguntungkan, agar semua pihak terikat dan dapat dilaksanakan materi perdamaian. Adapun materi perdamaian dituangkan dalam bentuk surat atau berita acara dan memiliki dasar hukum yang kuat.

Garry Goodpaster dalam Muhammad Saifullah 18 menyatakan bahwa mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.

Mediasi dapat dipandang sebagai suatu proses pengambilan keputusan dengan bantukan pihak tertentu. John Wade mengutip pandangan Folberg dan A.

Taylor: “A comprehensive guide to resolving conflict without litigation,” dan menurut Laurence Bolle:”Mediation is a decision making process in which the parties are assisted by a third party, the mediator, the mediator attempt to improve the process of decision making and to assist the parties reach an outcome to which of them can asse”.19

17 Ibid, hal 150

18 Muhamaad Saifullah, Mediasi dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia ( Semarang: Walisongo Press, 2009), hal 20

19 Dedi Sumanto dan Syamsinah, Mediasi dan Hakam dalam Hukum Acara Peradilan Agama, Jurnal Al Mizan, Vol. 11 No. 1, Juni 2015, hal 154

(24)

Said Faisal20 juga mengutip pendapat Moor C. W. bahwa pada dasarnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif dan dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktifitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar menawar, bila tidak ada negosiasi… tidak ada mediasi. Seorang mediator pada dasarnya memiliki kecenderungan menggunakan interest based negotiation yang pada akhirnya kepentingan semua pihak dapat terwakili. Mediasi dan negosiasi bukanlah dua proses yang terpisah namun lebih mengarah kepada negosiasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Meskipun secara substansial negosiasi berbeda dengan mediasi, namun sering kali dikatakan ”bila tidak ada negosiasi tidak ada mediasi.” Oleh karena negosiasi merupakan nilai penting dalam mediasi, maka tawaran pihak pertama dan harga konsesi akan sangat menentukan pada hasil akhir negosiasi (mediasi).

Secara etimologi, mediasi berasal dari bahasa latin mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa di antara pihakpihak yang bersengketa. Berada di tengah juga bermakna sebagai mediator, karena ia harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan

20 Said Faisal dalam Dedi Sumanto dan Syamsinah, Ibid

(25)

pihak yang bersengketa 21 . Menurut Syahrizal Abbas, definisi tersebut mengandung tiga unsur penting yakni :22

1. Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau lebih;

2. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa.

3. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apapun dalam pengambilan keputusan

Secara terminologi mediasi adalah salah satu bentuk negosiasi antara dua individu atau kelompok dengan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu tercapainya penyelesaian secara kompromistik atau salah satu cara menyelesaikan masalah di luar pengadilan. Menurut Priyatna Abdurrasyid, mediasi adalah suatu proses damai di mana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seorang yang mengatur pertemuan antara dua pihak atau lebih yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa biaya besar, tetapi tetap efektif, dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa. 23

Mediasi berbeda dengan litigasi yang ingin memperoleh hasil akhir sesuai dengan hukum yang berlaku, berbeda pula dengan konseling karena landasan mediasi tidak berpijak pada faktor psikologis dan perilaku. Demikian pula mediasi

21 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syari‟ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional (Jakarta: Fajar Interpratama offset, 2009), hal 2

22 Ibid , hal 3

23 Adiyono, Mediasi sebagai Upaya Hakim Menekan Perceraian di Pengadilan Agama, Jurnal Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel , Vol. 8 No. 1, Juni 2013, hal 129

(26)

berbeda dengan arbitrase, di mana posisi arbitrer ditunjuk untuk memberikan keputusan akhir24

Asumsinya bahwa pihak ketiga akan mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan memberikan pengetahuan dan informasi, atau dengan menggunakan proses negosiasi yang lebih efektif. Dan dengan demikian membantu para peserta untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan25

