• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

H. Sistematika Penulisan

Penelitian skripsi ini terdiri dari 5 Bab, dimana masing-masing Bab berisikan pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut:

Bab Pertama, berisikan Pendahuluan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang akan dibahas. Latar belakang masalah, Identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sitematika penulisan.

Bab Kedua, kajian kepustakaan yang dibahas dalam bab ini adalah ketentuan poligami dan teori Maqasid Syariah.

Bab Ketiga, menjelaskan mengenai penetapan hakim dalam penolakan izin poligami dalam perkara Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt yang meliputi duduk perkara, pertimbangan Hakim, dan Penetapan Hakim.

Bab Keempat, merupakan bab inti yaitu bahasan utama dalam skripsi ini, yaitu analisis pertimbangan hakim dalam penetapan penolakan izin poligami dalam perkara Nomor 0110/Pdt.G/2015/PA.Lbt. dalam hal penentuan izin poligami setelah nikah siri dan relevansinya dengan teori Maqasid syariah.

Bab Kelima, merupakan bab akhir dalam penelitian ini. Terdiri dari penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.

12 BAB II

KONSEP POLIGAMI MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Konsep Poligami Menurut Hukum Positif 1. Pengertian Poligami Menurut Hukum Positif

Secara Etimologi kata-kata poligami berasal dari bahasa yunani yaitu polus yang artinya banyak dan gamein yang artinya kawin.10 Sedangkan secara Terminologi, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri atau seorang laki-laki-laki-laki beristri lebih dari seorang.11

Dalam kamus hukum, poligami adalah ikatan di mana salah satu pihak mempunyai atau menikahi beberapa lawan jenis dalam waktu yang tidak berbeda.12 Berdasarkan hal tersebut, poligami mempunyai dua kemungkinan makna yaitu: Pertama, seorang laki-laki menikah dengan banyak perempuan. Kedua, seorang perempuan menikah dengan banyak laki-laki. Kemungkinan pertama disebut poligini dan kemungkinan kedua disebut poliandri.13 Hanya saja sejak berkembangnya zaman pengertian itu mengalami perubahan sehingga poligami dipakai untuk makna laki-laki yang memiliki banyak istri, sedangkan poligini sendiri tak lazim digunakan, khususnya di Indonesia.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 3, poligami dapat diartikan ikatan perkawinan di

10 Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, tth), h. 13.

11 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Cet. II, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 129.

12 Sudarsono, Kamus Hukum, Cet. VI, (Jakarta:Rineka Cipta, 2009), h. 364.

13 Rijal Imanullah, Poligami dalam Hukum Islam Indonesia, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, Vol. XV, No. I (Juni 2016), h. 108

mana suami memiliki istri leibih dari seorang.14 Dalam Peratutran Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yang diamandemen menjadi Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 dalam Pasal 4 poligami dapat diartikan pegawai negeri sipil pria yang memiliki istri lebih dari seorang.15 Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa poligami yaitu beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang. Sebagaimana dalam Pasal 55 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.16

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa poligami adalah suatu perkawinan dimana seorang laki-laki yang menikahi lebih dari seorang wanita pada waktu yang bersamaan. Akan tetapi, hanya dibatasi sampai dengan empat orang wanita.

2. Dasar dan Alasan Poligami Menurut Hukum Positif

Landasan hukum yang dianut oleh Indonesia sekarang adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan aturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menjadi dasar diperbolehkannya poligami diatur pada Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.17

14 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksana Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 523.

15 Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksana Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 685.

16 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademik Pressindo, 1992), h. 126.

17 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

14

Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin. Dasar pemberian izin poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan seperti diungkapkan sebagai berikut:

Pasal 4 ayat (2):

Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.18

Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat dipahami bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (sakinnah, mawaddah, dan rahmah) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa suami istri maka dapat dianggap rumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah dan rahmah).19 Misalnya, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, tentu hal tersebut akan mengganggu kelangsungan hidup rumah tangga yang mereka jalani. Kemudian jika kebutuhan seksual tidak terpenuhi, hal ini akan menjadi masalah bagi pasangan suami istri tersebut. Demikian juga, apabila istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa untuk disembuhkan.