Dasar hukum tentang mediasi sudah cukup jelas dimuat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 dengan definisi yang telah dimuat sebelumnya. Mediasi merupakan salah satu upaya penyelesaian sengketa dimana para pihak yang berselisih atau bersengketa bersepakat untuk menghadirkan pihak ketiga yang independen guna bertindak sebagai mediator (penengah). Mediasi sebagai salah satu proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dewasa ini digunakan oleh pengadilan sebagai proses penyelesaian sengketa. Penggunaan mediasi sebagai bagian dari proses awal penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan merupakan suatu langkah untuk menafsirkan secara praktis perwujudan ketentuan kewajiban hakim dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa, sebagaimana ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg.26

Di samping adanya tuntutan dan kewajiban untuk mendamaikan para pihak bagi hakim pada saat proses penyelesaian perkara di hadapan majelis yang

24 Syahrizal Abbas, Op Cit, hal 155

25 Adiyono, Op Cit

26 https://bldk.mahkamahagung.go.id/component/k2/item/5-efektivitas-pelaksanaan- mediasi-di-pengadilan-negeri.html, diakses pada tanggal 29 Mei 2020, Pukul 16.22 WIB

(27)

dipraktekkan melalui proses mediasi. Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari pula atas beberapa alasan praktis sebagai berikut:27

Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula.

Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara.

Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika perkara diputus, pihak yang kalah sering kali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat

27 Ibid

(28)

memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama para pihak.

Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan RBg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan hasil akhir.

Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih

(29)

menonjol adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang Mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan. PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian.

Pemberlakuan Mediasi dalam sistem peradilan di Indonesia didasarkan pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 sebagaimana yang telah diubah dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2016. Indonesia dapat dikatakan terlambat dalam membangun sistem mediasi. Singapura dengan Singapore Mediation Center telah lahir sejak tahun 1996. Mahkamah Agung sebelum mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008, terlebih dahulu harus melakukan studi khusus kepada negara-negara yang telah lebih dahulu mempunyai sistem mediasi, seperti Australia, Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa. 28

Terdapat dua bentuk mediasi, bila ditinjau dari waktu pelaksanaannya.

Pertama yang dilakukan di luar sistem peradilan dan yang dilakukan dalam sistem peradilan. Sistem Hukum Indonesia (dalam hal ini Mahkamah Agung) lebih memilih bagian yang kedua yaitu mediasi dalam sistem peradilan atau court annexed mediation atau lebih dikenal court annexed dispute resolution. Hal ini dapat dilihat pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 jo PERMA Nomor 1 Tahun 2016 yang menetapkan mediasi sebagai bagian dari hukum acara dalam perkara perdata, sehingga suatu putusan akan menjadi batal demi hukum manakala tidak

28 Syahrizal Abbas, Op Cit, hal 155

(30)

melalui proses mediasi. Meskipun tidak dapat dibandingkan dengan undang- undang, PERMA ini dipandang sebagai kemajuan dari UU. No. 30 Tahun 1999 yang masih menganggap mediasi sebagai penyelesaian sengketa di luar pengadilan Pemberlakuan proses mediasi meliputi seluruh perkara perdata yang terdapat pada lingkungan peradilan umum dan peradilan agama. Pengecualian terhadap perkara perdata hanya berlaku terhadap perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Mediasi dilakukan sebagai tahap awal proses persidangan (setelah sidang pertama), di mana Hakim mediator/mediator akan memproses sebuah perkara setelah sebelumnya diberitahu oleh Ketua Majelis. Pemeriksaan perkara selanjutnya berada pada tangan mediator, baik proses pemanggilan maupun persidangannya. Hasil dari proses mediasi hanya ada dua kemungkinan yaitu berhasil (kemudian dibuatkan akta perdamaian) dan tidak berhasil. Dalam keadaan terakhir, seluruh proses mediasi maupun materinya tidak dapat dipertimbangkan dalam persidangan perkara berikutnya.29

Selain diatur dalam Peraturan Mahakamah Agung Nomor 1 Tahun 2016, mediasi juga diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut ini, yakni:

a. Reglement Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesteb Buiten Java En Madura, Staatsblad 1927:227);

29 Ibid

(31)

b. Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herzeine Inlandssch Reglement, Staatsblad, 1941: 44);

c. HIR Pasal 130 dan Rbg Pasal 154 telah mengatur lembaga perdamaian.

Hakim wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya diperiksa;

d. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4958);

e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

f. Mediasi atau APS di luar pengadilan diatur dalam Pasal 6 uu No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.;

Dengan adanya mediasi, sebenarnya kemanfaatannya sangat besar dalam penyelesaian suatu sengketa atau masalah yakni memberi manfaat sebagai berikut:30

a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif murah dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan.

b. Mediasi akan mefokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata, jadi bukan hanya pada hak-hak hukumnya.

30 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Sosiologi Hukum: Kajian Empiris terhadap Pengadilan, (Jakarta:Kencana, 2012), hal 27

(32)

c. Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.

d. Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya.

e. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya.

f. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan.

g. Mediasi proses acaranya cepat, kerahasiannya terjamin, biaya yang ditimbulkan tidak mahal, lebih memberikan rasa keadilan bagi para pihak dan berhasil baik dalam penyelesaian masalah tanpa masalah.

Selain penjelasan mengenai manfaat dan tujuan mediasi, perlu juga untuk dipaparkan faktor-faktor yang menyangkut kefektifan pelaksanaan mediasi secara konseptual. Karena pada hakekatnya efektif atau tidaknya suatu hukum termasuk dalam hal ini adalah mediasi ditentukan oleh lima faktor sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yakni sebagai berikut :31

1. Faktor Hukum ( Undang-Undang)

Maksud dari faktor hukum dalam point pertama menurut Soerjono Soekanto dengan undang-undang dalam arti materiil adalah peraturan

31 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hal 8

(33)

tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah.

2. Faktor Penegak Hukum

Ruang lingkup dari istilah penegak hukum adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum

3. Faktor sarana dan fasilitas

Tanpa adanya sarana dan prasaran maka tidak mungkin hukum dapat berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya

4. Faktor masyarakat

Kepatuhan masyarakat akan hukum sangat dipengaruhi oleh faktor- faktor yang diuraikan di atas. Masyarakat kebanyakan kurang mempedulikan aturan hukum yang sedang berlaku, namun mereka hanya ingin mendapatkan keadilan dan kepastian hukum terhadap perkara yang sedang mereka hadapi.

5. Faktor kebudayaan

Faktor kebudayaan yang sebenarnya menjadi satu dengan faktor masyarakat dibedakan karena di dalam pembahasannya diutamakan dalam masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau material. Sebagai suatu sistem atau subsistem dari sistem kemasyarakatan.

(34)

Keenam faktor inilah yang akan diperhatikan nantinya dalam pelaksaanaan mediasi, jika keenam faktor ini dapat diselaraskan dalam pelaksanaan mediasi maka kendala atau hambatan dalam pelaksanaan mediasi dapat diminimalisir

2. Mediator beserta Tugas dan Fungsinya

Mediator memiliki tugas dan fungsi yang sangat penting agar tercapai kesepakatan damai diantara pihak-pihak yang bersengketa. Berdasarkan tugas dan fungsi mediator sangat penting jelaslah bahwa mediator merupakan central person yang memegang kendali jalannya suatu proses mediasi, baik tidaknya suatu proses mediasi sangat ditentukan oleh kualitas mediator. Ada beberapa hal yang harus di pahami oleh seorang mediator sebelum memulai proses mediasi yaitu: apa yang menjadi latar belakang persolan, mengenai siapa para pihak yang bersengketa, apakah masih memiliki kekerabatan diantara para pihak, apa yang menjadi alasan dan latar belakang dalam mengajukan gugatan oleh penggugat dan apa yang diminta dalam petitum gugatan oleh penggugat.32