18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

19 Zainuddin Ali, Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 47.

Akan halnya alasan yang ketiga, tidak setiap pasangan suami istri, yang istrinya tidak dapat melahirkan keturunan memilih alternatif untuk berpoligami. Mereka terkadang menempuh cara mengangkat anak asuh. Namun jika suami ingin berpoligami, adalah wajar dan masuk akal. Karena keluarga tanpa ada anak, tidaklah lengkap.20

Adapun Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang mempersulit terjadinya poligami memberikan pemahaman bahwa perempuan atau istri diangkat derajatnya agar tidak diperlakukan semena-mena oleh laki-laki. Oleh karena itu, suami yang ingin berpoligami harus meminta persetujuan kepada istri dan harus dinyatakan di depan majelis hakim di Pengadilan.

3. Syarat Poligami Menurut Hukum Positif

Selain harus memiliki alasan-alasan, seorang suami harus memenuhi syarat-syarat bila ingin berpoligami yang ketentuannya telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ketentuan-ketentuan tersebut untuk mencegah kemungkinan timbulnya berbagai akibat negatif dalam kehidupan rumah tangga, baik dari segi mental, psikologi sosial maupun ekonomi akibatnya merugikan seluruh anggota keluarga dan tentu tidak sejalan dengan hakikat dan tujuan perkawinan.21 Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberi persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut:

Dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan poligami adalah:

20 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 172.

21 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 172.

16

a. Adanya persetujuan dari istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap anak dan istri-istri mereka.

Untuk membedakan persyaratan yang ada di pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 adalah, pada pasal 4 disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya salah satu harus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami.22 Artinya syarat istri tidak dapat menjalankan kewajiban, cacat atau sakit yang tidak bisa disembuhkan dan istri mandul merupakan syarat yang harus terpenuhi salah satu saja, tidak harus semuanya. Sedangkan dalam pasal 5 adalah kumulatif, dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi oleh suami yang akan melakukan poligami.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, syarat yang harus dipenuhi oleh suami yang akan melakukan poligami tersebut diatur dalam pasal 55 yaitu:

1) Beristri lebih satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri.

2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri dari seorang.23

Selanjutnya, dalam pasal 56 juga diuraikan tentang prosedur permohonan izin poligami kepada Pengadilan Agama sebagai berikut:

1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

22 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, BAB 1 Pasal 4 dan 5

23 Kompilasi Hukum Islam (KHI), BAB IX Pasal 55

2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam BAB VII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, dan keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan Hukum.24

Dalam pasal 57 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a) Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.25

Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 59 dinyatakan dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, maka Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.26

4. Prosedur Poligami Menurut Hukum Positif

Pada dasarnya perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, namun tetap terbuka bagi yang ingin berpoligami dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur. Hal ini disebutkan dengan tegas dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa: (1), Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang

24 Kompilasi Hukum Islam (KHI), BAB IX Pasal 55

25 Kompilasi Hukum Islam (KHI), BAB IX Pasal 57

26 Kompilasi Hukum Islam (KHI), BAB IX Pasal 59.

18

pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami; (2), Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.27

Pengajuan permohonan izin seorang suami yang hendak beristri lebih dari satu orang dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.28

Adapun prosedur yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun1975 adalah sebagai berikut:

Pasal 40:

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.29

Pasal 41:

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:

- Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya.

- Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

- Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.

b. Ada atau tidaknya persetujuan istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan.

27 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 3.

28 Kompilasi Hukum Islam (KHI), BAB IX Pasal 56.

29 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, BAB VIII Pasal 40.

c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan;

- Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat kerja; atau

- Surat keterangan pajak penghasilan; atau

- Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;

d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.30

Kemudian tata cara teknis pemeriksaan menurut Pasal 42 PP Nomor 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut:

1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.

2) Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (Tiga Puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.31

Setelah Pengadilan melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 dan 42, Apabila pengadilan berpendapat setelah menelaah dan mengkaji dan mencermati dengan jeli dan teliti, serta dan dianggap sudah cukup beralasan untuk memberikan izin berpoligami, maka Pengadilan dapat mengeluarkan surat izin berpoligami. Hal ini merujuk kepada PP. No. 9 Tahun 1975 pasal 43,

“Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon

30 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, BAB VIII Pasal 41.

31 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, BAB VIII Pasal 42.