Mediator sebagai central person yang memegang kendali jalannya suatu proses mediasi tentunya memiliki tugas dan fungsi yang harus dilaksanakan agar proses mediasi dapat berjalan dengan baik. Tugas dan fungsi mediator secara rincinya dapat dijelaskan sebagai berikut :33

1. Melakukan Diagnosa Konflik

Seorang mediator selain harus memeliki pengetahuan tentang permasalahan yang terjadi, juga harus memiliki kemampuan dalam mengendalikan para pihak, sehingga konsentrasi para pihak terfokus pada proses penyelesaian sengketanya, kepentingankepentingan lain di

32 Jurnal Hukum Lex Privatum, Vol. II/No.2/April/2014, hal 87

33 Ibid, hal 88-89

(35)

luar persoalan pokok sedapat mungkin harus dieliminasi lebih awal sebelum masuk ke dalam pokok perkaranya. Ada beberapa hal yang harus dipahami oleh seseorang mediator sebelum memulai tahap mediasi antara lain :

a. Apa yang menjadi latar belakang persoalan.

b. Mengenai siapa para pihak yang bersengketa, apakah masih memiliki kekerabatan di antara para pihak.

c. Apa yang menjadi alasan dan latar belakang dalam mengajukan gugatan oleh penggugat termasuk menyangkut kategori persoalan hukum yang disengketakan, misalnya perbuatan melawan hukum (PMH) ataukah wanprestasi.

d. Apa yang diminta dalam petitum gugatan oleh penggugat.

2. Mengindentifikasi Masalah Serta Kepentingan-Kepentingan Kritis Penting bagi seorang mediator untuk mengindentifikasi masalah yang terjadi di antara para pihak, dimulai dari latar belakang persoalan hingga apa yang sebenarnya diinginkan olehpara pihak. Mediator dapat melakukan penelaahan dari uraian dalam posita gugatan untuk melakukan identifikasi dan analisis terhadap kepentingan-kepentingan yang ada, mediator dapat juga melakukan tanya jawab dengan para pihak yang bersengketa. Hasil identifikasi masalah dapat dimasukkan ke dalam catatan yang telah dibuat dengan kategori-kategori seperlunya.

3. Menyusun Agenda agar proses mediasi bisa terarah dan efektif, maka mediator harus menyusun agenda pertemuan yang jadwalnya

(36)

disesuaikan dengan kesanggupan dan persetujuan para pihak. PERMA Mediasi memberikan jatah waktu untuk melakukan mediasi selama 40 (empat puluh) hari kerja dan dapat diperpangjang lagi selama 14 (empat belas) hari kerja. Mediator memberikan pilihan apakah akan melakukan pertemuan seminggu sekali atau seminggu dua kali tergantung dari kesanggupan para pihak. Berdasarkan agenda yang telah disusun mediator akan menyusun materi pertemuan yang akan dibahas dengan para pihak.

4. Memperlancar Dan Mengendalikan Komunikasi Kemampuan mengendalikan komunikasi merupakan peran yang cukup penting dan menentukan bagi seorang mediator, karena mediator dituntut untuk mampu menciptakan partisipasi dan interaksi di antara para pihak. Pada awal pertemuan mediator harus mampu memegang kendali pada proses interaksi dan menciptakan komunikasi tiga arah antara para penggugat, tergugat dan mediator. Komunikasi verbal sangat penting dalam rangka menyampaikan pesan-pesan moral yang akan bermanfaat bagi para pihak untuk berkontemplasi dan menentukan pilihan pada proses penyelesaian secara damai.

5. Membimbing Untuk Melakukan Tawar – Menawar Dan kompromi Dalam proses mediasi, mediator harus mampu mengendalikan peran para pihak untuk mengesampingkan keinginan – keinginan non substansi, para pihak harus dibimbing untuk saling memberikan penawaran dan membuat konsep penyelesaian. Proses tawar menawar memang harus ada strategi tarik ulur dan bargaining position, biasanya

(37)

pihak yang merasa memiliki bukti kuat akan menggunakan itu sebagai senjata penekan yang akan melemahkan posisi tawar menawar pihak lawan, ini harus diantisipasi oleh mediator agar kondisinya tidak teralu menjadi dominan, karena akan mempengaruhi semangat pihak lawan dalam melakukan kompromi terhadap sebagian nilai tawarnya.

6. Membantu Para Pihak Mengumpulkan Informasi Penting

Adakalanya mediator harus bertindak sebagai pencatat data -data dan informasi penting dari perundingan yang berlangsung, hal ini akan bermanfaat ketika proses perundingan sudah mulai masuk pada tahap penyusunan kesepakatan, sehingga butir-butir yang disepakati dapat di recovery ke dalam bentuk klausul perjanjian. Informasi penting dapat digali dari beberapa sumber antara lain : Surat gugatan, Keterangan pihak-pihak, Alat – alat bukti yang mungkin diajukan oleh para pihak, Keterangan ahli bila para pihak menghendakinya.

7. Penyelesaian Masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan mediator setidaknya harus memiliki dua atau lebih pilihan yang dapat diajukan kepada para pihak jika para pihak tidak berhasil menemukan jalan terbaik dalam penyelesaian masalahnya. Pilihan yang diajukan berasal dari hasil assessment dari pokok -pokok sengketa yang dirundingkan.

Selain mediator hakim, dalam perkara perkara tertentu seperti perceraian dalam hukum islam dikenal mediator yang dinamakan hakam. Hakam ialah orang yang ditetapkan Pengadilan, dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga Isteri untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq. M. Yahya Harahap mengutip pendapat Noel J. Coulson memberi sinonim ”arbitrator”

(38)

sebagai kata yang sepadan dengan ”hakam.” Begitu juga Morteza Mutahhari mengemukakan kata padanan ”hakam” dengan ”arbiter.” Menurutnya hakam dipilih dari keluarga suami dan isteri. Satu orang dari pihak keluarga suami dan satu orang dari pihak keluarga isteri, dengan persyaratan jujur dan dapat dipercaya, berpengaruh dan mengesankan, mampu bertindak sebagai juru damai serta orang yang lebih mengetahui keadaan suami isteri, sehingga suami isteri lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing.34

Pengangkatan seorang hakam dalam hukum acara Peradilan Agama dilakukan setelah sebelumnya didengar keterangan pihak keluarga atau orang orang dekat dengan para pihak. Setidaknya ada tiga pasal peraturan perundangundangan yang berbeda yang mengharuskan kehadiran keluarga ataupun kerabat dekat dalam suatu proses persidangan. Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 22 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975, Pasal 76 ayat (1) UU. No. 7 Tahun 1989, dan Pasal 134 KHI.35

Bila dibandingkan antara hukum normatif dan hukum positif mengenai keberadaan hakam, akan nampak adanya pergeseran status hukum hakam dalam pandangan hukum Islam (yang diwakili oleh al- Syafi‟i) dengan hakam yang terdapat pada Undang-Undang Peradilan Agama. Hukum Islam mengharuskan adanya hakam dalam perceraian yang terjadi dengan alasan syiqoq, sementara itu ditemukan pada pasal 76 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989, Hakam diangkat dari pihak keluarga suami dan isteri, sedangkan hakam dalam Undang-Undang

34M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama;Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 (Jakarta: Pustaka Karini, 1997), hal 270

35 Dedi Sumanto dan Syamsinah, Op Cit, hal 157

(39)