20

untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang”.32

Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43.33

Prosedur-prosedur hukum yang telah disebutkan di atas haruslah dilalui oleh seorang suami yang akan berpoligami. Tanpa prosedur di atas Pengadilan Agama tidak akan mengesahkan perkawinan poligami suami dengan istri kedua dan seterusnya.

5. Perkawinan Poligami yang Tercatat

Pencatatan perkawinan adalah suatu yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai pencatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika dilangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon istri.34

Pencatatan adalah suatu administrasi Negara dalam rangka menciptakan ketertiban dan kesejahteraan warga negaranya. Mencatat artinya memasukan perkawinan itu dalam buku akta nikah kepada masing-masing suami istri. Kutipan akta nikah itu sebagai bukti otentik yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk. Juga oleh pegawai perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan yang berlaku mengenai pencatatan perkawinan.35

32 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, BAB VIII Pasal 43.

33 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, BAB VIII Pasal 44.

34 Muhammad Zein & Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis, (Jakarta:

Graha Cipta, 2005), Cet, ke-1, h. 36.

35 Arso Sostroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, “Hukum Perkawinan Indonesia”, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1978), hal. 55-56.

Untuk hukum yang berlaku di Indonesia pencatatan perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.36

Berdasarkan ketentuan perundang-undangan tersebut di atas, Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan ketentuan-ketentuan pelaksanaannya yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Kewajiban Pegawai-Pegawai Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan Bagi yang Beragama Islam. Ketentuan ini sebagai pedoman pelaksanaan teknis yang harus dipatuhi oleh Hakim Pengadilan Agama dalam memberikan putusan/penetapan izin berpoligami, maupun oleh pejabat pencatat nikah dalam menyelenggarakan Pencatatan Perkawinan Poligami.37 Pengadilan Agama ialah penetapan yang berupa izin beristri lebih dari seorang.39

36 Jaih Mubarok, “Modernisasi Hukum Islam”, (Bandung: Pustaka Bani Quraysi, 2005), hal. 76.

37 Anwar Sitompul, Kewenangan dan Tata Cara Berperkara di Peradilan Agama, (Bandung; CV. Armico, 1984), h. 67

38 Permenag Nomor 3 Tahun 1975, (Pasal 8 Ayat 2).

39 Pemenag Nomor 3 Tahun 1975, (Pasal 1 Ayat 2 poin h)

22

Pasal 14 ayat 1 mengatur permohonan secara tertulis. Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis disertai alasan-alasannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya, dengan membawa kutipan akte nikah yang terdahulu dan surat-surat lain yang diperlukan.

Pasal 14 ayat 2, Pengadilan Agama kemudian memeriksa hal-hal sebagaimana yang diatur dalam pasal 41 Peraturan Pemerintah No.

9 Tahun 1975.

Pasal 14 ayat 3, Pengadilan Agama dalam melakukan pemeriksaan harus memanggil dan mendengar keterangan istri yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

Setelah melakukan pemeriksaan, apabila Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup beralasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang kepada pemohon yang bersangkutan. 40

Pegawai Pencatat Nikah atau P3 NTR dilarang melangsungkan, membantu, melangsungkan, mencatat, atau menyaksikan pernikahan sebelum dipenuhi persyaratan untuk melangsungkan pernikahan sebagaimana diatur dalam pasal 8, 12, 13, dan 14 Peraturan ini.41

Berdasarkan ketentuan pencatatan perkawinan poligami di atas, seorang yang ingin beristri lebih dari seorang diharuskan mengikuti proses serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

40 Pemenag Nomor 3 Tahun 1975, (Pasal 14)

41 Pemenag Nomor 3 Tahun 1975, (Pasal 15)

Jika tidak, maka izin untuk beristri lebih dari seorang dapat ditolak oleh Pengadilan Agama serta Pegawai Pencatat Nikah.

Meskipun masalah pencatatan perkawinan telah diatur dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, namun sampai saat ini masih ada kendala dalam pelaksanaannya. Hal ini mungkin sebagian masyarakat muslim belum mengetahui keberadaan aturan tersebut. Ataupun masih ada yang berpegang teguh kepada perspektif fiqh tradisional.