Peradilan Agama hanya sebatas anjuran yang tidak mengikat (sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 76 ayat (2) UU No. 3/2006). Dalam analisa Abdul Manan, hukum perkawinan Indonesia mengambil hukum zawaj boleh seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Rusyd dan dalam menentukan hakam mengambil pendapat Sayyid Sabiq yang tidak mengharuskan hakam dari keluarga kedua belah pihak yang bertikai. Demikian halnya dengan penerapan hakam, para ulama berbeda pendapat, salah satunya menerangkan bahwa penerapan hakam dilakukan pada perselisihan yang memuncak dan membahayakan.36

Beberapa Pengadilan Agama lainnya, ternyata hakam hanya diterapkan pada kasus perceraian di mana syiqaq benar-benar muncul sebagai alasan perceraian yang secara lahiriah dapat dilihat dari sikap salah satu pihak yang tidak menghendaki perceraian, sementara pihak lain menganggap bahwa rumah tangganya sudah tidak mungkin lagi diperbaiki. Pada saat inilah dipergunakan fiqh al-Syafi‟i dengan mempertimbangkan anjuran yang terdapat pada pasal 76 ayat (2) beserta penjelasannya. Penerapan hakam seperti ini, secara psikologis sangat berguna bagi pihak yang tetap menginginkan berumah tangga, karena penilaian terhadap keadaan rumah tangga syiqaq tidak hanya dilakukan oleh hakim tetapi melibatkan hakam yang notabene adalah dari keluarga kedua belah pihak. Dalam keadaan demikian menurut Abdul Manan, hakam dapat menentukan kualitas perselisihan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga, yang pada akhirnya dapat memberikan pertimbangan terhadap putusan majelis hakim37

36 Ibid

37 Ibid, hal 158

(40)

Eksistensi hakam berbeda dengan mediasi yang hanya berdasarkan pada PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dengan merujuk pada Pasal 130 HIR/154 RBG.

Sementara itu keberadaan hakam selain sebagai upaya transformasi hukum perkawinan Islam juga dilandaskan pada Pasal 76 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah mengalami dua kali amandemen, yaitu UU No. 50 Tahun 2009. Berbeda dengan mediasi, hakam diterapkan setelah proses pembuktian berlangsung, yaitu setelahnya hakim mendengar pihak keluarga atau oranggorang dekat dengan pihak suami isteri. Pengangkatan hakam dituangkan dalam putusan sela, sedangkan mediator dapat saja dilakukan dengan cara pemberitahuan oleh Ketua Majelis (PERMA Pasal 11 ayat 11). 38

Dari sudut pandang materiil, mediasi pada awalnya dihadapkan dalam perkara bisnis meskipun dalam perkembangan berikutnya juga diberlakukan dalam hukum keluarga. Oleh karenanya wajar apabila dikatakan ”tidak ada mediasi tanpa negosiasi,” karena mediasi mengedepankan bargaining position dengan memberikan tawaran nilai dari masing-masing pihak. Adapun hakam, merupakan salah satu bagian dari hukum perkawinan mengenai perceraian dengan alasan syiqaq. Tidak ada yang ditawarkan dalam bentuk nilai maupun materi lainnya dalam proses hakam tersebut. Hakam hanya berupaya meneliti dan menelaah serta menilai sifat dan bentuk dari perselisihan yang terjadi antara pasangan suami isteri. Dengan melihat perkembangan hukum perkawinan di Indonesia ternyata perkara perceraian seringkali diajukan ke Pengadilan Agama dalam bentuk kumulasi dengan perkara lainnya seperti tuntutan nafkah terutang, mut‟ah, nafkah iddah, pemeliharaan anak, nafkah anak ataupun harta bersama.

38 Ibid, hal 159

(41)

Dengan adanya kumulasi tersebut, perkara perceraian yang sebelumnya hanya menyangkut permasalahan rumah tangga saja kemudian berkembang menyangkut masalah nilai dan materi. Pada saat seperti inilah keberadaan mediator sangat diperlukan untuk memfasilitasi upaya bargaining tawar menawar maupun negosiasi mengenai tuntutan-tuntuan yang diajukan oleh Penggugat. Demikian halnya dengan hakam, setelah proses perceraian berlangsung dan pihak keluarga telah didengar, dengan melihat bentuk perselisihannya hakim dapat mengangkat hakam untuk menyelesaikan syiqaq.39

Terkait mediator hakim, perlu juga dibahas tata cara pengangkatannya sesuai aturan yang ada. Pengangkatan hakim mediator sangat tergantung pada situasi dimana mediasi dijalankan. Bila mediasi dijalankan oleh lembaga formal seperti Pengadilan maupun lembaga penyedia jasa mediasi, maka pengangkatan mediator mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan sedangkan bila mediasi dijalankan oleh mediator yang berasal dari anggota masyarakat, maka pengangkatan mediator tidak mengikat dengan ketentuan aturan formal.

Prinsip utama untuk pengangkatan mediator adalah harus memenuhi persyaratan kemampuan personal dan persyaratan yang berhubungan dengan masalah sengketa para pihak. Jika persyaratan ini telah dipenuhi baru mediator dapat menjalankan mediasi.

Penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam sistem Peradilan, dibantu oleh mediator. Sehubungan dengan siapa yang dapat bertindak sebagai mediator dijelaskan dalam PERMA No. 01 tahun 2016 pasal 1 angka 2 yaitu „‟ Mediator adalah Hakim atau pihak lain yang memiliki Sertifikat Mediator sebagai pihak

39 Ibid, hal 160

(42)

netral yang membantu Para Pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian

Dalam pasal di atas pada dasarnya yang menjadi mediator adalah hakim atau pihak lain yang telah mendapat dan memperoleh sertifikat mediator dari lembaga yang sudah terakreditasi oleh MA, akan tetapi pasal ini memberikan kelonggaran apabila disuatu lingkungan peradilan tidak terdapat mediator bersertifikat maka yang menjadi mediator adalah hakim yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

Hal di atas diperjelas dalam Pasal 11 ayat (3): „‟ Mediator non hakim dan bukan Pegawai Pengadilan yang dipilih atau ditunjuk bersama-sama dengan Mediator Hakim atau Pegawai Pengadilan dalam satu perkara wajib menyelenggarakan Mediasi bertempat di Pengadilan”

Setelah Ketua Pengadilan mengangkat mediator, maka sudah seharusnya Ketua Pengadilan juga menyediakan daftar mediator, hal ini juga tertuang dalam Pasal 1 angka 4 PERMA No. 01 tahun 2016

F. Keaslian Penulisan

Judul skrpisi ini adalah Peran Mediator Hakim Dalam Kasus Perceraian (Studi Di Pengadilan Agama Kota Binjai). Judul skripsi ini belum pernah ditulis oleh siapapun, namun objek penelitian skripsi ini terkait dengan peran mediator hakim dalam kasus perceraian sudah ada yang mengkaji namun dengan studi kasus yang berbeda dan rumusan masalah yang berbeda, yakni sebagai berikut:

(43)

1. Skripsi oleh Muhammad Chanafi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan judul skripsi Efektivitas Peran Hakim Sebagai Mediator Dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Di Pengadilan Agama Karangnyar Tahun 2015-2017

2. Skripsi oleh MB Mustofa, Fakultas Hukum IAIN Ponorogo dengan judul skripsi Peran Hakim Mediator Dalam Proses Mediasi Perkara Perceraian Berdasarkan. PERMA No. 1 Tahun 2016 Tentang Mediasi.

3. Skripsi oleh Rahmiyati, Fakultas Hukum UIN Malang dengan judul skripsi Pandangan Hakim Mediator Terhadap Keberhasilan Mediasi di Pengadilan Agama dan Kota Malang

Semua penelitian yang diuraikan diatas sangat berkaitan dengan objek penelitian yang dikaji oleh penulis dalam skripsi ini, namun walaupun demikian latar belakang masalah dan rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian tersebut berbeda dengan kajian yang diuraikan oleh penulis dalam penulisan skripsi ini, dengan demikian isi keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 (lima) bab, guna mempermudah pemahaman akan skripsi ini maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bab I yang terdiri dari pendahuluan, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II yang membahas tentang Tinjauan Umum Tentang Perceraian yang terdiri dari tiga sub bahasan yakni pengertian perceraian dan dasar hukum

(44)

perceraian, faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian, upaya-upaya yang dilakukan agar tidak terjadi perceraian.