Menurut pemahaman sebagian masyarakat tersebut bahwa perkawinan sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab fiqh sudah terpenuhi, tidak perlu adanya pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tidak perlu surat nikah sebab hal itu hanya merepotkan saja. Sebagai akibat dari pemikiran tersebut di atas, banyak timbul perkawinan secara sirri tanpa melibatkan Pegawai Pencatat Nikah sebagai petugas resmi mengenai urusan perkawinan.42

Adapun yang dimaksud dengan perkawinan sirri secara etimologi berasal dari kata sirrun yang artinya rahasia, sunyi, diam, tidak ditampakkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa nikah sirri adalah perkawinan yang dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi, dan tidak memperoleh pengakuan secara hukum, karena tidak pernah didaftarkan pada catatan sipil.43

Nikah sirri yang tidak dicatatkan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula diistilahkan dengan nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah nikah menurut hukum

42 Muhammad Fahri, Pembagian Waris dalam Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Perkawinan Poligami di Kelurahan Cipete Selatan), Skripsi UIN Jakarta, 2016, h.32

43 Eko Setiawan, Fenomena Nikah Sirri Dalam Perspektif Sosiologi Hukum, Justicia Islamica, Vol. 13 No. 1 Tahun 2016, h. 139.

24

dianggap liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum berupa pengakuan dan perlindungan hukum.44

Menurut A. Zuhdi Muhdlor, nikah sirri adalah pernikahan yang dilangsungkan di luar pengetahuan petugas resmi (PPN/ Kepala KUA), karena pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga suami-istri tersebut tidak mempunyai surat nikah yang sah.45

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak mensahkan pernikahan sirri, karena sebagai warga negara Indonesia, umat Islam juga dituntut untuk menjadi warga negara yang baik dengan menuruti perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, orang yang melakukan nikah sirri dalam pandangan perundang-undangan tetap disamakan dengan orang yang melakukan hubungan di luar nikah..46

Praktek perkawinan sirri (bawah tangan) hingga kini masih banyak terjadi. Padahal perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi perempuan serta tidak melindungi hak-hak kaum perempuan dan juga hak anak.47

Adapun akibat-akibat dari pernikahan sirri, yaitu:

a. istri yang dinikahi dan tidak tercatat (di bawah tangan) tidak dianggap sebagai istri yang sah. Berdasarkan Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat 2, perkawinan harus dicatat menurut Peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak

44 Basith Mualy, Pernikahan Sirri & Akad Nikah, (Surabaya; Quntum Media, 2011), h.12.

45 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Pernikahan (NTC&R), (Bandung; Al-Bayan, 1994), Cet. 1, h.22.

46 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Pernikahan (NTC&R), (Bandung; Al-Bayan, 1994), Cet. 1, h. 12

47 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta;

Elsas, 2008), h. 150.

dicatatnya perkawinan berarti menyalahi ketentuan ini, sehingga perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan ilegal.

b. Istri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian.

c. Istri tidak berhak atas nafkah, dan jika suami meninggal dunia, maka dia juga tidak berhak mendapatkan warisan dari peninggalan suaminya itu.

d. Anak tidak berhak atas nafkah dan warisan dari ayahnya. Dalam pasal 42 Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat yang sah.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa anak hasil perkawinan tidak tercatat dianggap anak yang tidak sah.

e. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, tetapi hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.

Ketentuan ini berdasarkan pasa Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hunungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.48

Dengan demikian, pernikahan sirri merupakan nikah yang dilakukan secara diam-diam atau rahasia dari orang lain termasuk dari Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sehingga tidak dicatatkan. Kemudian juga nikah sirri banyak menimbulkan kerugian bagi si istri dan anaknya dengan tidak berhak atas keduanya atas nafkah dan warisan dari suami atau ayahnya.

48 Muhammad Fahri, Pembagian Waris dalam Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Perkawinan Poligami di Kelurahan Cipete Selatan), Skripsi UIN Jakarta, 2016, h.36

26

B. Konsep Poligami Menurut Hukum Islam

1. Pengertian Poligami Menurut Hukum Islam

Dalam istilah kitab-kitab fiqh poligami disebut dengan ta’addud al-zaujah yang berarti banyak istri.49 Secara Terminologis,

Dalam istilah kitab-kitab fiqh poligami disebut dengan ta’addud al-zaujah yang berarti banyak istri.49 Secara Terminologis,

Dokumen terkait