Bab III yang membahas tentang Tinjauan Umum tentang Mediasi dan Mediator Hakim yang terdiri dari empat sub bahasan yakni tentang pengertian mediasi dan mediator hakim, azas-azas umum yang digunakan dalam mediasi, kelemahan dan kelebihan mediasi, kewenangan dan Tanggung Jawab Mediator Hakim Dalam Proses Mediasi.

Bab IV yang membahas tentang Peran Mediator Hakim Dalam Kasus Perceraian Di Pengadilan Agama Kota Binjai yang terdiri dari 5 sub bahasan yakni gambaran umum Pengadilan Agama Kota Binjai, proses mediasi yang terjadi secara umum, proses mediasi pada kasus perceraian di Pengadilan Agama Kota Binjai, tingkat keberhasilan mediasi pada kasus perceraian di Pengadilan Kota Binjai, serta kendala kendala yang terjadi dalam proses mediasi pada kasus perceraian di Pengadilan Agama Kota Binjai.

Bab V yang merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan intisari dari penyusunan skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran terkait penulisan skripsi ini.

(45)

BAB II

PENYEBAB TERJADINYA PENINGKATAN KASUS PERCERAIAN

A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukum Perceraian

Definisi perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan tidak diberikan definsi yang pasti sebab dalam undang-undang tersebut perceraian dinyatakan sebagai akibat dari putusnya perkawinan 40 . Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perceraian dinyatakan sebagai bercerai antara suami dan istri yang artinya kata bercerai itu sendiri artinya menjatuhkan talak atau memutuskan hubungan sebagai suami isteri. Dalam Pasal 207 KUHPerdata dinyatakan bahwa perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam undang-undang.

Subekti41 menyatakan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan karena keputusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan.

Sementara itu, R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Aziz Saefuddin42 menyatakan bahwa perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur di dalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun isteri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan istri. Pernyataan ini ditimpali

40 Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan

41 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXI (Jakarta : PT. Inter Massa, 1987), hal 247

42 R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Aziz Saefuddin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung : Alumni, 1986), hal 109

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisa yang telah dilakukan terhadap data menggunakan analisis SWOT dengan teknik analisis IFAS, EFAS, dan kuadran analisis SWOT, maka dapat

yang bagus. Kalau sebuah program televisi mendapat rating yang tinggi, maka dapat diasumsikan akan ada banyak pendapatan dari iklan yang akan masuk ke televisi

zahtev za u č eš ć e kao i deo koji se finansira iz sopstvenih izvora, odnosno sredstava koja ne poti č u iz budžeta Republike Srbije, budžeta lokalne samouprave ili

Matlamat perlaksanaan Pendidikan Asas Vokasional yang telah digariskan oleh Kementerian Pelajaran Malaysia (2011) ialah untuk menyediakan peluang kepada murid

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus panti asuhan dan pengamatan pelaksana, maka ada beberapa kondisi yang dapat digunakan untuk menumbuhkan inspirasi dan

Absentisme menjadi hal paling utama dalam evauasi kinerja para guru karena dapat diketahui berapa jam guru tersebut mengajar dan berapa jam waktu mengajar yang hilang1.

Tren pemanfaatan tumbuhan obat di Indonesia semakin meningkat seiring dengan berkembangnya industri-industri obat tradisional. Hal ini berdampak pada peningkatan permintaan bahan

Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini antara lain: (a) mencatat setiap spesies anggrek baik epifit maupun terresterial yang ditemukan pada setiap titik sampling di